Jumat, 23 Januari 2009

Tertib Itu…?

Tertib itu paham akan waktu. Kapan waktu untuk makan. Kapan waktu untuk tidur. Kapan waktu untuk bekerja. Kapan waktu untuk bermain. Kapan waktu untuk pelayanan. Jadi… kalo pas waktunya kerja ya… jangan digunain untuk leyeh-leyeh atau malas-malasan (sambil baca koran). Waktunya belajar dipake nonton sinetron sampe tengah malem. Waktu tidur… eh… malah begadang semalam suntuk karena kerjaan yang belum kelar. Ato waktu untuk Tuhan malah sibuk kirim dan terima SMS. Kacau khan!

Tertib itu juga berarti tau peraturan. Warna merah tandanya harus berhenti. Ijo baru boleh jalan. Jangan terus dibalik-balik. Ijo jalan… lha kalo pas merah, ya tetep aja jalan… Gimana tuch! (mungkin lagi sakit mata ya?) Trus juga sama rambu-rambu yang lain. Jangan hanya taat kalo pas ada petugas. Pas lagi ndak ada, balik lagi kaya kebiasaan semula. Parkir mobil ato motor pada tempatnya dan tau situasi. Jangan karena gara-gara kita parkir, malah bikin jalanan macet dan orang lain jadi terhambat. Trus, selalu pake helm kalo lagi naek motor. Jangan alasan tempatnya deket trus males pake helm. Gilirannya ketangkep aja… eh maunya malah 'ngelesss'.

Tertib itu juga nggak sembarangan. Naruh piring bekas makan di tempat tidur. Naruh sepatu di rak piring. Ato juga naruh baju yang habis dicuci di ember tempat cucian kotor. Intinya: kita kudu tau dan konsisten untuk meletakkan segala sesuatunya di tempat yang memang sudah semestinya. Juga, jangan sembarangan nyerobot antrian dengan alasan apa pun (kalo ndak ingin kepala jadi benjut.. jut..!). Harus sabar dan sabar. Toh kalo tiba gilirannya, kita pasti dilayani.

Apa lagi ya…? Barangkali para sahabat mo ikutan kasih definisi… silakan ya…

Rabu, 21 Januari 2009

Demam OBAMA

Hari-hari terakhir ini dunia sedang dilanda ‘demam OBAMA’. Gejalanya; panas dingin, mata berkunang-kunang, badan gemetaran, dan keinginan untuk berteriak ketika melihat dan mendengarkan apa saja yang berbau OBAMA. Apalagi ketika inagurasi pelantikannya sebagai presiden AS yang ke-44 disiarkan secara luas melalui media televisi. Kehebohan itu semakin menjadi-jadi. Dunia dilanda euphoria begitu dahsyat. Dan secara bersamaan demam OBAMA mewabah di mana-mana.

Lalu, setelah semua kehebohan itu berakhir apa yang kemudian tersisa? Biasa saja dan kemudian lupa bahwa kita pernah terkena demam OBAMA (lupa bahwa kita pernah ‘begitu gila’ hingga rela ‘bathuk’ atau ‘pipi’ kita dicoret-coret dengan kata OBAMA)? Atau barangkali akibat demam itu masih terasa hingga kini dan entah sampai kapan.

Jika opsi pertama yang kita pilih, rasanya sia-sia saja kemeriahan yang kemaren sudah berlangsung. Jadi? Ya, kita pilih yang kedua tentunya kalo masih ingin mendapat manfaat dari demam OBAMA ini (lho… demam kok bermanfaat?).

Coba kita resapi kata-kata yang diucapkan OBAMA sesudah pelantikannya sebagai presiden. “Semua sederajat, semua bebas dan memiliki kesempatan untuk mencapai kebahagiaan bersama.” “Kita berkumpul di sini karena kita telah memilih harapan di atas ketakutan, kesatuan tujuan di atas pertentangan dan perbedaan.”

Kata-kata yang begitu indah, apalagi jika hal tersebut dapat kita wujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagai pribadi dalam keluarga, lingkungan, maupun sebagai warga sebangsa setanah air. Rasanya begitu indah jika ‘seperti pesan OBAMA’ perbedaan yang ada (suku, agama, ras, kepercayaan, tingkat ekonomi) tidak membuat kita saling menjatuhkan dan saling bertikai tetapi lewat perbedaan itu kita berusaha saling melengkapi dan bersama-sama bahu-membahu mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Nah, apakah kita bisa?

Rencana Tuhan

Rencana Tuhan terasa begitu indah.

Awalnya, aku hanyalah seorang pria introvert yang rendah diri. Sering aku merasa takut jika harus bertemu atau sekadar berhadapan muka dengan orang lain. Takut nanti mau ngomong apa, menjawab apa jika mulai diajak ngobrol.

