Rabu, 29 April 2009

Hari Ini Aku Ulang Tahun

Aku terbangun. Kulihat jam yang tergantung di dinding sana menunjuk ke angka 04.30. Aku segera bergegas. Hari ini aku ulang tahun. Dan hari ini aku akan mulai lagi mengikuti misa pagi yang sudah hampir sebulan ini kutinggalkan. Sebelum menuju ke kamar mandi, kusempatkan untuk membangunkan istriku, ”Hayo adik... bangun... katanya mau misa pagi lagi. Ayo bangun....” kugoyang-goyangkan tubuhnya dengan lembut.

Udara pagi terasa begitu sejuk dan segar. Jalanan juga masih sepi. Dalam waktu 5 menit, aku dan istriku sudah sampai di gereja. Seperti biasa, istriku terlebih dahulu menyalakan lilin di samping patung bunda Maria yang terletak di pojok kanan belakang gereja. Setelah itu, ia segera menyusulku di deretan bangku yang menjadi tempat favorit kami.

Misa pagi dipimpin oleh Rm. Suparyono. Dalam homilinya, romo mengajak seluruh umat untuk menyadari bahwa panggilan hidup di dunia ini adalah untuk menjalankan kehendak Tuhan. Tentu dalam proses itu akan ada banyak hambatan dan tantangan yang datang menghadang. Dengan kepasrahan dan percaya akan kehendak-Nya, kita pasti dapat melewati semua itu.

Ketika sampai di rumah, usai mengikuti misa, aku mendapat satu surprise kecil dari istriku. Sebuah kecupan hangat di pipi, ”Selamat ulang tahun, Mas,” ucapnya. Ah, alangkah bahagianya. Wanita yang telah menjadi istriku hampir delapan tahun ini yang sungguh sangat aku cintai. Ia adalah wanita pertama dan terakhir dalam hidupku selain ibu yang telah melahirkanku. Kadang ada kegembiraan. Kadang juga ada kekecewaan dan tawa pahit. Tapi semua itu adalah romantika dalam hidup berumah tangga, yang bila dijalani dengan ikhlas akan semakin menumbuhkan bunga-bunga kasih yang terus bermekaran. Satu hal yang hingga saat ini menjadi dambaan kami: hadirnya seorang anak yang akan menghiasi hari-hari kami. Mungkin benar kata seorang teman, Ia akan memberi tepat pada waktunya. Rencana-Nya adalah yang terbaik. Dan itu pula yang kami yakini hingga saat ini.

Pukul 08.10, saat hendak berangkat ke kantor, tiba-tiba hpku berbunyi. Ah, ternyata ada sms masuk. Sms itu berasal dari seorang ’adik’, ”Halo kakak, happy birthday ya, semoga pjg umur, sehat sll, byk rejeki, cpt dpt momongan dan sll diberkati Tuhan. Amin.

Tunggu kelanjutannya ya...

Selasa, 28 April 2009

Mengikuti Misa Arwah

Malam ini, aku menyempatkan diri mengikuti misa arwah di lingkungan. Kebetulan tempatnya tidak begitu jauh dari rumah. Seperti biasanya, aku yang kebagian tugas menyiapkan ubarampe yang akan dipakai selama penyelenggaraan misa. Mulai dari buku Tata Perayaan Ekaristi, buku bacaan liturgi, roti dan anggur untuk romo dan umat, pakaian romo dan perlengkapan lainnya.

Misa arwah dipimpin oleh Romo Serfasius Samuel. Seorang romo projo yang berasal dari Keuskupan Pangkalpinang, yang saat ini sedang tugas belajar di Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata.

Dalam homilinya, Romo Serfas yang ditahbiskan tahun 2005 ini, menegaskan bahwa dalam misa arwah kita tidak hanya diundang untuk mendoakan orang-orang ini agar diberi keselamatan di dunia sana tetapi lebih jauh kita diajak untuk menghadirkan kembali hidup orang-orang yang kita doakan. Mengenang kembali segala kebaikan yang pernah dilakukan selama menjalani kehidupan di dunia ini. Harapannya, kita dapat meneladan kebaikan tersebut. Lebih lanjut romo mengajak umat untuk terus berjuang mewujudkan hidup beriman sejati di tengah masyarakat. Walau banyak kesulitan dan tantangan yang selalu hadir, hendaknya kita tidak mudah goyah tetapi selalu menyandarkan diri pada pertolongan Kristus. Dengan demikian kita semakin pantas dan layak ikut serta di dalam kebangkitan-Nya.

Bagiku, mengikuti misa arwah selalu memberikan kesadaran bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah kekal. Pada akhirnya, aku dan semua orang yang masih hidup di dunia ini akan dipanggil juga menghadap-Nya. Bekal kita bukanlah kekayaan berlimpah, kekuasaan mahaluas atau kata-kata supermanis melainkan hanya segala kebaikan yang pernah dilakukan selama menjalani kehidupan ini. Jadi, selama kita masih mengantre, marilah kita saling berlomba-lomba memberikan kebaikan untuk semua orang...

Senin, 27 April 2009

Ngapusi atau Bisnis

Suatu saat, seorang teman di kantor pernah berkata, “Wah, sekarang aku punya blender baru di rumah. Merknya MIYAKO tapi dalemnya punya PHILIPS.”

”Lho, kok bisa begitu, Mas?” tanyaku penasaran.

