Senin, 11 Juli 2011

Kaya

“Menurutmu, aku ini sudah kaya apa belum, Pak?” tanya Bos Pujo pada Paino, salah satu karyawannya yang terkenal suka celelekan, suatu siang.

“Wah, ya pasti belum, Pak,” jawab Paino sambil lalu.

“Kok belum? Apa alasannya?” kejar Bos Pujo.

Paino hanya tersenyum simpul. “Bapak kan setiap hari mengisi bahan bakar mobil bapak dengan premium. Nah, bukankah itu menjadi bukti bapak belum kaya?” jelas Paino.

Bos Pujo hanya tersenyum kecut mendengar penjelasan Paino.

Kaya dan tidak kaya. Mungkin, itulah yang selalu mengganggu kehidupan kita setiap hari. Apakah aku sudah kaya? Apakah aku sudah memiliki banyak uang, uang yang tidak akan habis kugunakan sampai tujuh turunan? Apakah aku sudah memiliki mobil yang bagus? Apakah rumahku sungguh besar dan bertingkat? Apakah, apakah, dan masih banyak apakah yang lainnya.

Sebenarnya, yang menjadi ukuran seseorang bisa dikatakan kaya itu seperti apa sih? Apakah dengan memiliki semua yang telah disebutkan tadi (punya banyak uang, punya mobil mewah, punya rumah megah, dll)?

Kalau itu yang menjadi ukuran, rasa-rasanya ada yang aneh. Aneh karena banyak orang yang merasa kaya enggan untuk berbagi. Mereka tidak mau jika harus memberikan sebagian hartanya untuk orang lain. Mereka takut apa yang menjadi miliknya akan berkurang. Nah, lucu bukan! Katanya kaya tapi kok tidak mau memberi? Berlimpah tapi ketika diminta untuk menyumbang segera menggelengkan kepala. Ahh... bukankah itu adalah tanda bahwa mereka masih miskin. Mereka masih berkekurangan.

Menjadi kaya memang tidak dilarang. Menjadi kaya pastinya juga bukan dosa. Hanya yang menjadi masalah, apakah setelah menjadi kaya kita mau berbagi? Mau membantu orang lain di sekeliling kita yang masih kekurangan? Justru ketika mau memberi, kita akan menerima. Ketika mau berbagi dengan penuh keikhlasan, kita akan mendapat banyak kebaikan.

Satu hal yang harus selalu diingat; segala hal yang kita miliki di dunia ini sifatnya hanya sementara. Semua dapat hilang dalam sekejap. Segalanya tidak akan kita bawa ketika kita dipanggil olehNya.

Sabtu, 09 Juli 2011

Gadis Kecilku


Elisabeth Valensia Rosemary. Itulah nama gadis kecil itu. Gadis berparas manis dengan rambut dipotong pendek dan tubuh yang tergolong kurus. Saat ini ia bersekolah di sebuah SMP swasta terkenal di kotaku. Kelas 2.

Sudah 2 tahun ini aku tergila-gila pada Valen, sapaan akrabnya. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Entah sejak kapan perasaan ini muncul dan mengapa, aku benar-benar tidak mengerti. Semuanya terjadi begitu saja. Mengalir dan terus berkembang hingga hatiku benar-benar dikuasai olehnya.

Mungkin, semua berawal dari keisengan yang aku buat untuknya. Iseng? Ya benar, iseng. Waktu itu ia masih kelas 6 SD. Lewat teman akrabnya yang kebetulan juga aku kenal, aku berhasil mendapatkan nomer hapenya. Berbekal nomer hape, aku mulai ‘mengerjai’nya dengan berpura-pura menjadi orang lain yang ingin berkenalan dengannya. Padahal kami sudah saling mengenal meski tidak akrab karena tantenya adalah temanku satu paguyuban di Pendampingan Iman Anak (PIA).

Dan sms demi sms pun mengalir. Awalnya hanya saling menyapa dan bertukar kabar. Perkembangan selanjutnya, sms berubah menjadi dukungan untuknya karena saat itu ia sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir untuk kelulusannya.

