Kamis, 25 November 2010

Hujan

Pagi ini hujan turun membasahi bumi. Dan hawa dingin datang menyelimuti kehidupan. Aku masih meringkuk di bawah selimut ketika tiba-tiba bunyi alarm berbunyi. Rrrriiiinngggg…. Aku mencoba membuka mata walau berat dan kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 05.00. Aduh, aku harus bangun! Aku harus segera mandi karena hari ini aku sudah berjanji untuk mulai lagi mengikuti misa harian yang sejak tiga hari ini sudah aku tinggalkan.

Sejenak aku terdiam. Bukankah di luar hujan deras? Apakah aku akan nekat menerobos hujan untuk mengikuti misa? Aku berada dalam kebimbangan. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap berangkat. Kenapa aku harus takut dengan hujan? Bukankah aku bisa memakai payung?

Hujan bagi sebagian orang kadang terasa menakutkan. Menakutkan karena ia bisa saja datang begitu tiba-tiba dan memporak-porandakan pesta ultah atau pesta perkawinan yang sudah dirancang sempurna dengan undangan yang berlimpah. Menakutkan karena mungkin ia juga akan membatalkan janji kita dengan klien penting yang akan mendatangkan keuntungan besar.

Bagi sebagian yang lain hujan memang benar-benar menakutkan karena ia menyebabkan banjir. Banjir yang menenggelamkan apa saja. Banjir yang membuat jalanan jadi macet, semrawut dan penuh ketidaksabaran dimana-mana. Banjir yang kemudian membuat rumah kita menjadi kotor penuh sampah dan lumpur, yang membuat kita harus bersusah payah untuk membersihkannya.

Namun bagi sebagian yang lain, hujan adalah berkah. Hujan menjadi rahmat yang sungguh dinantikan oleh para petani yang sawahnya kering, tanahnya pecah-pecah dan tandus akibat kekeringan selama berbulan-bulan. Hujan adalah anugerah karena ia membawa pertanda dimulainya sebuah pengharapan. Pengharapan akan kehidupan yang lebih baik.

Hujan tetaplah hujan. Ia akan turun ketika saatnya sudah tiba. Namun darinya kita bisa belajar tentang arti sebuah persiapan.

Hujan yang datang hendaknya mengingatkan kita untuk segera membenahi atap rumah yang bocor. Hujan yang datang kiranya juga mengingatkan kita untuk segera memeriksa got depan atau samping rumah. Apakah ia mampet karena sudah terlalu banyak timbunan sampah akibat perilaku kita? Bukankah kita harus segera membersihkannya agar ketika hujan itu datang dengan deras, air dapat segera mengalir dengan lancar sehingga tidak terjadi banjir. Bukankah hujan yang datang juga mengingatkan kita untuk selalu menjaga raga kita agar tetap kuat beraktivitas dan tidak mudah terserang penyakit.

Memang datangnya hujan mengajak kita untuk bersiap-siap. Namun alangkah lebih baik jika persiapan itu bisa kita lakukan jauh hari sebelum ia benar-benar datang seperti halnya para petani yang sawahnya kering, tandus dan pecah-pecah akibat kemarau. Mereka tidak diam berpangku tangan tetapi tetap mencangkuli dan membajak tanahnya dengan penuh kesabaran agar ketika hujan itu benar-benar turun mereka dapat segera memanfaatkan tanah itu untuk menaburkan benih kehidupan. Nah!

NB: REPOST

Selasa, 23 November 2010

Matahari dan Pohon Tua

Pagi ini matahari lagi ngambek. Wajahnya ditekuk dan kelihatan jelek sekali. Ia sudah meniatkan diri untuk tidak melakukan apa-apa hari ini. Ia kepingin tidur seharian.

Saat hendak memulai aksi tidurnya, tiba-tiba sebuah pohon tua datang menghampirinya.

