tag:blogger.com,1999:blog-8890649379961005812024-03-05T18:15:50.576-08:00RuM@h_G03NBlog ini adalah blog pribadi untuk menuliskan informasi, keluh kesah, pemikiran, cerita, harapan dan cita-cita.
Semua boleh berpartisipasi baik komentar, kritik, maupun saran yang membangun demi kebaikan kita bersamaalbertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.comBlogger469125tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-75040483317035562532012-07-01T17:18:00.002-07:002012-07-01T17:18:58.496-07:00ButaSeorang lelaki tua berjalan tertatih-tatih. Tongkat panjang warna putih yang dipegangnya terus-menerus diketuk-ketukkannya. Tongkat itu seakan menjadi penanda bagi dirinya untuk mulai melangkah. Suara yang ditimbulkannya menjadi batas yang harus dilalui dengan sangat hati-hati karena lelaki tua itu buta.
Aku tertegun. Pandanganku seakan tak mau lepas pada sosoknya. Aku kagum, meski buta, ia terus berusaha melangkahkan kaki. Meski tak bisa melihat apa-apa, ia tidak mau menyerah dengan keadaan. Ia buta tapi tetap mampu menjadikan dirinya bisa “melihat”.
Bagaimana dengan aku? Meskipun dikaruniai mata yang sempurna, yang bisa melihat segala keindahan di sekitarku, aku malah seringkali membutakan diri. Contoh paling sederhana: aku masih suka melanggar peraturan lalu lintas. Merah yang seharusnya berhenti malah aku labrak dengan seenaknya tanpa perasaan malu. Aku pun tidak peduli dengan kebersihan di lingkunganku. Ada tempat sampah, eh… aku malah suka membuang sampah di sembarang tempat.
Terhadap sesamaku yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, aku juga pura-pura tidak melihat. Aku sering abai dengan mereka. Aku justru menghindar karena tidak ingin direcoki persoalan tentang mereka. Kalau toh peduli, kerapkali hanya formalitas belaka dan berhenti pada kata-kata indah yang tidak pernah menjadi kenyataan.
Aku juga belum mampu melihat kebaikan sesamaku. Buktinya, aku masih suka menyalahkan mereka tanpa alasan jelas. Aku sering menganggap bahwa diriku adalah orang paling baik dan paling sempurna yang harus dituruti segala ucapannya. Aku sering lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna di bumi ini. Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa manusia lain.
Aku bisa melihat tapi apa gunanya kalau hal itu tidak aku gunakan dengan baik? Bukankah itu sama artinya aku tidak bersyukur kepada Tuhan? Bukankah itu sama saja dengan menyia-nyiakan karunia-Nya?
Terima kasih, Pak. Keberadaanmu telah membuka mata hatiku.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-41335707817240543992012-06-04T04:26:00.001-07:002012-06-04T04:26:25.408-07:00Memaknai PeristiwaKemarin, kotaku diguyur hujan lebat. Selama hampir dua jam, ribuan jarum keperakan terus berjatuhan ke atas bumi. Menyebabkan genangan air dimana-mana. Membuat berbagai kendaraan yang melintas di jalan harus melambatkan kecepatannya dan ekstra waspada akibat pandangan yang mulai terhalang. Di beberapa titik, angin yang melintas bersama hujan juga menumbangkan pepohonan.
Salah satu pohon tumbang terjadi beberapa meter dari kantorku. Menimpa sebuah mobil yang sedang berhenti di lampu merah dan sebuah becak yang tengah mangkal menunggu penumpang. Tidak ada korban jiwa tetapi akibat kejadian itu abang tukang becak harus dilarikan ke rumah sakit karena luka yang cukup serius.
”Kasihan Pak Amat!” temanku tiba-tiba nyeletuk.
”Kenapa, Mas?” tanyaku keheranan.
”Pagi hari pas ketemu aku ia sempat mengeluh karena dompetnya hilang... Sudah dicari dan ditanyakan kemana-mana belum juga ketemu. Eeehhhh... siang harinya kok malah kejatuhan pohon. Kasihan kan?” terang temanku.
Aku terdiam mendengar penjelasannya. Memang kasihan Pak Amat; sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua kemalangan harus dialaminya dalam satu hari. Memikirkan itu, tiba-tiba sebuah tanya melintas dalam kepalaku: <b><i>apa maksud Tuhan dengan peristiwa ini?</i></b>
Setiap peristiwa di luar kemampuan manusia yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Ia yang merencanakan dan melakukannya. Tentunya di balik segala peristiwa ada hikmah yang yang bisa diambil, ada pelajaran yang bisa dipetik dan dimaknai untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Namun seringkali, manusia tidak bisa memahaminya. Ketika berbagai peristiwa yang tidak mengenakkan menimpa dirinya, manusia cenderung mengeluh, protes, dan mulai menyalahkan Tuhan. Sebaliknya saat mengalami peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi lupa diri dan bertindak <i>semau gue</i>. Manusia mulai melupakan Tuhan.
Sebenarnya hanya dua hal yang diinginkan Tuhan dari manusia; <b><i>selalu mengingatNya dan terus bersyukur dalam setiap peristiwa</i></b>. Ingat Tuhan menjadi tanda manusia yang sadar akan hakekatnya. Sadar bahwa keberadaannya di dunia ini adalah semata-mata karena anugerah Tuhan. Tuhanlah yang berkuasa. Tuhan yang menentukan. Setiap yang dilakukanNya adalah yang terbaik untuk kehidupan manusia. Untuk itu manusia hanya perlu bersyukur, bersyukur, bersyukur, dan terus bersyukur. Semoga kita mampu melakukannya.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-11785120345998216802012-06-01T16:16:00.003-07:002012-06-01T16:17:19.067-07:00Mereka Juga Perlu Disayang“Hai!” Sebuah suara mengagetkanku.
Aku celingukan berusaha mencari asal suara itu. Tapi, tidak ada seorangpun di dekatku.
“Hai, aku ada di depanmu.” Suara itu terdengar lagi.
Aku berusaha menajamkan mata. Di depanku? Bukankah hanya ada hamparan tanaman di hadapanku? Apakah?
“Mengapa engkau tidak mengenali suaraku? Aku di sini di hadapanmu. Aku tanaman soka berbunga kuning yang biasa engkau pandangi dan engkau elus tiap pagi,” terang suara itu.
Aku terperangah. Heran bercampur tidak percaya. Tanpa kedip aku pandangi tanaman soka berbunga kuning yang ada di hadapanku. Kucubit pipiku. Kukucak-kucak mata. Ahh… ini memang nyata. Aku tidak sedang bermimpi.
“Tidak usah heran sobat, aku dan kawan-kawanku di sini memang bisa berkata-kata seperti engkau. Hanya, bahasa kami memang berbeda. Dan karena itu, tidak semua orang bisa memahami kami,” jelasnya.
“Mengapa engkau mengajakku bicara. Apakah aku termasuk orang yang bisa memahamimu?” tanyaku masih dengan rasa tidak percaya.
Tanaman soka berbunga kuning itu bergoyang-goyang seolah-olah sedang tertawa. “Sobat, aku terkesan denganmu. Dulu, waktu pertama kali bertemu, saat engkau memegang tubuhku, aku sudah sangat ketakutan. Jangan-jangan, engkau akan mencabuti bunga-bungaku. Engkau akan merusak tubuhku. Tapi ternyata, engkau berbeda,” papar tanaman soka berbunga kuning itu sambil melambai-lambaikan rangkaian bunganya yang begitu indah.
Mendengar ucapannya, tiba-tiba berkelebat rangkaian kejadian beberapa hari lalu. Waktu itu aku usai jogging memutari taman kota yang yang terletak tidak jauh dari rumahku. Keringat yang bercucuran membuat tubuhku semakin bugar. Hembusan angin pagi pun seolah menambah kesegaran. Setelah mencuci kaki di kolam di tengah taman, aku menyandarkan tubuhku pada sebuah batu di pojok taman. Sambil beristirahat, aku memandang hamparan tanaman yang ada di hadapanku. Sejenak aku tertegun. Tanaman-tanaman itu begitu indah. Ada soka berbunga merah dan kuning, rumput-rumputan, bayam-bayaman dengan bunga warna coklat, dan masih banyak lagi.
“Ah, aku pengen memetik bunga soka warna kuning itu. Bunganya sungguh indah dan menarik hati,” kataku dalam hati. Segera kuayunkan tanganku menggapai bunga itu. Saat hendak menarik bunga itu dari tangkainya, tiba-tiba terdengar sebuah suara di sudut hatiku. “Mengapa kau harus memetiknya. Bukankah lebih indah bila ia tetap ada di sana. Lagi pula setelah kaupetik, keindahan bunganya hanya dapat dinikmati sebentar saja dan setelah itu pasti akan terbuang percuma,” terang suara itu.
Buru-buru kuurungkan niatku. Tangan yang sudah terulur selanjutnya aku gunakan untuk membelai bunga itu.
