Rabu, 30 September 2009

Tanpa Judul

Gempa kembali melanda negeriku
meluluhlantakkan segala benda
menjadikannya puing-puing tak berguna
ratusan nyawa melayang
terkapar dalam diam di balik reruntuhan
sementara yang lain
dicekam kengerian teramat sangat

Tuhan,
betapa kami tidak berdaya
di dalam kuasaMu yang begitu Maha
ampuni kami
bila kami masih saja begitu jumawa
dengan jabatan, kekuasaan apalagi kekayaan
padahal semua itu bisa hilang sekejap mata

biarlah gempa ini kembali mengusik nurani kami
akan pentingnya perhatian,
saling berbagi dan memberi kasih tulus
untuk saudara-saudara kami
seraya terus mengucap doa
untuk mereka yang telah tiada

(turut berduka untuk para korban bencana gempa di Sumatra Barat. Semoga mereka yang telah tiada diterima di sisiNya dan yang berada di pengungsian semoga segera mendapatkan bantuan...)

Untuk Sahabat

Sahabat,
saat tempat yang berjarak menjadi penghalang
sang waktu telah satukan kita
hadirmu seperti terbit mentari di ufuk timur
memberi kehangatan yang berpengharapan
sapa dan coretanmu sebarkan kasih nan tulus

Sahabat,
jarak yang membentang bukan lagi hambatan
beda yang ada tak lagi menjadi jurang
karena sejatinya kita adalah saudara

Sahabat,
hanya sebuah ucap yang selalu kunyanyikan
syukur dan terima kasih…
Untukmu

Selasa, 29 September 2009

Untukmu

Kekasihku,
aku sungguh mencintaimu
masih terbayang jelas di benakku
saat kita berdua
mengucap janji sehidup semati

kini, biduk kita tengah berlayar
di samudera kehidupan
ada saat dimana kita bisa melihat
indahnya mentari di senja hari
namun,
sering gelombang datang tiba-tiba
dan badai, menghempas biduk kecil kita
membuat kita kepayahan hingga hampir menyerah
kadangpula
prasangka, kemarahan, kekecewaan dan kesedihan
menggerogoti jiwa kita
merubah kita menjadi pribadi egois

saat semua itu datang,
ingatlah kekasihku…
pada cinta yang dulu telah menyatukan kita
pada Dia dimana kita sudah mengucap janji sepenuh hati


Kekasihku,
aku sangat mencintaimu
dahulu, saat ini dan sepanjang hidupku

Minggu, 27 September 2009

Apa Gunanya?

Bagimu,
waktu adalah kesempatan
untuk mengucap kebaikan
hingga mulut menjadi kaku
tapi, apa gunanya?
jika kebaikanmu hanya sebatas kata
tanpa pernah mewujud pada tindakan
ibarat menggarami laut
semua hanyalah kesia-siaan
dan kebodohan belaka

Jumat, 25 September 2009

Engkau Setia

Saat aku begitu bahagia
karena keberhasilan dalam hidup
dan rejeki melimpah di tanganku
Engkau ada di sampingku
menungguku mengucap syukur
tapi mulutku kelu
terdiam tanpa kata untukMu

Ketika aku terpuruk dalam kesedihan
akibat kekecewaan, kegagalan
serta banyak kegetiran dalam perjalananku
hingga aku merasa begitu lelah
karena tangis yang tak bisa lagi keluarkan air mata
Engkau masih di sampingku
menggapai ragaku dalam rengkuhan kasihMu
namun, sering aku malah menyalahkanMu
mengapa ini terjadi padaku?

Waktu aku kembali jatuh,
jatuh dan terus jatuh ke dalam dosa
Engkau tetap setia
ingatkan nuraniku agar tetap bertahan
tapi, aku tak pernah mempedulikanMu

Tuhan,
ampuni aku…
syukurku yang begitu meluap
karena Engkau setia
kepadaku…
hambaMu yang tidak setia ini

Rabu, 23 September 2009

Andai Tidak Mengampuni..

Desa Sedayu geger. Pak Roiz, orang paling dihormati dan disegani di desa itu, mendadak meninggal pagi ini. Semua orang kaget dan tidak percaya karena selama ini, Pak Roiz yang mereka kenal adalah seorang yang penuh semangat dan tidak pernah mengeluh sakit. Namun takdir Tuhan memang siapa tahu. Dan ketika kematian itu menjemput, tidak ada seorang pun yang kuasa untuk menolaknya.

Saat jasad Pak Roiz masih terbujur kaku di ruang tengah rumahnya, dikelilingi keluarganya yang menangis histeris beserta dengan sanak-saudara dan tetangga-tetangga yang lain, nyawa Pak Roiz tengah melayang-layang di sebuah lorong yang gelap, panjang dan berliku. Setelah beberapa saat, nyawa itu pun sampai di sebuah tempat yang sangat indah dan penuh kedamaian.

“Tempat apakah ini?” tanya nyawa itu pada sebuah sosok yang tengah berjaga di pintu gerbang .

“Inilah yang dinamakan sorga. Apakah engkau tidak mengenalnya?” jawab sosok itu yang ternyata adalah seorang malaikat.

“Sorga? Ah… kebetulan, aku sudah memimpikannya sejak lama. Seumur hidupku, aku habiskan untuk bisa masuk ke tempat ini. Dapatkah aku segera masuk ke sana?” nyawa itu terlihat sangat gembira. Bergegas ia melangkah dengan tergesa.

“Eh… tunggu dulu… Engkau tidak boleh masuk!” kata malaikat itu dengan suara keras.