“Met Pagi, Mata. Tumben kok belum siap-siap berangkat kerja?” sapa pohon tua, ramah.

“Eh, Po Tua. Hari ini aku tidak mau kerja lagi! Aku pingin tidur saja!” jawab Mata sambil beringsut membetulkan letak selimutnya.

“Lho kok ndak kerja, lalu bagaimana jika hari ini dunia menjadi gelap gulita?” Po Tua keheranan mendengar jawaban Mata.

“Ahh… biarin, aku tidak peduli! Pokoknya aku ndak mau kerja lagi!!” seru Mata.

“Lagi ada masalah ya dengan pekerjaan yang kamu lakukan?” tanya Po Tua lembut sambil berusaha menenangkan emosi Mata.

Melihat perhatian dari Po Tua, emosi Mata perlahan mereda. Ia segera menegakkan tubuhnya.

“Aku sudah bosan dengan pekerjaanku. Aku merasa apa yang sudah aku lakukan selama ini hanya kesia-siaan belaka...!” urai Mata.

“Maksudmu?” tanya Po Tua tak mengerti.

“Coba lihatlah para manusia itu, apa yang telah mereka lakukan selama ini? Mereka hanya mau menangnya sendiri. Mereka tidak pernah mau belajar untuk setia seperti kesetiaan yang selama ini telah aku tunjukkan. Dengan seenaknya mereka menceraikan istri-suami mereka hanya karena merasa istri-suami sudah ndak menarik lagi. Sudah merasa populer dan banyak uang hingga sah-sah saja kalo mencari wanita atau pria pendamping lain. Berbuat kasar terhadap istri, suami atau anak-anak mereka. Dan ujung-ujungnya mereka saling berebut harta, berebut anak bahkan berebut harga diri. Lalu apa artinya pesta pernikahan megah yang dahulu pernah mereka lakukan hingga menelan biaya miliaran rupiah. Apa artinya menikah di tempat-tempat yang suci kalo ujung-ujungnya hanya untuk bercerai!” Sejenak Mata menghela napas. “Mereka juga tidak pernah mau belajar setia pada kebenaran. Setia dengan hati nurani mereka masing-masing. Orang saat ini begitu mudah tersulut emosinya bahkan saling bunuh hanya karena masalah sepele. Lebih parah lagi, mereka memperlakukan sesamanya seperti hewan yang bisa dimutilasi dan dibuang bak seonggok sampah yang tiada berguna. Belum lagi mereka suka bertikai, tawuran yang tidak jelas, berperang hingga mengorbankan kepentingan sesama yang tidak berdosa. Sebagian lagi lebih suka menghambur-hamburkan uang karena merasa sudah berkelimpahan. Padahal harta yang mereka dapat itu dari hasil merampok dan merampas hak orang lain dengan cara korupsi. Nah, jika demikian bukankah apa yang aku lakukan selama ini tidak ada artinya sama sekali?” Mata terengah-engah dengan penjelasannya yang panjang lebar.

Po Tua hanya terdiam. Beberapa saat ia mencoba memahami kegelisahan yang dirasakan oleh Mata, sahabatnya.

“Mata, dulu aku juga pernah merasakan perasaan seperti itu. Perasaan tidak dihargai. Perasaan diabaikan dan tidak dianggap ketika para manusia itu dengan seenaknya menggunakan anggota tubuhku untuk kepentingan mereka. Memaku dengan sadis. Mengikat dengan tali temali sekuat tenaga hingga aku kesulitan untuk bernafas. Dan masih banyak lagi kesengsaraan yang mereka buat untukku. Namun akhirnya aku sadar, aku harus tetap bertahan…” terang Po Tua.

“Apa maksudmu…?!” tanya Mata kurang mengerti.

“Coba lihatlah sekelilingmu. Bukankah di hamparan ilalang masih banyak tumbuh bunga indah beraneka warna. Bukankah masih ada keharuman di tengah bau yang tidak sedap sekalipun,” jawab Po Tua.

