Kamis, 06 Agustus 2009

Seperti Bambu

Seorang petani termangu di pinggir ladangnya. Sesaat ia tengadah ke langit. Langit di atas sana begitu cerah. Tak ada mendung yang kelihatan berarak. Mendung yang akan membawa hujan, yang sudah dinantikannya sekian lama. Ladang di hadapannya sudah kering kerontang. Tanahnya mulai retak-retak karena tidak tersentuh air. Aneka jenis tanaman sayur yang baru dua bulan ini ditanamnya terlihat begitu merana. Layu dan tidak berkembang karena kekurangan air. Belum lagi banyak gulma yang kini mulai mengganggu. Setiap hari ia harus rajin menyiangi ladang itu agar setiap gulma yang tumbuh bisa segera dicabut dan tidak membuat tanaman sayurnya bertambah merana.

Hari ini, sang petani berencana akan mencari sumber air. Ia tidak ingin tanaman sayur yang sudah ditanamnya mati sia-sia. Setelah mempersiapkan segala peralatan yang diperlukan, ia segera berangkat.

Perjalanan sang petani ternyata cukup jauh. Ketika hari beranjak malam, ia sampai di pinggir sebuah hutan. Setelah menyalakan obor untuk menerangi jalan, sang petani memasuki hutan dengan sedikit was-was sebab ia belum mengenal daerah itu. Baru beberapa langkah, petani itu terkaget-kaget bercampur gembira. Di hadapannya terbentang sebuah telaga kecil yang airnya sangat jernih. “Puji Tuhan, inilah sumber air yang aku cari-cari!” teriak petani itu dalam hati. Namun, kegembiraan itu berubah menjadi kebingungan. “Bagaimana caranya aku bisa mengalirkan air di telaga ini sampai ke ladangku?” lanjut petani itu.

Karena lelah dan pusing memikirkan hal itu, sang petani akhirnya memutuskan untuk beristirahat di bawah rumpun bambu yang tumbuh lebat di pinggir telaga. Angin malam berhembus perlahan dan membuat sang petani tertidur.

“Wahai petani, mengapa engkau sampai di tempat ini?” ujar sebuah suara.

Sang petani kaget. Ia celingukan mencari asal suara itu. Tapi tidak ada siapa-siapa selain dirinya.

“Aku adalah rumpun bambu yang ada di belakangmu,” terang suara itu kemudian.

Petani itu bertambah kaget. Baru kali ini ia mendengar ada rumpun bambu bisa berbicara. “Maafkan aku sahabat, aku tidak bermaksud mengganggu ketenanganmu. Aku hanya sedang mencari sumber air untuk mengairi ladangku yang kekeringan,” jelas sang petani dengan perasaan takut.

“Bukankah sumber air itu sudah kautemukan. Mengapa engkau masih kelihatan bingung?” jawab rumpun bambu itu.

“Benar, aku memang sudah menemukannya. Tapi, bagaimana caranya aku bisa membawa air di telaga ini untuk sampai ke ladangku?” tanya petani itu dengan wajah diliputi ketidaktahuan.

“Wahai petani yang baik, engkau dapat menggunakan tubuhku untuk mengalirkan air di telaga ini. Potonglah aku, lalu belahlah aku menjadi dua bagian. Kemudian sambungkan masing-masing belahan tubuhku hingga sampai di ladangmu. Pasti air di telaga ini bisa mengalir sampai ke ladangmu,”

“Memotongmu! Bukankah itu sama halnya dengan membunuh dirimu!?”

“Aku ikhlas menerimanya. Bukankah aku dan engkau ditakdirkan hidup di dunia ini untuk saling tolong-menolong?”

Tiba-tiba angin berhembus kencang. Daun-daun bambu berjatuhan menimpa sang petani yang sedang tertidur pulas. Ia segera terbangun. Rupanya apa yang dialaminya barusan hanyalah mimpi. Mimpi yang telah memberinya jalan keluar.

Dengan penuh semangat, petani itu segera mengambil parang dari kantung perbekalannya. Dikerjakannya semua petunjuk yang ada dalam mimpinya. Akhirnya, ketika pagi datang, bambu terakhir sudah sampai di ladangnya.

Segera, air telaga itu membasahi ladang. Aneka tanaman sayur yang semula layu berubah tegak. Mereka menyambut gembira kedatangan air yang sudah lama dinantikan. Sang petani pun berharap akan bisa menuai panen jika saatnya tiba.

(Ada dua pilihan dalam hidup ini. Menjadi seperti bambu yang ikhlas mengalirkan kebaikan atau justru memilih menjadi gulma yang nantinya hanya akan dicabut dan kemudian dibakar)

10 komentar:

Yanuar Catur mengatakan...

filosofi bambu emank keren sob,,,
hehehehehe

Fanda mengatakan...

Cerita yg indah sekali, mas! Pengorbanan sang bambu adalah pengorbanan tertinggi, rela mati demi kehidupan yang lain.
Mas, silakan mampir ke tempatku utk memilih buku dan mengambil award ya!

riosisemut mengatakan...

Aku milih jadi bambu aja deh,

Kalo aku yg jadi Petaninya pasti aku uda lari, karna mengira yg ngomong itu Gondoruwo, hahaha...

Unknown mengatakan...

hmm....memilih jadi manusia aja tentunya. manusia yg punya sikap spt bambu.

Kabasaran Soultan mengatakan...

Mau langsung jadilah seperti bambu..

Mau tidak langsung ..jadilah gulma dulu ...dicabut, ditumpuk lalu dibakar dan abunya baru bisa dimanfaatkan ntuk pupuk..

Filosofi yang cerdas bro...

mas doyok mengatakan...

kweren mas

buwel mengatakan...

muantabbbbb filosofi bambunya....memang sebaik baik orang adalah yang bermanfaat untuk orang lain...

cah ndueso mengatakan...

bambu ki lek ning nggonaku jenenge pring,kumpulan bambu jenenge greng.

Nadja Tirta mengatakan...

Bambu itu rela berkorban ya mas..
Hidup bambu!! Hehehe..
Mas kalau ngga repot bantu saya ngerjain PR ya...

yusfita mengatakan...

bambu itu memang banyak gunanya yah. selain dipake buat talang air, bisa juga dimakan(rebungnya), kerajinan2 lain. pengen seperti bambu, bisa berguna buat orang banyak. :)