“Loh… kenapa? Bukankah selama ini aku sudah banyak berbuat kebaikan? Sepanjang hidupku, aku selalu mengajarkan kebaikan kepada setiap orang. Orang yang lemah aku tolong, orang yang miskin aku bantu keuangannya. Aku juga banyak menyumbang untuk pembangunan rumah-rumah ibadat. Apakah itu semua belum cukup?!” jawab nyawa itu dengan suara tak kalah keras.

Malaikat itu tertawa. Sejenak dipandangnya nyawa di depannya sebelum menjawab, “Ingatkah, apa yang engkau lakukan beberapa hari lalu di dunia sana?”

Nyawa itu terdiam. Terbayang kembali kejadian beberapa hari lalu.

“Tidak! Sekali lagi aku katakan tidak!” tegas Pak Roiz.

“Tapi pak… bukankah Udin adalah warga desa sini yang dikenal aktif di karang taruna dan berperilaku baik. Mengapa ia tidak boleh dikubur di tempat ini?” tanya pak Kadus sekali lagi.

“Itu masa lalu. Udin yang aku kenal sekarang hanyalah seorang teroris yang tega berbuat kejam untuk sesamanya!” jawab Pak Roiz.

Akhirnya, meski tanah sudah
digali, jenasah Udin tidak dapat dikuburkan di Desa Sedayu. Akibat omongan Pak Roiz, hampir semua penduduk desa sepakat menolak jenasah tersebut. Mereka tidak ingin desa mereka dicap sebagai sarang teroris.

“Nah… masihkah engkau merasa pantas untuk masuk surga? Sangkamu perbuatan baikmu sudah cukup… lalu… bagaimana dengan segala dosa yang pernah engkau lakukan? Apakah Tuhanmu akan mengampunimu kalau engkau sendiri tidak mau mengampuni saudaramu yang bersalah?”

Mendengar pertanyaan malaikat itu, sang nyawa pun hanya tertunduk.

Malaikat itu pun kemudian pergi setelah menggerendel pintu gerbang surga dengan gembok yang sangat besar. Kehadiran sang nyawa tidak dihiraukannya lagi.

Sabtu, 19 September 2009

Selamat Idul Fitri


Gema takbir berkumandang
pertanda kemenangan sudah tiba
mulut yang kering,
raga yang lemah,
dan indra yang tertahan ketika berpuasa
kini menemukan nikmat tiada tara

Selamat Idul Fitri sahabatku…
selamat menerima rahmat dan berlimpah berkat
setelah sebulan perjuanganmu…

dari lubuk hati yang terdalam
aku hanya bisa mengucap:
Minal Aidin Wal Faidzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin

seraya terus berharap
moga persahabatan yang sudah terjalin
terus menebar wangi
dan menjadi cahaya dalam kehidupan kita

Suatu Sore di Sebuah Perempatan

Aku bergegas memacu motorku. Berharap segera tiba di tempat di mana istriku bekerja. Sore itu jalanan begitu ramai, hiruk-pikuk penuh bermacam kendaraan yang lalu-lalang. Pada sebuah perempatan, suasana yang sudah riuh itu tiba-tiba berubah kacau. Lampu lalu lintas di ujung perempatan yang biasanya menyala, ternyata mati dan tidak berfungsi. Semua kendaraan bergegas melaju, saling berebut agar bisa terus berjalan. Tidak ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya, semua hanya bisa bergerak dengan sangat pelan karena terjadi kemacetan.

Di tengah situasi yang demikian, aku melihat seorang pemuda tanggung yang masih mengenakan seragam SMA turun ke jalan. Dengan penuh kesadaran dan keberanian, ia mulai mengatur lalu lintas agar semuanya bisa lancar kembali. Banyak yang mau menurut tapi ada beberapa yang tidak mengindahkan aba-aba pemuda tersebut. Maklum, ia hanya pemuda berseragam SMA, bukan polisi lalu lintas.

Sungguh, aku kagum dengan pemuda itu… di tengah banyak orang yang tidak peduli (bahkan polisi lalu lintas sekalipun) masih ada orang yang rela berkorban untuk membuat semuanya menjadi baik. “Apakah aku mampu berlaku seperti dia? Atau apa yang (akan) aku lakukan selalu didasari oleh untung dan rugi? Kalau toh memang tidak memberi keuntungan, buat apa aku melakukannya… cuek aja lagi… emangnya gue pikirin!!!” Ah……….

Rabu, 16 September 2009

Ilusi Nyata

Namanya kotak. Bentuknya bisa bujursangkar dengan sisi panjang, lebar, dan tinggi yang berukuran sama atau persegi panjang yang memiliki ukuran berbeda. Ia terserak di mana-mana dan selalu dapat kita lihat dengan jelas. CPU computer, lemari pakaian, wadah untuk menaruh berbagai barang keperluan sehari-hari atau untuk mengirim sesuatu, rumah tanpa atap dan masih banyak lagi yang lainnya.

Selain yang berwujud fisik, ada kotak yang merupakan hasil dari ilusi. Dan karena ilusi, kotak ini tidak berwujud tetapi pengaruhnya dapat kita rasakan. Ia selalu membatasi pikiran, perasaan dan tindakan kita dengan hal-hal yang sebenarnya kita ciptakan sendiri. Kotak itu tidak hanya satu tetapi ada beberapa macam yaitu; suku, agama, ras, kekayaan, pangkat, jabatan, kepandaian atau kelompok.