“Ayolah, Po Tua. Jangan malah memberi perumpamaan yang berbelit-belit seperti itu. Aku semakin tidak mengerti?” bujuk Mata.

“Di tengah ketidaksetiaan istri dan suami masih banyak juga yang tetap setia mempertahankan pilihan mereka. Satu istri atau satu suami hingga maut memisahkan. Di antara manusia yang suka bertikai, masih ada yang selalu mengusahakan perdamaian. Masih banyak pula yang menjunjung tinggi rasa cinta terhadap sesama. Saling menghargai, memberi perhatian dan saling menolong. Dan ada pula yang selalu mengusahakan kebaikan untuk hidup bersama. Bukankah bagi mereka, cahayamu akan sungguh berguna? Bukan saja akan menjadi penerang bagi langkah mereka tetapi lebih-lebih akan menjadi pelita dan sumber teladan bagi manusia lain yang hidup dalam kegelapan.” jelas Po Tua.

Mata manggut-manggut. Ia berusaha meresapi apa yang barusan dikatakan Po Tua.

“Satu hal yang harus diingat: Kita harus bertahan. Bertahan untuk sikap dan tindakan yang baik di tengah banyak keburukkan dan kejahatan. Jangan sampai kita hanyut pada arus yang akan membawa kita pada ketidaksetiaan dan kegelapan. Kita harus berani setia pada kebenaran yang sudah kita pilih dan berani pula untuk mempertanggungjawabkannya!” tambah Po Tua.

Mata semakin mengerti. Sejurus kemudian ia teringat sesuatu dan segera berlari sambil berkata, “Trima kasih Po Tua, kini aku mengerti. Maaf, aku harus segera pergi untuk melaksanakan tugasku…”

Po Tua tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Dalam hati ia bersyukur karena sudah berhasil menyampaikan kebenaran.

NB: REPOST

Sabtu, 20 November 2010

Peduli

Apakah kita peduli pada rambut yang mulai panjang, yang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pergi ke tukang cukur? Pada perut kita yang keroncongan di tengah kesibukan yang begitu padat? Apakah kita peduli pada mata yang sudah lelah akibat lama begadang?

Apakah kita peduli pada istri yang mengajak kita untuk berbicara? Peduli dengan omelan istri saat sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya? Apakah kita peduli pada bayi kecil kita yang menangis karena lapar dan mengompol? Peduli dengan ayah-ibu yang beranjak tua dan mulai sakit-sakitan?

Apakah kita peduli pada kamar tidur kita yang berantakan? Pada tumpukan pakaian di pojok kamar yang menunggu untuk dilipat dan disetrika? Pada pakaian yang mulai sobek? Pada tumpukan piring cucian di sudut dapur? Pada sepatu yang mulai berdebu? Peduli pada halaman rumah yang kotor? Pada got depan rumah yang mulai mampet? Pada sampah yang dibuang tidak pada tempatnya?

Apakah kita masih suka menerobos lampu lalu lintas di perempatan jalan saat warnanya masih merah? Pedulikah kita dengan anak-anak kecil di pinggir jalan yang asyik mengamen dan meminta-minta di saat teman-temannya yang lain bersekolah? Apakah kita peduli dengan situasi masyarakat di sekitar kita? Pada tetangga yang butuh bantuan?

Jika kita seorang perokok, apakah kita peduli dengan asap rokok yang mengganggu orang lain yang ada di sekeliling kita? Peduli bahwa dengan tindakan kita sudah merugikan kesehatan orang lain?

Jika kita seorang pedagang, apakah kita peduli dengan apa yang sudah kita jual? Dengan kualitasnya? Dengan harganya?

Jika kita seorang pemimpin, apakah kita peduli dengan rakyat yang kita pimpin? Dengan kebijakan-kebijakan yang kita ambil? Dengan janji-janji yang pernah diucapkan dahulu? Apakah kita peduli dengan kesejahteraan rakyat?

Dan, mengapa kita peduli akan semua hal itu?

Karena kita adalah makhluk Tuhan yang sudah dikaruniai akal dan budi. Karena Tuhan tidak hanya menciptakan AKU, KAMU atau KITA. Karena Ia telah menciptakan dunia seisinya secara lengkap dan sempurna.

Oleh karena itu kita harus peduli. Karena dengan peduli berarti kita sudah menghargai hidup. Dengan peduli kita belajar bersosialisasi dan bertoleransi. Dengan peduli membuat hidup menjadi damai, tenteram dan mutu hidup semakin berkembang. Dengan peduli berarti kita sudah bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena Ia pun sudah peduli pada kehidupan dan kebutuhan kita. Bersyukur atas segala kebaikan yang sudah diberikanNya untuk kita.

Nah, marilah kita peduli!!!


NB: REPOST

Kamis, 18 November 2010

Kambing dan Serigala

Pada jaman dahulu, kambing berteman dengan serigala. Mereka hidup dalam damai dan saling tolong satu sama lain.

Suatu malam, kambing tengah terjaga. Sudah bolak-balik ia berusaha memejamkam mata tetapi tetap saja tidak bisa tidur. Dalam kepalanya terus saja terpikir sesuatu. Sesuatu yang membuatnya menjadi uring-uringan beberapa hari ini. “Aku harus bisa seperti serigala!” jerit hatinya. “Alangkah senangnya menangkap mangsa. Alangkah enaknya makan daging. Aku sudah bosan dengan makananku sehari-hari. Hanya rumput, rumput dan rumput melulu. Pokoknya, aku harus bisa seperti serigala!” tekad kambing, pasti.

Keesokan harinya, saat matahari masih malu-malu memberikan sinarnya, kambing bergegas ke rumah serigala. Di sana, dilihatnya serigala masih asyik bermalas-malasan di atas tempat tidur.

“Serigala, ayo cepat bangun! Aku ingin berburu denganmu,” teriak kambing.

Serigala terkejut. Sesaat ia melihat ke arah asal suara itu. Dilihatnya kambing sudah berada di depan pintu rumahnya. Sejenak ia merasa heran lalu katanya, “Eh, apa aku tidak salah dengar? Bukankah engkau tidak bisa berburu?” tanya serigala dengan wajah keheranan.

“Makanya aku pergi ke sini. Aku ingin kamu mengajari aku bagaimana caranya berburu dan menangkap mangsa. Aku ingin merasakan daging buruanku,” jawab kambing penuh semangat.

Serigala semakin terheran-heran. Namun ia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu terlebih ia sudah paham watak kambing. Jika sudah memiliki keinginan, pasti tidak bisa dicegah.

Mereka segera menuju ke tempat perburuan di balik bukit. Tempat di mana serigala biasa berburu. Dan memang, tempat itu dipenuhi hewan-hewan lain dari beragam jenis. Ada rusa, kelinci, kuda, harimau, burung dan masih banyak lagi.

Serigala mulai bersiap-siap. Pertama-tama ia mencari tempat persembunyian untuk mengintai hewan buruannya. Setelah menetapkan target, segera ia berlari dan mulai mengejar sang buruan. Tak berapa lama seekor kelinci telah berhasil ditangkapnya.

Kambing semakin iri melihat kepandaian sahabatnya. Dengan tidak sabar, ia minta diajari. Dan setelah merasa cukup mengerti, kambing ingin segera mencoba untuk berburu. Pertama-tama setelah mengintai beberapa saat, ia menetapkan seekor anak rusa gemuk yang tengah asyik makan sebagai sasaran. Dengan mengendap-endap kambing mulai mendekati anak rusa itu. Setelah dirasa cukup dekat, kambing segera berlari.

Anak rusa itupun terkejut melihat kedatangan kambing. Dengan reflek ia segera berlari menyelamatkan diri. Terjadi saling kejar. Kambing yang tidak biasa berlari segera saja ‘ngos-ngosan’ dan tertinggal jauh. Akhirnya anak rusa itu menghilang dari pandangan.

Kambing tidak putus asa. Segera ia menetapkan target buruan yang lain. Namun hal yang sama terus saja terulang. Ia gagal mendapatkan hewan buruannya hingga hari beranjak sore.

“Sudahlah kambing, ini memang bukan pekerjaanmu. Ayo kita segera pulang,” ajak serigala.

Kambing yang begitu kelelahan dengan kaki-kaki yang mulai gemetaran karena rasa capai yang tidak terkira hanya bisa menggangguk. Dengan langkah tertatih-tatih ia mengikuti serigala dari belakang.

Sesampai di rumah, serigala segera menghidangkan hasil buruannya di atas meja. Kambing sangat bersukacita atas kemurahan sahabatnya. “Tidak apa hari ini aku gagal, toh aku masih bisa makan daging buruan serigala, “ begitu pikirnya. Segera ia mengambil sepotong daging itu, mengigitmya sebentar dan kemudian menelannya. Aneh rasanya. Tiba-tiba perutnya terasa mual. Tapi kambing tidak mempedulikannya. Ia mengambil potongan-potongan daging yang lain. Mengunyahnya dengan tidak sabar. Terus dan terus. Tiba-tiba: “Aduh, sakit sekali…” teriak kambing sambil memegangi lehernya.

Serigala yang sedang asyik makan terkejut melihat sahabatnya. “Ada apa kambing…” Tergopoh-gopoh serigala mendekati kambing.

“A.. a.. ada tulang nyangkut di tenggorokanku. Tol..tolong aku serigala… Aku tidak bisa bernapas!” Kambing merem melek menahan rasa sakit yang luar biasa. Sementara serigala semakin kebingungan tidak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya kambing tidak sempat tertolong. Ia menemui ajal akibat kebodohannya sendiri.

NB: REPOST

Selasa, 16 November 2010

Cerita Pohon Asam Tua

Aku hanyalah pohon asam tua yang ada di pinggir jalan. Telah hampir seratus tahun aku berada di sini. Tumbuh dan melihat berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarku. Saat ini situasi begitu ramai. Berbeda dengan keadaan 30-40 tahun yang lalu. Ketika itu masih belum banyak keriuhan yang terjadi. Tanah-tanah di samping kiri kananku juga masih luas dan belum berpenghuni. Di depan dan belakangku juga belum banyak berdiri gedung-gedung. Tapi kini semuanya telah berubah. Aku merasa terjepit di antara gedung-gedung tinggi dan mal-mal yang terus saja dibangun.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan. Entah siapa yang dulu telah menanam aku. Mungkin barangkali siapa pun dia, berkeinginan agar nantinya aku dapat memberi kegunaan bagi ciptaan Tuhan yang lain. Dan cita-cita itu telah berhasil aku wujudkan di sebagian besar kehidupanku. Rindang daunku telah memberi keteduhan bagi siapa saja yang merasa kepanasan atau di kala hujan tiba. Lebat buahku juga memberi keuntungan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Tiap hari aku juga harus bekerja keras menyaring banyak udara kotor akibat aktifitas manusia.