Semua mulai berubah, saat aku ditunjuk menjadi Ketua Mudika di lingkunganku. Entah bagaimana awalnya bapak Ketua Lingkungan, mempercayakan tugas ini kepadaku, barangkali memang tidak ada orang lain yang bersedia. Sungguh, semuanya berawal dari keterpaksaan. Aku tidak mengerti dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berkat bantuan rekan-rekan serta para orang tua, perlahan-lahan aku mulai menemukan kepercayaan diri. Aku mulai menikmati tugasku sebagai Ketua Mudika. Dan berkat jabatan ini (kalau boleh dikatakan demikian) wawasanku semakin bertambah. Aku menjadi terbiasa berbicara di depan orang lain dan rasa takut pun sedikit demi sedikit menghilang. Ada begitu banyak kesempatan yang kemudian menghampiriku. Mengikuti pelatihan koor dan pemazmur. Menjadi dirigen. Menjadi pendamping dalam kegiatan sekolah minggu. Bergabung dengan kepengurusan Mudika wilayah hingga keterlibatanku dalam kegiatan kesenian di parokiku. Sungguh, semuanya sudah direncanakan Tuhan dengan begitu indah.

Berkat kegiatan kesenian ini pula aku menemukan gadis idamanku. Seorang gadis sederhana yang murah senyum dan cantik. Ini menjadi pengalaman pertama buatku, mengenal lebih dekat dan menjalin hubungan serius dengan seorang gadis. Aku bertekad ingin menjadikan hubungan ini sebagai yang pertama dan yang terakhir dalam perjalanan hidupku. Ternyata tidak mudah untuk mewujudkan hal ini. Banyak sekali godaan yang datang menghampiri. Bertemu dan berkenalan dengan gadis-gadis lain. Rasa suka yang kemudian timbul. Tapi entah mengapa selalu ada ‘warning’ yang mencegahku jika mulai ada perasaan berlebih terhadap gadis yang lain. “Aku sudah memiliki pacar!” tegas hatiku.

Setelah hampir sembilan tahun berpacaran, akhirnya kami menikah dalam pernikahan suci di depan altar gereja. Perasaan kami saat itu sungguh tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Hanya kebahagiaan yang demikian membuncah menyesaki dada.

Kini, sudah hampir delapan tahun kami mengarungi hidup bersama sebagai satu keluarga. Setiap hari tak henti-hentinya kami bersyukur atas rencana-Nya yang begitu indah. Namun, kami merasa sedih. Kami merasa masih ada yang kurang dalam kehidupan keluarga kami karena hingga saat ini kami belum dikaruniai keturunan. Kadang kami iri dengan keluarga-keluarga lain yang usia pernikahannya ada di bawah kami. Baru beberapa bulan menikah, kehamilan itu sudah datang. Sering kami bertanya di dalam doa-doa kami, “Tuhan, kapan Kau berikan keturunan untuk kami? Kapan kami bisa menimang bayi mungil buah cinta kami?”

Mulanya, kegelisahan ini begitu menggelayuti kami terutama untukku. Lebih-lebih ketika ada tetangga atau saudara yang bertanya, “Sudah punya anak, Mas? Anaknya berapa, Mas?” Aku jadi bertambah sedih dan kadang merasa malu. Namun perlahan-lahan, aku mulai bisa menerima situasi ini. Benar kata seorang adik kepadaku, “Mas, mungkin memang belum saatnya Tuhan memberikan keturunan. Percayalah, pasti akan tiba waktunya, sebab rencana-Nya selalu sempurna.” Ya, mungkin memang belum saatnya karena Tuhan masih memakai kami untuk bekerja di ladang-Nya (saat ini kebetulan kami aktif dalam pelayanan di gereja. Istriku sebagai Lektor/pembaca firman Tuhan dan pendamping sekolah minggu. Sedangkan aku menjadi bagian dari pengurus dewan paroki sebagai tim kerja KOMSOS yang menangani pewartaan kegiatan-kegiatan gereja).

Rencana Tuhan bagiku sungguh terasa begitu indah. Ketika Ia dengan secara tidak terduga mengenalkan aku dengan dunia ‘BLOG’. BLOG yang membuat aku ‘kembali’ ketagihan untuk menulis. Suatu kegemaran yang sudah sekian lama aku tinggalkan.

Syukur, ya Tuhan sebab semua yang kau lakukan kepadaku adalah rencana-Mu yang begitu indah.

Senin, 19 Januari 2009

Sambutan...

Sambutan adalah omong kosong yang dilembagakan. Demikian kata seorang Romo kepadaku. Pertama kali mendengar penyataan ini aku terkaget-kaget. Sesaat melintas sebuah ide di kepalaku untuk membuat tulisan tentang pernyataan ini. Dan inilah sedikit perenungan tentang hal itu.

Sambutan seperti yang biasa kita dengar, selalu menjadi salah satu bagian dalam perhelatan suatu acara. Entah itu acara resmi, semi resmi atau acara yang tidak resmi sekalipun. Semua pasti tidak lupa mencantumkan satu, dua, atau beberapa sambutan. Yang paling umum biasanya sambutan ketua panitia (penyelenggara acara), sambutan dari yang punya ‘kuasa’, yang berkaitan dengan acara tersebut, sambutan dari tamu undangan ‘penting’ dan beberapa sambutan yang lain. Kadang sambutan begitu enak didengarkan karena bisa dimengerti, lucu dan membuat orang terbangun dari rasa ‘kantuk’ namun tak jarang pula sambutan berubah menjadi sesuatu yang begitu membosankan.