Karena aku suku X dan kamu suku Y maka kamu tidak layak untuk bergaul denganku. Agamaku adalah agama yang paling baik, paling benar dan paling boleh menentukan segala kebijakan maka jika kamu beragama lain, kamu harus disingkirkan. “Ah… rasmu adalah ras yang terbelakang. Beda dengan ras yang aku punya!” “Berapa jumlah kekayaanmu? Apa pangkatmu? Apakah jabatanmu juga tinggi seperti jabatanku. Kalau ya… silahkan bergabung… kalau tidak… sebaiknya pergi saja daripada nanti malah menjadi sampah!” Aku takut bergaul denganmu… takut kalau nanti ketularan jadi orang yang bodoh. “Kelompokku itu mayoritas… jadi jangan sekali-kali membikin kelompok yang lain… karena pasti akan aku libas dan sikat habis!”

Ternyata, kotak-kotak ilusi ini sungguh sangat jahat. Ia merubah manusia menjadi tidak sederajat dan berbeda. Padahal sejak dari mula, kita hanyalah seonggok daging yang diberi nyawa dan diciptakan Tuhan dari bahan yang sama. Jadi, mengapa kita masih menggunakan kotak-kotak itu?

Selasa, 15 September 2009

Karin, Memaafkan Itu Indah...

Karin gelisah. Duduknya tidak bisa tenang. Ekor matanya melirik jam dinding yang terpasang di pojok gereja. “Kurang sepuluh menit lagi… tapi kok belum ada petugas bacaan yang datang?” guman Karin. Sore itu, sengaja Karin duduk di bangku paling depan dengan maksud agar dapat melihat para petugas bacaan yang akan membantu pelaksanaan misa. Sudah beberapa kali ia mendengar selentingan dari teman-teman segenknya, juga beberapa umat yang kebetulan dikenalnya bahwa sekarang petugas bacaan sedikit sekali. Sering, yang bertugas hanya satu orang padahal idealnya harus ada dua. Yang lebih parah, kadang mereka harus bertugas kembali untuk misa yang lain pada hari yang sama.

Karin bimbang. Beberapa kali ia menghela nafas. Ia ingin segera berdiri dan berlari untuk bersiap-siap menggantikan, menjadi petugas bacaan seperti yang dulu pernah dilakukannya. Rasanya sudah lama sekali sejak peristiwa itu. (untuk mengingat peristiwa itu dapat dibaca di sini dan di sini...). Peristiwa yang membuat hati Karin, juga teman-teman segenknya, begitu terluka. Dan akibat peristiwa itu, Karin dan teman-temannya memutuskan untuk tidak datang lagi. Entah sampai kapan.

“Ayolah, Karin… mengapa engkau masih di sini? Apakah engkau akan membiarkan misa ini berlangsung tanpa ada petugas yang membacakan Sabda untuk umat?” tiba-tiba sebuah suara bergema di hati Karin. Karin bertambah bimbang. Beberapa saat ia hanya terdiam. Akhirnya, ia mengalah, ia tidak ingin ego itu terus menguasainya. Segera ia berlari, menyiapkan diri dan bergabung dengan petugas misa yang lain.

***

Sepi kembali merajalela. Orang-orang yang tadi nampak hilir mudik kini sudah tidak kelihatan lagi. Hanya pendar lampu dan suara binatang malam yang masih setia menemani. Di tengah keheningan itu, Karin masih bersimpuh di taman doa, di samping gereja.

Tuhan, terima kasih atas sore yang indah ini
Terima kasih karena Engkau kembali memanggilku sebagai pelayanMu
Maafkan aku karena akibat egoku selama ini
Aku menjadi buta akan panggilanMu
Aku dicekam prasangka dan kebencian yang tidak berdasar…

Tuhan, ampunilah aku…
Buanglah segala rasa sakit, kepedihan dan benci di dalam hatiku
Kuatkan aku agar aku bisa mengucap maaf
seperti yang selalu Engkau ajarkan…

Tuhan, semoga peristiwa sore ini
menjadi awal bagiku untuk kembali bergabung dengan teman-temanku
bukan karena ingin menyenangkan siapa-siapa
tetapi yang terutama adalah untuk kembali menjadi pelayanMu

Trima kasih Tuhan,
Trima kasih atas maaf yang begitu indah…

Minggu, 13 September 2009

Ibu

Ibu,
hangat rahimmu rawat nyawaku
deru nafasmu adalah pertaruhan hidup
untuk hadirku di sini
peluk sayang dan cium kasihmu
menjadi anugerah terindah iringi pertumbuhanku
peluhmu pertanda perjuangan yang tiada kenal lelah
tuk jadikan aku manusia berarti

Trima kasih ibu
segala dayaku tak akan pernah bisa
balas semua jasamu
hanya semesta doa kan kuucap setiap waktu
demi kebahagiaanmu

Trima kasih ibu

Jumat, 11 September 2009

Apalah Artinya...

Engkau memang kaya
hartamu berlimpah dan tersimpan di mana-mana
rumahmu bak istana megah berlapis emas
mobilmu mulai dari bmw hingga mercy
tapi apalah artinya…
jika semua itu malah membuatmu enggan berbagi
dengan kami yang berkekurangan

Engkau memang punya kuasa
jabatanmu tinggi dan disegani banyak orang
di tanganmu dengan mudahnya segala peraturan dibuat
di pikiranmu bermacam siasat dan akal berkawan erat
tapi apalah artinya…
jika hal itu malah menjadi kesempatan buatmu
untuk bertindak sesuka hati
menumpuk materi demi perut agar semakin membuncit
dan merubahmu menjadi monster
siap melahap siapa saja yang berusaha melengserkanmu

Engkau memang pintar
lulusan terbaik dari universitas di luar negeri
tapi apalah artinya…
jika hal itu kau gunakan untuk menipu kami
menjadikanmu semakin sombong,
dan mengganggap kami tidak sederajat denganmu