“Sobat, aku tidak berbeda dengan yang lain. Dulu, aku memang pernah ingin memetikmu,” akuku dengan jujur.
Tanaman soka berbunga kuning itu kembali bergoyang-goyang. “Tidak mengapa. Aku suka dengan kejujuranmu,” katanya perlahan. “Ketahuilah, aku dan teman-temanku juga butuh disayang. Meski kami kecil dan tidak pernah protes, rasanya sakit sekali jika melihat ada manusia yang menyia-nyiakan kami begitu saja,” tambahnya.
Aku mengangguk-angguk. Ya, mereka juga ciptaan Tuhan sama seperti kita. <i>Kalau kita butuh disayang, mereka juga perlu disayang. </i>albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-11808276608051040632012-05-29T03:46:00.000-07:002012-05-29T03:47:23.615-07:00Wajah-Wajah Malaikat<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLds0WdJ6gmO7POM4Wry_J1jA-g-3_qPwfwqTVQ0o58VNhuTL0uWSPeKBS7PqYFwrfv_YRDvS5fC_CxTPT2b-l7Jhl3XZsU0FT1yDSnoMSGZdcXuuv7xbXdOe5bgwPh_LnaXbruWrznESg/s1600/IMG_9317.JPG" imageanchor="1" style="margin-left:1em; margin-right:1em"><img border="0" height="213" width="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiLds0WdJ6gmO7POM4Wry_J1jA-g-3_qPwfwqTVQ0o58VNhuTL0uWSPeKBS7PqYFwrfv_YRDvS5fC_CxTPT2b-l7Jhl3XZsU0FT1yDSnoMSGZdcXuuv7xbXdOe5bgwPh_LnaXbruWrznESg/s320/IMG_9317.JPG" /></a></div>
Minggu selalu menjadi hari yang menyenangkan. Setelah sepekan tenggelam dalam kesibukan kerja, Minggu menjadi hari yang paling ditunggu untuk rehat sejenak, memulihkan kembali stamina, dan memupuk semangat untuk hari-hari berikutnya. Tak terkecuali bagiku. Mingguku adalah kegembiraan. Mingguku menjadi hari yang dipenuhi kebahagiaan karena inilah waktu untuk bertemu dengan wajah-wajah malaikat.
Mungkin ada yang bertanya, siapa mereka? Mereka adalah anak-anak yang seringkali hadir dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (sekolah minggu). Memang, aku tidak terlibat langsung mendampingi mereka. Aku hanya menjadi pengamat, kadang memberi sedikit bantuan atau sesekali mencatat dan mengabadikan tingkah polah mereka melalui kamera yang aku bawa. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk merasakan kegembiraan yang terpancar dari wajah-wajah mereka.
Wajah-wajah yang polos, penuh dengan keceriaan. Wajah-wajah tanpa prasangka dan rasa curiga. Wajah-wajah yang dipenuhi kasih.
Kadang, mereka saling bersitegang karena menginginkan atau memperebutkan sesuatu. Kadang ada juga yang menangis karena ditinggal orangtuanya mengikuti misa. Ada yang nampak cuek, asyik dengan dirinya sendiri tanpa memperhatikan teman di sekelilingnya. Ada yang aktif bertanya dan ada pula yang hanya diam saja sambil terus memperhatikan yang lain. Mereka berbeda tapi saling menyatu dalam kebersamaan yang begitu indah.
Wajah-wajah malaikat… ahh… inilah seharusnya yang terus kita miliki dan tampilkan dalam keseharian. Namun realitas yang ada, wajah-wajah kita seringkali hanyalah wajah-wajah yang suntuk, lelah, penuh beban, memancarkan kesedihan, dan tak jarang pula penuh dengan keputusasaan. Semua disebabkan karena berbagai masalah yang terus menguntit mulai dari soal ekonomi, pekerjaan, karir, masalah keluarga, pendidikan, jodoh, masa depan, dan masih banyak lagi.
Bagaimanapun masalah memang akan selalu ada selama kita hidup di dunia ini. Masalah adalah batu ujian bagi kita untuk mencapai kehidupan yang lebih bernilai. Masalah menjadi tanda kasih Tuhan yang tidak berkesudahan.
Tuhan tidak akan pernah memberikan masalah yang tidak dapat ditangani umat-Nya. Melalui masalah, Ia hanya ingin menyadarkan kita bahwa Ia ada di samping kita. Ia selalu mengulurkan tangan saat kita jatuh dan tenggelam dalam masalah. Ia akan merengkuh kita, menopang dan menolong, serta memberikan jalan terbaik. Sudahkan kita menyadarinya?
Maka, mari kita benahi wajah kita agar kembali menjadi wajah-wajah malaikat. Bukan hanya untuk pura-pura tetapi didasari oleh kesungguhan, ketulusan, dan kemurnian hati yang dipenuhi oleh cinta-Nya. Semoga.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-2255092262671472712012-05-27T07:11:00.001-07:002012-05-27T07:14:26.879-07:00Siapa Mau Peduli?Di sebuah jalan tanah yang tidak begitu lebar, onggokan sampah berserakan. Sampah plastik, bungkus rokok, limbah rumah tangga, bercampur menjadi satu. Sampah-sampah itu berasal dari tempat sampah bobrok di pinggir jalan.
Tak berapa lama seorang pemuda melalui jalan itu. “Waduh, siapa sih yang kurang kerjaan ini. Bikin kotor saja!” guman pemuda itu sambil terus berlalu. Orang kedua yang melewati jalan itu berlaku sama. Ia hanya berhenti sesaat, menutup hidungnya dan berlalu. Orang ketiga apalagi. Dengan cuek, ia terus memacu sepeda motornya. Akhirnya, datanglah seorang nenek tua. Jalannya tertatih-tatih. Meski demikian pandangan matanya masih amat baik. Ia melihat onggokan sampah itu. Beberapa detik kemudian, tangannya dengan cekatan mengumpulkan sampah-sampah itu dan menaruhnya kembali di tempat seharusnya.
Barangkali, apa yang dilakukan nenek itu adalah sesuatu yang amat langka saat ini. Kebanyakan orang lebih memilih untuk cuek dan tidak peduli. <i>Itu kan bukan urusan gue… Ah, ngapain repot-repot kan udah ada tukang sampah… Uhh, nggak penting banget ngurusin yang begituan, udah bau, bikin tangan jadi kotor lagi</i>.
Semestinya, sampah adalah urusan kita semua karena kitalah yang menjadi penyumbang dan penghasil sampah paling besar di muka bumi ini.
Oleh karena itu, mulai saat ini kita harus peduli dengan sampah. Jangan mau enaknya sendiri, setelah makan ini itu, menikmati ini itu, lalu buang sampah seenaknya. Lingkungan yang tadinya bersih, jadi kotor karena ulah kita.
Satu hal yang perlu diingat, kalau kita nggak mau peduli dengan lingkungan, pasti lingkungan juga nggak akan peduli dengan kita?
Nah, siapa yang mau peduli?albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-45124464083836021302012-05-25T03:35:00.003-07:002012-05-25T03:35:37.324-07:00MatiDesa Sumber Urip geger. Pak Jayus, orang paling kaya di desa itu yang terkenal amat dermawan tiba-tiba mati. Tentu saja berita ini membuat banyak orang kaget, heran, dan tidak percaya. Pasalnya, Pak Jayus juga dikenal sebagai orang yang gemar berolahraga. Tiap pagi, ia selalu jalan kaki berkeliling desa sambil ditemani Molly, anjing herder kesayangannya.
“Wah, Kang, sampeyan pasti mengada-ada. La wong tadi pagi saya ketemu dan ngobrol dengan Pak Jayus dan dia kelihatan baik-baik saja kok,” ujar Yu Surti, penjual bubur langganan Pak Jayus, tak percaya.
“Hehehe… berita bener kok dibilang bohong. Ceritanya begini, tadi sehabis jalan-jalan Pak Jayus sempat mampir di warung Kang Sarto. Saat asyik ngobrol, ia mengeluhkan dadanya yang tiba-tiba sakit. Tak berapa lama Pak Jayus malah pingsan. Tentu saja orang-orang di warung kebingungan. Untunglah ada Pak Dio yang cepat tanggap. Ia bersama beberapa orang segera menggotong Pak Jayus dan membawanya ke puskesmas. Tapi ternyata semuanya sudah terlambat. Pak Jayus mati tepat saat tiba di puskesmas,” jelas Kang Slamet panjang lebar.
Peristiwa kematian memang seringkali tidak terduga. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, kepada siapa saja, dan lewat peristiwa apa saja. Saat Sang Empunya Kehidupan sudah memutuskan maka tidak ada seorang pun yang dapat menolak.
Membahas lebih lanjut tentang kematian atau mati, ada fenomena yang bisa dibilang teramat ganjil. Aneh karena sebenarnya hidup tapi ‘mati’, ‘mati’ namun hidup. Mati dalam hal fisik dan mati rohani. Fenomena ini banyak terjadi di sekitar kita. Ngakunya bisa melihat tapi ternyata suka melanggar rambu-rambu lalulintas. Buang sampah bukan di tempatnya. Sudah kaya tapi masih suka melakukan korupsi. Suka main kekerasan tanpa alasan jelas. Bapak perkosa anak. Anak matiin bapak atau ibu. Ibu gorok leher kedua anaknya hingga tewas. Suami bunuh istri dan memutilasi tubuhnya menjadi beberapa bagian. Dan masih banyak lagi.
Pendek kata, banyak orang yang sudah berubah menjadi zombie. Hidup tapi tidak benar-benar hidup alias ‘mati’ karena sudah tidak memiliki perasaan dan hati. Apakah kita mau terus berlaku seperti itu? Tentu tidak. Mumpung masih diberi kesempatan, ayo kita segera bangun untuk kembali menajamkan nurani. Agar hidup yang singkat ini menjadi berarti dan mendatangkan banyak berkat. Bagi Tuhan, sesama, dan diri sendiri.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-84817061718139440592012-05-23T05:14:00.000-07:002012-05-25T03:36:09.825-07:00MendengarkanSuatu hari, mulut protes kepada Tuhan, “Mengapa Engkau berbuat tidak adil padaku?”
Tuhan kaget. Dipandanginya mulut dengan wajah penuh kasih. “Mengapa engkau berkata demikian. Apa yang telah kulakukan padamu?”
“Lihatlah aku. Aku kesepian karena aku hanya hidup sendiri. Aku iri dengan telinga. Ia memiliki pasangan yang bisa diajak ‘curhat’ dan bekerja sama!” seru mulut dengan lantang.
Tuhan hanya tersenyum. “Anak-Ku, engkau telah salah menilai maksud-Ku. Ketahuilah, Aku menciptakanmu sendiri karena Aku ingin engkau lebih banyak diam daripada berbicara. Aku ingin engkau bisa lebih mendengarkan dengan kedua telingamu daripada memuaskan mulutmu yang penuh ego.”albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-73445149027678630892012-05-21T03:31:00.000-07:002012-05-25T03:37:03.390-07:00Terima Kasih<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh02xvsIyvheoq48JYdH2njggGHjY-Ocbc8XJv_Cd8nf2oCXcdYaN7l4aQc7QXTXYc_jmt0jysnxQgCoWLE3OuoZENjXgE8T86rCoCkFTb2dpwAmzV3jSEmDb_tsk9-vQzhNzR6H4AhyDib/s1600/goen1.jpg" imageanchor="1" style="clear:left; float:left;margin-right:1em; margin-bottom:1em"><img border="0" height="320" width="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh02xvsIyvheoq48JYdH2njggGHjY-Ocbc8XJv_Cd8nf2oCXcdYaN7l4aQc7QXTXYc_jmt0jysnxQgCoWLE3OuoZENjXgE8T86rCoCkFTb2dpwAmzV3jSEmDb_tsk9-vQzhNzR6H4AhyDib/s320/goen1.jpg" /></a></div>
Beberapa hari lalu, saat dalam perjalanan menuju ke Wonogiri, aku bersama beberapa rekan pendamping Pendampingan Iman Anak (PIA) Gereja Katedral menyempatkan mampir di sebuah warung makan. Siang yang panas plus perut yang keroncongan, membuat kami begitu lahap menikmati menu yang kami pilih.
Usai menyelesaikan santap siang, aku mengedarkan pandangan, menelisik setiap jengkal warung untuk melihat-lihat barangkali ada sejumput inspirasi yang bisa aku gunakan sebagai ide tulisan. Ada satu yang menarik perhatianku. Di halaman, tepatnya di pojok dekat pintu warung, seorang pengamen tua dengan rambut dan kumis yang sudah memutih, sedang beraksi. Jari-jari tangannya begitu lincah memetik senar demi senar pada alat musiknya sambil melantunkan sebuah lagu. Di depannya, sebuah topi lusuh dipasang terbalik, menunggu lembaran rupiah dari para pengunjung yang datang ke warung.
Setiap kali ada pengunjung yang memasukkan uang ke dalam topi itu, si pengamen menghentikan sejenak lagunya, lalu dengan sikap penuh hormat, keluar kata-kata dari mulutnya: <i>“matur nuwun”</i> (terima kasih).
Tiba-tiba, aku teringat dengan pengalaman yang terjadi setiap Jumat di kantorku. Hari Jumat adalah harinya para pengamen dan pengemis. Di hari itu, kasir harus menyediakan uang receh untuk para pengamen dan pengemis yang datang. Kebanyakan dari mereka mau menerima uang yang diberikan tapi hanya sedikit yang mengucapkan terima kasih.
Kiranya hal ini bukan saja dilakukan oleh para pengamen dan pengemis yang datang di kantorku karena kita pun <i>“sami mawon”</i> (sama saja). Lidah kita seringkali kelu saat dipaksa untuk mengucapkan terima kasih. Kita sering lupa mengatakannya padahal kita sudah mendapat begitu banyak kebaikan. Entah dari Tuhan maupun sesama.
Maka, seperti pengamen tua di warung itu, marilah kita biasakan diri untuk mengucapkan terima kasih. Terima kasih yang dikatakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan. Terima kasih untuk hidup yang sudah dikaruniakan-Nya. Terima kasih karena kita sudah diberi kesehatan sehingga mampu bekerja dengan baik. Terima kasih kepada istri atau suami yang setia menemani kita. Terima kasih untuk anak-anak yang mencintai kita apa adanya. Terima kasih kepada para tetangga yang memperhatikan kita dan menjadi orang pertama selain keluarga yang rela membantu saat kita dalam kesulitan. Terima kasih kepada bapak-bapak polisi yang mengatur lalu lintas sehingga perjalanan kita menjadi lancar. Terima kasih untuk rekan kerja di kantor yang membantu kita menyelesaikan pekerjaan. Terima kasih untuk pramuniaga toko atas keramahan dan pelayanannya yang begitu baik. Terima kasih kepada tukang sampah yang telah membersihkan lingkungan kita. Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-61224941728436555682012-05-13T17:23:00.001-07:002012-05-25T03:38:00.016-07:00PensilSeorang anak sedang menggambar. Dengan pensil di tangannya, ia membuat gunung. Di atas gunung, ia membentuk sebuah bulatan yang tidak begitu besar dengan garis-garis kecil mengelilingi bulatan itu. Rupanya itu adalah gambar matahari. Lalu di bawah gunung, ia menggambar sawah yang membentang luas. Di sawah itu, ia meletakkan hamparan padi dengan para petaninya.
Beberapa saat, ia memandangi hasil pekerjaannya yang hampir rampung. Ahh… rupanya masih ada yang kurang di sudut itu, gumannya. Ia segera mengayunkan pensilnya. Tiba-tiba ia berhenti. Pensilnya sudah tumpul. Dengan sigap, diraihnya rautan yang tergeletak di sampingnya. Sret… sret… sret… berkat rautan itu, pensilnya kembali tajam.
Kita adalah pensil itu. Pensil yang digunakan Tuhan untuk menggambarkan karya-karya-Nya. Mungkin kita akan heran dan protes karena gerakan tangan-Nya tidak bisa diduga. Kadang ketika kita ingin menggambar matahari, Ia malah membuat gunung. Saat kita ingin membuat coretan yang kita sendiri tidak tahu maknanya, Ia justru membuat goresan yang penuh arti. Mungkin pula kita akan merasa begitu kesakitan karena Ia tidak segan-segan meraut kita dengan kasih-Nya. Semua itu dilakukan-Nya dengan penuh cinta. Cinta yang tidak berkesudahan. Cinta yang tidak pernah kering. Cinta yang begitu meluap-luap. Untuk kita pensil kesayangan-Nya.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-79867686683591305622012-05-11T17:11:00.001-07:002012-05-25T03:38:19.823-07:00CerminTiap orang pasti memiliki cermin. Ada yang bentuknya bulat, persegi panjang, lonjong alias oval. Ada yang besar banget seukuran lemari, ukuran normal, atau kecil hingga bisa dimasukkan dalam dompet. Ada yang bentuknya biasa-biasa saja sampai yang tidak biasa karena penuh dengan ukiran-ukiran indah di pinggir-pinggirnya.
Dengan cermin kita biasa mematut diri. Berlenggak-lenggok bak penari untuk melihat apakah busana yang dikenakan sudah berpadu padan dengan serasi, merias wajah biar tambah cantik, menyisir rambut agar tidak awut-awutan atau hanya untuk sekedar memandangi wajah sambil memencet jerawat yang mulai banyak bermunculan. Intinya, dengan cermin membuat kita jadi pedhe karena ‘merasa’ sudah mempersiapkan penampilan sebaik mungkin sebelum bertemu dengan orang lain atau menghadiri acara tertentu.