”Sebenarnya, aku beli 2 blender, 1 merk MIYAKO dan 1 merk PHILIPS. Tapi waktu itu aku bilang kalo yang PHILIPS kemungkinan mau takbalikin lagi kalo enggak cocok dan penjualnya juga udah setuju. Na, sampai di rumah terus aku utak-atik kedua blender itu (kebetulan teman saya ini emang jago soal barang-barang elektronik). Mesin punya PHILIPS aku masukkan ke merk MIYAKO dan sebaliknya juga demikian. Lalu dua hari kemudian karena sebelumnya udah ada perjanjian, blender PHILIPSnya aku balikin dan tukar dengan MAGIC COM.” terangnya sambil tersenyum penuh kegembiraan.

”Tapi mas bukankah itu namanya ngapusi?” kataku.

”Wah, ya enggaklah... Itu namanya bukan ngapusi tapi bisnis!” sanggahnya tak mau kalah.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawabannya.

Sabtu, 25 April 2009

Rakus


Suatu ketika seorang teman bertandang ke rumah. Di tengah obrolan yang cukup hangat, tiba-tiba ia melihat akuarium yang terletak di bawah televisi, ”Loh, Mas, itu ikan apa?” tanyanya dengan mimik muka keheranan saat melihat seekor ikan yang kelihatan aneh dengan posisi kepala menghadap ke bawah dan perut berada di atas.

”Itu ikan maskoki, mbak,” jawabku sambil tersenyum melihat keheranannya.

”Ikan maskoki seperti itu?” kejarnya menuntut sebuah jawaban yang lengkap.

”Iya, itu betul-betul ikan maskoki, kok. Posisinya bisa seperti itu karena ia terlalu rakus. Setiap kali aku memberi makan, ikan itu yang paling aktif bergerak ke sana ke mari mengambil makanan tanpa menghiraukan ikan-ikan yang lain.” terangku.

Bulan lalu, aku juga pernah dihukum akibat terlalu rakus. Ceritanya begini, malam itu entah kenapa aku terlalu bersemangat dalam hal makan. Segala jenis makanan aku sikat. Habis satu makanan aku segera berpindah pada makanan yang lain. Pagi harinya, tiba-tiba aku terbangun karena merasakan perutku sakit sekali. Rasanya melilit-lilit seperti diikat tali-temali yang begitu kuat. Ah, barangkali ini hanya sesaat saja, ujar batinku. Tapi setelah beberapa menit berlalu, sakitnya tidak kunjung hilang. Aku mencoba ke kamar mandi untuk buang air besar. Tak dinyana yang keluar hanyalah air. Meski begitu, sakit di perut berangsur-angsur menghilang. Namun ternyata ini hanya sesaat. Ketika kembali ke kamar, perutku kembali terasa melilit-lilit. Karena sudah tidak tahan, aku segera membangunkan istriku. Segera kami pergi ke sebuah apotik. Dan benar, setelah minum obat, sakit di perutku mulai menghilang. Namun karena kondisi badan yang tidak fit, hari itu aku memutuskan tidak masuk kerja.

Tentu kita masih ingat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Tanggul Situ Gintung jebol dan ribuan meter kubik air tertumpah dengan dahsyatnya, menerjang rumah-rumah, pepohonan, bahkan membawa hanyut puluhan nyawa yang tidak berdosa. Segera, pihak-pihak yang harusnya bertanggung jawab mulai mencari-cari alasan untuk melakukan pembenaran diri. ”Ini adalah peristiwa alam yang tidak bisa diduga-duga,” kata mereka. Namun ketika kita mau melihat lebih jauh, salah satu yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa ini adalah karena kerakusan manusia. Rumah-rumah, hotel, apartemen yang seharusnya tidak boleh didirikan di sekitar area Situ Gintung mulai banyak bermunculan. Perawatan dan upaya perbaikan tanggul situ pun tidak pernah dilakukan. Padahal sudah ada laporan-laporan mengenai kebocoran tanggul.

Di kampung ibu saya, sifat rakus manusia terpapar begitu nyata. Dahulu, lereng bukit di seberang rumah ibu selalu menghijau dengan aneka pepohonan yang tinggi menjulang. Tapi entah mengapa, hampir separo lereng bukit itu kini kelihatan gundul. Pohon-pohon telah ditebangi dan berganti dengan talut-talut yang dibuat sedemikian tinggi. Padahal di wilayah itu beberapa kali pernah terjadi longsor. Entah dengan kuasa apa, proyek itu akhirnya bisa berjalan mulus. Mungkin memang segepok uang berjumlah milyaran telah membius para pemegang kuasa. Entah, bagaimana nanti kalau longsor itu terjadi lagi, meluluhlantakkan rumah-rumah yang ada di bawahnya dan merengut nyawa penghuninya (semoga ini tidak pernah terjadi...). Barangkali seperti yang sudah-sudah, mereka akan buru-buru berlindung di balik seribu alasan.

Jumat, 24 April 2009

Mencampur

Mencampur adalah memadupadankan satu benda dengan satu atau beberapa benda lainnya kemudian diolah dan diproses menjadi benda dengan nama yang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini sering kita lakukan. Ketika membuat adonan roti, umumnya kita akan mencampur beberapa bahan di antaranya: tepung terigu, gula pasir, baking powder dan telur. Bahan-bahan itu kemudian diaduk rata, dioven dan setelah matang disajikan dalam bentuk roti. Sama halnya ketika kita membuat gado-gado. Pastinya kita akan memilih kol, kentang, tahu, selada, timun, tomat, lontong, krupuk dan sambal kacang. Semua bahan itu dicampur menjadi satu dan akhirnya... jadilah gado-gado yang siap kita santap. Hemmm.... uenaknya...