Engkau betul kaya, punya kuasa dan jabatan tinggi
serta otak yang sangat mumpuni
tapi semuanya tidak akan berarti
jika itu hanya untuk kemakmuranmu sendiri

Ingatlah,
semua yang kaupunya saat ini
tidak akan kaubawa ketika mati
hanya amal kebaikanlah yang sungguh berarti

Kamis, 10 September 2009

Mati dan Berbuah

May, si biji jagung belum juga terlelap. Berkali-kali ia mencoba memejamkan mata tapi tidak berhasil. Berkali-kali pula ia mencoba membolak-balik badan untuk mencari posisi tidur paling enak, namun semuanya juga tidak membantu. Masih terngiang di kepalanya, kata-kata yang diucapkan oleh si Taho, biji jagung paling tua dan dihormati, beberapa jam yang lalu.

“Wahai saudara-saudaraku, malam ini adalah malam terakhir kita berkumpul bersama. Esok pagi kita akan berpisah…” ucap Taho dengan suara keras.

“Apa maksud perkataanmu itu, Taho?” kata Muci, biji jagung paling cantik, tak mengerti.

“Ya… mengapa engkau berkata demikian… apakah engkau akan meninggalkan kami, “ ucap yang lain, hampir berbarengan.

Taho berdehem sejenak sebelum menjawab, “Saudaraku… besok adalah awal masa tanam bagi para petani jagung. Oleh karena itu… mulai besok… kita akan menjalankan kewajiban kita, ditanam, mati dan memberi buah bagi mereka,”

Tiba-tiba, jam yang tergantung di dinding sebelah atas lumbung berbunyi dua belas kali... memporak-porandakan lamunan May. “Tidak, aku tidak ingin mati!” jeritnya tiba-tiba. “Aku akan pergi dari tempat ini agar tidak menjalani kewajiban seperti kalian,” tambah May sambil melihat saudara-saudaranya yang sudah lama tertidur.

Dengan langkah terburu, May segera mengemasi barang-barangnya. Tak berapa lama, ia pun melangkah pergi, meninggalkan saudara-saudaranya dalam keheningan.

Beberapa jam setelah kepergian May, aktivitas di ladang itu segera dimulai. Para petani yang telah mempersiapkan lahannya dengan membajak dan memberi pupuk, segera membuat lubang tanam, mengisinya dengan biji-biji jagung yang sudah dipersiapkan, dan kemudian menyiraminya dengan air.

Dalam hitungan hari, biji-biji jagung yang telah mati segera mengeluarkan tunas-tunasnya sebagai awal kehidupan baru. Satu, dua, tiga helai daun dan akhirnya menjadi tanaman jagung yang sempurna. Dari hari ke hari, tanaman-tanaman itu terus tumbuh dengan subur hingga tiba saatnya mulai berbunga. Tak berapa lama muncullah buah-buah jagung. Awalnya kecil tapi lama kelamaan buah-buah itupun masak dan dipanen. Sungguh dari biji yang mati menghasilkan buah yang berkelimpahan.

Sementara itu May yang berkeras hati meninggalkan saudara-saudaranya dan tidak mau menjalani kehidupan seperti mereka, kini hanya sendirian, layu, membusuk dan akhirnya mati tanpa pernah memberi apa-apa dalam hidupnya.

Rabu, 09 September 2009

Masihkah...???

“Apakah engkau setia,” tanya hatiku suatu kali
“Ah… pertanyaan bodoh. Sudah pasti aku selalu setia!” jawab jiwaku
“Benarkah?” kata hatiku seolah tak percaya

Jiwaku pun terdiam
Tiba-tiba… sebuah kehangatan mengalir
Menyentak dan memberiku sebuah kesadaran

Masihkan aku setia kepada Tuhan?
Dia yang telah memberiku kehidupan?
Mematuhi perintahNya, menjauhi laranganNya
Dan memanjatkan syukur atas anugerahNya?
atau…
aku masih saja menuruti keinginanku sendiri
tanpa pernah mempedulikanNya…

Masihkan aku setia dengan kehidupan?
menjaga dan menghormati segala ciptaanNya
atau…
aku masih saja suka bertindak sewenang-wenang
merusak alam dan menindas sesama dengan penuh kekejian

Masihkah aku setia dengan kasih?
kepada cinta yang memberi hidup dan pengharapan?
atau…
hati dan jiwaku sudah tertutup oleh kebencian,
dendam, iri hati, kesombongan
dan keinginan untuk selalu menduakan cinta

Ah… mengingat semua itu…
Aku hanya bisa terdiam dengan muka memerah
ternyata…
aku masih tetap tidak setia

Lelaki Tua

Malam pekat. Gelap. Angin terus saja bergemuruh, menerbangkan daun-daun kering dari satu dahan ke dahan lain, jatuh ke tanah. Di langit, sedikit awan menggantung, menyelimuti rembulan yang tampak malu-malu membiaskan sinarnya. Malam itu begitu dingin. Dinginnya membekukan tulang sampai ke sumsum.

Di sebuah pojokan, tampak seorang lelaki tua. Ia setengah terbaring. Wajahnya menengadah ke langit. Wajah itu kotor, penuh kerut-merut tanda ketuaan. Matanya kuyu dan rambutnya penuh uban, kusut masai. Menandakan sudah tidak terawat sekian lama. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang yang tampak menonjol, menyembul di balik pakaiannya yang compang-camping, penuh tambalan di sana-sini.

