Selasa, 30 Agustus 2011

Lakukanlah Dengan Cinta

Kata-kata ini begitu saja muncul di dalam hatiku. Mengembara dalam relung jiwaku dan tidak mau hilang dalam ingatanku. Terus menggoda, terus bertumbuh, dan membuatku terus memikirkannya.

Barangkali, inilah yang aku butuhkan selama ini. Melakukan segala sesuatu dengan penuh cinta. Cinta yang tulus. Cinta yang memberi. Cinta yang mampu menghargai perbedaan. Cinta yang memahami. Cinta yang memberi kekuatan dalam setiap cobaan, hambatan, serta aral melintang yang menghadang. Cinta yang memberi kesadaran bahwa di atas segalanya, ada Dia sang Mahacinta yang sudah terlebih dahulu memberikan cintaNya untukku.

Lakukanlah dengan cinta. Bukan dengan keterpaksaan. Bukan karena kewajiban. Bukan karena ingin mendapatkan penghargaan atau pujian dari orang lain.

Jumat, 26 Agustus 2011

Setia

Untuk setia itu sangat tidak mudah. Akan ada banyak godaan dan rintangan saat kita hendak melakukannya. Setia kepada kebenaran. Setia untuk melakukan hal-hal yang baik. Setia kepada Tuhan.

Contohnya aku. Sejak akhir bulan lalu, aku telah menuliskan 5 hal yang ingin aku lakukan mulai bulan Agustus ini. Lima hal itu kemudian aku print dalam selembar kertas folio dan aku tempel di dinding kamar tidurku. Aku berharap, saat aku hendak tidur dan bangun tidur keesokan harinya, aku (selalu) diingatkan akan komitmen itu.

Beberapa hari aku memang mematuhinya. Tapi mulai hari kesekian, aku merasa berat. Seolah ada beban yang menghimpit pundakku dan memaksaku untuk berhenti. Kembali kepada kebiasaan lama dan tidak lagi setia pada komitmen itu.

Sungguh, aku sangat lemah. Aku begitu mudah jatuh di dalam godaan. Aku kalah oleh bujukan setan yang terus-menerus mengajakku untuk tidak setia. Namun, Ia selalu setia untukku. Ia tidak pernah memarahi aku ketika aku jatuh dan tidak setia. Malahan, kasihNya yang tanpa batas selalu tercurah kepadaku, merengkuhku, dan mengajakku kembali kepadaNya. Ia selalu memberi kesempatan, kesempatan, dan kesempatan. Ia tidak pernah lelah menungguku.

Ah... semua memang tidak akan pernah berlangsung secara instan. Selalu ada proses yang harus dijalani. Termasuk untuk setia. Dan dalam seluruh proses itu, tidak penting berapa kali kita terjatuh. Berapa kali kita kalah oleh godaan. Sebab yang lebih utama adalah saat-saat dimana kita bangkit dari hal tersebut. Saat-saat dimana kita kembali lagi kepadaNya dengan penuh kesadaran dan niat yang baru.

Untuk itu, hanya ucap syukur yang selalu aku lambungkan kepadaMu. Syukur atas segala anugerah. Syukur atas berbagai kesempatan. Syukur karena Engkau selalu setia menjagaku, manusia yang lemah ini.

Kamis, 25 Agustus 2011

Kursi Goyang

Kursi goyang itu masih ada di sana. Diam membisu di salah satu sudut ruang keluarga rumah orangtuaku. Jujur, aku selalu bergidik saat melihatnya. Ada rasa takut yang tiba-tiba menguar melihat sosoknya yang hitam kecoklatan.

Dan, peristiwa belasan tahun yang lalu kembali hadir di pelupuk mataku.

Petang itu, ayahku sedang duduk santai di atas kursi goyang. Kursi itu adalah tempat favoritnya saat berada di rumah setelah seharian bekerja. Di atas kursi itu, ayahku biasa mengutak-utik remote untuk mengganti-ganti chanel televisi, mencari berita yang menjadi acara kesukaannya. Sesekali, ia menyeruput teh hangat bikinan ibu dan mengambil pisang goreng yang menjadi penganan kesukaannya.

Tiba-tiba, ayahku mengerang kesakitan. Erangan yang membuat aku, ketiga adikku, dan ibuku, segera menghambur mendekatinya. Dan di sana, kami melihat ayah kami terkulai lemas. Kedua tangannya bersidekap di dada. Nafasnya tersengal-sengal. Lalu, beberapa menit kemudian tarikan nafasnya tidak terdengar lagi. Ayahku diam untuk selamanya.

Semilir angin membuyarkan lamunanku. Aku segera terjaga. Kulihat, kursi goyang itu masih ada di sana. Namun kali ini ada yang aneh. Kursi goyang itu bergerak perlahan. Entah... siapa yang menggerakkannya.

Ah... bulu kudukku tiba-tiba berdiri.