Di kantorku yang bergerak di bidang pertanian, proses mencampur juga dilakukan. Dulu ketika jamannya biji-biji penutup tanah lagi bomming, proses ini bisa dikerjakan hampir setiap dua atau tiga hari sekali. Biji-biji yang menumpuk di gudang hasil panenan lama, dibuka dan dicampur dengan biji hasil panenan baru. Tentu saja dengan perbandingan yang sesuai agar hasilnya masih kelihatan cukup baik. Kadang ketika membeli biji -biji dari para pengepul, kami masih harus bersusah payah mengerjakannya kembali karena ternyata banyak campuran yang disertakan dalam biji tersebut. Mulai dari biji dari jenis tanaman yang berbeda hingga butiran pasir halus.

Kini, proses pencampuran biji telah bersalin rupa menjadi proses pencampuran pupuk kandang. Pupuk kandang yang berasal dari kotoran cacing dicampur dengan pupuk kandang dari kotoran sapi. Yang lebih mahal dicampur dengan yang lebih murah. Dan akhirnya dari hasil pencampuran itu, didapatkan pupuk kandang halus.

Mengapa proses pencampuran harus dilakukan? Sering yang menjadi alasan utama adalah agar keuntungan yang diperoleh menjadi lebih banyak. Dengan keuntungan yang semakin besar maka otomatis omzet perusahaan akan semakin meningkat. Harapannya dengan omset yang meningkat maka tingkat kesejahteraan karyawan akan menjadi lebih baik.

Namun tanpa disadari, proses ini kadang bertentangan dengan nilai-nilai kejujuran. Tidak jujur ketika mengatakan baik dan hasil panenan baru padahal beberapa persen adalah panenan lama atau beberapa gram pasir yang sengaja dicampurkan.. Tidak jujur saat mengatakan pupuk kandang ini adalah dari kotoran.... padahal merupakan campuran dari kotoran hewan yang lain. Yang penting untung gedhe... masalah lainnya ya... dipikirkan nanti saja.

Jadi, ketika proses ini hanya menguntungkan satu pihak dan pihak lain dirugikan, maka proses ini menjadi sesuatu yang tidak baik. Karena tidak baik, maka sebaiknya tidak kita lakukan. Ingat: kalau kita saja tidak mau dirugikan, mengapa harus merugikan orang lain? Kalau kita selalu menginginkan barang yang paling baik, mengapa pula kita menghalangi atau menghilangkan hak orang lain untuk mendapatkan barang yang terbaik?

Kamis, 23 April 2009

Pelangi


Sore ini ketika sedang asyik memotong-motong kertas yang akan aku pergunakan untuk menandai bendelan majalah paroki edisi terbaru, istriku berteriak dari ruang tamu, ”Mas, ada pelangi lho... enggak difoto?”

Mendengar teriakan istriku, aku segera mengambil kamera digital dari dalam lemari. Kemudian bergegas naik ke lantai dua. Wuih... benar saja, di langit sana terpampang goresan warna-warni yang begitu indah. Tanpa menunggu terlalu lama, aku segera mengabadikan momen itu... takut kalau kelamaan, pelangi itu akan segera menghilang.

Sebenarnya, mengapa ada pelangi? Kalau menurut pelajaran di sekolah yang aku terima beberapa puluh tahun yang lalu, pelangi selalu muncul beberapa saat setelah hujan mereda. Sisa titik-titik air di udara yang terkena pancaran sinar matahari akan membias, menghasilkan pendar-pendar cahaya yang terpantul ke langit dan jadilah pelangi.

Pelangi adalah peristiwa alam. Sama halnya dengan indahnya matahari terbit di ufuk timur atau tenggelam di ufuk barat. Juga dengan ulat buruk rupa yang kemudian berubah menjadi kupu-kupu yang sangat indah. Biji-biji di dalam tanah yang mati dan tumbuh, memunculkan daun-daun mungil, menghijau dan sangat ringkih. Atau seorang wanita yang tengah berjuang hidup dan mati melahirkan bayinya. Semua peristiwa itu ingin menggarisbawahi satu hal, betapa Mahakuasanya Sang Pencipta. Betapa Mahaagung dan Mahaindah apa yang sudah dikerjakan-Nya.

Sungguh, kita harus senantiasa bersyukur atas segala hal yang sudah kita terima dari pada-Nya. Kehidupan, kesehatan, keselamatan, juga pribadi-pribadi yang dengan penuh kesetiaan merawat, menjaga dan mendampingi perjalanan kita di dunia ini.

Jumat, 17 April 2009

Kisruh Adventure


Dalam bahasa Indonesia, kata ’kisruh’ memiliki arti semrawut, ruwet, sesuatu yang tidak berjalan dengan tertib. Situasi semacam inilah yang kami alami pada hari Minggu, 12 April lalu. Saat itu bertepatan dengan hari raya Paskah. Dan seperti biasa, pada Minggu itu, misa yang kedua pukul 08.30, adalah Misa Paskah Keluarga. Acara liturgi dari tahun ke tahun memang tidak banyak mengalami perubahan, hanya ada sedikit modifikasi di sana-sini. Sedang untuk non liturgi, tahun ini, kami merencanakan akan mengadakan ’Egg Adventure’. Sebuah petualangan mencari telur-telur paskah. Namun, mencari tidak hanya sekedar untuk ’banyak-banyakkan’ telur yang bisa didapatkan, tetapi yang lebih penting adalah melaksanakan tugas yang diberikan oleh panitia.