Sebenarnya, kita juga adalah cermin. Tiap langkah laku kita entah itu kata-kata atau perbuatan menjadi contoh dan memberi pengaruh bagi orang lain serta diri sendiri. Hal yang baik akan memberikan efek kebaikan. Pun sebaliknya, keburukan akan menimbulkan akibat buruk.
Maka, sepatutnya kita selalu mawas diri. Apakah ucapanku sudah memberi berkat untuk orang lain? Apakah yang aku lakukan tidak merugikan orang lain? Apakah segala tindakanku bisa menjadi contoh kebaikan bagi sesamaku?
Semoga saja kita mampu melakukan yang terbaik sehingga cermin dalam diri kita selalu berkilau dan membuat orang lain terpesona sehingga mereka dengan rela hati menjadikan kita sebagai standar yang harus ditiru. Mau?albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-42736639275536506892012-05-09T17:14:00.003-07:002012-05-25T03:38:41.377-07:00Si Kaki SeribuSeekor Kaki Seribu menarik perhatianku. Tubuhnya kecoklatan dengan garis-garis melintang yang tersusun rapi. Kaki-kakinya yang begitu banyak berderet rapi di samping kiri dan kanan tubuhnya. Ahh… indah sekali. Apalagi kalau kaki-kaki itu mulai berjalan. Terlihat seperti gulungan ombak yang tengah berkejaran di pantai. Elok dan sedap dipandang. Terpikir olehku, bagaimana ya seandainya kaki-kaki di belakang tiba-tiba ngambek dan tak mau berjalan gara-gara pengen pindah ke depan tapi ditolak atau kaki-kaki di depan ndak mau melanjutkan perjalanan karena capek sementara kaki di belakang terus menuntut untuk maju? Ah… pertanyaan konyol. Tentu saja Si Kaki Seribu tidak akan bisa berjalan. Ia pasti hanya berputar-putar di tempatnya.
Gambaran ini kiranya sangat pas dengan kehidupan di sekitar kita. Ada yang berposisi sebagai pemimpin atau dipercaya untuk memimpin karena kecakapan dan kepandaiannya. Pun ada yang merasa tidak punya kemampuan sehingga hanya ada di belakang dan dipimpin oleh orang lain. Ketika pemimpin punya agenda sendiri tanpa mempedulikan keinginan yang dipimpin atau ketika orang-orang yang dipimpin merasa muak dan tidak lagi sepakat dengan sang pemimpin tentu akibatnya akan runyam. Masing-masing pihak akan mencari jalannya sendiri-sendiri. Dan bisa ditebak, keadaan pasti akan bertambah buruk. Bukan kemajuan yang diperoleh tapi kemunduran.
Semestinya, sang pemimpin dan orang yang dipimpin harus selalu menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Saling menghormati dan menghargai posisi masing-masing. Bisa dipercaya dan menjalankan amanat dengan baik. Sang pemimpin tidak akan pernah disebut pemimpin jika tidak ada orang yang dipimpin. Sebaliknya orang-orang yang dipimpin tidak akan pernah ada jika semua menjadi pemimpin.
Ahh… Si Kaki Seribu yang kecil dan lemah itu ternyata telah mengajarkan sebuah kebijaksanaan.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-9929486403380428732011-11-14T07:03:00.000-08:002011-11-14T07:05:03.962-08:00Cerita Si RumputAku adalah sebatang rumput. Aku tumbuh bergerombol dengan saudara-saudaraku di sebuah taman kota. Di sana tumbuh juga sahabat-sahabatku. Keluarga cemara, keluarga soka, keluarga bougenvill, keluarga palem, keluarga kamboja berbunga kuning, keluarga teh-tehan, dan masih banyak lagi. Selain itu, di tengah taman, ada sebuah kolam berbentuk lingkaran yang di salah satu sudutnya berdiri tatanan bebatuan yang tinggi menjulang. Benda itu adalah tugu peringatan yang didirikan untuk memperingati peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di kota. Di puncak tugu terdapat lampu-lampu yang terus menyala ketika malam tiba. <br /><br />Dahulu, taman tempatku tinggal adalah sebuah taman yang sunyi. Jauh dari keramaian. Hanya ada satu dua orang yang berkunjung. Sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja atau menikmati udara malam sambil melihat lampu-lampu kendaraan yang tengah melintas memutari taman. <br /><br />Tapi kesunyian itu perlahan sirna. Tepatnya semenjak deretan air mancur di kolam itu berfungsi kembali. Semburan airnya bahkan kini terlihat lebih tinggi. Menimbulkan suara gemuruh ketika tetes-tetes airnya kembali menyentuh permukaan kolam. Sering, hembusan angin menerbangkan butiran-butiran air hingga jatuh di atas tubuhku. Uhh… segarnyaa... Selain itu, di beberapa sudut taman juga ditambah dengan lampu-lampu yang cukup artistik. Juga didatangkan beberapa keluarga baru untuk menghuni taman. Ada yang berdaun merah, berbunga putih bersih, bunga-bunga aneka warna, dan kelompok paku-pakuan.<br /><br />Orang-orang pun mulai berdatangan. Terus dan terus. Hingga tiap malam tamanku terasa sesak. Apalagi jika malam minggu tiba. Mereka ada yang datang bergerombol, berpasang-pasangan, atau hanya sendiri. Biasanya, mereka akan melakukan berbagai aktifitas. Ada yang asyik bercengkerama bersama keluarga, berkejar-kejaran tak tentu arah, berjalan memutari taman sambil ngobrol ngalor ngidul, bermain bola, bermain sepeda, tidur-tiduran, saling memoto dengan aneka gaya, dan memadu kasih.<br /><br />Jujur, sebenarnya aku gembira tempat tinggalku menjadi ramai. Tapi di sisi lain aku sangat sedih. Ternyata mereka kurang peduli dengan keberadaan taman. Terlebih dengan aku dan saudara-saudaraku. Meski sudah disediakan tempat tersendiri dan papan peringatan: <span style="font-weight:bold;">TIDAK BOLEH MENGINJAK RUMPUT</span>, mereka tetap bandel. Mereka malah asyik menginjak-injak, meniduri, bahkan mengobrak-abrik kami dengan segala hal yang mereka lakukan. Mereka juga tak segan-segan mengotori badan kami dengan aneka sampah.<br /><br />Menurut cerita yang pernah aku dengar dari sekawanan burung yang hinggap di keluarga cemara, kelakuan mereka itu memang sebagian besar seperti itu. <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">TIDAK PEDULI</span></span>. Mereka bisa seenaknya membuang sampah di sembarang tempat padahal sudah ada tempat khusus yang disediakan. Mereka tanpa malu-malu melanggar tanda-tanda peringatan dan peraturan lalu lintas tanpa memperhatikan keselamatan sesamanya. Mereka lebih peduli dengan kepentingannya sendiri bukan yang lain. Anehnya, mereka juga tak segan-segan memangsa sesamanya hanya demi kepuasan, melindungi kepentingannya, atau sekedar untuk berebut harta dan kekuasaan.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Ahh... sebenarnya mereka itu makhluk seperti apa? </span>albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com11tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-39515388853936360822011-11-09T03:16:00.000-08:002011-11-09T03:17:47.885-08:00Saat IniSuatu ketika, seorang anak bertanya kepada ayahnya, ”Bisakah aku tidak melakukan kesalahan dalam waktu satu tahun, Yah?”<br /><br />Sang ayah keheranan mendapat pertanyaan seperti itu. Dipandangnya wajah anaknya. Di sana terpancar sebuah kesungguhan. ”Satu tahun itu tidak sebentar, Nak. Ada 365 hari yang berjalan di dalamnya. Rasanya engkau tidak akan mungkin melakukannya,” jawab ayahnya.<br /><br />”Bagaimana kalau satu bulan, Yah. Bisakah aku melakukannya?” Si anak mencoba menawar.<br /><br />”Itu juga tidak mungkin, Nak. Satu bulan masih terlalu lama,” geleng sang ayah.<br /><br />”Bagaimana kalau satu minggu?” kejar anaknya.<br /><br />”Ada tujuh hari dalam satu minggu. Dalam waktu selama itu ada banyak hal yang bisa terjadi. Engkau tidak mungkin bisa melakukannya.” <br /><br />”Bagaimana kalau satu hari. Apakah kali ini aku bisa melakukannya?” Si anak belum putus asa.<br /><br />”Belum, Nak. Satu hari ada 24 jam. Segala hal juga bisa terjadi dalam rentang waktu selama itu.”<br /><br />Sesaat sang anak terdiam. Ia mencoba berpikir keras. ”Bagaimana kalau satu jam, Yah. Apakah aku bisa melakukannya?” kejarnya lagi.<br /><br />”Itu juga tidak mungkin, Nak.” <br /><br />”Satu menit,Yah?”<br /><br />Sang ayah kembali menggeleng.<br /><br />”Kalau begitu, apakah aku bisa melakukannya dalam waktu satu detik saja?” <br /><br />Kali ini sang ayah tersenyum. ”Kalau satu detik, mungkin kau bisa melakukannya, Nak!” tegasnya kemudian.<br /><br />”Oke, Yah, mulai saat ini aku akan hidup dari detik ke detik,” pungkas anaknya dengan mimik serius.