Hari demi hari. Minggu demi minggu. Mengirim sms untuknya seolah-olah telah menjadi kebutuhan yang harus terus aku lakukan. Jika hal itu terlewat, terasa ada yang kurang dalam hidupku. Lewat sms-sms itu, aku menjadi lebih akrab dan semakin akrab dengannya. Dan tanpa kusadari, benih-benih cinta dalam hatiku tumbuh bak jamur di musim hujan.

Namun, kedok mesti dibuka. Tidak ada gunanya terus bermain ‘rahasia’. Dan saat semuanya terbuka, tidak ada kekagetan yang teramat sangat. Tidak ada histeria yang muncul. Semua berjalan biasa saja. Rupanya Valen sudah bisa menebak, siapa sebenarnya orang yang ada dibalik sms-sms yang terkirim di hapenya. Terus terang aku sedikit kecewa karena tidak berhasil memberikan surprise tapi segera hal itu terkubur oleh kebahagiaan karena sudah tidak ada hal yang perlu ditutup-tutupi lagi.

Sejak saat itu, bersama istriku, aku mulai sering berkunjung ke rumahnya. Ngobrol, menemaninya melakukan aktivitas entah belajar, membaca komik, bermain game, atau saat membuat kerajinan tangan. Kadang kami (aku, istriku, Valen, adik, dan tantenya) melakukan aktivitas di luar. Makan nasi kucing di warung yang tak jauh dari rumah. Menonton pameran. Juga berdoa bersama di Gua Maria Kerep Ambarawa.

Cintaku pun semakin mendalam. Aku semakin mengasihinya. Saat ada di dekatnya aku selalu ingin memeluknya erat, mengecup keningnya, dan berlama-lama memandang bening matanya yang begitu indah.

Mencintainya berarti mau menerima kelebihan dan kekurangannya. Mencintainya adalah keterbukaan dan kerelaan hati untuk melihatnya tumbuh bebas menggapai cita-citanya. Mencintainya menjadi kesempatan bagiku untuk terus membahagiakannya lewat aneka perbuatan dan untaian doa.

Aku bersyukur bertemu dengan gadis kecilku. Ini adalah rencana Tuhan yang begitu indah dalam hidupku. Meski tidak mempunyai hubungan darah tapi saat ini ia telah menjadi anak, keponakan, dan mutiara yang sangat berharga bagiku.

Kamis, 07 Juli 2011

(Ke)sederhana(an)

Rasa-rasanya, kata yang satu ini semakin hilang dalam kehidupan kita. Orang-orang jaman sekarang lebih suka sesuatu yang ‘wah’, spektakuler, rumit, penuh tipu daya dan kelicikan, serta berbagai macam keruwetan lainnya. Mereka lebih suka hidup di atas awan yang tinggi daripada memilih mendarat di bumi.

Namun, diantara sekian banyak orang yang dilanda virus ketidaksederhanaan itu, masih ada orang-orang yang dengan tekun memperjuangkan kesederhanaan.

Pertama adalah ayahku sendiri. Saat ini usianya sudah hampir memasuki 80 tahun. Tapi ia masih kelihatan segar dan awet muda. Ayahku adalah pensiunan pegawai negeri dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Ketika masih aktif bekerja, ia menjabat sebagai bendahara. Meski setiap hari bergelimang dengan uang, ayahku adalah orang yang sangat jujur. Ia tidak pernah menyalahgunakan jabatan atau menggunakan sepeser pun uang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia juga kebal akan sogokan.