Dan ketika misa belum benar-benar berakhir (karena berkat penutup belum diberikan), sudah banyak anak dan para orangtua yang bergerombol di depan pintu sebelah pos satpam. Pintu di situ dan beberapa pintu lain termasuk pintu samping gereja memang sengaja kami tutup demi ketertiban dan kelancaran pelaksanaan acara. Namun ternyata rencana hanya tinggal rencana. Ketika beberapa dari kami masih sibuk mengatur anak-anak yang masuk dari pintu di sebelah pos satpam, tiba-tiba, ada orang yang telah membuka pintu samping gereja. Dari sini kekisruhan itu berawal. Para orang tua dan anak-anak yang keluar dari pintu tersebut, segera menghambur, beramai-ramai dan saling berebut untuk mencari telur-telur paskah. Mereka tidak lagi peduli, ketika mulai memporak-porandakan taman dan dekorasi yang dibuat oleh panitia. Ketika situasi semakin kacau, beberapa dari kami berusaha menenangkan mereka. Mengajak mereka untuk mau tertib dan mematuhi aturan yang sudah kami buat. Namun semuanya sudah terlambat. Berbagai upaya yang kami lakukan menemui kegagalan. Bahkan ada beberapa orang tua yang mulai marah-marah. Akhirnya, untuk meredakan situasi yang semakin tidak terkendali, kami mulai membagikan bingkisan paskah.

Sungguh, hari yang sangat mengecewakan bagi kami. Apa yang sudah kami rencanakan selama berhari-hari ternyata ’gatot’ alias gagal total. Hari raya Paskah yang seharusnya dirayakan dengan penuh sukacita dan kegembiraan ternyata telah berubah menjadi arena untuk saling berebut dan unjuk kemarahan. Lalu, apa artinya kebangkitan Yesus? Hanya sekedar ritual di dalam gereja! Trus, kalau sudah berada di luar, semuanya kembali boleh bertindak sekehendak hati, sebebas-bebasnya!

Mungkin ada benarnya evaluasi yang diberikan oleh seorang rekan kami, bahwa tindakan yang dilakukan oleh para orangtua pada acara tersebut adalah tindakan yang cenderung bisa dikatakan wajar. Mereka takut jika harus membiarkan (sendiri) anak-anaknya ikut serta bergabung, beramai-ramai dan saling berebut dan mencari telur paskah. ”Bagaimana nanti jika anakku terinjak-injak? Bagaimana nanti kalau anakku hilang? Bagaimana nanti...” Di sisi lain harus kita akui juga, bahwa memang dari pihak panitia sendiri masih kurang koordinasi dan cenderung kurang siap mengantisipasi apa yang terjadi.

Yah, yang harus terjadi memang sudah terjadi. Dan yang sudah terjadi tidak akan dapat kita rubah lagi. Yang paling penting, kita bisa memetik pelajaran berharga dari kejadian tersebut. Pelajaran yang akan menjadi bekal untuk kegiatan kita selanjutnya. Tetap semangat teman-teman! Apa yang terjadi kemarin hanyalah ’kerikil kecil’ dalam pelayanan kita. Tetaplah satukan tekad dan semangat untuk melayani di dalam Tuhan. Berkat Tuhan melimpah.

Kamis, 09 April 2009

Damai dan Bersatulah

Nggak kerasa, hari ini udah saatnya nyontreng. Mau pilih siapa ya? Aku benar-benar masih bingung. Partainya aja banyak banget blum lagi dengan para calegnya. Dan menurut kabar, akibat saking banyaknya partai n’ nama caleg, surat suara ukurannya super besar kayak surat kabar. Nggak hanya satu tapi bisa 3 atau 4 lembar. Wah, betul-betul bikin puyeng.....

Blum lagi mau milih.... eh... istriku pagi-pagi udah bilang, ”Mas, ini dapet uang 30ribu buat aku dan kamu dari tetangga, katanya disuruh milih caleg no delapan dari partai X.” Wah... wah... wah... ternyata ’serangan fajar’ itu emang betulan ada. Kok baru kali ini aja ya dapetnya? Kalau saja dari dulu-dulu.... Eh, kok malah nglantur... ”Ya udah, diterima aja uangnya, kan enggak salah wong kita diberi... na, kalo perkara harus milih.... ya itu ntar-ntar aja,” jawabku nyantai.

Tiba-tiba ada SMS masuk ke hapeku. Saat kucek ternyata dari seorang teman karibku. Di SMS itu dia bilang, ”Pak Goen udah siap-siap nyontreng? Klu masih bingung ada titipan pesen dari ... agar pilih ... untuk DPR-RI, untuk DPDnya pilih... trus untuk DPR Prov pilih.... Ni ga mempengaruhi tp yang direkomendasikan...”

Sesaat aku terdiam setelah membaca SMS itu. Kemudian... pikiranku jadi plong .... kini aku jadi tahu siapa yang harus kupilih dan kucontreng.... emang sih enggak dari hati nurani sendiri tapi paling tidak... para caleg yang disarankan oleh temanku itu adalah para caleg yang kebanyakan seiman dengan aku. Dan lagi teman ini adalah seseorang yang sudah kuanggap sebagai ’kakak’ dan kupercayai selama ini. Jadi enggak mungkin kalau apa yang disarankan olehnya adalah pilihan yang asal-asalan...