<br /><br />Sering dalam kehidupan ini, kita berpikir jauh ke depan, tentang apa yang terjadi dan apa yang akan kita lakukan nanti. Padahal, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok. Kita tidak bisa memastikan apakah esok kita masih diberi kesehatan, masih bisa bekerja dengan baik, masih dapat bertemu dengan orang-orang yang kita cintai, masih diberi kehidupan. Sungguh, kita tidak akan pernah tahu.<br /><br />Hidup bukanlah nanti tapi saat ini, detik ini. Oleh karena itu, seperti sang anak, marilah kita hayati hidup dari detik ke detik dengan ucapan syukur. Bersyukur karena kita masih diberi kehidupan dan bisa menikmatinya dengan baik. <span style="font-style:italic;">Saat ini</span>.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-12480480100535688832011-11-06T06:43:00.000-08:002011-11-06T06:45:40.966-08:00Berbeda Itu...<span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Berbeda itu indah</span><span style="font-weight:bold;"></span></span>. Enggak percaya? Coba letakkan dua buah aquarium di atas meja yang berbeda. Isi kedua aquarium itu dengan air hingga hampir penuh. Pada aquarium pertama masukkan satu jenis ikan sedangkan pada aquarium kedua beberapa jenis ikan. Ada yang pipih panjang, bulat, oval, berwarna merah, kuning, hitam. Tambahkan pula dua genggam pasir berwarna putih serta tanaman air. Lalu setelah semuanya beres, pandangi kedua aquarium itu, mana yang lebih menarik? Tentu kita akan sepakat bahwa aquarium kedualah yang lebih indah.<br /><br />Contoh lain, coba amati padang luas yang hanya ditumbuhi rumput. Bandingkan dengan taman yang berisi beraneka jenis tanaman. Ada yang berdaun merah, kuning, hijau pupus, hijau tua, mengeluarkan warna-warni bunga. Diantara tanaman-tanaman itu ada gemericik air yang keluar dari bebatuan beragam ukuran yang tertata dengan rapi. Lalu ditambah pula dengan lampu hias yang terpasang di sekeliling taman. Duhh... betapa taman itu terlihat lebih semarak dan menyegarkan mata, lebih berkesan, dan tentunya lebih indah bila dibandingkan dengan padang luas yang hanya terisi rumput.<br /><br /><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Berbeda itu berani</span><span style="font-weight:bold;"></span></span>. Berani bersikap, bertindak, dan bertutur kata sesuai dengan hati nurani. Sejalan dengan kebenaran yang berasal dari Tuhan. Ketika banyak orang melakukan korupsi dan aneka manipulasi di banyak tempat dan pekerjaan, orang yang berbeda memilih untuk teguh memperjuangkan kejujuran. Ketika beragam kekerasan cenderung semakin membudaya dalam kehidupan sehari-hari, orang yang berbeda tetap setia melakukan tindakan yang berlandaskan kasih. Ia terus memelihara kasih itu dan membagikannya kepada setiap orang tanpa memandang perbedaan. Saat teman-teman di kantor sibuk main game pada jam kerja, orang yang berbeda justru bekerja dengan tekun. Waktu banyak orang berlomba-lomba menerobos lampu merah, orang yang berbeda enggan melakukannya, ada atau tidak ada polisi yang sedang bertugas, karena hal itu sama artinya dengan melanggar hukum. Ketika banyak orang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan dan membuang sampah sembarangan, orang yang berbeda berani peduli terhadap sampah yang membuat lingkungannya menjadi kotor. Ia dengan sigap mengambil sampah-sampah itu dan membuangnya ke tempat yang seharusnya. <br /> <br />Pertanyaannya, <span style="font-weight:bold;">apakah kita berani menjadi berbeda, atau justru lebih memilih ikut arus, hanyut, dan tenggelam di dalamnya?</span> <span style="font-style:italic;">Semoga saja kita mampu memilih yang benar karena hidup ini terlalu singkat. Sia-sia saja jika kita hanya mengisinya dengan hal-hal yang jauh dari kebenaran</span>.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-28105315327458029032011-09-16T16:59:00.000-07:002011-09-16T17:02:33.856-07:00Menjadi Malaikat Yukk...Barangkali Anda akan tertawa membaca kalimat di atas. Menjadi Malaikat? Malaikat seperti apa? Hehehe... mungkin di benak kita akan langsung terbayang sosok berwajah rupawan, berpakaian putih bersih, dan mempunyai sayap. Ia seringkali disebut dalam kitab suci, muncul dalam acara visualisasi natal atau paskah, dan dalam cerita-cerita rohani. Lalu, adakah malaikat di dunia ini?<br /><br />Tentu saja ada. Tapi jangan dibayangkan malaikat yang ada di dunia ini seperti gambaran umum itu. Sebab ia adalah manusia biasa seperti kita. Manusia yang hatinya seperti malaikat. Bagaimana caranya? <br /><br />Manusia berhati malaikat adalah manusia yang tidak egois. Ia lebih mementingkan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Suka memberi pertolongan. Ramah pada siapa saja baik yang sudah dikenal maupun tidak. Ia memiliki kasih yang berlimpah. Ikhlas memberi maaf sekaligus mau meminta maaf jika melakukan kesalahan dan bersedia memperbaikinya..<br /><br />Sulit? Ahh... mungkin iya tapi pastinya semua bisa dicoba dan dilakukan kalau mau sungguh-sungguh. Apalagi kalau hal itu dilandasi dengan sikap penuh syukur. Syukur atas kehidupan yang sudah kita terima. Syukur karena kita sudah dicintai terlebih dahulu. Bukan dari hal-hal besar tapi mulai dari hal-hal yang sederhana. Mengucapkan terima kasih saat orang lain memberi bantuan kepada kita, apa pun itu. Tersenyum ramah dan memberi sapaan pada orang-orang yang kita temui sehari-hari. Mendengarkan sepenuh hati saat kawan atau sahabat kita <span style="font-style:italic;">’curhat’</span>. Jujur dalam setiap kata maupun tindakan. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Nah, maukah Anda menjadi malaikat? </span>albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-31584164472244788172011-08-30T14:16:00.000-07:002011-08-30T14:17:30.252-07:00Lakukanlah Dengan CintaKata-kata ini begitu saja muncul di dalam hatiku. Mengembara dalam relung jiwaku dan tidak mau hilang dalam ingatanku. Terus menggoda, terus bertumbuh, dan membuatku terus memikirkannya.
<br />
<br />Barangkali, inilah yang aku butuhkan selama ini. Melakukan segala sesuatu dengan penuh cinta. Cinta yang tulus. Cinta yang memberi. Cinta yang mampu menghargai perbedaan. Cinta yang memahami. Cinta yang memberi kekuatan dalam setiap cobaan, hambatan, serta aral melintang yang menghadang. Cinta yang memberi kesadaran bahwa di atas segalanya, ada Dia sang Mahacinta yang sudah terlebih dahulu memberikan cintaNya untukku.
<br />
<br /><span style="font-style:italic;">Lakukanlah dengan cinta. Bukan dengan keterpaksaan. Bukan karena kewajiban. Bukan karena ingin mendapatkan penghargaan atau pujian dari orang lain. </span>
<br />albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-34344743430666157452011-08-26T09:46:00.000-07:002011-08-26T09:48:04.289-07:00SetiaUntuk setia itu sangat tidak mudah. Akan ada banyak godaan dan rintangan saat kita hendak melakukannya. <span style="font-style:italic;">Setia kepada kebenaran. Setia untuk melakukan hal-hal yang baik. Setia kepada Tuhan.</span>
<br />
<br />Contohnya aku. Sejak akhir bulan lalu, aku telah menuliskan 5 hal yang ingin aku lakukan mulai bulan Agustus ini. Lima hal itu kemudian aku print dalam selembar kertas folio dan aku tempel di dinding kamar tidurku. Aku berharap, saat aku hendak tidur dan bangun tidur keesokan harinya, aku (selalu) diingatkan akan komitmen itu.
<br />
<br />Beberapa hari aku memang mematuhinya. Tapi mulai hari kesekian, aku merasa berat. Seolah ada beban yang menghimpit pundakku dan memaksaku untuk berhenti. Kembali kepada kebiasaan lama dan tidak lagi setia pada komitmen itu.
<br />
<br />Sungguh, aku sangat lemah. Aku begitu mudah jatuh di dalam godaan. Aku kalah oleh bujukan setan yang terus-menerus mengajakku untuk tidak setia. Namun, <span style="font-style:italic;">Ia selalu setia untukku</span>. Ia tidak pernah memarahi aku ketika aku jatuh dan tidak setia. Malahan, kasihNya yang tanpa batas selalu tercurah kepadaku, merengkuhku, dan mengajakku kembali kepadaNya. Ia selalu memberi kesempatan, kesempatan, dan kesempatan. Ia tidak pernah lelah menungguku.
<br />
<br />Ah... semua memang tidak akan pernah berlangsung secara instan. <span style="font-style:italic;">Selalu ada proses yang harus dijalani</span>. Termasuk untuk setia. Dan dalam seluruh proses itu, tidak penting berapa kali kita terjatuh. Berapa kali kita kalah oleh godaan. Sebab yang lebih utama adalah saat-saat dimana kita bangkit dari hal tersebut. Saat-saat dimana kita kembali lagi kepadaNya dengan penuh kesadaran dan niat yang baru.
<br />
<br />Untuk itu, hanya ucap syukur yang selalu aku lambungkan kepadaMu. <span style="font-style:italic;">Syukur atas segala anugerah. Syukur atas berbagai kesempatan. Syukur karena Engkau selalu setia menjagaku, manusia yang lemah ini.</span>
<br />albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-85404420858454897142011-08-25T09:28:00.000-07:002011-08-25T09:29:48.493-07:00Kursi GoyangKursi goyang itu masih ada di sana. Diam membisu di salah satu sudut ruang keluarga rumah orangtuaku. Jujur, aku selalu bergidik saat melihatnya. Ada rasa takut yang tiba-tiba menguar melihat sosoknya yang hitam kecoklatan.
<br />
<br />Dan, peristiwa belasan tahun yang lalu kembali hadir di pelupuk mataku.
<br />
<br />Petang itu, ayahku sedang duduk santai di atas kursi goyang. Kursi itu adalah tempat favoritnya saat berada di rumah setelah seharian bekerja. Di atas kursi itu, ayahku biasa mengutak-utik remote untuk mengganti-ganti chanel televisi, mencari berita yang menjadi acara kesukaannya. Sesekali, ia menyeruput teh hangat bikinan ibu dan mengambil pisang goreng yang menjadi <span style="font-style:italic;">penganan</span> kesukaannya.
<br />
<br />Tiba-tiba, ayahku mengerang kesakitan. Erangan yang membuat aku, ketiga adikku, dan ibuku, segera menghambur mendekatinya. Dan di sana, kami melihat ayah kami terkulai lemas. Kedua tangannya bersidekap di dada. Nafasnya tersengal-sengal. Lalu, beberapa menit kemudian tarikan nafasnya tidak terdengar lagi. Ayahku diam untuk selamanya.
<br />
<br />Semilir angin membuyarkan lamunanku. Aku segera terjaga. Kulihat, kursi goyang itu masih ada di sana. Namun kali ini ada yang aneh. Kursi goyang itu bergerak perlahan. Entah... siapa yang menggerakkannya.
<br />
<br />Ah... bulu kudukku tiba-tiba berdiri.
<br />albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-17830343916482538482011-07-11T03:44:00.000-07:002011-07-11T03:57:14.539-07:00Kaya“Menurutmu, aku ini sudah kaya apa belum, Pak?” tanya Bos Pujo pada Paino, salah satu karyawannya yang terkenal suka <span style="font-style:italic;">celelekan</span>, suatu siang. <br /><br />“Wah, ya pasti belum, Pak,” jawab Paino sambil lalu.<br /><br />“Kok belum? Apa alasannya?” kejar Bos Pujo.<br /><br />Paino hanya tersenyum simpul. “Bapak kan setiap hari mengisi bahan bakar mobil bapak dengan premium. Nah, bukankah itu menjadi bukti bapak belum kaya?” jelas Paino.<br /><br />Bos Pujo hanya tersenyum kecut mendengar penjelasan Paino.<br /><br />Kaya dan tidak kaya. Mungkin, itulah yang selalu mengganggu kehidupan kita setiap hari. <span style="font-style:italic;">Apakah aku sudah kaya? Apakah aku sudah memiliki banyak uang, uang yang tidak akan habis kugunakan sampai tujuh turunan? Apakah aku sudah memiliki mobil yang bagus? Apakah rumahku sungguh besar dan bertingkat?</span> Apakah, apakah, dan masih banyak apakah yang lainnya.<br /><br />Sebenarnya, yang menjadi ukuran seseorang bisa dikatakan kaya itu seperti apa sih? Apakah dengan memiliki semua yang telah disebutkan tadi (<span style="font-style:italic;">punya banyak uang, punya mobil mewah, punya rumah megah, dll</span>)? <br /><br />Kalau itu yang menjadi ukuran, rasa-rasanya ada yang aneh. Aneh karena banyak orang yang merasa kaya enggan untuk berbagi. Mereka tidak mau jika harus memberikan sebagian hartanya untuk orang lain. Mereka takut apa yang menjadi miliknya akan berkurang. Nah, lucu bukan! Katanya kaya tapi kok tidak mau memberi? Berlimpah tapi ketika diminta untuk menyumbang segera menggelengkan kepala. Ahh... bukankah itu adalah tanda bahwa mereka masih miskin. Mereka masih berkekurangan.<br /><br />Menjadi kaya memang tidak dilarang. Menjadi kaya pastinya juga bukan dosa. Hanya yang menjadi masalah, apakah setelah menjadi kaya kita mau berbagi? Mau membantu orang lain di sekeliling kita yang masih kekurangan? <span style="font-style:italic;">Justru ketika mau memberi, kita akan menerima. Ketika mau berbagi dengan penuh keikhlasan, kita akan mendapat banyak kebaikan. </span><br /><br />Satu hal yang harus selalu diingat; segala hal yang kita miliki di dunia ini sifatnya hanya sementara. Semua dapat hilang dalam sekejap. Segalanya tidak akan kita bawa ketika kita dipanggil olehNya.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com9tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-56532084313886664522011-07-09T06:45:00.000-07:002011-07-09T06:47:19.198-07:00Gadis Kecilku<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhW8rtYGODwdzuztGIirPjsakd_okafxJGeuLhEBhRCchqGSObNTCsDx2SalTQluNgQ0T356RlcJ1wPlkUYoRw5GvkcheFlyltq2tL-H1UTMAtqnTdPlL8NEmGdvujKuNH73aEqPzN3gAAX/s1600/4a.jpg"><img style="display:block; margin:0px auto 10px; text-align:center;cursor:pointer; cursor:hand;width: 214px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhW8rtYGODwdzuztGIirPjsakd_okafxJGeuLhEBhRCchqGSObNTCsDx2SalTQluNgQ0T356RlcJ1wPlkUYoRw5GvkcheFlyltq2tL-H1UTMAtqnTdPlL8NEmGdvujKuNH73aEqPzN3gAAX/s320/4a.jpg" border="0" alt=""id="BLOGGER_PHOTO_ID_5627348760441743106" /></a><br />Elisabeth Valensia Rosemary. Itulah nama gadis kecil itu. Gadis berparas manis dengan rambut dipotong pendek dan tubuh yang tergolong kurus. Saat ini ia bersekolah di sebuah SMP swasta terkenal di kotaku. Kelas 2.<br /><br />Sudah 2 tahun ini aku tergila-gila pada Valen, sapaan akrabnya. Aku benar-benar jatuh cinta kepadanya. Entah sejak kapan perasaan ini muncul dan mengapa, aku benar-benar tidak mengerti. Semuanya terjadi begitu saja. Mengalir dan terus berkembang hingga hatiku benar-benar dikuasai olehnya.<br /><br />Mungkin, semua berawal dari keisengan yang aku buat untuknya. Iseng? Ya benar, iseng. Waktu itu ia masih kelas 6 SD. Lewat teman akrabnya yang kebetulan juga aku kenal, aku berhasil mendapatkan nomer hapenya. Berbekal nomer hape, aku mulai <span style="font-style:italic;">‘mengerjai’</span>nya dengan berpura-pura menjadi orang lain yang ingin berkenalan dengannya. Padahal kami sudah saling mengenal meski tidak akrab karena tantenya adalah temanku satu paguyuban di Pendampingan Iman Anak (PIA). <br /><br />Dan sms demi sms pun mengalir. Awalnya hanya saling menyapa dan bertukar kabar. Perkembangan selanjutnya, sms berubah menjadi dukungan untuknya karena saat itu ia sedang mempersiapkan diri menghadapi ujian akhir untuk kelulusannya. <br /><br />Hari demi hari. Minggu demi minggu. Mengirim sms untuknya seolah-olah telah menjadi kebutuhan yang harus terus aku lakukan. Jika hal itu terlewat, terasa ada yang kurang dalam hidupku. Lewat sms-sms itu, aku menjadi lebih akrab dan semakin akrab dengannya. Dan tanpa kusadari, benih-benih cinta dalam hatiku tumbuh bak jamur di musim hujan.<br /><br />Namun, kedok mesti dibuka. Tidak ada gunanya terus bermain <span style="font-style:italic;">‘rahasia’</span>. Dan saat semuanya terbuka, tidak ada kekagetan yang teramat sangat. Tidak ada histeria yang muncul. Semua berjalan biasa saja. Rupanya Valen sudah bisa menebak, siapa sebenarnya orang yang ada dibalik sms-sms yang terkirim di hapenya. Terus terang aku sedikit kecewa karena tidak berhasil memberikan surprise tapi segera hal itu terkubur oleh kebahagiaan karena sudah tidak ada hal yang perlu ditutup-tutupi lagi.