Lelaki itu perlahan-lahan mengangkat tubuhnya. Ia mendesah. Ditatapnya rembulan di langit sana. Terbayang kembali peristiwa tiga puluh tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat dirinya terlunta-lunta. Sebatang kara.

Waktu itu ia masih muda. Tubuhnya gagah dan wajahnya juga lumayan ganteng. Ia menggabungkan diri dengan Tentara Pelajar. Berjuang untuk mengusir penjajah Jepang yang telah menguasai negerinya. Betapa di hatinya tersimpan dendam membara terhadap tentara Jepang. Mereka dengan sangat biadab telah membantai ayah dan ibunya.

Baru lima bulan ia melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis idamannya. Gadis yang sudah lama dikenalnya dan menjadi teman sepermainan semenjak kecil. Sumirah namanya.

Saat ini Mirah tengah mengandung. Tentu saja berita ini membuat hatinya berbunga-bunga karena beberapa bulan lagi, ia akan menjadi seorang ayah. Terbayang di benaknya bayi laki-laki mungil nan ganteng dan lucu. Namun, kegembiraan itu hanya sesaat. Esok pagi ia harus pergi meninggalkan istrinya untuk kembali berjuang.

”Kang....” Mirah terbangun. Ia menggosok matanya yang masih mengantuk. Dilihatnya suaminya yang duduk di pojok ruangan. Nampak asyik membersihkan senjata yang akan dipakainya esok pagi.

”Kang... Apakah kau akan pergi juga esok pagi?” tanya Mirah, setengah berharap dan cemas menunggu jawaban suaminya.

Lelaki itu masih terdiam. Sesaat diletakkannya senjata yang barusan dibersihkannya. Kemudian ia berjalan mendekati istrinya dan duduk di tepi ranjang, di sebelah istrinya. Tangannya bergerak lembut, membelai rambut istrinya dengan penuh kasih.

Sekali ia mendesah. Hatinya galau. Ia tak ingin pergi tapi ini adalah kewajiban. ”Mirah... Aku begitu mencintaimu. Apalagi dengan calon anak kita yang tengah engkau kandung. Rasanya begitu berat... berat untuk meninggalkanmu... apalagi di saat-saat seperti ini... tapi semua ini harus aku lakukan... Aku sudah diberi tanggung jawab untuk memimpin pasukan, melawan penjajah keparat itu!”

”Tapi Kang... Apakah aku juga tidak perlu dikasihani? Lihatlah kandunganku ini, semakin lama semakin membesar. Aku takut... aku takut Kang, jika saat anak kita lahir, Kau tidak ada di sampingku!” Mirah mulai terisak.

”Mirah... percayalah... aku pasti akan kembali. Percayalah bahwa apa yang aku lakukan adalah tugas mulia. Ini adalah jalan yang sudah aku pilih. Hapuslah air matamu. Pandanglah aku, Mirah!” Sebentar lelaki itu menarik nafas panjang, ”Berilah aku restu, Mirah! Berilah aku keyakinan agar aku dapat melaksanakan tugas dengan hati yang lapang. Hanya itu yang kuinginkan saat ini...”

Sumirah terdiam. Ia mencoba memahami apa yang dikatakan suaminya barusan. Terasa air matanya kembali jatuh. ”Kang... sungguh berat hatiku berpisah denganmu. Aku begitu mencintaimu. Engkau adalah lelaki pertama dan terakhir dalam hidupku. Tapi... aku tidak berhak menahanmu di sini.” ucap Sumirah sambil menyusut air matanya. ”Aku bangga padamu... Pergilah... pergilah, Kang... bertempurlah dengan penuh semangat. Jangan risaukan aku... Aku pasti akan merindukan kepulanganmu...” Segera diciumnya suaminya dengan penuh kasih.

Lelaki itu bernafas lega. Ia terharu dengan ketulusan istrinya. Terasa beban yang tadi menghimpit dadanya kini telah sirna. Hilang entah kemana.

Dan malam itu, adalah malam terakhir dimana ia bisa menyaksikan wajah istrinya. Saat ia pulang dari medan pertempuran, hanya ia dapati puing-puing. Rumahnya telah hancur, rata dengan tanah. Ia mencari tubuh istrinya tapi tak jua ditemukannya. Langkahnya tertatih-tatih. Kaki kanannya hilang terkena tembakan tentara Jepang.

Kenyataan yang dihadapinya membuat kakinya kembali terasa begitu nyeri. Ia ingin berteriak memanggil nama istrinya. Namun lidahnya kelu. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Hatinya hancur. Ia tak percaya istrinya sudah mati. Entah darimana kepercayaan itu datang. Ia bertekad akan mencari istri dan anaknya sampai ketemu meski sampai ke ujung dunia sekalipun. Ia tidak peduli.

***

Malam yang semakin dingin membuyarkan lamunan lelaki tua itu. Tak terasa butir-butir bening jatuh menetes membasahi pipinya yang begitu keriput. Kenangan itu ingin segera dihapusnya, tapi ia tak kuasa.

Ia sedih. Teramat sedih. Ia kini putus asa. Telah sekian lama ia berjalan dengan penuh pengharapan, menyusuri lorong, memasuki kota-kota dan perkampungan. Menjadi cemoohan banyak orang. Diusir bagai seonggok sampah tidak berguna. Namun tak jua ditemukannya istri dan anaknya.

Lelaki itu kini sadar. Istri dan anaknya memang sudah lama mati. Dan sudah sekian lama pula ia melupakan Tuhan. Sang Pencipta yang telah memberinya kehidupan dan pengharapan. Kini, ia ingin memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Ia merasa sudah tidak kuat lagi berjalan. Ia teramat lelah. Ia ingin malam ini Tuhan memanggilnya karena esok... ia tak tahu lagi apa yang mesti dilakukannya.