Sebenarnya apakah setiap mengadakan suatu acara perlu selalu diberikan sambutan? Ya dan tidak. Ya jika sambutan itu memang sungguh-sungguh perlu dan penting untuk di’omong’kan (yang ndak penting ndak usah di’omong’kan!). Tidak jika sambutan berubah menjadi ungkapan ‘basa-basi’ yang kemudian malah membuat orang menggerutu dalam hati, “Ngomong soal apa tho ini, kok ngalor-ngidul ndak karuan?” Sehingga hal ini menjadikan kita lebih selektif dalam memilih sambutan. Mana yang perlu ditampilkan dan mana yang tidak. Jangan sampai acara yang sudah kita susun dengan baik, pada akhirnya hanya menjadi sebuah parade sambutan.

Jika kita kaitkan dengan hal yang lebih jauh (yang berhubungan dengan kehidupan kita), ada satu nilai yang bisa kita ambil dari sebuah sambutan. Bahwa berkata-kata di dalam seluruh hidup kita hendaknya selalu keluar dari hati yang terdalam dan dilandasi kesetiaan akan kebenaran. Sehingga perkataan kita sungguh menjadi sesuatu yang penting demi kebaikan hidup bersama. Bukan hanya sebagai kalimat ‘basa-basi’ yang bisa menjadi sumber pertikaian.

Ternyata…

Pagi ini aku mengalami suatu kejadian yang baru ‘pertamakalinya’ terjadi dalam kehidupanku. Ceritanya begini: Aku dan istriku sedang menikmati jalan kaki sehabis mengikuti misa pagi di gereja ketika ada sebuah mobil yang sedang parkir di perempatan jalan. Karena penasaran, sambil lalu aku menyempatkan diri untuk melihat siapa yang ada di balik mobil itu. Tiba-tiba yang empunya mobil keluar lalu berkata dengan nada tinggi, “Mas, kok matane melotot nopo!”

Aku yang tidak merasa dipanggil tetap melanjutkan langkahku. “Mas, mas, nopo kok mau melototi aku!!!” orang tersebut berteriak lebih keras. Aku baru ‘ngeehhh’ ternyata aku yang dimaksud. Sesaat aku berhenti. Istriku yang ada di depanku berkata, “Wis mas rak sah diladeni…” Aku kembali melanjutkan langkah. Namun ternyata orang itu masih mengejarku. Dan ketika sudah berhadap-hadapan, segera saja ia memegang tanganku sambil berkata, “Nopo kok mau mlototi aku mas. Aku dudu maling!”

“Lho, mas aku kan ora maksud koyo ngono kuwi? Aku mung biasa wae, kok.” jawabku penuh ketidakmengertian

“Ora! Aku luwih ngerti! Aku ki wis biasa nangkep maling!” ujarnya lagi. (kebetulan orang ini adalah tetangga istriku yang jadi polisi).

“Wis,wis, wis mas… ayo bali wae!” istriku menyeretku. Ada isak tertahan dalam perkataannya.

“Bojomu diajari mbak ben matane ojo jelalatan kaya ngono kuwi!” tegasnya sambil berlalu. Dan kemudian semuanya berakhir.

Sesampai di rumah aku hanya tercenung memikirkan kejadian yang baru saja kualami. Ternyata bersosialisasi itu kadang bisa menyebabkan kesalahpahaman. Apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan bisa membawa pengaruh bagi orang lain. Apa yang kadang dirasa baik oleh kita belum tentu baik juga bagi orang lain. Apa yang kita anggap wajar ternyata bagi orang lain bisa saja menjadi sesuatu yang tidak wajar dan menjadi sumber masalah. Maka di sini kita perlu bersikap; jika memang apa yang kita lakukan dan katakan sudah melukai orang lain (sengaja maupun tidak) kita harus berani meminta maaf dengan penuh kesungguhan dan ketulusan. Sebaliknya, jika kita yang benar, kita patut mempertahankan kebenaran itu dan tetap bersikap bersahabat tanpa pernah punya keinginan untuk menghakimi.

Satu hal lagi, ternyata enggak ada gunanya orang bersikap ‘mentang-mentang’. Mentang-mentang punya jabatan. Mentang-mentang punya kuasa. Mentang-mentang kaya dan punya mobil bagus. Mentang-mentang… segalanya… trus bisa berbuat seenaknya kepada orang lain. Oohhh, ternyata… sikap seperti ini memang sangat menjengkelkan!!!

Minggu, 18 Januari 2009

Ibu

Misa pertama baru saja usai. Orang-orang bergegas meninggalkan gereja. Aku melihat seorang ibu muda yang tengah hamil tampak sedang kesulitan waktu hendak berjalan. Tangannya berkali-kali memegang perutnya yang kelihatan begitu besar dengan tertatih-tatih melangkah sambil digandeng oleh suaminya.

Siang harinya, waktu aku mengikuti misa arwah di rumah orangtua seorang rekan kerjaku. Ada pernyataan yang menarik perhatianku, yang diungkapkan oleh rekan tersebut. Ia berkata, “Terima kasih atas bantuan dan perhatian yang telah diberikan kepada ibu saya. Ibu saya sudah tua dan hidup sendiri. Sementara kami, anak-anaknya, hidup dan tinggal di kota lain. Mohon maaf, jika selama ini ibu saya sudah merepotkan bapak dan ibu sekalian…”

Menyinggung peran seorang ibu dalam kehidupan kita memang tidak akan pernah tergantikan. Ibu yang rela bertaruh nyawa demi menghadirkan kita di dunia ini. Ibu yang setia merawat, mengasihi dan mempersiapkan kita agar bisa mandiri dalam menghadapi kerasnya hidup. Ibu yang tetap setia menjaga, mendoakan dan tersenyum bahagia ketika melihat anak-anaknya berhasil.

Sebagai anak entah disadari atau tidak terkadang kita melupakan keberadaan seorang ibu. Mungkin karena deraan pekerjaan dan kesibukan yang tiada henti. Tempat yang berjauhan. Atau juga karena keengganan sebab ada suatu masalah.

Mari kita singkirkan semua penghalang tersebut. Kita kembali kepada ibu yang selalu setia untuk kita. Kita berikan waktu, perhatian dan segenap kasih selama Tuhan masih memberikan waktu untuk kita. Karena walau bagaimanapun balasan yang kita lakukan tidak akan pernah sepadan dengan pengorbanan yang sudah diberikan oleh ibu kita masing-masing.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang demi aku anakmu
Ibuku sayang sudah jauh berjalan
Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah

Seperti udara kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas… ibu…


(lagu ibu oleh Iwan Fals)

Sabtu, 17 Januari 2009

Terima Kasih

Suatu ketika saat mengantre pembayaran di kasir sebuah swalayan terkenal di kotaku, aku sempat membaca sebuah kalimat yang tertempel di kaca sebelah kasir. Kalimat itu berbunyi, “Anda berhak mendapatkan souvenir/kenang-kenangan apabila kasir kami lupa (tidak) mengucapkan terima kasih" (maaf, kalimat persisnya agak lupa…). Maksud dari tulisan ini jelas, yaitu mengingatkan agar kasir selalu mengucapkan terima kasih kepada pelanggan dan bila hal itu tidak dilaksanakan, pelanggan berhak menegor kasir dan meminta sebuah kenang-kenangan sebagai gantinya.

Terima kasih, kata yang sudah teramat sering kita dengar dan (mungkin) pernah kita ucapkan. Terima kasih ketika ada seseorang yang menawarkan tempat duduknya kepada kita yang sedang berdiri di dalam bis yang penuh sesak. Terima kasih pada bapak satpam yang membukakan pintu dengan seulas senyum di bibir. Terima kasih pada ibu yang sudah mengandung dan merawat kita dengan penuh keiklasan dan kesungguhan hati. Terima kasih kepada bapak-bapak polisi yang mau mengatur jalan saat lampu lalu lintas tidak berfungsi. Terima kasih pada teman sekantor yang telah mengingatkan jadwal meeting hari ini. Terima kasih pada istri yang setiap hari mencuci dan menyetrika baju kita. Terima kasih pada ibu bapak guru yang masih setia mengajar tiap hari. Terima kasih pada orang-orang yang mau menolong disaat kita mengalami suatu kecelakaan. Dan masih banyak terima kasih terima kasih yang lain.

Ucapan terima kasih menjadi tanda kepedulian. Peduli dan merasakan bahwa orang lain (siapa pun itu) telah melakukan kebaikan kepada kita. Selain itu ia juga menjadi sebuah ungkapan penghargaan. Namun hendaknya terima kasih yang telah terucap tidak hanya berhenti begitu saja tetapi dapat kita wujudkan kembali dengan memberikan kebaikan pada orang lain yang sedang membutuhkan. Maka marilah kita saling berterima kasih.

Kamis, 15 Januari 2009

Ogah Turun Ahhh…!!!!

Hari ini tepat tgl. 15 Januari 2009, harga premium turun untuk yang ketiga kalinya. Berbarengan dengan turunnya harga tersebut, presiden SBY meminta agar tarif angkutan juga diturunkan sebesar 10%. Ada yang setuju. Namun banyak juga angkutan yang ogah mengikuti ajakan ini. Mereka berdalih besaran tarif angkutan tidak hanya ditentukan oleh harga BBM tapi justru yang utama adalah harga onderdil/spareparts.

Turun seringkali menjadi pengalaman yang tidak enak dan sedapat mungkin hendak dijauhi. Turun harga ketika lagi enak-enaknya menikmati keuntungan yang berlipat ganda dari harga yang tinggi. Turun dari jabatan yang sudah sekian lama disandang, yang telah memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas-fasilitas. Turun tahta dari kedudukan sebagai pemimpin (bisa pemimpin kelompok dalam masyarakat, organisasi, pemimpin partai, hingga presiden) menjadi golongan rakyat biasa yang tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Mereka pasti 'ngelesss' dan berusaha mati-matian untuk mempertahankan apa yang sudah lama dinikmati.

Tentu kita masih ingat dengan cerita tentang almarhum Soeharto, Presiden ke-2 RI. Selama 32 tahun ia berkuasa menjadi pemimpin negeri ini. Di satu sisi banyak kemajuan yang sudah dicapai. Namun di sisi lain begitu banyak pula kemunduran yang harus dialami. Kebebasan berdemokrasi yang diberangus. Praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme yang semakin menggurita dan membudaya. Juga upaya-upaya melanggengkan kekuasaan secara sistematis. Akhirnya, rakyat bergerak dan Soeharto pun harus turun tahta secara menyakitkan.

Turun-naik, atas-bawah adalah pengalaman hidup yang mesti dialami oleh setiap manusia. Sebab hakikatnya hidup ini ibarat gerakan roda pedati, begitu kata orang bijak. Perputaran roda akan selalu membawa dua kemungkinan, di atas dan di bawah. Turun dan naik. Saat kita sedang berada di atas (naik), pertama-tama yang mesti kita lakukan adalah bersyukur. Mensyukuri segala kesempatan dan anugrah yang telah diberikan-Nya untuk hidup kita. Kedua, mawas diri. Posisi di atas hendaknya juga membuat kita selalu mawas diri. Mengapa dan bagaimana aku bisa sampai di posisi ini? Apa yang harus aku lakukan dengan posisiku saat ini? Apakah akibat posisiku saat ini membuat aku menjadi egois dan bersikap ‘EGP’ terhadap masyarakat di sekitarku? Ketiga, bersiaga. Saat tengah berada di atas sebaiknya juga membuat kita selalu bersiaga dan bersiap sedia jika suatu saat gerakan roda itu membuat posisi kita menjadi turun. Dengan demikian kita tidak akan pernah berkata, “Ogah Turun Ahhhhh….!!!!!”

Sebaliknya, bagi kita yang saat ini tengah berada di bawah (turun), kita juga sangat perlu untuk bersyukur. Bersyukur dan menerima segala sesuatunya dengan penuh keiklasan. Setelah itu kita menata hati dan sikap agar jika suatu saat kita mendapat kesempatan untuk berada di atas tidak membuat kita menjadi lupa diri dan sombong. Membuat kita menjadi OKB (Orang Kaya Baru) dan ODJKB (Orang Dengan Jabatan dan Kekuasaan Baru) yang bertindak membabi buta dan berprinsip AJI MUMPUNG.

Rabu, 14 Januari 2009

Mengapa ISRAEL?

Pada jaman dahulu, Musa dipilih Tuhan untuk menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan Mesir. Berabad-abad kemudian, bangsa itu sudah menjadi bangsa yang besar. Namun, lihatlah, bangsa pilihan Tuhan itu kini sudah menjadi bangsa pembunuh. Bangsa penindas yang dengan kejam membantai puluhan nyawa tidak berdosa. Bayi-bayi mungil, anak-anak berwajah polos serta ibu bapak bergelimpangan tiada arti. Semua mati ditikam peluru dan rudal-rudal yang memporak-porandakan semuanya.

Mengapa ISRAEL, engkau tidak mendengar seruan kami? Bahkan yang paling berkuasa di kolong jagad ini tidak engkau gubris! Engkau malah semakin asyik terus bermain-main dengan setan-setan pencabut nyawa. Apakah engkau menunggu tangan Tuhan menjatuhkan hukuman atasmu?

Melanggar

Perempatan Jalan Pandaranan siang itu terlihat sangat panas. Beberapa mobil di depanku masih berjalan, saling berebut ingin mendahului padahal lampu lalu lintas masih menyala merah. Sementara di bagian jalan lain mobil dan motor juga tengah berjalan. Semuanya kemudian bertemu di satu titik. Dan akibatnya bisa ditebak, timbul kemacetan dan terjadi kesemrawutan. Tidak ada yang berusaha untuk mengalah hingga bunyi bel klakson nyaring terdengar di sana-sini sambil sesekali terlontar umpatan-umpatan kasar tanda ketidaksabaran.

Mungkin pengalaman seperti ini juga pernah kita alami (seberapa seringkah?). Terkadang kita hanya sebagai penonton tapi sering pula kita bertindak sebagai pelaku. Ketika menjadi penonton, kita merasa jengkel dengan perilaku orang-orang yang melanggar lampu lalu lintas karena mereka membuat perjalanan kita jadi tersendat. Namun saat kita menjadi pelaku yang menyebabkan kesemrawutan itu, kita hanya bisa diam ketika orang lain memandangi kita dengan mata melotot, sambil berkata dalam hati, “Emang gue pikirin...”

Nah, jika sesuatu yang nampak saja begitu sering kita langgar, bagaimana dengan perintah dan larangan Tuhan? Seberapa seringkah kita mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya? Atau justru selama ini kita selalu menuruti ego kita dan melanggar perintah serta larangan-Nya?

Maka, baiklah kita mawas diri. Berani melihat apa yang selama ini sudah kita lakukan. Berani bertanya, apakah aku sudah melakukan pelanggaran? Jika memang demikian, marilah kita segera membenahi diri sebab dari setiap pelanggaran yang sudah kita perbuat telah menyebabkan orang lain menderita. Pun Tuhan yang di atas sana pasti akan sangat kecewa dan bersedih.

Selasa, 13 Januari 2009

Aku dan Kamu Beda

Namanya Irwan. Ia karyawan paling muda di kantorku. Sehari-hari pekerjaannya adalah sebagai kasir yang menerima hasil penjualan, menghitung dan melaporkannya kepada 'bos' sesaat sebelum kantor tutup. Selain berwajah ganteng, Irwan juga seorang yang supel dan ramah. Hal ini membuatnya cukup disukai oleh teman-teman sekantor. Irwan juga jago membuat kue. Kue buatannya tidak kalah dengan kue buatan toko kue ternama. Selain itu, ia juga orang yang sangat cekatan dan cukup 'prigel otak-atik'. Mulai dari mesin sepeda motor, potong rumput, fogging, sprayer hingga alat-alat elektronik. Semuanya bisa ia tangani dengan baik.

Lain lagi dengan Heri, juga salah satu karyawan (senior) di kantorku. Ia seorang yang lucu dan humoris. Sehari saja tidak ada dia, kantor terasa sepi dan 'nyenyet'. Kadang candaannya memang sedikit kelewatan tapi ternyata justru hal itu yang kami sukai. Heri adalah orang yang 'easy going'. Prinsipnya: hidup ini hanya sekali kenapa harus dibuat susah. Menurut ceritanya, semasa muda dulu, ia adalah orang yang tergolong 'nakal'. Main kartu, minum-minuman keras hingga berkelahi adalah makanannya sehari-hari. Sering jika sedang lapar dan kebetulan tidak punya uang, ia mencari tempat pesta nikah (meski tidak kenal) yang bisa ia sambangi untuk sekedar mencari makan gratis. Namun, semuanya itu kini telah ditinggalkannya semenjak ia menikah.

Heri juga orang yang pinter dan kreatif. Hampir semua benda yang terkena sentuhan tangannya bisa menjadi uang. Potongan kayu sisa gergajian, bambu, batok kelapa, sepasang sepatu usang yang sudah rusak dan bolong-bolong, biji-bijian, kain dan kertas-kertas yang sudah tidak terpakai adalah beberapa contohnya. Selain itu di gerejanya, Heri juga sering dimintai bantuan untuk membuatkan naskah drama (natal atau paskah). Naskah-naskah buatannya kadang 'nyleneh' dan penuh dengan pemikiran-pemikiran kreatif. Kadang juga membuat orang-orang protes. Kok ceritanya begini?

Keprigelan Irwan dan kekreatifan Heri sering membuat aku terkagum-kagum. Bahkan juga timbul rasa iri di hatiku. Kok aku ndak bisa seperti mereka? Aku ndak paham soal utak-utik mesin. Ndak bisa bikin kue yang rasanya enak. Ndak bisa bikin 'sesuatu' yang bisa mendatangkan uang. Pokoknya bila dibandingin mereka aku jadi merasa rendah diri. Hingga suatu ketika ada seorang teman gereja yang meminta tolong kepadaku untuk mengeditkan naskah ceritanya. Katanya, “Minta tolong ya, Mas, naskahku dibikin jadi baik, kan Mas pandai nulis.” Deggg... aku jadi tersadar. Mengapa aku harus iri? Mengapa juga harus rendah diri?

Semenjak awal Tuhan telah menciptakan manusia menjadi pribadi yang unik. Unik karena antara manusia satu dengan manusia yang lain pasti tidak ada yang sama (bahkan untuk yang lahir kembar sekalipun) baik bentuk fisik, ciri tubuh, pola pikir hingga kemampuan yang dimilikinya. Tentu ada tujuan mengapa keunikan ini diciptakan.

Pertama, saling bekerjasama. Jika aku sedang menghadapi persoalan dengan motorku, aku selalu minta bantuan pada Irwan. Ketika aku butuh naskah drama atau hal-hal mengenai seni aku minta tolong ke Heri. Begitupun sebaliknya, ketika Irwan atau Heri punya kesulitan saat harus menyusun suatu naskah atau membikin surat, mereka selalu minta bantuan kepadaku. Kemampuan yang berbeda ternyata mendorong manusia untuk saling bekerjasama. Saling memberi bantuan dan saling melengkapi.

Kedua, saling menghargai. Ketika melihat orang yang mempunyai kemampuan lebih daripada kita, hal pertama yang kita rasakan adalah kekaguman. Kekaguman ini kemudian mendorong kita untuk memberikan penghargaan yang sepantasnya.

Ketiga, tidak memaksa dan belajar menerima. Kemampuan yang berbeda hendaknya juga membuat manusia untuk tidak memaksa atau menilai bodoh ketika orang lain kemampuannya ada di bawah kita dan juga mau belajar untuk menerima kelebihan dan kekurangan orang lain.

Keempat, selalu bersyukur. Kemampuan baik berupa kelebihan atau kekurangan hendaknya selalu kita syukuri sebagai karunia yang telah diberikan oleh Tuhan.