Buktinya adalah kehidupan kami yang tergolong sederhana. Sebuah keluarga dengan ayah, ibu, dan 4 orang anak, 3 putra dan 1 putri. Menempati sebuah rumah yang tidak begitu luas dengan dinding setengah tembok dan setengah papan. Sering ibu harus memutar otak untuk mencukup-cukupkan gaji yang diterimanya dari bapak guna memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan kami. Kadang pula mereka harus berutang ketika dirasa tidak ada jalan lain. Untunglah sejak kecil, kami berempat bersekolah di sekolah negeri sehingga biaya untuk pendidikan bisa lebih terjangkau (waktu itu). Dan akibat ketiadaan biaya pula, kami hanya bisa menikmati sekolah sampai tingkat SMA. Kakak dan adikku laki-laki lulus dari STM dan setelah itu langsung bekerja. Sedangkan aku setelah lulus SMA juga langsung bekerja. Pun dengan adikku yang perempuan.

Teladan kedua aku temukan dalam diri seorang ibu berparas ayu dengan perawakan yang sedikit kurus. Ketika memandang wajahnya, merasakan keramahannya dan melihat senyum yang mengembang di bibirnya, selalu ada kedamaian yang segera menguar. Luapan kasih sayang yang seakan terus mengalir.

Aku sering memanggilnya dengan sebutan bu Ina. Sudah puluhan tahun aku mengenalnya. Dahulu kami pernah tumbuh bersama dalam komunitas Pendamping Iman Anak di Paroki (yang waktu itu sering disebut dengan sekolah minggu). Beberapa tahun sempat tidak bertemu hingga akhirnya Tuhan kembali mempertemukan kami dalam kegiatan yang sama seperti dulu.

Ketika mendengar pergulatan hidupnya yang sering dituturkannya kepada kami (aku dan teman-teman dalam komunitas Pendamping Iman Anak), aku merasa bahwa hidup keluarganya sungguh diberkati oleh Tuhan. Meski ada berbagai cobaan (salah satunya saat harus kehilangan anak semata wayang yang diperolehnya dengan penuh perjuangan akibat terjatuh dari kuda ketika berumur 9 tahun) tapi ia tidak pernah menyerah. Ia justru menghadapi segala cobaan itu dengan tabah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan.

Meski kaya ia tetap hidup sederhana. Kesederhanaan itu begitu tampak saat melihat rumahnya yang tergolong ’apa adanya’ bila dibandingkan dengan rumah-rumah lain di kanan-kirinya. Ketika masuk ke dalam, ruang tamunya hanya berukuran kurang lebih 2 x 3 meter. Semakin ke dalam, deretan lemari kayu tampak berjejer memenuhi ruangan. Lemari-lemari itu adalah tempat menyimpan berbagai berkas dan perabotan milik keluarga.

Bu Ina adalah pribadi yang ringan tangan, rendah hati, dan tulus. Ia begitu mudah tergerak untuk mengulurkan bantuan saat teman-temannya atau orang lain mengalami kesulitan, apa pun itu. Kalau toh ia tidak bisa menolong secara langsung, ia pasti akan berusaha mencarikan jalan keluar agar kesulitan itu dapat teratasi. Satu hal yang mengagumkan, ia tidak pernah ingin namanya dikenal. Ia tidak ingin orang lain tahu bahwa dialah yang menyumbang. ”Biarlah Tuhan yang membalas semuanya,” tuturnya penuh iman.

Karena semua hal yang dilakukannya, aku sering menyamakannya dengan malaikat. Manusia berhati malaikat, itu tepatnya.

Ternyata, kesederhanaan memang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Kesederhanaan justru akan makin bernilai ketika ia dihidupi dengan penuh iman. Darinya kita akan mendapatkan banyak mutiara kehidupan yang begitu berharga. Hidup bersamanya, kita akan semakin menyadari bahwa kehidupan yang kita terima ini adalah karunia dari Tuhan. Kehidupan yang harus dijalani sebaik mungkin untuk melakukan dan berbagi kebaikan. Menjadi pembawa damai dan berkat untuk orang lain.

Selasa, 05 Juli 2011

Jenuh Berbuat Baik?

“Kok bisa begitu ya, padahal dia itu kan panutan buat saya?” ujar mas Y geleng-geleng kepala saat mendengar cerita istriku tentang mbak V.

“Hehehe… itu kan mungkin saja.. barangkali dia memang lagi jenuh berbuat baik?” kata A, istrinya, menimpali. “Barangkali karena selama ini ia merasa tidak ada gunanya berbuat baik,” tambahnya.

“Berbuat baik kok pakai jenuh segala. Aneh?” ujarku saat mendengar percakapan itu.

Itulah salah satu obrolan ringan pagi ini saat aku dan istriku berkunjung ke rumah ‘adik’ sekaligus sahabat untuk suatu keperluan. Obrolan yang masih saja terngiang-ngiang di pikiranku hingga saat ini.

Mengapa jenuh berbuat baik? Apakah memang karena merasa tidak berguna berbuat kebaikan? Barangkali kata ‘jenuh’ memang tidak tepat karena yang lebih pas adalah ‘tidak’. Tidak (mau) berbuat baik karena lingkungan di mana seseorang hidup dan bergaul memang menghendaki demikian. Berbuat baik dipandang sebagai sebuah kesia-siaan belaka dan masuk kategori ‘konyol’ karena mayoritas lebih memilih berbuat sebaliknya.

Lalu, bagaimana dengan mbak V? Mengapa ia yang selama ini dikenal orang sebagai perempuan berwajah cantik yang dewasa dalam sikap dan kepribadian bisa mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan orang lain?

Pertama, tidak ada yang kekal di dunia ini. Semua akan mengalami perubahan. Satu hal yang harus selalu disadari; ketika aku berubah, aku akan berubah ke arah mana? Menjadi lebih baik atau lebih buruk? Keputusan ada di tangan kita. Dan kita juga yang akan menanggung segala akibat dari pilihan kita.

Kedua, dalamnya laut dapat diduga tapi dalamnya hati siapa tahu. Apa yang tampak di permukaan kadang bisa menipu. Jadi, kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Wajah yang cantik atau ganteng, dandanan yang modis dan mengikuti tren, serta pakaian gemerlap berharga jutaan, bukan jaminan bahwa seseorang itu bisa dikatakan baik. Sebab yang lebih bernilai adalah apa yang dikatakan dan dilakukannya.

Terlepas dari itu semua, marilah kita tidak jemu-jemu berbuat kebaikan. Jangan kalah oleh kejahatan tetapi kita kalahkan kejahatan dengan kebaikan yang kita lakukan. Jangan berkata jenuh atau pun tidak. Karena, bila Tuhan juga sudah jenuh dan tidak lagi mau memberi kebaikan kepada kita, apa jadinya kita? Bukankah hidup menjadi tidak berguna lagi?

Senin, 04 Juli 2011

RencanaNya Sungguh Indah

Keyakinan ini terus saja menancap di sanubariku. Merekah di pikiran dan memampukan aku untuk mendaraskan syukur kepadaNya. Meski terasa pahit, menyedihkan, dan menguras air mata, tapi, inilah yang terbaik, yang sudah dirancangkanNya.

Tak terkecuali dengan peristiwa yang menimpa suami dari adik sahabatku. Hari Minggu lalu ia kembali ke pangkuan Tuhan setelah setahun menahan penderitaan akibat ginjalnya tak lagi berfungsi hingga harus melakukan cuci darah secara rutin. Hal yang terasa menyayat, ia pergi meninggalkan istri dan dua anak perempuannya yang cantik-cantik. Yang sulung baru masuk SMP sedangkan si bungsu kelas 1 SD.

Ingatanku pun melayang pada kejadian hampir 15 tahun yang lalu. Saat aku ikut ’ndekor’ rumah sahabatku untuk acara pernikahan adiknya. Dan beberapa tahun kemudian, aku juga ikut merasakan pengalaman saat menggendong ponakannya yang terlihat lucu dan menggemaskan. Ahh... kenangan ini akan terus terpatri di dalam benakku.

Tapi, rencana Tuhan berkata lain. Ia memanggil suami adik sahabatku pada saat anak-anaknya sedang bertumbuh. Ia memberi dukacita pada keluarga ini. Namun, dibalik segala penderitaan yang dialami, kasihNya sungguh tercurah. Ia memberi kesempatan pada keluarga ini untuk menata hati dan melepas dengan ikhlas ketika saatnya tiba. Memang ada air mata yang mengalir. Namun, kesedihan segera berganti dengan sukacita karena Tuhan sudah memberikan yang terbaik. RencanaNya sungguh indah.

Selamat jalan, Mas Heri
Tuhan sudah melepas segala penderitaanmu
Kini, saatnya engkau menikmati kebahagiaan bersamaNya

Minggu, 03 Juli 2011

Mulai (lagi)

Hari ini adalah hari ketiga aku memulai lagi kebiasaanku. Kebiasaan yang beberapa bulan ini aku tinggalkan. Aku ingin belajar lagi. Aku ingin menulis lagi. Menulis secara rutin. Setiap hari.

Tantangan yang paling berat bagiku adalah kemalasan. Malas untuk mencari ide. Malas menyisihkan waktu secara khusus untuk menulis. Dan ketika jari jemari mulai menari-nari di atas keyboard, saat kata-kata mulai teruntai, tiba-tiba timbul keraguan.. apakah aku bisa menyelesaikannya? Apakah aku punya kemauan untuk melanjutkan tulisan itu ketika berbagai kesibukan yang lain ganti menyerangku?

Ahh, lagi-lagi semuanya kembali kepada niat. Motivasi yang menjadi latar belakang aku melakukan kebiasaan ini. Sungguh, hal itu masih tertanam erat di dalam hati dan mengendap di pikiranku. Namun, sekedar tertanam dan mengendap tanpa adanya kesungguhan dalam berusaha dan keberanian untuk mengatasi segala tantangan yang muncul, tidak ada gunanya. Dan itu sudah terbukti selama ini.

Apakah aku akan terus dikalahkan kemalasan? Apakah aku harus tunduk pada ketidakdisiplinanku? Tidak! Aku harus berusaha lagi. Aku harus kalahkan segala rintangan, apa pun itu! Aku bisa! Aku pasti bisa! Dan di atas segalanya, aku ingin memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Aku percaya, rencanaNya adalah yang terbaik untuk hidupku.

Sabtu, 02 Juli 2011

Ia Mengasihiku

Peristiwa ini aku alami kemarin. Sebuah kejadian biasa, sederhana, tetapi menjadi bukti bahwa Ia mengasihiku. Ia selalu menjaga keselamatanku.

Pagi itu seperti biasanya, setelah mengantarkan istriku ke tempat kerjanya, aku menuju ke kantor tempatku bekerja. Jalanan yang mulai ramai dan bising, aku susuri memakai kendaraan roda dua dengan kecepatan sedang. Ketika hendak sampai di kantor, aku merasakan ada yang tidak beres dengan sepeda motorku. Dan, sesaat setelah tiba di kantor, aku menyempatkan diri untuk memeriksanya. Ternyata, ban belakang sepeda motorku bocor lagi. Aku harus buru-buru membawanya ke tukang tembal ban sebelum istirahat siang, begitu pikirku.

Karena berbagai kesibukan, aku baru sempat merealisasikan niatku itu bersamaan dengan waktu istirahat siang. Syukurlah, tempat tukang tambal ban, tidak begitu jauh dari kantorku sehingga aku tidak berlama-lama menuntun sepeda motorku yang sedang ’sakit’.

Setelah dicek bapak tukang tambal ban, terbukti bahwa ban dalam sepeda motorku sudah tidak layak lagi untuk dipakai. Selain karena banyak tambalannya, di beberapa bagian juga sudah kelihatan aus. ”Ini harus diganti dengan yang baru mas,” kata bapak tukang tambal ban itu. Aku hanya menggangguk karena merasa keputusan ini adalah yang terbaik.

Sembari menunggu bapak tukang tambal ban itu bekerja, ada sebuah kesadaran yang hinggap di benakku. Sebuah kesadaran yang menuntunku untuk mendaraskan syukur kepada Tuhan. Ternyata, lewat peristiwa kecil ini, Tuhan ingin menyapaku. Tangan kasihNya terulur menyelamatkan aku dari peristiwa lain yang mungkin saja terjadi dan berakibat fatal bagi diriku. Terlebih esok hari, bersama istriku, aku berencana pergi ke luar kota mengendarai sepeda motor untuk ’nyumbang’ ponakan yang akan dikhitan.

Tuhan,
aku bersyukur atas pemeliharaanmu hari ini
aku bersyukur karena Engkau senantiasa menyelamatkan aku
dan menjaga hidupku dari hal-hal yang buruk
aku sungguh bersyukur karena kasihMu selalu tercurah untukku

Tuhan,
jadikan aku lebih peka pada berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupku
jadikan aku lebih sabar dan semakin rendah hati
untuk mengetahui teguranMu, memahami kehendakMu,
dan menerima segala rencanaMu dengan penuh syukur

Jumat, 01 Juli 2011

10

Dalam deretan sepuluh angka pertama, 10 adalah angka yang paling besar. Pun bagi anak-anak yang masih duduk di bangku SD, SMP, maupun SMA, 10 adalah angka yang paling sempurna karena jika meraih angka tersebut, bisa dipastikan anak yang bersangkutan termasuk kategori ‘pintar’, yang mampu menyelesaikan soal ujian tanpa kesalahan sedikit pun.

Dan hari ini, 10 juga menjadi penanda hubungan kasih di antara kami. Aku dan istriku. Berbagai peristiwa kembali berkelebat di dalam benak. Saat kami saling mengucapkan janji sehidup semati, dalam untung dan malang, dalam susah dan senang, di depan altar suci, di hadapan Tuhan. Ketika kami dengan berurai air mata ‘sungkem’ pada orangtua yang telah membesarkan kami. Saat kami dengan senyum bahagia mendapatkan ucapan selamat dari sanak-saudara, handai taulan, sahabat, serta teman-teman. Dan ketika kami mulai mengarungi kehidupan baru sebagai suami istri dengan beragam persoalan dan peristiwa. Ahhh… semuanya berlalu begitu cepat…

Apa yang sudah kami dapatkan/terima dalam rentang waktu 10 tahun itu? Dipandang dari segi materi, kami masih biasa-biasa saja. Hanya keluarga yang sederhana. Saat ini pun, kami masih tinggal bersama dengan mertua (dari istri). Kami juga belum dikaruniai ‘momongan’. Namun di balik semua itu, kami sungguh merasakan kasih Tuhan senantiasa tercurah kepada kami. Ia memberi begitu banyak berkat dalam kehidupan kami.

Dengan belum adanya momongan, Tuhan memberi kami kesempatan untuk aktif berkegiatan di gereja. Menjadi pendamping bagi anak-anak dalam kegiatan Sekolah Minggu (PIA), mengelola majalah dan perpustakaan paroki dan ikut terlibat dalam mempersiapkan liturgi khususnya teks misa. Meski belum ada tangis bayi dalam rumah tangga kami, Tuhan juga telah memberikan orang-orang yang bisa kami cintai sepenuh hati. Keponakan-keponakan entah yang berasal dari kakak dan adik kami atau mereka yang dipertemukan dengan kami dalam kegiatan di gereja, adik-adik, dan banyak sahabat yang selalu menemani perjalanan kami. Sungguh, semua itu menjadi karunia yang terus kami syukuri.

Hari ini, tepat saat usia pernikahan kami yang ke-10, kami bersyukur karena Ia yang dahulu telah mempertemukan kami, selalu memelihara hubungan kami, menyuburkan kasih di antara kami sehingga dari hari ke hari, kasih itu semakin tumbuh dan berkembang menghasilkan buah-buah kebaikan. Dan kami selalu percaya, rencanaNya adalah yang terbaik dan terindah untuk kami.


nb: foto bersama 2 keponakan tersayang yang dipertemukan oleh Tuhan