<br /><br />Sejak saat itu, bersama istriku, aku mulai sering berkunjung ke rumahnya. Ngobrol, menemaninya melakukan aktivitas entah belajar, membaca komik, bermain game, atau saat membuat kerajinan tangan. Kadang kami (aku, istriku, Valen, adik, dan tantenya) melakukan aktivitas di luar. Makan nasi kucing di warung yang tak jauh dari rumah. Menonton pameran. Juga berdoa bersama di Gua Maria Kerep Ambarawa. <br /><br />Cintaku pun semakin mendalam. Aku semakin mengasihinya. Saat ada di dekatnya aku selalu ingin memeluknya erat, mengecup keningnya, dan berlama-lama memandang bening matanya yang begitu indah. <br /><br />Mencintainya berarti mau menerima kelebihan dan kekurangannya. Mencintainya adalah keterbukaan dan kerelaan hati untuk melihatnya tumbuh bebas menggapai cita-citanya. Mencintainya menjadi kesempatan bagiku untuk terus membahagiakannya lewat aneka perbuatan dan untaian doa.<br /><br />Aku bersyukur bertemu dengan gadis kecilku. Ini adalah rencana Tuhan yang begitu indah dalam hidupku. Meski tidak mempunyai hubungan darah tapi saat ini ia telah menjadi anak, keponakan, dan mutiara yang sangat berharga bagiku.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-7583424295453282432011-07-07T09:21:00.000-07:002011-07-07T09:22:57.267-07:00(Ke)sederhana(an)Rasa-rasanya, kata yang satu ini semakin hilang dalam kehidupan kita. Orang-orang jaman sekarang lebih suka sesuatu yang <span style="font-style:italic;">‘wah’</span>, spektakuler, rumit, penuh tipu daya dan kelicikan, serta berbagai macam keruwetan lainnya. Mereka lebih suka hidup di atas awan yang tinggi daripada memilih mendarat di bumi.<br /><br />Namun, diantara sekian banyak orang yang dilanda virus ketidaksederhanaan itu, masih ada orang-orang yang dengan tekun memperjuangkan kesederhanaan. <br /><br />Pertama adalah ayahku sendiri. Saat ini usianya sudah hampir memasuki 80 tahun. Tapi ia masih kelihatan segar dan awet muda. Ayahku adalah pensiunan pegawai negeri dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Ketika masih aktif bekerja, ia menjabat sebagai bendahara. Meski setiap hari bergelimang dengan uang, ayahku adalah orang yang sangat jujur. Ia tidak pernah menyalahgunakan jabatan atau menggunakan sepeser pun uang yang menjadi tanggung jawabnya. Ia juga kebal akan <span style="font-style:italic;">sogokan</span>. <br /><br />Buktinya adalah kehidupan kami yang tergolong sederhana. Sebuah keluarga dengan ayah, ibu, dan 4 orang anak, 3 putra dan 1 putri. Menempati sebuah rumah yang tidak begitu luas dengan dinding setengah tembok dan setengah papan. Sering ibu harus memutar otak untuk mencukup-cukupkan gaji yang diterimanya dari bapak guna memenuhi kebutuhan keluarga dan menyekolahkan kami. Kadang pula mereka harus berutang ketika dirasa tidak ada jalan lain. Untunglah sejak kecil, kami berempat bersekolah di sekolah negeri sehingga biaya untuk pendidikan bisa lebih terjangkau (waktu itu). Dan akibat ketiadaan biaya pula, kami hanya bisa menikmati sekolah sampai tingkat SMA. Kakak dan adikku laki-laki lulus dari STM dan setelah itu langsung bekerja. Sedangkan aku setelah lulus SMA juga langsung bekerja. Pun dengan adikku yang perempuan. <br /><br />Teladan kedua aku temukan dalam diri seorang ibu berparas ayu dengan perawakan yang sedikit kurus. Ketika memandang wajahnya, merasakan keramahannya dan melihat senyum yang mengembang di bibirnya, selalu ada kedamaian yang segera menguar. Luapan kasih sayang yang seakan terus mengalir. <br /><br />Aku sering memanggilnya dengan sebutan bu Ina. Sudah puluhan tahun aku mengenalnya. Dahulu kami pernah tumbuh bersama dalam komunitas Pendamping Iman Anak di Paroki (yang waktu itu sering disebut dengan sekolah minggu). Beberapa tahun sempat tidak bertemu hingga akhirnya Tuhan kembali mempertemukan kami dalam kegiatan yang sama seperti dulu. <br /><br />Ketika mendengar pergulatan hidupnya yang sering dituturkannya kepada kami (aku dan teman-teman dalam komunitas Pendamping Iman Anak), aku merasa bahwa hidup keluarganya sungguh diberkati oleh Tuhan. Meski ada berbagai cobaan (salah satunya saat harus kehilangan anak semata wayang yang diperolehnya dengan penuh perjuangan akibat terjatuh dari kuda ketika berumur 9 tahun) tapi ia tidak pernah menyerah. Ia justru menghadapi segala cobaan itu dengan tabah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. <br /><br />Meski kaya ia tetap hidup sederhana. Kesederhanaan itu begitu tampak saat melihat rumahnya yang tergolong <span style="font-style:italic;">’apa adanya’</span> bila dibandingkan dengan rumah-rumah lain di kanan-kirinya. Ketika masuk ke dalam, ruang tamunya hanya berukuran kurang lebih 2 x 3 meter. Semakin ke dalam, deretan lemari kayu tampak berjejer memenuhi ruangan. Lemari-lemari itu adalah tempat menyimpan berbagai berkas dan perabotan milik keluarga.<br /><br />Bu Ina adalah pribadi yang ringan tangan, rendah hati, dan tulus. Ia begitu mudah tergerak untuk mengulurkan bantuan saat teman-temannya atau orang lain mengalami kesulitan, apa pun itu. Kalau toh ia tidak bisa menolong secara langsung, ia pasti akan berusaha mencarikan jalan keluar agar kesulitan itu dapat teratasi. Satu hal yang mengagumkan, ia tidak pernah ingin namanya dikenal. Ia tidak ingin orang lain tahu bahwa dialah yang menyumbang. ”Biarlah Tuhan yang membalas semuanya,” tuturnya penuh iman.<br /><br />Karena semua hal yang dilakukannya, aku sering menyamakannya dengan malaikat. Manusia berhati malaikat, itu tepatnya.<br /><br />Ternyata, kesederhanaan memang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Kesederhanaan justru akan makin bernilai ketika ia dihidupi dengan penuh iman. Darinya kita akan mendapatkan banyak mutiara kehidupan yang begitu berharga. Hidup bersamanya, kita akan semakin menyadari bahwa kehidupan yang kita terima ini adalah karunia dari Tuhan. Kehidupan yang harus dijalani sebaik mungkin untuk melakukan dan berbagi kebaikan. Menjadi pembawa damai dan berkat untuk orang lain.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-49079492596641271192011-07-05T21:14:00.000-07:002011-07-05T21:17:07.136-07:00Jenuh Berbuat Baik?“Kok bisa begitu ya, padahal dia itu kan panutan buat saya?” ujar mas Y geleng-geleng kepala saat mendengar cerita istriku tentang mbak V. <br /><br />“Hehehe… itu kan mungkin saja.. barangkali dia memang lagi <span style="font-style:italic;">jenuh berbuat baik</span>?” kata A, istrinya, menimpali. “Barangkali karena selama ini ia merasa tidak ada gunanya berbuat baik,” tambahnya.<br /><br />“Berbuat baik kok pakai jenuh segala. Aneh?” ujarku saat mendengar percakapan itu.<br /><br />Itulah salah satu obrolan ringan pagi ini saat aku dan istriku berkunjung ke rumah <span style="font-style:italic;">‘adik’</span> sekaligus sahabat untuk suatu keperluan. Obrolan yang masih saja terngiang-ngiang di pikiranku hingga saat ini.<br /><br />Mengapa jenuh berbuat baik? Apakah memang karena merasa tidak berguna berbuat kebaikan? Barangkali kata <span style="font-style:italic;">‘jenuh’</span> memang tidak tepat karena yang lebih pas adalah <span style="font-style:italic;">‘tidak’</span>. Tidak (mau) berbuat baik karena lingkungan di mana seseorang hidup dan bergaul memang menghendaki demikian. Berbuat baik dipandang sebagai sebuah kesia-siaan belaka dan masuk kategori ‘konyol’ karena mayoritas lebih memilih berbuat sebaliknya. <br /><br />Lalu, bagaimana dengan mbak V? Mengapa ia yang selama ini dikenal orang sebagai perempuan berwajah cantik yang dewasa dalam sikap dan kepribadian bisa mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan orang lain?