Aku hanyalah sebuah pohon asam yang telah tua. Aku sangat sedih jika melihat ulah manusia. Selama ini mereka tidak pernah memelihara aku dengan sungguh-sungguh. Mereka jarang sekali menyirami aku disaat aku mengalami kehausan di tengah musim kering yang begitu panas. Mereka hanya ingin manfaat dariku. Dengan tanpa belas kasihan mereka memaku tubuhku. Dengan dalih karena akulah tempat yang paling tepat untuk memasang pengumuman, promosi, dan entah apa lagi. Apalagi jika musim kampanye tiba. Waduh, habis tubuhku dipaku oleh mereka. Seringkali aku juga kesulitan untuk sekedar bernapas ketika leher dan tangan-tanganku diikat oleh tali temali untuk memasang berbagai spanduk. Belum lagi jika ada tangan-tangan jail yang begitu teganya mencoret-coret dan mengelupasi kulit tubuhku.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tengah menanti ajal. Tubuhku yang telah renta kini semakin sakit akibat ulah para manusia itu. Aku ingin berteriak. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis keras-keras. Tetapi mereka tidak pernah mempedulikan aku. Mereka hanya menganggap aku sebagai benda mati yang bisa diperlakukan apa saja. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan, yang ingin dihargai, dirawat dan diperhatikan. Sebab aku juga makhluk hidup yang telah diciptakan oleh Tuhan.

NB: REPOST

Sabtu, 13 November 2010

Rem

Pernahkah kita membayangkan andai kendaraan atau mobil kita tidak diberi rem? Bagaimana ketika kita ngebut di jalan raya dan tiba-tiba harus berhenti mendadak karena lampu lalu lintas menyala merah? Bagaimana jika berada di jalanan yang menurun?

Rem mungkin hanyalah bagian kecil dalam motor atau mobil kita. Namun berkat jasanya kita bisa mengendalikan motor atau mobil kita yang cukup besar. Dengannya kita bisa lebih menghargai pemakai jalan yang lain. Kapan saatnya berhenti. Kapan harus menahan diri untuk tidak menyalip atau ngebut. Dengan rem kita bisa lebih berhati-hati ketika berada di jalanan.

Manusia juga sudah diberi rem oleh Tuhan. Rem itu adalah hati nurani. Persoalannya adalah apakah rem itu masih kita pakai? Ataukah sudah sejak dahulu kita lepas dan kita buang entah kemana? Melihat situasi dan kecenderungan masyarakat dewasa ini hal itu sudah terjadi. Kekerasan ada di mana-mana. Ketidakadilan bertumbuh semakin besar. Hanya karena persoalan sepele dengan mudahnya manusia saling bertikai, tawuran bahkan saling bunuh dengan cara-cara yang begitu biadab. Manusia mencari hal-hal untuk memuaskan nafsu tanpa mempedulikan sesama dan lingkungannya dengan foya-foya dan korupsi di segala bidang.

Untuk itu, kembali menggunakan rem adalah satu-satunya jalan yang mesti diperjuangkan. Memang sungguh berat apalagi ketika melihat pengaruh lingkungan yang ada di sekitar kita. Materialisme, hedonisme, kesenangan-kesenangan sesaat seakan terus hadir dan berlomba-lomba mempengaruhi kita. Mereka menawarkan sejuta kenikmatan dan kesenangan semu yang pada akhirnya membuat kita menjadi bimbang dan gampang terjatuh.

Tapi disadari atau tidak, itulah tantangan yang harus dihadapi. Rem yang sudah kita miliki hendaknya kembali kita rawat dengan baik. Kita jaga agar tidak cepat aus tergerus oleh keadaan dan lingkungan yang menawarkan banyak keindahan semu. Rem itu senantiasa kita lumasi dengan rajin mendengarkan firman-firman-Nya melalui doa dan ibadah kita sehari-hari serta ketekunan kita dalam melaksanakan kehendak baik. Berat memang, terlebih kita hanya manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Namun kita percaya, di bawah bimbingan-Nya tiada yang mustahil.

NB: REPOST

Minggu, 07 November 2010

Mulut

Hari ini mulut lagi mengadakan aksi demo. Sepanjang hari ia memlester dirinya dan diam membisu ketika tangan, kaki, telinga dan mata berusaha menyapanya.