Jumat, 09 Januari 2009

Sinetron

Apa yang paling digemari ibu-ibu saat waktu senggang di siang hari (setelah semua urusan rumah tangga selesai)? Jawabnya adalah sinetron. Apa yang menemani sebagian besar waktu keluarga di malam hari? Jawabnya juga sinetron. Yah, sinetron saat ini memang tengah merajai tayangan di berbagai stasiun televisi. Pagi ada sinetron, siang ada sinetron, malam apalagi.

Sinetron lewat beragam kisahnya telah berhasil menghipnotis sebagian besar pemirsanya. Hal ini paling tidak sudah terbukti di rumah ibuku. Di sana mulai dari jam 6 sore hingga jam 11 malam tayangan paling favorit adalah sinetron. Jam 6 sinetron A. Jam 7.30 sinetron B. Jam 9 sinetron C. Begitu seterusnya. Paling gawat jika ada beberapa sinetron yang tayang secara bersamaan, wah pasti dech… remote menjadi sasaran pijit-pijit untuk berpindah-pindah chanel. Hal yang menggelikan, ibu kadang terbawa perasaan ketika ada tokoh-tokoh jahat yang bertindak keterlaluan terhadap tokoh baik. Beliau bisa ‘nggetem-nggetem’ sendiri seolah-olah ingin melakukan sesuatu untuk membalas tindakan tersebut.

Sebenarnya mengapa kita menonton sinetron? Apa yang bisa kita peroleh ketika selesai menonton sebuah sinetron? Sekedar ingin mendapatkan hiburan setelah seharian bekerja. Untuk mengisi waktu senggang. Atau ingin mempelajari sesuatu lewat tokoh-tokoh dalam sinetron. Tentu akan ada beragam alasan yang bisa dikemukakan. Idealnya memang lewat tayangan sebuah sinetron kita bisa belajar sesuatu. Sesuatu tentang hidup. Namun celakanya, tidak semua sinetron mengajarkan hal yang baik (tidak semua sinetron baik untuk ditonton). Mungkin hanya ada satu sinetron yang baik diantara berpuluh-puluh sinetron yang ditayangkan.

Khusus untuk sinetron Indonesia, ada beberapa hal yang bisa dicatat: pertama, pemerannya pasti ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Bahkan untuk pemeran pemulung dan orang paling miskin sekalipun. Lucu!? Kedua, ceritanya terlalu panjang dan endak tahu mau dibawa kemana. Pada awalnya emang kelihatan bagus, tapi setelah jadi sinetron yang paling digemari, ceritanya dibikin molor persis kayak karet. Akhirnya, ndak masuk akal banget. Ketiga, banyak sekali tokoh jahat (pemerannya seringkali wanita). Kadang mereka itu jahatnya minta ampuunnn…, dengan kata-kata yang ndak pantas dan akting yang berlebihan. Keempat, banyak kebetulannya. Kebetulan dapat kenalan karena tabrakan di lorong sekolah atau di supermarket. Kebetulan ketemu orang yang sudah dicari-cari sekian lama dll. Kelima, ceritanya seragam. Banyak sinetron yang tayang tapi sebenarnya ceritanya mirip-mirip semua.

Rabu, 07 Januari 2009

HaPe

Saat ini hampir setiap orang memiliki HaPe. Mulai dari pegawai kantoran yang saban harinya berdresscode kemeja lengan panjang dengan dasi melingkar di leher, para pelajar mulai dari TK hingga perguruan tinggi, mbok-mbok yang jualan di pasar, pedagang makanan keliling, tukang nyapu jalan, tukang sampah, sampai tidak ketinggalan pula para pengemis yang kerjanya minta-minta di perempatan jalan.

HaPe sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup manusia. Lewat dirinya orang tidak hanya bisa berSMS, tapi juga bisa saling kirim gambar, tukar lagu hingga video film. Saat ini lewat teknologi yang semakin canggih, HaPe juga digunakan untuk ‘mengunduh’ atau sekedar membaca berita dan berkomunikasi via internet.

Lalu, apakah HaPe benar-benar bermanfaat bagi kita? Secara kasat mata memang ada begitu banyak hal positif yang bisa didapat dengan memiliki HaPe. Orang menjadi lebih mudah berkomunikasi kapanpun dan di manapun ia berada. Bahkan jika ia tersesat di suatu tempat yang belum dipahami, orang bisa dengan mudah minta bantuan melalui HaPe. Lewat HaPe kita juga dipermudah untuk menyampaikan suatu berita yang sifatnya 'mendesak'. Kerabat yang sakit, mengalami kecelakaan atau bahkan jika ada saudara yang meninggal. HaPe juga bisa membantu ketika kita membutuhkan alat hitung secara cepat, butuh refreshing dengan mendengarkan mp3 atau radio dan juga ketika ingin mengabadikan suatu peristiwa yang penting.