Rembulan di langit beranjak naik. Sinarnya semakin redup. Angin berhembus sepoi-sepoi. Dingin malam terus menggigit. Beberapa menit kemudian, semuanya serasa mati. Hening. Sepi. Perlahan namun pasti, malam bergulir meninggalkan kepekatannya menuju pagi.

Selasa, 08 September 2009

TAG dan AWARD

Jujur saja, sebenarnya aku nggak begitu ‘mudeng’ dengan yang namanya TAG. Ternyata masih ada tho… selain AWARD, yang bisa diberikan untuk sahabat blogger? Nah, khusus untuk yang satu ini, aku mendapatkannya dari mbak Rachel … Ketika dapat kabar di shoutmixku bahwa ada ‘sesuatu’ untukku, aku segera meluncur ke tempat si pemberi kabar… tapi nyampe di sana aku sempat bingung… lah, mana yang mesti kuambil… karena yang ada hanya barisan pertanyaan plus jawaban-jawabannya… setelah kucari tahu… ternyata ya pertanyaan2 itu yang harus aku copy… sedangkan jawabannya harus dijawab sesuai dengan kepribadianku… wah… wah… wah… peer yang lumayan ‘berat’ tapi asyik juga ternyata. Nah, setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan memberi jawaban-jawaban untuk TAG itu seperti berikut:

1. Apakah anda merasa hot?
Enggak… aku nggak pernah merasa hot… mungkin kalo penuh semangat iya… tapi kadang-kadang juga suka ‘nglokro’ kayak benang kecelup air… yah… namanya juga manusia…

3. Kenapa anda suka gambar ini?
Sebab dari gambar itu aku bisa belajar untuk selalu bersyukur… bersyukur atas pagi… bersyukur atas kehidupan yang telah diberikan olehNya… selalu penuh pengharapan dan setia seperti matahari yang selalu bersinar…
4. Kapan terakhir anda makan pizza?
Wah… kalau makanan yang kayak gini aku nggak pernah makan… habis… perut ini suka nolak jenis makanan yang ‘aneh-aneh’…
5. Lagu terakhir yang anda dengar?
Sempurna versinya Gita Gutawa… mengingatkanku pada seorang ‘adek’ yang saat ini lagi belajar di Yogya…
6. Apa yang anda lakukan sambil menyelesaikan tag ini?
Ndengerin musik
7. Selain dari nama anda sendiri, anda suka dipanggil dengan nama apa?
Om Dung… Awalnya sih agak nggak suka juga dipanggil kayak gini… kayak ‘om-om’ aja… aku kan masih muda banget… blum ada 17 tahun he…he…he… (ngarang sich…)
Sebenere panggilan ini pertama kali diucapkan oleh anak temanku yang baru berusia 2 tahunan… karena masih belajar ngomong… ia jadi nggak bisa ngucapin Om Gun… jadinya malah kedengeran Om Dung…
8. Anda seorang yang:
Sederhana dan nggak suka yang aneh-aneh…
9. Lagu kesukaan
Tak Ada yang Abadi yang dinyanyiin oleh Peterpan… tentang ini aku udah pernah nulis… dibaca di sini ya…
10. Best food kesukaan anda
Yang enak dilihat, enak dilidah, enak dirasa dan enak diperut… (komplit khan…)
11. Sikap yang membuatkan anda stress
Orang yang nggak bisa rapi dan sukanya mberantakin barang-barang yang sudah dirapiin….
12. Benda yang harus ada di tas anda
buku catatan, bolpen…
13. Fav Color
Biru dan merah muda
14. Tag lagi beberapa orang tanpa rasa kekesalan…

Dan kemaren, lagi-lagi sebuah award mampir ke rumahku… Award ini dipersembahkan oleh sahabat baruku namanya mbak Annie http://… sebuah award yang sederhana tetapi bermakna mendalam. Selain itu award ini juga mengandung pesan yaitu: Di bulan mulia ini saya mencoba berbagi award kepada semua rekan blogger yang aktif dan berpartisipasi di blog ini, tujuan saya adalah menyatukan para bloger mania di Indonesia dengan satu bahasa : Persatuan, semoga award ini bisa diterima oleh sobat-sobat semua dimanapun.

Arti dari award itu adalah sebagai berikut:
Tugu Hijau : melambangkan sobat-sobat baru
Tugu Kuning : melambangkan sobat-sobat yang selalu aktif
Tugu Biru : melambangkan sobat blogger dengan PR tinggi
Landasan Merah : melambangkan bahwa kita semua sama, baik pemula hingga senior adalah terangkum dalam satu wadah/tempat, dengan darah yang sama berwarna merah, dan sesungguhnya kita adalah saudara.

Selanjutnya TAG dan Award ini akan aku berikan kepada: Deogracias, Willy Weblog, Maya Sitorus, Jola76, dan Yudie. Semoga kalian berkenan menerimanya. Salam terkasih dan penuh cinta dariku. I love you fulllllllllll……

Sabtu, 05 September 2009

Award (lagi)

September ceria... September ceria... barangkali lagu dari Vina Panduwinata ini cocok untuk menggambarkan perasaanku saat ini. Keceriaan sebagai cerminan dari kebahagiaan hati. Bahagia karena meski baru beberapa hari September melangkah... (lagi-lagi) aku sudah ketiban beberapa award dari sahabat blogger. Tercatat ada 3 award (2 di antaranya ber-backlink) yang diberikan kepadaku.