Dan selanjutnya, aku dan istriku melangkah mantap ke TPS. Setelah mendaftar dan mendapat surat suara, dengan berbekal hp, kami melangkah ke bilik suara, membuka lembaran surat suara, memberi pilihan dengan mencontreng dan melipat kembali surat suara itu meski dengan agak susah payah. Kemudian menuju ke kotak untuk memasukkan surat suara. Setelah itu mencelupkan jari ke tinta dan selanjutnya pulang... Wuih... lega rasanya... Baru kali ini aku melaksanakan hak pilihku secara benar...

Memilih sesuai dengan hati nurani, memilih karena dapet imbalan uang beberapa ribu ato dapet sembako ato dapet sarung, memilih dari saran seorang temen (seperti aku) ato memutuskan nggak milih alias golput karena dirasa enggak ada yang cocok ato nggak ngaruh, adalah sah-sah saja dan enggak bisa dilarang karena itu semua adalah hak. Nah, yang perlu dipikirkan adalah... mau apa dan terjadi apa setelah pemilihan ini. Kalo habis pemilihan, diitung dan diketahui pemenangnya kemudian terjadi ribut-ribut karena ada yang enggak puas trus ujung-ujungnya pada berantem, suasana jadi kacau dan mencekam... ato para wakil rakyat yang sudah dilantik, karena keenakan duduk di kursi empuk trus jadi ngelupain janji-janji mereka pas kampanye untuk lebih mikirin rakyat,... ya... enggak ada gunanya ada pemilihan umum.... wong ujung-ujungnya malah menyengsarakan kita sendiri.

Makanya, untuk para wakil rakyat yang nanti bakalan duduk di kursi empuk hendaknya selalu ingat (walau udah sangat klise) bahwa jabatan yang diemban ini adalah amanah dari rakyat. Bukan jabatan yang kemudian malah digunakan untuk kepentingan sendiri, untuk menumpuk kekayaan yang enggak terbatas. Ingat, kekayaan, pangkat dan jabatan, enggak akan menolong dan kita bawa pas kita mati! Trus untuk yang enggak kepilih ato kalah hendaknya bisa legowo dan menerima. Selanjutnya bersama-sama mendukung yang menang untuk membangun negeri ini menuju negeri yang semakin maju dan mensejahterakan rakyatnya. Oleh karena itu marilah kita selalu mengembangkan rasa DAMAI dan meningkatkan persatuan di antara kita sebagai anak bangsa.

Selasa, 07 April 2009

Balada Si Pencari Kursi

Namanya Amat Sura Dipayana tapi orang-orang lebih sering memanggilnya Mat Gentong. Asalnya dari desa. Berbekal keinginan dan hasrat pingin jadi orang kaya, ia nekat berangkat ke kota. Dan, berkat keuletan dan perjuangannya yang tidak kenal lelah, akhirnya ia berhasil mewujudkan impiannya. Ia kini punya usaha yang maju pesat. Rumahnya besar dan megah bagaikan istana. Mobilnya ada 5, tersimpan dengan rapi di garasinya yang cukup luas. Dan pembantu di rumahnya pun jumlahnya lusinan.

Namun rupanya, semua kekayaan itu telah merubah kepribadian Mat Gentong. Ia yang dulunya dikenal sebagai pria ramah kini telah berubah menjadi orang yang kelewat sombong. Ia tidak mau lagi kumpul-kumpul dengan para tetangga di lingkungan rumahnya. Ia hanya mau kenal dengan orang-orang kaya dan para pejabat tinggi yang dirasanya dapat melancarkan usahanya.

Ada satu obsesi yang kini selalu merasuki pikiran Mat Gentong. Ia pingin sekali menjadi anggota DPR. Kebetulan pertengahan tahun depan, akan ada Pemilihan Umum untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan untuk memenuhi ambisinya, Mat Gentong mulai kasak-kusuk mencari partai.

Setelah mendapatkan partai yang cocok, Mat Gentong segera mengajukan diri untuk menjadi calon legislatif. Dan segera sesudahnya, ia mulai mengatur strategi agar impiannya menjadi anggota legislatif dapat terwujud. Mula-mula ia menjual seluruh mobilnya dan menggadaikan rumahnya sebagai modal. Kemudian mulai membuat kaos, selebaran, spanduk dan baliho berukuran super besar yang memuat gambar dirinya. Tak puas dengan itu, Mat Gentong juga mulai kumpul-kumpul lagi dengan para tetangganya. Pura-pura menaruh perhatian dengan menggelontorkan banyak uang untuk pembangunan ’ini dan itu’.

Pas musim kampanye tiba, Mat Gentong kelihatan sibuk banget. Siang malam ia mengadakan rapat dengan orang-orang kepercayaannya. Ia pun tak segan-segan memberikan uang kepada setiap orang yang mau memberikan dukungan kepadanya. Mat Gentong juga mulai sering obral janji. Kalau nanti dirinya terpilih sebagai wakil rakyat, ia berjanji akan memperjuangkan pendidikan dan pengobatan gratis bagi rakyat miskin. Ia juga berjanji akan membuka banyak lapangan kerja agar angka pengangguran di negeri ini segera berkurang. Dan ia juga berjanji untuk lebih memperhatikan para petani, nelayan dan para pengusaha kecil agar kesejahteraan hidup mereka semakin meningkat.

Akhirnya, Mat Gentong menjadi anggota DPR. Ia berhasil mendapatkan kursi empuk yang sangat diidam-idamkannya. Namun akibat empuknya kursi yang kini didudukinya, ia menjadi terlena. Ia tidak ingat lagi dengan serangkaian janji yang pernah diucapkannya. Ia malah sibuk mengumpulkan kekayaan agar modalnya bisa balik. Tak segan-segan ia meminta komisi dalam jumlah besar bagi siapa saja yang datang kepadanya untuk persetujuan proyek. Selain itu, Mat Gentong juga mulai melakukan korupsi.

Suatu malam hujan turun begitu deras. Mat Gentong sedang dalam perjalanan menuju ke rumah mengendarai sedan mewah yang barusan dibelinya. Pada suatu kelokan yang agak gelap, tiba-tiba ia berpapasan dengan truk pengangkut pasir. Karena kaget dan kecepatan mobil yang begitu tinggi, Mat Gentong tidak sempat menghindar. Akhirnya kecelakaan itupun terjadi. Sedan Mat Gentong ringsek tidak berbentuk. Mat Gentong pun langsung tewas di tempat. Segera orang-orang berdatangan. Mereka berusaha mengeluarkan Mat Gentong dari mobil sedan itu. Setelah berhasil, Mat Gentong digeletakkan di jalanan, ditutupi selembar kertas koran bekas yang barusan didapat dari tempat sampah.

Ternyata sedan mewah Mat Gentong tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Pun dengan segala kekayaan yang dimilikinya tidak dibawanya serta ketika ia mati. Tragis!!!

Senin, 06 April 2009

Antara Kuantitas dan Kualitas

Intan tengah berbelanja di pasar. Suatu ketika, matanya melihat ke arah pedagang mangga. Di antara mangga-mangga yang terlihat ranum, ada sebuah tulisan yang cukup menggoda, ‘Mangga Arumanis… murah dan dijamin manis… 1 kg cuman Rp. 5.000,-… ayo buruan beli…. cuman hari ini saja!!! Seketika, karena terbius kata-kata itu, Intan melangkahkan kaki ke arah pedagang mangga tersebut. Setelah berbasa-basi sebentar, ia kemudian memborong mangga-mangga itu sebanyak 5 kg. Beberapa saat setelah sampai di rumah, Intan segera mengambil mangga yang barusan dibelinya, mengupasnya lalu mencicipi mangga tersebut. Ternyata… oh ternyata…. mangga itu enggak manis…. bahkan rasanya agak asam… “Wah, aku udah kena tipu nih…!” jerit batin Intan.

Cerita di atas memang hanya sebuah cerita rekaan tapi kiranya apa yang dilakukan oleh Intan merupakan cerminan dari kehidupan kita. Tanpa sadar, kita seringkali terjebak pada keinginan untuk mendapat ‘sesuatu’ dalam jumlah (kuantitas) yang banyak tanpa mempertimbangkan kualitas dari ‘sesuatu’ tersebut.

Tiga minggu yang barusan lewat, hidup keseharian kita dihiasi oleh hingar-bingar kampanye. Poster-poster, spanduk dan baliho-baliho para caleg bertebaran di jalan-jalan dan kampung-kampung. Lewat media televisi dan media cetak, para pimpinan partai juga ramai-ramai obral janji, pendidikan gratis-lah, membuka kesempatan kerja-lah, bagi-bagi uang untuk desa-desa-lah dan banyak lah-lah yang lain. Disusul dengan model kampanye terbuka dari berbagai parpol. Dan seperti yang sudah-sudah, model kampanye terbuka ini menjadi ajang pengerahan massa. Semakin banyak massa yang terlibat dan berbaur bersama di lapangan atau ikut konvoi di jalanan, menandakan bahwa partai tertentu sudah berhasil menarik simpati massa. Apa benar? Pastinya tidak, karena sebagian besar massa itu sudah mendapat imbalan untuk keterlibatan mereka. Ditambah lagi mereka mau hadir karena ingin menikmati hiburan gratis dari band-band dan penyanyi papan atas yang biasanya ikut dilibatkan dalam kampanye.

Rupanya, keinginan seperti ini juga menulari hidupku. Dulu, waktu pertama kali membuat blog dan mulai mengisinya dengan rutin, aku berharap akan ada banyak pengunjung yang mau singgah dan memberikan komentar. Keinginan ini semakin menggebu-gebu ketika berkali-kali browsing dan mendapati blog-blog milik orang lain yang sudah mendapatkan banyak tamu dan juga komentar. Beberapa waktu berlalu tetapi harapanku enggak terwujud. Kemudian aku mencoba ikutan gabung dalam komunitas blog. Beberapa kali kirim artikel dengan harapan sama, banyak yang mau baca dan kemudian kasih komentar. Tapi rupanya sama saja hingga akhirnya membuat aku jadi ‘males’. Nah, karena ‘males’ inilah aku jadi sempat vakum dan enggak ngapa-ngapain. Rupanya ini adalah tindakan yang salah. Kenapa harus selalu memikirkan jumlah? Seharusnya aku lebih memperhatikan kualitas tulisanku! Dan dengan keyakinan ini aku kembali bersemangat. Terus dan terus menulis, walau mungkin hanya sedikit yang mau baca. Yang terpenting adalah ini: dengan tulisanku aku mau memberitakan kebenaran dan kebaikan untuk semua orang.

Jadi, antara kuantitas dan kualitas, kualitaslah yang terutama.

Minggu, 05 April 2009

Milih Siapa Ya...?


Beberapa ratus meter dari rumah, ada sebuah baliho berukuran besar yang menarik perhatianku. Pada Baliho itu tertulis: “Pesan Moral Untuk Masyarakat Pemilih, Jangan Pernah Memilih Calon Legislatif yang Suka Korupsi (gambarnya tikus pake dasi), Dungu/Bodoh (gambar kambing), Rakus (gambar kera), Suka Tidur (gambar ular lagi tidur), Suka Obral Janji (gambar burung beo lagi di depan mic), Suka Selingkuh (gambar kelinci dengan hidung kemerahan), Pemabok (gambar botol minuman) dan Tukang Judi (gambar Joker).

Pertama kali melihatnya,… jujur… hati ini pengen ketawa… ketawa terutama karena melihat gambar-gambar yang menjadi latar belakang tulisan-tulisan tersebut. Kedua kalinya, aku jadi mulai serius membaca tulisan-tulisan tersebut dan mulai memikirkannya. Apa ada ya… para caleg yang memenuhi semua syarat-syarat tersebut? Temen saya pernah berujar, “Enggak mungkin lah… mereka semua itu sama saja… hanya mikirin kepentingannya sendiri… hanya mikirin uang dan jabatan. Pas kampanye aja bikin janji-janji yang muluk-muluk, harapannya biar bisa membuat para calon pemilih pada kepincut. Nah, giliran udah jadi… bisa dipastikan mereka melupakan apa yang pernah dikatakannya. Jadi, semuanya hanya omong kosong!!!” Seorang temanku yang lain menyahut, “Tapi pak, mestinya di antara mereka itu masih ada orang yang baek… ?”. “Baek? Mimpi kaleee yeee…” tukas temen saya yang sebelumnya sambil tertawa sinis.

Mungkin, pesimisme temen saya itu bisa bisa dimaklumi. Karena dari beberapa kali pemilihan umum yang pernah diadakan di negeri tercinta ini, selalu saja hal itu terbukti. Mereka yang semula gembar-gembor mau memperhatikan nasib rakyat… eh… setelah dapet kursi yang empuk jadi lupa diri. Mereka malah sibuk saling berlomba-lomba mengeruk kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Lalu, apa gunanya pesan moral itu ya…? Kalo berpikir negatif, mungkin pesan itu hanya untuk ‘pantes-pantes’. Sekedar memenuhi kewajiban. Hanya untuk hiasan biar lebih heboh… Tapi dari sudut sebaliknya… kita jadi diingatkan kembali untuk memenuhi harapan dari pesan moral tersebut. Memilih caleg yang bener-benar baek. Baek… nggak hanya kalo pas lagi kampanye aja… tetapi sungguh-sungguh baek ketika sudah jadi wakil rakyat yang duduk di kursi empuk.

Lha, terus kita harus milih siapa? Ya… itu terserah kita. Mana yang kita anggap paling baek yang harus kita pilih dan mana yang jelek yang harus kita buang. Kalo emang nggak ada yang baek ya… kata orang-orang pinter… kita pilih aja yang terbaik dari beberapa yang buruk… Kalo toh kemudian kita enggak mau milih… itu adalah keputusan yang juga harus dihargai… karena walau bagaimana pun enggak milih itu juga adalah suatu pilihan.

Nah, setelah kita memilih para caleg kita. Langkah selanjutnya adalah terus pantau, pantau dan pantau… orang-orang pilihan kita tersebut. Kalau mereka mulai ‘ajar-ajar’ nyeleweng dan mulai melupakan janji-janjinya, kita harus berani mengingatkan baik lisan maupun tertulis… kalau perlu pake demo besar-besaran… Kalau masih tetep nggak mempan… berarti bener kata teman saya tadi… SEMUANYA HANYA OMONG KOSONG

Kamis, 02 April 2009

Situ Gintung


Namaku Gintung tapi orang-orang sering memanggilku Situ Gintung. Aku adalah sebuah waduk yang dibikin pada masa penjajahan kolonial Belanda. Jadi hingga saat ini umurku sudah hampir delapan puluh tahun.

Saat itu, adalah masa-masa terindah dalam kehidupanku. Orang-orang kolonial itu selalu memperhatikan gerak hidupku. Memantau, mencatat dan merawat aku dengan penuh kasih. Dan aku pun dengan senang hati memberi manfaat bagi mereka.

Setelah mereka pergi, kehidupanku sedikit demi sedikit mulai berubah. Lahanku yang dahulu begitu luas, lama kelamaan mulai menyempit. Tergerus oleh berbagai kepentingan dari orang-orang negeriku. Aku mulai tidak diperhatikan lagi. Aku mulai ditinggalkan. Orang-orang negeriku hanya menganggap aku sebagai sapi perahan yang hanya bisa diambil manfaatnya tanpa pernah mau untuk menjaga apalagi merawat. Hingga akhirnya aku pun semakin merana. Terkapar dalam luka yang semakin dalam.

Dan pagi itu aku tidak kuat lagi menanggung beban. Akhirnya, benteng pertahananku jebol. Air meluap, mengalir menderu dari tubuhku. Melalap apa saja yang dilewatinya. Rumah, bangunan, bebatuan, pepohonan bahkan ratusan nyawa tergulung tak berdaya tanpa sempat berkata-kata.

Kini, hatiku pedih bagai tersayat-sayat sembilu. Aku melihat anak-anak kehilangan bapa dan ibu mereka. Suami yang ditinggal mati istri, anak dan saudara-saudaranya. Istri yang menjerit pilu karena mendapati anak satu-satunya telah tiada. Jerit tangis pria dan wanita ketika mendapati sahabat terkasihnya telah pergi. Ohhh…. betapa mereka tenggelam dalam kesedihan yang tiada berujung.

Ironisnya, orang-orang negeriku yang punya kewenangan seolah tiada merasa salah. Mereka malah saling lempar tanggung jawab. “Ini salahmu dan bukan salahku” terdengar sayup-sayup olehku. Dan kemudian seperti yang sudah seringkali aku lihat, orang-orang negeriku (yang lain) berlomba-lomba menarik simpati dan memberi janji. Sementara yang lainnya lagi, bergegas-gegas berlagak peduli dan mulai memperhatikan diriku.

Ah,… selalu saja kesadaran di negeriku ini datangnya terlambat. Ketika semua sudah terjadi, tatkala sudah jatuh banyak nyawa, kepedulian itu mulai muncul. Entah… sampai kapan hal ini terus saja berlangsung…. Apakah…. negeriku ini memang hanya ditakdirkan sebagai negeri yang hanya pandai menikmati… entahlah….

Namaku Gintung dan orang-orang lebih sering memanggilku Situ Gintung. Tapi Itu dulu… karena sekarang, aku hanyalah dataran luas berlumpur yang perlahan-lahan mulai mengering…

Rabu, 01 April 2009

Ayo... Semangat!!!


Wusshhh... waktu bener-bener terus berlari. Nggak terasa hari ini udah masuk ke bulan April. Kayaknya baru kemaren aku merasakan hingar-bingar pergantian tahun dengan aneka percik kembang api yang begitu indah. Terasa juga, baru beberapa jam lalu aku duduk bersimpuh di taman doa itu sambil memanjatkan serangkaian doa, permohonan dan harapan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik di tahun yang baru.

Kini, sudah tiga bulan berlalu. Apa yang sudah aku lakukan? Apakah doa dan harapan yang dulu kusyuk kupanjatkan kepadaNya, sungguh aku laksanakan?

Menjawab aneka pertanyaan ini, aku jadi malu. Sungguh-sungguh malu. Karena seperti juga di tahun-tahun lalu, doa dan harapan itu hanya tinggal kata-kata kosong tanpa makna. Sekali lagi (bahkan berkali-kali), aku kembali pada kebiasaan lama yang (sebenarnya) sungguh ingin aku hilangkan dalam hidupku. Satu kebiasaan buruk yang membuat aku begitu ketagihan dan senang menunda-nunda pekerjaan.

Kadang juga, ada serangkaian tanya yang begitu mengusik di dalam hati: apa yang sudah aku dapatkan hingga hari ini, untuk hidupku, untuk keluargaku? Uhhh... lagi-lagi aku hanya bisa diam termangu... Aku belum memiliki apa-apa, bisikku... rumah... anak... uang yang cukup. Lhoh... bukankah sudah banyak yang engkau dapatkan hingga hari ini? Jerit nuraniku mengingatkan.

Saat merenungkannya lebih dalam... ternyata nuraniku benar. Hingga hari ini, saat ini... aku sudah mendapatkan begitu banyak anugrah dariNya. Nafas yang membuat aku tetap hidup. Orang-orang yang begitu aku cintai dan mencintai aku. Kedua orangtuaku, mertuaku, adik dan kakakku dan terutama istriku yang setia mendampingiku selama ini. Mungkin memang kami belum memiliki anak... namun kami percaya, semua ini adalah kehendakNya. Ia tahu apa yang terbaik untuk kehidupan kami. Kalau toh nanti pada akhirnya memang tidak ada anak di antara kami, kami masih bisa memiliki ’anak-anak’ yang lain. Juga ada banyak ’adik’ dan ’keponakan’ di gereja. Dan teman-teman yang aku jumpai dalam perjalanan hidupku.

Pekerjaanku mungkin memang tidak memberikan gaji yang besar. Tapi rupanya pekerjaan ini adalah tempat yang paling baik untukku saat ini. Tempat dimana aku masih bisa membagi waktu untuk pelayanan di gereja. Kadang ada rasa bosan yang tumbuh dan terus menyeruak dalam hati. Tapi rasa ini harus aku tekan. Aku harus tetap bekerja dengan giat dan penuh semangat.

Sudah tiga bulan berlalu. Apa yang sudah aku lakukan hingga hari ini?

Ada harapan yang memang gagal aku wujudkan. Tapi paling tidak, ada satu hal yang mulai bisa aku realisasikan. Hal itu adalah keinginan untuk menjadi seorang penulis. Ya, penulis. Keinginan yang sudah terpendam begitu lama karena beragam kesibukan. Dan rupanya, keinginan itu muncul di saat yang tepat. Saat aku mulai berlangganan internet di rumah. Kemudian mulai mengenal blog dan membuatnya. Masuk dalam komunitas blog. Ikutan kopdar dll. Semua hal itu merangsang aku untuk terus membuat tulisan. Bagaikan pisau yang terus diasah.... semakin lama akan semakin tajam.

Yah, waktu memang terus saja berlari.... tak terasa sudah bulan April. Dan beberapa hari lagi umurku juga akan bertambah satu tahun. Meski harapan di tahun baru masih banyak yang meleset... aku harus tetap berusaha untuk memperbaikinya dari hari ke hari. Berjuang untuk memberikan yang terbaik. Untuk diriku pribadi, untuk orang-orang yang mencintai dan aku cintai dan khususnya untuk Dia yang di atas sana. Ayo... semangat!!!