Namun, jika tidak hati-hati, HaPe juga membawa pengaruh negatif yang jika terus dibiarkan akan merugikan kita. Pertama, boros. Coba bayangkan ilustrasi ini: sebuah keluarga dengan dua orang anak. Masing-masing anggota keluarga memiliki HaPe. Tentunya dibutuhkan investasi yang cukup besar untuk membeli HaPe (belum lagi kalau ada kecenderungan selalu ingin mengikuti produk-produk HaPe keluaran terbaru). Kemudian jumlah pulsa yang dipakai oleh ayah, ibu dan anak-anak dalam sebulan. Mungkin minimal bisa mencapai hitungan 100ribuan. Belum lagi kalo semuanya pada demam berSMS dan ngobrol lewat HaPe, tentu hitungannya bisa menjadi berkali lipat.

Kedua, kurang (tidak) menghargai. Dengan memiliki HaPe bisa membuat orang menjadi pribadi yang kurang (tidak) menghargai orang lain. Ada beberapa hal yang bisa menjadi contoh. Ketika guru sedang sibuk mengajar, menerangkan ilmu yang penting untuk para murid, ada beberapa dari mereka yang malah sibuk mencet-mencet HaPe. Di pertemuan baik pada tingkat rendahan seperti dalam kelompok hingga rapat resmi di gedung DPR, orang juga banyak yang sibuk ngobrol atau SMS ketimbang mendengarkan perkataan pimpinan rapat/sidang. Yang lebih parah lagi, orang juga masih sempat-sempatnya berHaPe ria ketika mengikuti misa di gereja atau ibadat di tempat-tempat lain. Seolah-olah Tuhan itu tidak lebih penting daripada HaPe. Keterlaluan!!!

Ketiga, bertindak aneh. HaPe juga bisa membuat orang menjadi aneh. Nyetir mobil atau melaju di atas motor dengan satu tangan memegang HaPe. Menjadikan HaPe sebagai kalung dengan tali besar-besar berwarna cerah. Tiba-tiba ngomong sendiri di tengah keramaian orang yang lalu lalang. Dan yang lebih parah dan enggak bisa ditolerir, mengambil gambar atau video baik diri sendiri atau orang lain dengan pose-pose menantang atau adegan panas layaknya suami istri. Sungguh nggegirisi tenan!!!

Selasa, 06 Januari 2009

Jam Kehidupan

Jam kehidupan kita hanya diputar sekali,
dan tidak seorangpun
sanggup mengatakan kapan jarum jam ini berhenti.
Cepat atau lambat?
Sekaranglah satu-satunya waktu yang Anda miliki;
manfaatkanlah hidup ini,
milikilah cinta kasih;
dan bekerjalah sungguh-sungguh.
Jangan mengandalkan hari esok,
karena setiap saat
jarum jam itu dapat berhenti.
(Yohanes 9:4)

Kamis, 01 Januari 2009

Lawang Sewu


Pagi ini sehabis mengikuti misa pagi di gereja Katedral, aku bergegas mengayunkan langkah menuju ke Lawang Sewu. Tujuanku hanya satu, ingin mengambil sebanyak mungkin foto tentang gedung tua bersejarah itu. Sebab selama ini, meskipun tempat tinggalku tidak jauh dari tempat itu, aku belum pernah sekalipun menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Lawang Sewu.

Sesampai di depan Lawang Sewu, kulihat pintu pagar tertutup rapat. Namun hal ini tidak menyurutkan niatku untuk mengambil gambar. Segera saja aku mengambil kamera digital yang sudah kupersiapkan dari rumah. Dan kemudian, jepret sana.. jepret sini. Berulangkali tanpa mengenal lelah. Mumpung ada niat dan waktu, begitu jerit batinku.

Memandangi Lawang Sewu rasanya aku ingin menangis. Bagaimana tidak? Gedung tua yang bersejarah itu, yang menjadi saksi perjuangan pemuda-pemudi Semarang saat melawan tentara Jepang, kini hanyalah bangunan tua yang kotor dan penuh lumut dengan cat yang sudah mengelupas di sana-sini. Beberapa bagiannya tampak tinggal menunggu waktu untuk roboh. Sungguh keadaan yang sangat mengenaskan.

Apakah sudah tidak ada lagi yang peduli dengan gedung tua ini? Bagaimana dengan para penyelenggara pameran yang beberapa kali mengadakan pameran di tempat ini? Apakah mereka juga peduli dengan Lawang Sewu? Atau jangan-jangan mereka hanya peduli dengan pameran yang berlangsung sukses karena orang-orang banyak berdatangan? Bila pameran sudah berakhir maka berakhir juga semuanya. Bagaimana juga dengan pemerintah dan rakyat (termasuk aku) di kota ini?

Maka, marilah kita bersama-sama memperhatikan Lawang Sewu. Mulai ada tindakan untuk merawat, memperbaiki dan melestarikannya. Karena jika kita hanya menunggu dan menunggu tanpa mau berbuat, berbuat tetapi tidak sepenuh hati, atau juga berbuat karena ada maunya, kitalah yang akan menanggung akibatnya. Mungkin kita hanya bisa berkata, “Lho, gedungnya kok sudah tidak ada?” saat Lawang Sewu benar-benar roboh dan hanya menyisakan puing-puing yang berserakan tidak berguna. Sungguh malang!