Award ber-backlink pertama aku terima dari Mas Shulayman. Bagi siapa saja yang menerima award ini diharuskan untuk membagikan kembali award ini kepada sepuluh orang temannya. Dan selanjutnya si penerima award harus meletakkan link-link berikut ini di blog atau artikel kamu : 1) Reni Judhanto, 2) Evylia Hardy, 3) Eric Ariyanto, 4) Irfan, 5) boy, 6) Mas Doyok, 7) Rizky, 8) kupu.miss.oemang, 9) shulayman, 10) Cahyadi. Dan selanjutnya award ini akan aku teruskan kepada: Ichamor, Yunna, Monica, Harto, Nadja Tirta, Shasya, Desti, Princess, Irma, dan Fitri Alifah.

Award ber-backlink yang kedua aku terima dari Mas Firdaus. Sama seperti perintah di atas, award ini juga harus dibagikan kepada sepuluh teman yang lain, dan wajib meletakkan link-link sebagai berikut: 1) Avanca Linux, 2) Ote Tatsuya, 3) Deogracias, 4) Free Tips, 5) Auto Motor 2009, 6) Ruri, 7) Mas Doyok, 8) New Blogger, 9) Putra Martapura Blog, 10) Cahyadi. Award yang ini akan aku berikan kepada: Maya Sitorus, Lover, Brigadista, Jola76, Wongapik, Willy Weblog, Orema, Genial, Harri, dan Goceng.

Aturan pemberian kedua award itu adalah sebagai berikut (maaf copy paste aja nih): sebelum kamu meletakkan link di atas, kamu harus menghapus peserta nomor 1 dari daftar. Sehingga semua peserta naik 1 level. Yang tadi nomor 2 jadi nomor 1, nomor 3 jadi 2, dst. Kemudian masukkan link kamu sendiri di bagian paling bawah (nomor 10). Tapi ingat ya, kalian semua harus fair dalam menjalankannya. Jika tiap penerima award mampu memberikan award ini kepada 5 orang saja dan mereka semua mengerjakannya , maka jumlah backlink yang akan didapat adalah:

Ketika posisi kamu 10, jumlah backlink = 1
Posisi 9, jml backlink = 5
Posisi 8, jml backlink = 25
Posisi 7, jml backlink = 125
Posisi 6, jml backlink = 625
Posisi 5, jml backlink = 3,125
Posisi 4, jml backlink = 15,625
Posisi 3, jml backlink = 78,125
Posisi 2, jml backlink = 390,625
Posisi 1, jml backlink = 1,953,125

Dan semuanya menggunakan kata kunci yang kamu inginkan. Dari sisi SEO kamu sudah mendapatkan 1,953,125 backlink dan efek sampingnya jika pengunjung web para downline kamu mengklik link itu, kamu juga mendapatkan traffik tambahan.

Nah, silahkan copy paste saja, dan hilangkan peserta nomor 1 lalu tambahkan link blog/website kamu di posisi 10. Ingat, kamu harus mulai dari posisi 10 agar hasilnya maksimal. Karena jika kamu tiba2 di posisi 1, maka link kamu akan hilang begitu ada yang masuk ke posisi 10.”

Untuk award ke-3 aku terima dari F2 (mbak Fanny n’ mbak Fanda) Blog. Selanjutnya, award ini akan aku serahkan kepada: Frans, Bhakti, Cyntia, Vincensius, dan Ichaelmago.

Sebagai penutup, aku persembahkan sebuah pusi singkat untuk sahabat semua. Semoga berkenan dan semakin menumbuhkan cinta di hati. Salam terkasih dariku.

Sahabat,
engkau jauh tapi terasa dekat
sapamu bagai mentari yang setia menyinari bumi
perhatianmu seperti pelita di gelap malam

Trima kasih sahabat,
hadirmu menjadi semangat
untuk terus berkarya
dan berbuat yang terbaik
bagi sesama

Jumat, 04 September 2009

Ramadhan (bukan) Bulan Penuh Berkah

Barangkali judul di atas kedengaran aneh dan di luar kewajaran. Apa pasal? Sebab judul yang berupa pernyataan itu bertolak belakang dengan pemahaman yang selama ini sudah diterima secara umum. Lalu maksudnya apa? Eh, jangan buru-buru menduga yang tidak-tidak apalagi sampai tersulut emosi, mata melotot hingga tangan terkepal siap untuk melabrak. Nah, biar semuanya jelas, yukkk kita simak uraian di bawah ini...

Beberapa hari lalu, saat hari pertama puasa, seorang teman di kantor berujar, ”Wah, kemaren pak Amin, imam masjid di kampungku hampir pingsan dadakan.”

”Kok bisa begitu, mas?” tanyaku tak mengerti.

”Ya, pasti aja kayak gitu. Lha wong biasanya tuh orang yang datang setiap malam di masjid bisa dihitung dengan jari... eh... kemaren... tiba-tiba aja jumlahnya banyak banget... sampe-sampe ada yang harus menggelar tikar karena sudah tidak ada tempat di dalam masjid,” terang temanku penuh semangat.

”Lah, itu kan pertanda bagus, mas. Berarti sudah banyak orang yang semakin sadar dan mau mendekatkan diri dengan Tuhan,” jawabku sekenanya.

”Sadar apanya! Mosok sadar kok berubah-ubah... awalnya aja banyak... coba aja diliat dalam beberapa hari ke depan... pasti jumlahnya akan semakin berkurang. Lucunya, pas mau tiba Lebaran, masjid kembali penuh. Apalagi saat Idul Fitri... bisa-bisa, jalan di depan masjid nggak bisa dilewati karena saking penuhnya orang yang mau melaksanakan sholat.” tegasnya.