Ketika tiba waktunya berdoa di hadapan Tuhan seperti biasa, untuk pertama kalinya mulut mau membuka plester dan bersuara, “Tuhan, aku mau protes kepadaMu!” mulut memandang wajah Tuhan yang nampak terkejut. “Aku protes, mengapa Engkau hanya membuatku satu saja? Aku iri dengan teman-temanku, mata, telinga, kaki dan tangan. Mereka Kau ciptakan dua-dua sehingga selalu punya kawan dan tidak pernah merasa kesepian. Aku iri dengan mereka Tuhan!”

Tuhan terdiam mendengar protes mulut. Sejenak ia memandang mulut dengan seksama sebelum berkata, “Mengapa engkau protes dengan apa yang sudah Aku lakukan? Mengapa engkau iri dengan teman-temanmu?”

“Bukankah aku juga sama dengan teman-temanku itu. Bahkan aku merasa punya keunggulan dibanding mereka. Tanpa aku, mereka tidak akan bisa menyampaikan maksud dan keinginan mereka kepada yang lain juga kepadaMu?” jawab mulut berusaha membela diri.

Tuhan hanya tersenyum, kemudian katanya, “Wahai mulut, engkau memang pandai berkata-kata. Apakah engkau tidak belajar dari Hawa, manusia kedua yang Aku ciptakan di taman firdaus itu? Bukankah ia terjerumus ke dalam dosa karena bujuk rayu mulut ular yang pandai berkata-kata sepertimu?”

Mulut terdiam.

“Dan saat ini lihatlah juga keadaan manusia di sekelilingmu. Apa yang seringkali mereka lakukan dengan mulut mereka? Bukankah kekerasan, kekejian, ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang terus terjadi adalah buah dari mulut mereka. Mulut yang mencaci. Mulut yang menyumpah serapah. Mulut yang saling menghujat. Mulut yang pandai berbohong dan berdalih. Mulut yang berkata-kata kasar. Mulut yang selalu berusaha mencari kesalahan sesama dan menelanjanginya di depan banyak manusia lain. Mulut yang tidak suka akan perdamaian. Mulut yang penuh kedengkian. Mulut yang selalu iri dengan keberhasilan manusia lain. Mulut yang penuh dengan janji-janji palsu. Apakah engkau tidak pernah menyadarinya?” tanya Tuhan. “Jika dengan satu mulut saja semuanya ini bisa terjadi, bagaimana jadinya jika aku membuatnya menjadi dua?” lanjut Tuhan.

Mulut semakin terdiam. Ia kini mulai merasa bersalah.

“Ketika Aku menciptakan engkau hanya satu dan telinga dua, Aku berharap bahwa manusia akan lebih banyak mendengar daripada berkata-kata. Mendengarkan segala kebenaran dan kebaikan sebelum mengatakan sesuatu apa pun itu. Saat aku menciptakan dua mata, Aku juga berharap manusia akan lebih banyak melihat segala kejadian sehingga ia dapat mengatakan sesuatu dengan tepat dan benar tanpa diiringi oleh penilaian-penilaian yang keliru. Dan apabila aku menambahkan dua tangan dan dua kaki, aku sangat berharap manusia tidak hanya berhenti pada kata-kata saja tetapi juga mampu mewujudkannya dalam karya dan tindakan yang nyata demi kebaikan dan keluhuran sesama manusia.”

Mulut tertunduk. Kini ia menyadari kebenarannya. Sejurus kemudian ia memandang Tuhan dan berkata, “Tuhan, ampuni aku yang bodoh ini. Aku hanya bisa menyalahkan Engkau tanpa pernah menyadari kebaikan yang selama ini Engkau berikan kepadaku. Bimbinglah aku agar aku bisa menahan diri terhadap kata-kata yang bertentangan dengan kehendakMu. Kuatkan aku agar aku senantiasa mampu menyampaikan kebaikan dan kebenaran di mana pun dan kapan pun. Dan terangi aku agar aku tidak hanya berhenti pada kata-kata kosong dan menipu tetapi dapat mewujud dalam tindakan untuk sesamaku.”

NB: REPOST