<br /><br /><span style="font-style:italic;">Pertama<span style="font-style:italic;"></span></span>, tidak ada yang kekal di dunia ini. Semua akan mengalami perubahan. Satu hal yang harus selalu disadari; <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">ketika aku berubah, aku akan berubah ke arah mana? Menjadi lebih baik atau lebih buruk?</span></span> Keputusan ada di tangan kita. Dan kita juga yang akan menanggung segala akibat dari pilihan kita.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Kedua<span style="font-style:italic;"></span></span>, dalamnya laut dapat diduga tapi dalamnya hati siapa tahu. Apa yang tampak di permukaan kadang bisa menipu. Jadi, <span style="font-style:italic;">kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Wajah yang cantik atau ganteng, dandanan yang modis dan mengikuti tren, serta pakaian gemerlap berharga jutaan, bukan jaminan bahwa seseorang itu bisa dikatakan baik. Sebab yang lebih bernilai adalah apa yang dikatakan dan dilakukannya</span>.<br /><br />Terlepas dari itu semua, marilah kita tidak jemu-jemu berbuat kebaikan. Jangan kalah oleh kejahatan tetapi kita kalahkan kejahatan dengan kebaikan yang kita lakukan. Jangan berkata jenuh atau pun tidak. Karena, <span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">bila Tuhan juga sudah jenuh dan tidak lagi mau memberi kebaikan kepada kita, apa jadinya kita? Bukankah hidup menjadi tidak berguna lagi?</span></span>albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-7600178661494809242011-07-04T14:06:00.001-07:002011-07-04T14:08:27.951-07:00RencanaNya Sungguh IndahKeyakinan ini terus saja menancap di sanubariku. Merekah di pikiran dan memampukan aku untuk mendaraskan syukur kepadaNya. Meski terasa pahit, menyedihkan, dan menguras air mata, tapi, inilah yang terbaik, yang sudah dirancangkanNya.<br /><br />Tak terkecuali dengan peristiwa yang menimpa suami dari adik sahabatku. Hari Minggu lalu ia kembali ke pangkuan Tuhan setelah setahun menahan penderitaan akibat ginjalnya tak lagi berfungsi hingga harus melakukan cuci darah secara rutin. Hal yang terasa menyayat, ia pergi meninggalkan istri dan dua anak perempuannya yang cantik-cantik. Yang sulung baru masuk SMP sedangkan si bungsu kelas 1 SD.<br /><br />Ingatanku pun melayang pada kejadian hampir 15 tahun yang lalu. Saat aku ikut <span style="font-style:italic;">’ndekor’</span> rumah sahabatku untuk acara pernikahan adiknya. Dan beberapa tahun kemudian, aku juga ikut merasakan pengalaman saat menggendong ponakannya yang terlihat lucu dan menggemaskan. Ahh... kenangan ini akan terus terpatri di dalam benakku.<br /><br />Tapi, rencana Tuhan berkata lain. Ia memanggil suami adik sahabatku pada saat anak-anaknya sedang bertumbuh. Ia memberi dukacita pada keluarga ini. Namun, dibalik segala penderitaan yang dialami, kasihNya sungguh tercurah. Ia memberi kesempatan pada keluarga ini untuk menata hati dan melepas dengan ikhlas ketika saatnya tiba. Memang ada air mata yang mengalir. Namun, kesedihan segera berganti dengan sukacita karena Tuhan sudah memberikan yang terbaik. RencanaNya sungguh indah.<br /><br /><span style="font-style:italic;">Selamat jalan, Mas Heri<br />Tuhan sudah melepas segala penderitaanmu<br />Kini, saatnya engkau menikmati kebahagiaan bersamaNya</span>albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-73647362021383856092011-07-03T17:34:00.000-07:002011-07-03T17:35:34.406-07:00Mulai (lagi)Hari ini adalah hari ketiga aku memulai lagi kebiasaanku. Kebiasaan yang beberapa bulan ini aku tinggalkan. Aku ingin belajar lagi. Aku ingin menulis lagi. Menulis secara rutin. Setiap hari.<br /><br />Tantangan yang paling berat bagiku adalah kemalasan. Malas untuk mencari ide. Malas menyisihkan waktu secara khusus untuk menulis. Dan ketika jari jemari mulai menari-nari di atas keyboard, saat kata-kata mulai teruntai, tiba-tiba timbul keraguan.. apakah aku bisa menyelesaikannya? Apakah aku punya kemauan untuk melanjutkan tulisan itu ketika berbagai kesibukan yang lain ganti menyerangku?<br /><br />Ahh, lagi-lagi semuanya kembali kepada niat. Motivasi yang menjadi latar belakang aku melakukan kebiasaan ini. Sungguh, hal itu masih tertanam erat di dalam hati dan mengendap di pikiranku. Namun, sekedar tertanam dan mengendap tanpa adanya kesungguhan dalam berusaha dan keberanian untuk mengatasi segala tantangan yang muncul, tidak ada gunanya. Dan itu sudah terbukti selama ini. <br /><br /><span style="font-style:italic;">Apakah aku akan terus dikalahkan kemalasan? Apakah aku harus tunduk pada ketidakdisiplinanku?</span> Tidak! Aku harus berusaha lagi. Aku harus kalahkan segala rintangan, apa pun itu! <span style="font-weight:bold;">Aku bisa! Aku pasti bisa!</span> Dan di atas segalanya, aku ingin memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Aku percaya, rencanaNya adalah yang terbaik untuk hidupku.albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-889064937996100581.post-64849262471743214042011-07-02T09:02:00.000-07:002011-07-02T09:05:05.673-07:00Ia MengasihikuPeristiwa ini aku alami kemarin. Sebuah kejadian biasa, sederhana, tetapi menjadi bukti bahwa Ia mengasihiku. Ia selalu menjaga keselamatanku.<br /><br />Pagi itu seperti biasanya, setelah mengantarkan istriku ke tempat kerjanya, aku menuju ke kantor tempatku bekerja. Jalanan yang mulai ramai dan bising, aku susuri memakai kendaraan roda dua dengan kecepatan sedang. Ketika hendak sampai di kantor, aku merasakan ada yang tidak beres dengan sepeda motorku. Dan, sesaat setelah tiba di kantor, aku menyempatkan diri untuk memeriksanya. Ternyata, ban belakang sepeda motorku bocor lagi. Aku harus buru-buru membawanya ke tukang tembal ban sebelum istirahat siang, begitu pikirku.<br /><br />Karena berbagai kesibukan, aku baru sempat merealisasikan niatku itu bersamaan dengan waktu istirahat siang. Syukurlah, tempat tukang tambal ban, tidak begitu jauh dari kantorku sehingga aku tidak berlama-lama menuntun sepeda motorku yang sedang <span style="font-style:italic;">’sakit’</span>. <br /><br />Setelah dicek bapak tukang tambal ban, terbukti bahwa ban dalam sepeda motorku sudah tidak layak lagi untuk dipakai. Selain karena banyak tambalannya, di beberapa bagian juga sudah kelihatan aus. ”Ini harus diganti dengan yang baru mas,” kata bapak tukang tambal ban itu. Aku hanya menggangguk karena merasa keputusan ini adalah yang terbaik.<br /><br />Sembari menunggu bapak tukang tambal ban itu bekerja, ada sebuah kesadaran yang hinggap di benakku. Sebuah kesadaran yang menuntunku untuk mendaraskan syukur kepada Tuhan. Ternyata, lewat peristiwa kecil ini, Tuhan ingin menyapaku. Tangan kasihNya terulur menyelamatkan aku dari peristiwa lain yang mungkin saja terjadi dan berakibat fatal bagi diriku. Terlebih esok hari, bersama istriku, aku berencana pergi ke luar kota mengendarai sepeda motor untuk <span style="font-style:italic;">’nyumbang’</span> ponakan yang akan dikhitan.<br /><br /><span style="font-style:italic;"><span style="font-weight:bold;">Tuhan, <br />aku bersyukur atas pemeliharaanmu hari ini<br />aku bersyukur karena Engkau senantiasa menyelamatkan aku<br />dan menjaga hidupku dari hal-hal yang buruk<br />aku sungguh bersyukur karena kasihMu selalu tercurah untukku<br /><br />Tuhan,<br />jadikan aku lebih peka pada berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupku<br />jadikan aku lebih sabar dan semakin rendah hati <br />untuk mengetahui teguranMu, memahami kehendakMu,<br />dan menerima segala rencanaMu dengan penuh syukur</span></span>albertus goentoer tjahjadihttp://www.blogger.com/profile/17866499883739960264noreply@blogger.com4