”Ooooooo.....” aku hanya bisa mengangguk-angguk.

Pada hari yang laen, tiba-tiba aja hati ini jadi mangkel berat. ’Nggonduk’ dan entah apalagi. Ini karena ulah temanku. Ia malah enak-enakan bersantai sambil tidur-tiduran di gudang padahal belum tiba waktunya ia harus beristirahat, sementara aku dan beberapa rekan yang lain harus ’berjibaku’ melayani pembeli yang tiada hentinya datang ke toko tempatku bekerja.

”Oke, mungkin ia memang lagi puasa, tapi masak kayak gitu?!” tanyaku dalam hati.

”Mas, orang puasa itu kan nggak makan dan minum seharian... jadi badannya pasti lemes...” jelas sisi hatiku yang laen.

”Lemes ya lemes... tapi itu kan nggak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan tindakan yang tidak benar... !”

”Mas... mas... yang sabar tho... orang puasa itu harus dihormati lho...” ujar sisi hatiku, lagi.

”Tapi kan nggak kayak gitu caranya... itu mah namanya menyengsarakan yang laen. Kalau mau dihormati ya harus mau menghormati, gitu hukumnya!” tegas hatiku.

Yah, ramadhan memang seharusnya bulan yang penuh berkah. Namun berkah itu tidak berarti apa-apa bila kita masih saja menjalankan segala kewajiban di bulan ini hanya didasari oleh hal-hal yang lahiriah. Ikut-ikutan biar dianggap baik, sekedar rutinitas yang tidak pernah dihayati, karena ada iming-iming tertentu atau sekedar ingin mendapatkan penghormatan (penghargaan). Segala kegiatan yang dilakukan di bulan ini seyogyanya juga semakin membuat orang menjadi lebih baik, bukannya bisa seenaknya sendiri dan tidak menghargai orang lain.

(mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan karena ini hanya sekedar uneg-uneg yang ’minta’ dikeluarkan. Semoga bermanfaat dan bisa menjadi berkat).

Kamis, 03 September 2009

Pagi

Pagi nan indah
embun menetes perlahan dari dedaunan
burung-burung bersenandung riang
di pucuk pepohonan
segar udara hidupkan jiwa

Syukur ya Tuhan
masih Kau beri aku dengan pagi
masih Kau anugerahi aku dengan waktu
kesempatan untuk berubah dan memperbaiki diri
meski aku tidak pantas
meski aku tidak layak
semua hanya karena kasihMu
aku dapat berdiri di sini

Tuhan,
biarlah kemarin menjadi cermin
hari ini terus berjuang
dan esok memberi pengharapan
untuk lebih baik
untuk menjadi insan
yang setia dan taat kepadaMu

Syukurku ya Tuhan

Selasa, 01 September 2009

Jangan Menyerah

Sang waktu terus berjalan. Detik, menit dan jam seakan tiada lelah berkejaran. Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tak terasa hari ini langkahku sudah sampai di bulan September. Hari pertama di awal bulan seakan mengingatkanku untuk segera bermenung akan segala perjalanan yang sudah aku lakukan hingga hari ini. Suka-duka, tawa-sedih, senang-susah, berhasil-gagal, penuh semangat-putus asa, menjadi fragmen hidup yang silih berganti dan terus bergandeng tangan.

Masih teringat jelas di benakku, detik pertama saat hari pertama di awal tahun ini ketika aku berbaur dengan banyak orang di perempatan jalan dekat Tugu Muda. Langit yang gelap seakan terus disinari taburan nyala kembang api yang berpendaran. Banyak orang terpana dan memandang kagum. Banyak orang bersorak dan bertepuk tangan. Sementara yang lain dengan bersegera mengambil momen-momen indah itu menggunakan kamera saku yang sudah dipersiapkan, termasuk diriku.

Masih juga terbayang saat aku bersimpuh di hadapanMu sambil mendaraskan doa-doa dan permohonan untuk kehidupan di tahun yang baru. Aku ingin menjadi orang yang lebih baik, bagi Engkau, orang lain maupun bagi diriku sendiri. Aku ingin menjadi seorang penulis, sebuah keinginan yang sudah lama terpendam namun entah... muncul kembali dan terasa semakin kuat mempengaruhi pikiranku. Aku ingin meninggalkan segala kebiasaan buruk yang sudah bertahun-tahun menghantui hidupku.

Kini, delapan bulan berlalu sejak saat itu. Ada gundah yang terasa menyesak di dada. Ternyata doa dan harapan belum mampu mewujud secara sempurna. Masih banyak kekhilafan. Masih banyak pula ketidakmampuan untuk bertekun dan dan bersiteguh pada niat yang baik. Sering aku dikalahkan oleh nafsu dan godaan untuk kembali pada kehidupan lama. Tak jarang pula aku melupakan segala niat yang pernah aku ukir di sanubari. Jatuh, jatuh dan kembali jatuh. Namun, Engkau selalu menjadi pelita. Di saat kegagalan begitu menghimpit, Engkau menawarkan pengharapan. Di saat aku terpuruk, Engkau mengulurkan tanganMu dan menggamit tanganku agar segera bangkit. "Jangan menyerah, Nak... Aku akan menopangmu," ujarMu penuh kasih. Yah, jangan menyerah dan jangan pernah mau menyerah. Walau berapa kalipun aku terjatuh... aku akan terus berusaha untuk tidak menyerah.

Sayup-sayup di keheningan malam lagu dari 'D'masiv' mengalun lembut, memenuhi udara dan menentramkan hati...

Tak ada manusia yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali segala yang telah terjadi

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Yang tak kenal putus asa

Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah