Jumat, 30 Juli 2010

Mengapa?

Pagi belum separuh jalan. Kegelapan masih berpeluk erat. Tapi di rumah Surti, kesibukan sudah mulai terasa. Tangannya yang cekatan sudah sedari tadi mempersiapkan segala sesuatu untuk berjualan hari ini. Yah, sudah hampir setahun ini kebiasaan sebagai pedagang bubur ayam terus dilakoninya. Jujur, sebenarnya ia tidak mempunyai keahlian menjadi pedagang tetapi karena terdesak kebutuhan dan hanya itu satu-satunya pilihan, akhirnya, ia mau melakukannya.

Parto, sang suami, hanyalah buruh harian lepas di sebuah pabrik dengan gaji pas-pasan, yang hanya cukup untuk makan sehari-hari dan membayar kontrakan rumah.

Rumah? Hemm... mata Surti segera berkelebat memandangi seisi rumah yang sudah hampir sepuluh tahun ditempatinya. Jika bisa memilih, ia pasti tidak akan tinggal di rumah ini. Rumah yang sempit, pengap, dan kelihatan kusam. Belum lagi banyak genteng yang sudah berlobang hingga kalau musim penghujan tiba, tetes-tetes air akan berjatuhan dan membentuk genangan di dalam rumah.

”Hey... bukankah engkau memang tidak bisa memilih? Jadi mengapa harus berandai-andai,” tiba-tiba suara hatinya memprotes. Benar... memang ini kenyataannya. Kenyataan yang membuat Surti tetap melambungkan syukur. Syukur karena ia masih memiliki tempat berteduh walau cuma ngontrak. Syukur atas suami yang penyabar dan amat menyayanginya. Syukur atas putri kecilnya yang saat ini sudah berusia 3 tahun.

Cinta. Demikian ia biasa memanggil putri kecilnya. Cinta yang amat disayanginya. Cinta yang membuat kehidupan keluarganya terus tersenyum dalam kebahagiaan. Cinta yang membuat harapannya terus tumbuh. Harapan untuk kehidupan yang lebih baik. Demi masa depan Cinta. Anak yang dilahirkannya setelah usia pernikahannya memasuki tahun ketujuh.

Suara kokok ayam yang saling bersahutan membuyarkan lamunan Surti. Sejenak diliriknya sang suami yang masih sibuk mempersiapkan gerobak tempatnya berjualan. Tiba-tiba, ia mencium sesuatu. Semakin lama semakin menusuk-nusuk hidungnya. Dipandangnya kompor gas yang menyala di depannya, lalu pandangannya beralih ke tabung gas LPG 3 kg yang baru dibelinya kemarin. Ia terkesiap...

Belum sempat ia beranjak, tabung gas LPG 3 kg itu tiba-tiba meledak. Duarrrrrrrr!!!!! Suara kerasnya begitu membahana, merobek-robek keheningan pagi. Sesaat, Surti merasakan sekujur tubuhnya dilanda panas yang begitu hebat. Lalu semuanya berubah menjadi dingin. Tiba-tiba nyawanya melayang. Tinggi dan semakin tinggi. Meninggalkan suami dan putri kecilnya yang tertimbun reruntuhan. Meninggalkan jasadnya yang hangus terbakar.

Rabu, 28 Juli 2010

Tak Ada yang Abadi

Pak Prawiro tersenyum puas. Berulangkali dipandanginya hp supercanggih keluaran terbaru di tangannya. Di sana terpampang angka-angka yang membuat kedua matanya terus berbinar-binar. Ternyata apa yang dilakukannya selama ini memang pekerjaan yang sungguh enak. Hanya menjadi perantara atau istilah kerennya sebagai makelar kasus tetapi nominal uang yang didapatkannya sangat menggiurkan. Salah atau benar, ia tidak peduli. Asal mau membayar dengan jumlah yang ’pantas’. Ia pasti bisa menyelesaikan perkara apa pun yang diserahkan kepadanya tanpa kecuali.

Tapi itu seminggu yang lalu. Pak Prawiro yang sekarang hanyalah sesosok tubuh yang sudah tidak bernyawa. Ia terbujur kaku di ruang tengah rumahnya. Wajahnya nampak bertambah tua dan seakan-akan tidak rela meninggalkan dunia yang fana ini. Ia mati karena terkena serangan jantung saat tengah asyik bermain golf dengan para koleganya. Tentu peristiwa ini sangat mengejutkan keluarganya. Pak Prawiro yang dikenal suka berolahraga dan tidak pernah mengeluh sakit, yang terus tersenyum karena kekayaannya semakin melimpah, yang semakin dikenal orang sebagai makelar kasus paling jempolan, ternyata tidak kuasa menghalau maut yang datang menjemputnya.

Dan di tempat itu tubuh Pak Prawiro dikuburkan. Di antara pohon-pohon kamboja yang tumbuh tak beraturan. Di sela-sela nisan-nisan yang semakin lama semakin berangkulan karena sempitnya lahan. Para pelayat yang jumlahnya tidak seberapa, satu demi satu, mulai meninggalkan makam. Kini hanya tinggal Bu Prawiro dan anak semata wayangnya. Mereka terus terisak sambil menaburkan mawar-mawar beraneka warna yang mulai layu.

Ketika sore menjemput malam. Bu Prawiro dan anak semata wayangnya pun meninggalkan makam itu. Meninggalkan tubuh Pak Prawiro yang terbaring sendirian di perut bumi. Sementara cacing-cacing mulai tertawa-tawa kegirangan karena mendapatkan santapan baru, malam ini.

Selasa, 27 Juli 2010

Mayat Bayi

SMK Nusa Bakti geger. Para guru bergegas-gegas keluar dari ruang guru. Sementara murid-murid berlarian, keluar dari ruang kelas untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Semuanya berawal ketika Dian, murid kelas XII IPA 2 berteriak-teriak histeris di beranda sekolah. ”Mayat... mayat... ada mayat bayi!”

”Hus... jangan ngaco kamu! Dimana ada mayat bayi?” tanya Pak Didin sambil memegang bahu Dian ketika berpapasan dengan anak itu.

”Di... di... di... toilet itu, Pak!” seru Dian dengan nada gemetar. Jari telunjuknya mengarah ke toilet yang terletak di bagian belakang sekolah. Wajahnya terlihat pucat pasi.

Pak Didin bergegas menuju ke toilet yang ditunjuk oleh Dian. Tak lama kemudian, terdengar teriakannya, ”Ya... ampun...!” Dan kegemparan segera terjadi di sekolah itu.

Polisi pun segera berdatangan. Mereka dengan sigap mengambil alih situasi. Barang bukti berupa kardus kecil yang sebelumnya tergeletak pasrah di toilet bagian cewek segera diamankan. Di dalam kardus itu tergeletak bayi laki-laki yang sudah tidak bernyawa. Wajahnya yang tanpa dosa terlihat kebiru-biruan. Sementara di bagian leher, terlihat bekas cekikan.

Seratus meter dari sekolah itu, di sebuah rumah sederhana, Rani, teman sebangku Dian, termenung di dalam kamarnya yang dikuncinya rapat-rapat sejak pagi buta. Wajahnya sembab. Sudah semalaman ia menangis tapi gundah di hatinya tak jua menghilang. Gundah itu telah berubah menjadi penyesalan yang tiada berujung. Dan bayangan berbagai peristiwa kembali berkelebat di depan matanya. Perkenalannya dengan Anto, seorang mahasiswa tingkat II sebuah universitas negeri di kotanya. Bapaknya yang mendelik marah saat mengetahui ia pacaran dengan Anto. Ia yang berani menentang bapaknya dan tetap menjalin hubungan cinta dengan Anto meski harus sembunyi-sembunyi. Hubungan yang semakin mesra dan intim yang menjerumuskannya pada perbuatan maksiat. Ia yang kemudian hamil dan Anto yang tidak mau bertanggung jawab. Keputusasaan yang menggiringnya untuk menggugurkan kandungan tetapi tidak membuahkan hasil. Dan akhirnya, tangan-tangannya yang begitu tega mencekik darah dagingnya sendiri, sesaat setelah bayi itu lahir.

Ahh... berbagai peristiwa itu semakin menghimpit jiwanya. Air mata kembali bercucuran bak anak sungai yang banjir di saat hujan. Raganya lunglai bagai tidak bertulang. Tapi semuanya sudah terlambat.

Minggu, 25 Juli 2010

Malaikat


Aku melihat malaikat hari ini
ketika aku bertemu anak-anak itu

anak-anak yang lucu nan menggemaskan
anak-anak yang bergelayut manja di lengan ibunya
anak-anak yang berbaris rapi dengan wajah apa adanya
anak-anak yang berjalan kaki penuh semangat
anak-anak yang rela duduk berdesak-desakan
anak-anak yang bernyanyi dengan riangnya
anak-anak yang berolah gerak tanpa menghiraukan salah
anak-anak yang saling bercanda dan meledek satu sama lain
tanpa pernah memendam dendam
anak-anak yang bandel dan enggan diberi tahu
anak-anak yang menangis sesenggukan karena baru saja terjatuh
anak-anak yang tertidur di pangkuan setelah berlelah-lelah

Ah... anak-anak itu
wajah polosnya adalah gambaran surga
putih hatinya perlambang kejujuran dan ketulusan
mereka bertengkar untuk saling memaafkan
mereka mengenal untuk saling memberi bantuan
bukan hanya basa-basi tetapi dari hati

Maukah aku berlaku seperti mereka?

Sabtu, 24 Juli 2010

Maaf dan Terima Kasih

Kata-kata yang indah
Kata-kata yang meneguhkan
Kata-kata yang kini (mungkin) hilang
dari keseharian kita

Maaf karena aku telah melukaimu
Terima kasih untuk uluran tanganmu

Maaf, aku tidak lagi mempedulikanmu
Terima kasih karena engkau masih setia di sisiku

Maaf bila hari ini kata-kataku membuatmu kecewa
Terima kasih, kata-katamu telah menghibur hatiku
yang tengah terluka

Mari…
kita kembali pada kata-kata itu
menggumulinya hingga ia makin meresap dalam hati
dan terus mewujud dalam kehidupan kita
agar dunia ini menjadi lebih indah

Jumat, 23 Juli 2010

Anak-Anak

Sore makin merapuh berganti dengan malam. Aku masih terdiam di kursi paling belakang ruang Filipus. Anak-anak di depanku sedari tadi masih asyik bernyanyi-nyanyi dan menirukan gerakan-gerakan yang diajarkan oleh para pendamping di depan sana. Ada yang penuh semangat. Ada pula yang nampak kurang bergairah. Baju mereka penuh warna. Wajah mereka beraneka rupa. Ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Tingkah mereka begitu polos. Tawa dan senyum mereka dipenuhi dengan kejujuran dan ketulusan. Mereka berbeda tetapi bisa menyatu begitu indahnya.

Berbeda dengan kenyataan itu, beberapa menit sebelumnya, saat berhenti di lampu merah, aku melihat beberapa anak, dengan baju lusuh, pria dan wanita, menadahkan tangan, mengharap belas kasihan dari para pengendara motor atau mobil, demi gemerincing rupiah.

Anak-anak yang gembira sementara di sisi lain, anak-anak ’terpaksa’ (’dipaksa’) ikut berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga yang makin hari makin melambung tinggi. Anak-anak yang mendapat perhatian, sementara banyak pula mereka yang kurang atau tidak mendapat perhatian. Anak-anak yang memiliki ayah dan ibu yang saling mengasihi tetapi di satu sisi ada anak-anak yang terpaksa harus memendam kesedihan karena ayah dan ibu mereka harus hidup terpisah akibat perceraian. Dan, anak-anak yang tumbuh dewasa sebelum waktunya akibat menjamurnya tontonan televisi yang tidak mendidik. Pada saat dan waktu yang tidak tepat.

Ah... anak-anak. Dunia yang penuh warna. Dunia di mana mereka seharusnya disiapkan dengan baik. Dengan curahan perhatian dan luberan kasih. Dengan pendidikan yang baik dan tepat. Bukan hanya oleh orangtua tetapi oleh lingkungannya. Karena mereka adalah masa depan.

Rabu, 21 Juli 2010

Selamat Ulang Tahun

Delapan belas tahun berlalu
sejak aku pertama kali mengenalmu
tentu engkau masih ingat waktu itu
saat dimana kita aktif dalam kegiatan yang sama
jujur, sebenarnya aku melirik temanmu
tapi entah mengapa, hatiku justru tertambat padamu
kesederhanaan, ketulusan, dan bola matamu yang indah
mungkin itu yang telah menghanyutkan perasaanku
hingga kita pun mengikrarkan diri menjadi sepasang kekasih

aku juga tidak akan pernah lupa
sebenarnya, orangtuaku tidak setuju aku pacaran
mereka tidak ingin, aku yang baru mulai bekerja, terganggu
namun berkat kegigihan, akhirnya mereka mau menerimamu

aneka cerita mengawal hubungan kita
perih dan tawa melebur menjadi satu
semua itu makin meneguhkan dan menyatukan kita

Dan, saat-saat terindah itu pun tiba
ketika kita berjanji sehidup semati di depan altar
derai air mata dan senyum yang terus mengalir
menjadi tanda kebahagiaan kita

Sayang, sembilan tahun sudah kita bersama
arungi samudra kehidupan dengan biduk kecil kita
kadang, gelombang dan angin kencang datang menerpa
membuat kita terhuyung dan gontai
namun, kita tetap bertahan
karena kasih yang terus menyatukan kita

Dan hari ini, saat ini, kasihku untukmu makin merekah
SELAMAT ULANG TAHUN SAYANG
segala doa, harapan terbaik dan terindah
akan terus kudaraskan untukmu

Selasa, 20 Juli 2010

Ada Manusia Lain di Sekitar Kita

Barangkali agak aneh membaca judul di atas. Manusia lain? Bukankah hal ini yang selalu ditekankan kepada kita semenjak mengenyam pendidikan mulai dari tingkat paling dasar hingga tingkat tertinggi. Manusia selain sebagai makhluk individu juga dititahkan oleh Tuhan untuk menjadi makhluk sosial. Yang tidak dapat hidup tanpa keberadaan manusia yang lain. Namun, saking terbiasanya mendengar hal ini, kita seringkali menjadi lupa (atau pura-pura lupa). Lalu kita pun menjadi cuek dan cenderung semau gue.

Ada banyak contoh yang bisa ditampilkan. Suami atau istri yang sibuk luar biasa dengan pekerjaannya, berangkat pagi pulang larut malam, demi mengejar karier, sehingga melupakan istri atau suaminya, dan anak-anak. Mereka akhirnya menjadi terlantar dan kurang kasih sayang, meski di tengah harta yang melimpah. Pun dengan suami atau istri yang mulai tergoda dengan wanita atau pria lain, membuat mereka gelap mata hingga tega meninggalkan keluarga demi memburu kesenangannya itu. Manusia yang seenaknya membuang sampah sembarangan. Menyebabkan lingkungan menjadi kotor. Membuat got-got, kali serta sungai menjadi mampet. Sehingga bila turun hujan, air menggenang dan terjadilah banjir. Pengguna jalan yang suka menyerobot lampu merah, yang membuat jalanan jadi semrawut dan macet. Juga mereka yang suka ugal-ugalan di jalanan tanpa mengindahkan keselamatan yang lain. Memarkir mobil atau kendaraan di sembarang tempat. Mengambil keputusan/kebijakan secara sepihak. Dan masih banyak lagi yang lain.

Nah, melihat dari banyak contoh tersebut, apakah benar bahwa kita menyadari keberadaan manusia lain di sekitar kita? Kalau jawabannya (masih) ia, marilah mulai sekarang, saat ini, untuk apa pun yang akan kita ucapkan atau kita lakukan, dimulai dengan pertanyaan ini: ”Apakah ucapanku akan melukai manusia yang lain? Apakah tindakan yang akan aku lakukan, merugikan atau membuat manusia yang lain menjadi celaka?”

Setuju?

Senin, 19 Juli 2010

Salah Siapa?

Miris. Itulah yang kurasakan setiap kali bertemu dan melihat apa yang terjadi dalam keluarga itu. Si anak yang tidak mau menurut kata-kata sang ibu. Bahkan berulangkali membalas dengan kata-kata yang ’tidak pantas’ untuk melawan ibunya. Si ibu yang tidak sabaran dan memekik tinggi saat memanggil anak-anaknya. Sang adik yang mulai belajar bandel seperti kakaknya. Pertengkaran kakak-adik yang dipenuhi dengan kata-kata kasar dan berakhir dengan tangisan sang adik. Juga sang ibu yang kelihatan sekali ’kurang’ menghormati suaminya.

Lewat percakapan ’terpaksa’ dengan sang ibu (terpaksa karena pada saat itu tiba-tiba saja sang ibu mengajakku ngobrol dan curhat tentang kehidupannya padahal aku sedang bertugas di perpustakaan), aku mempunyai sedikit gambaran mengapa semua itu bisa terjadi. Menurutnya, suaminya adalah sosok yang lemah dan kurang bertanggung jawab. Berulangkali ia hanya diam ketika didesak untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sedangkan terhadap anak-anaknya sendiri, ia sering mengumbar kata-kata kasar dan melakukan tindakan fisik untuk mengatasi kenakalan anak-anaknya.

Pertanyaan yang kemudian muncul, salahkah bila semua itu akhirnya terjadi? Bukankah sebenarnya orangtua turut andil dalam hal ini? Karena mereka tanpa sadar telah memberikan contoh yang tidak baik, entah lewat kata-kata atau perbuatan yang mereka lakukan.

Ah... apa yang terjadi dalam keluarga mereka, menjadi cermin bagiku. Sebuah keluarga memang harus dibangun dari pondasi kasih. Saling menghormati dan menghargai satu sama lain. Mau mengalah demi kebaikan. Dan selalu berhati-hati terhadap setiap kata yang terucap dan tindakan yang dilakukan karena hal itu bisa menjadi contoh bagi anak-anak.

Bagaimana menurut sobat?

Minggu, 18 Juli 2010

Para Pengamen Itu...


Musium Kereta Api Ambarawa suatu siang. Aku bersama rombongan bapak-bapak dari lingkungan Randusari tengah beristirahat sambil menyantap makan siang. Di kejauhan sana, beberapa anak muda tengah memainkan ‘sesuatu’. Sesuatu yang menarik perhatianku.

Aku mendekati mereka. Rupanya mereka sedang ‘ngamen’. Dengan beberapa alat musik yang sederhana, mereka menyanyikan lagu-lagu untuk menghibur orang-orang yang tengah berlalu lalang. Di depan mereka, kotak kardus yang tidak begitu besar, diletakkan. Dan, orang-orang yang bersimpati dengan pertunjukkan mereka, menaruh lembaran uang ke dalam kotak itu.

Beberapa saat melihat mereka bermain dan mendengarkan nyanyian yang mereka lantunkan, tiba-tiba, ada perasaan yang bergelora dalam hatiku. Inikah semangat itu? Inikah kegembiraan itu?

Ah… para pengamen itu sudah mengajarkan hal yang sangat berharga bagiku. Alat musik yang sederhana ternyata tidak menyurutkan semangat mereka dan membuat mereka menjadi rendah diri. Justru dari kesederhanaan itu, mereka bermain dengan penuh kesungguhan, hingga membuai para pendengarnya.

Seperti halnya dalam kehidupan ini, sesederhana apa pun pekerjaan yang aku lakukan, aku tidak perlu malu. Aku harus memiliki semangat, bekerja dengan sungguh-sungguh, dengan hati, dan menjadikan pekerjaan itu sebagai saluran berkat untuk orang lain. Semoga aku mampu melakukannya.

Sabtu, 17 Juli 2010

Aku Melihat...

Aku melihat keindahan
ketika pagi datang dan mentari terbit di ufuk sana
bias sinarnya menghias langit
memberi harapan tentang kehidupan

Aku melihat dengan takjub
saat biji yang kutanam seminggu lalu
tiba-tiba bertunas dan mengeluarkan daun mudanya
sementara aneka bunga di tamanku
mekar dengan warna-warni mempesona

Aku melihat dengan heran
ketika seekor nyamuk
terbang berseliweran di sampingku
tapi aku tak mampu melakukannya

Aku melihat keajaiban
saat bayi terlahir dari rahim ibunya
raganya yang lemah tapi sempurna,
wajahnya yang suci tak bernoda
menjadi bukti kisah penciptaan yang sangat agung

Aku melihat…
betapa diriku hanyalah setitik debu
dibanding segala karyaMu yang begitu Maha
apa yang kumiliki adalah anugerahMu
apa yang sudah kuraih adalah rencanaMu
jadikanlah aku selalu rendah hati

Jumat, 16 Juli 2010

BerKat


Tak terasa sudah hampir 8 tahun aku mengelola majalah paroki. Awalnya adalah keterpaksaan. Namun perlahan namun pasti, keterpaksaan itu telah berubah menjadi cinta yang semakin lama semakin mendalam.

Menilik dari sejarahnya, keberadaan majalah di parokiku sebenarnya memiliki rentang waktu yang cukup lama. Jauh sebelumnya sudah ada WarKat (Warta Katedral). Puluhan tahun WarKat terbit setiap bulan hingga pada akhirnya mandeg dan mati. Bukan karena ketiadaan dana tetapi karena personel yang makin lama makin sedikit. Entah karena mengundurkan diri, tidak aktif tanpa pemberitahuan, juga karena meninggal dunia.

Setelah kurang lebih 3 tahun tidak ada majalah paroki, beberapa kaum muda berinisiatif untuk merintis terbitnya majalah paroki yang baru. Sebagai pembeda dari generasi sebelumnya, majalah ini kemudian diberi nama BerKat (Berita Katedral). Selama hampir 2 tahun BerKat rutin mengunjungi para pembacanya sebulan sekali. Namun, entah mengapa, BerKat akhirnya juga mengalami kevakuman dan beberapa bulan tidak terbit. Situasi ini ternyata menyulut keprihatinan Romo Eko yang waktu itu menjadi pendamping kaum muda. Beliau sukses ’memaksa’ aku dan beberapa rekan untuk menerbitkan kembali majalah ini. Dan setelah melalui perjuangan yang lumayan berat, BerKat dapat terbit kembali.

BerKat periode kedua (demikian kami menyebutnya) terbit setiap dwibulanan. Kok dwibulanan mengapa tidak sebulan sekali? Mungkin, pertanyaan itu yang pertama kali akan terlontar. Tapi sejujurnya, pilihan ini bukan tanpa alasan. Dua bulan rasanya menjadi waktu yang cukup ideal untuk menyiapkan sebuah penerbitan. Dari segi pengumpulan materi dan biaya cetak. Apalagi kami bukanlah tenaga profesional yang digaji dari pekerjaan ini. Jadi, lebih baik terbit dwibulanan tetapi rutin daripada dikerjakan sebulan sekali tapi ngos-ngosan dan ada kemungkinan (lebih besar) untuk berhenti.

Berbeda dari sebelumnya, BerKat periode baru memiliki rubrikasi yang khas. Masing-masing rubrik diberi nama unik, yang mencerminkan nama majalahnya. ACAR (Ajang Cerita Awak Redaksi) merupakan ’uneg-uneg’ atau tulisan dari redaksi yang berkaitan dengan tema. NAGASARI (reNungan dAn GagaSAn Romo edIsi Ini) yaitu renungan sesuai tema yang ditulis oleh romo. GEREH (Gagasan pEnting agaR lEbih Hidup) adalah renungan sesuai tema yang ditulis oleh awam (umat). BESEK (Berita dan informaSi Seputar Katedral) merupakan kumpulan peristiwa atau berita dan informasi yang terjadi di Katedral dan sekitarnya. PERKEDEL (memPERKEnalkan iDEntitas Lingkungan), tulisan tentang satu lingkungan dengan segala pernak-perniknya. TELUR (sesuaTu yang pErLU dimengeRti) berupa artikel atau informasi yang perlu diketahui oleh umat. NASI (teladaN orAng SucI), tulisan tentang orang suci. KRUPUK (KalendeR litUrgi Untuk Umat Katedral), yaitu pedoman bacaan kitab suci setiap hari. LEMPER (Laporan kEuangan Majalah bERkat). TEH (TEntang keseHatan kita), mengupas masalah kesehatan secara umum. MIE (Merenung Itu pErlu) yaitu renungan bebas yang tidak berhubungan dengan tema, yang ditulis oleh romo maupun awam (umat).

Ah, keterpaksaan itu memang benar-benar telah menjadi cinta. Meski banyak suka duka yang harus dilewati, tapi BerKat tetap harus terbit. Meski dukungan dari umat terutama untuk kiriman naskah masih sangat minim, kami tidak boleh putus asa. Kami harus terus melangkah sembari tak henti memanjatkan doa semoga ada semakin banyak kaum muda yang mau bergabung dengan kami demi kesinambungan majalah ini. BerKat.

Kamis, 15 Juli 2010

Kursus Jurnalistik

Sabtu kemarin, bertepatan dengan libur Isra’ Miraj Nabi Muhammad SAW, aku dan rekan-rekan yang tergabung dalam Tim Kerja Komsos (Komunikasi Sosial) Gereja Katedral Semarang, mengadakan Kursus Jurnalistik bertemakan ”Menjadi Pencari dan Penulis Berita Yang Baik” dengan narasumber Bp. Maksim D. Prabowo, redaksi Majalah Salam Damai (Majalah Umat Katolik Keuskupan Agung Semarang) dan Direktur Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI).

Dari target awal jumlah peserta sebanyak 50 orang ternyata sampai hari H hanya ada 11 orang yang mendaftar dan mengikuti kursus. Padahal informasi mengenai kegiatan ini sudah jauh-jauh hari disosialisasikan. Lewat pengumuman gereja, penempelan poster di papan pengumuman, juga surat pemberitahuan untuk masing-masing lingkungan. Tapi apa daya, ternyata segala usaha itu kurang mendapat apresiasi yang baik.

Kecewa. Itu yang kami rasakan. Tapi the show must go on. Bukankah kejadian seperti ini sudah sering terjadi. Tidak saja untuk kegiatan yang kami adakan tetapi juga untuk kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh kelompok lain. Yah... akhirnya kami memang hanya bisa berusaha, tetapi entah diterima atau tidak usaha tersebut, itu masalah yang lain.

Kursus yang hanya berlangsung selama lima jam diisi dengan materi yang cukup padat. Mulai dari pengenalan apa itu jurnalistik, prinsip-prinsip yang dianut, bagaimana cara menggali fakta, hingga pemahaman akan penulisan LEAD (teras atau pembuka tulisan) yang baik dan menarik. Setelah materi selesai disajikan, peserta diberi tugas untuk melakukan wawancara terhadap orang-orang yang berada di sekitar lingkungan gereja. Hasil wawancara kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan yang nantinya akan dikoreksi bersama-sama.

Rabu, 14 Juli 2010

Saatnya...

Ketika terbangun di pagi hari
dan merasakan udara masih mengalir di sekujur tubuh
itulah saatnya untuk bersyukur...

Ketika mata menikmati indahnya mentari di ufuk timur,
telinga yang mendengar nyanyi burung di atas pepohonan,
sejuk udara yang membawa kesegaran bagi jiwa,
serta tangan dan kaki yang masih bisa digerakkan
itulah saatnya untuk bersyukur...

Ketika sepiring nasi, lengkap dengan lauk tersaji,
ditemani orang-orang terkasih,
itulah saatnya untuk bersyukur...

Ketika menyadari betapa kita tidak pantas
tetapi justru cintaNya tidak pernah pudar
itulah saatnya untuk bersyukur
atas anugerahNya yang tanpa batas

Selasa, 13 Juli 2010

Pak Sabar

Siang teramat terik. Debu-debu jalanan di depan sana terus diterbangkan angin. Membuat udara menjadi kotor. Namun hal itu tidak membuat Pak Sabar berhenti dari aktifitasnya. Ia masih asyik mengais-ngais sampah di container sampah itu. Bau tidak sedap yang amat menyengat tidak dihiraukannya. Tangannya dengan cekatan memilah-milah sampah. Sesekali, ia menyeka keringat yang mengucur di dahinya. Sesaat, ia termenung. Wajah istri dan anak semata wayangnya kembali menari-nari di pelupuk matanya.

”Anak kita makin parah, Pak!” kata Murni, istrinya, sambil meletakkan lipatan kain yang sudah dibasahi air dingin di kening anaknya. ”Panasnya makin tinggi. Aku takut, Pak...,” tambah istrinya.

Pak Sabar menghela napas. Ia bingung. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Uang tabungannya yang tidak seberapa, yang dikumpulkan dari hasil memulung sampah, kini sudah lenyap tak berbekas. Untuk biaya berobat anaknya di rumah sakit. Itu pun tidak cukup karena anaknya diharuskan ’mondok’. Dan karena itu pula, anaknya yang baru 2 hari di rumah sakit, terpaksa ’dipulangkan’ karena ketiadaan biaya.

”Pak, bagaimana dengan anak kita?” tanya Murni sekali lagi.

”Sabar, Bu. Hari ini aku akan bekerja lebih giat dan berusaha mencari pinjaman lagi. Semoga saja usahaku bisa berhasil,” jawab Pak Sabar berusaha menenangkan istrinya.

”Tapi Pak, apakah masih ada orang yang mau meminjamkan uangnya untuk kita? Apa mereka mempercayai kita yang miskin ini?” sela istrinya.

”Bu, kita harus tetap percaya akan hal itu. Serahkan saja semua pada kehendak Tuhan. Yang paling penting aku akan berusaha keras mencari uang untuk kesembuhan anak kita,” tegas Pak Sabar. Didekatinya sang istri yang masih duduk di pembaringan, lalu dikecupnya. Mesra.

Panas yang makin menyengat membuyarkan lamunan Pak Sabar. Ahh... lamunan itu membuat kedua matanya sedikit basah. Ya, ia tidak boleh menyerah. Ia harus berusaha keras. Demi anak semata wayang yang amat dikasihinya.

Tak terasa karung yang dibawanya sudah terisi penuh. Segera ia bergegas. Langkah kakinya begitu ringan dan penuh semangat menapaki jalanan.

Tiba-tiba, ketika sampai di pertigaan, sebuah sedan hitam berpelat merah melaju begitu kencang. Duarrrrrr!!! Kecelakaan itu terjadi begitu cepat. Tubuh Pak Sabar melayang di udara kemudian jatuh ke tanah. Darah segera mengucur. Membasahi jalanan yang panas.

Pak Sabar tergeletak tak berdaya menunggu ajal. Namun sedan hitam berpelat merah itu sudah tidak kelihatan lagi.

Senin, 12 Juli 2010

Pesta Telah Usai

Perhelatan Piala Dunia 2010 yang berlangsung di Afrika Selatan baru saja usai. Gemerlap pesta, pekik sorak para penonton di antara bunyi ‘vuvuzela’ yang terus berdengung, perjuangan heroik tanpa kenal lelah para pemain dari berbagai negara yang masuk putaran final dengan segala aksinya, serta berbagai macam acara Nonton Bareng yang digelar di berbagai kota dan tempat dengan segala perniknya, kini sudah menjadi cerita masa lalu yang mungkin akan terus dikenang atau justru segera dilupakan.

Lalu, apa yang kita dapatkan dari semua itu? Sekedar menikmati wajah ganteng dari pesepakbola idola kita dan memelototinya ketika beraksi di lapangan, berdecak kagum melihat aksi-aksi yang spektakuler, terpana dengan keseksian yang ditunjukkan oleh beberapa suporter wanita dari beberapa negara, atau malah larut dalam kegembiraan acara nonton bareng? Ahh... jika hanya hal itu yang kita dapatkan, rasanya kok ’eman-eman’ sekali.

Sebuah pertandingan sepakbola itu ibarat episode dalam kehidupan manusia. Ada gawang yang menjadi tujuan. Bola melambangkan harapan yang harus terus diperjuangan. Dan para pemain sebagai pribadi-pribadi yang harus bisa diajak bekerjasama untuk mencapai tujuan. Sering, para pemain harus berlari kesana-kemari tanpa mengenal lelah, mengejar dan membawa bola, kadang terjatuh dan meringis kesakitan karena ada bagian tubuh yang terluka hingga berdarah-darah akibat dilukai oleh lawan, tapi mereka tidak menyerah. Mereka tetap punya semangat tinggi untuk melanjutkan pertandingan. Masing-masing pemain tidak boleh hanya mengandalkan kemampuan sendiri tetapi harus bisa bekerja sama dengan pemain yang lain. Pun tidak boleh melakukan aksi ’diving’ untuk mengecoh lawan atau wasit, dan selalu menjunjung tinggi sportivitas. Itu menjadi gambaran pribadi yang tangguh, punya semangat pantang menyerah, dan tetap teguh memperjuangan harapannya untuk mencapai tujuan. Aral melintang bukanlah hambatan yang mesti ditakuti tetapi harus ditaklukkan. Tidak bersikap egois dan menutup diri terhadap pertolongan orang lain, tidak melakukan ’jalan pintas’, serta berlaku jujur dalam mencapai tujuan.

Ada kalanya, perjuangan para pemain yang begitu heroik, tidak menghasilkan kemenangan. Hanya kekalahan yang berujung pada kekecewaan. Ini adalah hal yang wajar. Bukankah kemenangan dan kekalahan itu ibarat dua sisi mata uang yang saling bersatu? Seperti juga keberhasilan dan kegagalan dalam hidup? Kecewa, boleh-boleh saja tetapi jangan sampai larut dalam kekecewaan karena masih ada kesempatan untuk memulai lagi. Yang paling penting bisa terus belajar untuk menjadi lebih baik dari proses yang sudah dilakukan sebelumnya.

Dan, pesta memang sudah usai. Namun bagi kita, tidak akan pernah selesai selama hayat masih dikandung badan. Penuh semangat, pantang menyerah, tidak egois, jujur, terus berusaha, kiranya menjadi nilai positif yang mesti terus diperjuangkan.

Akhirnya, kita hanya bisa berusaha sebaik-baiknya tetapi semua keputusan ada di tangan Tuhan.

Minggu, 11 Juli 2010

Malaikat Itu Bernama Wulan

Pagi masih dingin. Mentari di ufuk timur terlihat malu-malu memancarkan sinarnya. Namun suasana di terminal itu sudah ramai. Beberapa orang hilir mudik, sibuk dengan urusan masing-masing. Di pojokan, dekat sebuah loket penjualan ticket bus jurusan Semarang – Yogyakarta, seorang gadis kecil asyik dengan kesibukannya. Tangannya yang mungil dengan cekatan mengambil berbagai penganan dari sebuah wadah plastik dan menatanya di atas meja kayu yang sudah dihampari selembar kain. Satu demi satu, hingga akhirnya meja itu penuh dengan penganan berbagai jenis.

Wulan, demikian gadis kecil itu biasa disapa. Sudah hampir 5 bulan ini ia berada di tempat itu. Membantu budenya berjualan. Memang, upah yang diterimanya tidak seberapa. Namun ia cukup gembira karena dengan uang itu, ia bisa membantu ibunya, mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sudah hampir setahun ini ibunya tidak lagi bekerja sebagai buruh cuci karena hasil pekerjaannya dinilai kurang bersih oleh para konsumen. Ibunya kini hanya mengurusi ketiga adiknya yang masih kecil-kecil di rumah. Sedangkan ayahnya hanyalah buruh kasar di pelabuhan. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang tidak seberapa besar.

Kebutuhan hidup yang semakin banyak dan kehidupan yang makin sulit memaksa Wulan untuk tidak melanjutkan sekolahnya yang baru kelas 1 SMP. Ia tidak ingin menambah beban pikiran ibunya apalagi ketiga adiknya masih butuh perhatian dan dana yang lebih. Karena itu, ia memutuskan untuk menerima tawaran budenya, membantu berjualan di terminal.

Dan pagi pun terus merambat naik. Siang yang panas memaksa orang yang berlalu lalang menghentikan sejenak langkahnya. Beberapa di antara mereka mampir ke tempat Wulan. Sekedar minum, membeli rokok dan menghisapnya, juga untuk melepas lelah, ngobrol, sambil mengunyah penganan yang tersedia.

Wulan baru saja selesai melayani pembeli yang terakhir ketika matanya melihat seorang nenek tua yang berjalan tertatih-tatih. Nenek itu menuju ke arahnya.

”Nenek mau kemana?” sapa Wulan ramah, sesaat setelah nenek itu duduk di depannya.

Nenek itu diam. Wajahnya tampak kebingungan. Tangannya yang keriput berulangkali meremas-remas saputangan yang dibawanya. ”Ne... ne... nek habis kecopetan, Cu,” ujarnya terbata-bata. ”Semua uang nenek diambil... padahal uang itu akan nenek pergunakan untuk menengok anak nenek yang sedang sakit,” sambungnya.

Wulan terhenyak. Sesaat dipandanginya nenek itu dengan perasaan iba. Dan sejurus kemudian, ia sudah membuatkan segelas teh hangat. ”Nenek minum dulu ya... biar perasaan nenek jadi tenang,” katanya, menghibur.

”Tapi, Cu... nenek sudah tidak punya uang lagi untuk membayarnya?” jawab sang nenek.

”Ini untuk nenek... jadi tidak perlu dibayar,” balas Wulan.

Segera nenek itu menyeruput teh hangat yang sudah dibuat Wulan. Perasaannya sedikit lega.

”Sebenarnya, dimana rumah anak nenek?” tanya Wulan sambil menggeser duduknya.

”Rumahnya memang tidak begitu jauh dari sini. Tapi tanpa uang itu, nenek tidak bisa pergi ke sana dan membeli oleh-oleh untuk cucu nenek” terang nenek itu.

Wulan terdiam. Ia sedang memikirkan sesuatu. ”Apakah aku harus menolong nenek ini?” tiba-tiba sebuah tanya muncul di hatinya. ”Harus!” jawab sisi hatinya yang lain. ”Tapi jika aku menolongnya, pasti aku tidak memiliki cukup uang untuk kubawa pulang?”.”Ibumu di rumah pasti bisa mengerti... malah ia akan bangga kepadamu.” Akhirnya setelah bergulat dengan pemikirannya, Wulan segera beringsut. Dibukanya sebuah kotak kecil yang terletak di bawah meja dan diambilnya beberapa lembar uang.

”Ini untuk nenek,” kata Wulan sambil memberikan beberapa lembar uang itu kepada sang nenek. ”Aku harap nenek tidak menolaknya,” tambahnya menegaskan.

Nenek itu tidak bisa berkata-kata. Wajahnya berbinar karena gembira. ”Tuhan, terima kasih karena Engkau sudah mempertemukan aku dengan seorang malaikat.” katanya dalam hati.

Sabtu, 10 Juli 2010

Seperti Anak-Anak


Kebanyakan dari kita pasti menyukai anak-anak. Anak-anak yang lucu nan menggemaskan. Anak-anak yang cantik dan ganteng. Anak-anak yang penuh dengan kegembiraan. Juga anak-anak yang kadang membuat pikiran kita jadi ’puyeng’ dan hati diliputi ’kejengkelan’ akibat kenakalan mereka.

Di mata mereka tergambar kejujuran hati. Pada tingkah polah mereka ada ketulusan dan apa adanya. Spontan dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Tanpa prasangka dan keinginan untuk menyakiti orang lain. Mereka bisa bertengkar hingga saling melukai. Namun sekejap kemudian, mereka sudah duduk bersama, tertawa-tawa dan saling bercanda tanpa pernah memendam dendam.

Menjadi seperti mereka adalah kebahagiaan. Maukah kita?

Jumat, 09 Juli 2010

3 Bocah

3 bocah menari di altar kehidupan
di tangan dan kaki mereka tergenggam mimpi
mimpi yang tak lagi sempurna
karena bahtera tempat mereka bernaung
sudah hancur berkeping-keping dihantam gelombang
kasih yang dulu mekar kini tak lagi berbekas
perhatian yang dulu ada sirna diamuk egoisme

Mengapa kau tinggalkan kami, Mama?

3 bocah kini tak lagi bersedih
tawa dan canda mereka perlahan mulai merekah
ketika kasih yang lain menggenggam mereka
Namun, egoisme itu tak jua berlalu

Mengapa tak kau biarkan kami, Mama?

Ah…
jangan biarkan badai menggerus raga mereka
jangan biarkan kebencian merusak jiwa
biarlah kasih yang lain itu terus tumbuh
biarlah perhatian dan ketulusan hati
yang akan membimbing mereka
sebab kini yang terpenting
bukanlah untuk Mama
tetapi untuk mereka
3 bocah yang terus berkejaran menggapai asa

(note: puisi ini kupersembahkan untuk sahabatku yang biasa aku panggil ‘tante’, yang tengah resah dan sedih karena kasih yang diberikannya untuk 3 ponakannya malah mendapat caci maki dari sang mama yang justru tega meninggalkan mereka… “Jangan pernah menyerah tante… tetaplah bertahan dalam niat yang baik untuk mereka… aku percaya tante pasti akan mendapat kekuatan dan berkat dariNya… karena kasih dan ketulusan yang tante berikan…”)

Kamis, 08 Juli 2010

Aku Ingin...

Aku ingin seperti matahari
yang setia memberikan sinarnya
di saat cerah atau ketika mendung datang
bertahan walau hujan memenjara diri
namun…
tetap beri keindahan dengan hadirnya pelangi

Aku ingin seperti laut
yang mampu menerima kebaikan
sekaligus juga kejahatan
tanpa pernah mengeluh
tanpa pernah memihak
semua dirangkumnya menjadi satu
dan dikembalikannya secara indah

Aku ingin seperti langit
luas dan tak berbatas
birunya selalu memberi kedamaian
birunya adalah pertanda sebuah harapan

Rabu, 07 Juli 2010

Mulutmu Harimaumu

Mungkin ungkapan ini sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ya, mulut yang kita miliki, yang hanya diciptakan satu oleh Tuhan, dapat menjadi harimau yang dapat menerkam siapa pun. Entah orang lain atau bahkan diri kita sendiri. Secuil peristiwa yang terjadi kemarin, bisa menjadi pembenaran untuk hal itu.

Teman kantor, sebut saja si A, di sela-sela istirahat setelah memindahkan barang-barang dari atas truk yang rodanya ambles (baca ‘Peristiwa Sore Ini’) tiba-tiba nyeletuk, “Dek, kowe wani ora nabrak bose? Yen wani takupahi rong yuto limangatus…” (“Dek, kamu berani tidak nabrak bose? Kalau berani aku bayar dua juta lima ratus…”)

Si Anu yang ditantang seperti itu langsung menjawab dengan tegas, “Wani wae!” (“Berani saja!”). Dan ketika si Bos hendak masuk ke kantor setelah mengamat-amati roda truk yang ambles, tiba-tiba dicegat si Anu. “Pak, pak bentar. Bapak berhenti di situ dulu. Katanya si A, kalo aku berani menabrak Bapak mau diberi uang dua juta lima ratus…”

Si Bos yang mendengar perkataan itu langsung merah padam, “Yen ngono si A dikonkon turu dhisik wae, mengko taklindese nganggo mobilku pas gulu. Aku wani yen mung dikonkon mbayar limang yuto!” (“Kalau begitu si A disuruh tidur dulu. Nanti aku lewati dengan mobilku tepat dilehernya. Kalau hanya disuruh membayar lima juta, aku berani!”)

Setelah berkata seperti itu si Bos langsung menceramahi si A panjang lebar. Si A hanya terdiam tidak berani berkata apa-apa.

Rupanya peristiwa ini sangat menyakitkan bagi si A. Ia yang hanya berniat ‘guyon’ (bercanda) harus pasrah menerima kemarahan si Bos gara-gara si Anu yang bicara jujur. Kalau tidak mengingat bahwa si Anu adalah teman kantornya, ia sudah mengajaknya berkelahi mati-matian.

Nah, dari mulut yang yang hanya satu itu dapat keluar kata-kata yang amat menyakitkan. Mungkin memang semula hanya berniat guyon. Tapi dari yang guyon dapat menjadi hal yang teramat serius. Bahkan bisa menyebabkan orang menjadi saling bertikai.

Kesimpulannya, kita mesti menjaga mulut kita. Kapan pun dan di mana pun. Jangan mudah berkata yang tidak baik walau itu hanya sekedar guyon. Jangan mudah mencaci maki apalagi menjelek-jelekkan orang lain. Ingat, mulutmu adalah harimaumu!

Selasa, 06 Juli 2010

Peristiwa Sore Ini

Jam 3 sore. Satu setengah jam lagi kantor tutup. Itu artinya, aku bisa segera menjemput istriku dan bersama-sama pulang ke rumah. Tiba-tiba, sebuah truk besar nan panjang berhenti di depan kantorku. Seorang kenek turun, masuk ke kantor, dan memberikan sebuah surat jalan untukku. Sejenak, aku membaca surat itu. “Waduh... kok datangnya sore sekali sih, Mas. Pasti nggak akan bisa dibongkar hari ini,” ujarku sambil memandangi kenek itu. Ia hanya terdiam. “Uh… padahal sudah ditulis dalam PO kalau mau mengirim itu harus memberi tahu dulu minimal 2 hari sebelumnya… lha ini.. tiba-tiba saja datang tanpa pemberitahuan,” lanjutku. Teringat bahwa sore ini jam 5, aku harus mengantar istriku ke gereja untuk latihan buat persiapan Misa Akbar Anak. Jadi kalau dipaksa harus ‘nglembur’ pasti tidak bisa.

Truk yang sudah terdiam rapi di pinggir jalan itu tiba-tiba hendak dimasukkan ke halaman kantor padahal jika melihat besar dan panjangnya pasti tidak akan bisa. Namun, aku dan beberapa teman kantorku yang sudah mengetahui hal itu cuma diam. Hanya terdengar teriakan petugas parkir yang memberi aba-aba. Tiba-tiba, terdengar suara sebuah benda menabrak pintu pagar dengan keras. Rupanya, karena terlalu berat akibat muatan yang lumayan banyak, roda truk itu ambles, merusak jembatan, dan hampir masuk ke selokan. Truk pun menjadi oleng.

Ah… kini semua sudah terlambat. Muatan truk itu harus dibongkar agar roda-rodanya bisa diangkat. Dan itu berarti, aku dan beberapa orang gudang harus bersedia kerja lembur.

Ketidakpedulian akhirnya menyebabkan hal yang tidak diinginkan. Karena aku dan beberapa orang kantor tidak peduli ketika truk itu masuk, akhirnya truk itu mengalami celaka (padahal, kami sebenarnya bisa mencegah agar hal itu tidak terjadi). Semua menjadi susah. Sopir truk susah karena selain harus memikirkan bagaimana caranya mengangkat roda truk itu, ia masih harus mengganti kerugian yang ditimbulkan. Aku dan pegawai di gudang merasa resah karena harus kerja lembur. Bos juga susah melihat kerusakan yang terjadi dan harus mengeluarkan uang ekstra untuk lembur. Ahhhh…..

Senin, 05 Juli 2010

Cinta

Cinta Dyah Prameswari. Begitulah nama yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Tapi ia lebih suka dipanggil dengan Cinta. Wajahnya manis. Rambut sebahu dengan postur tubuh yang ideal. Umurnya baru genap 27 tahun. Meski begitu jangan ditanya soal kemandirian dan rasa sosialnya. Bersama beberapa teman seangkatannya, Cinta mengelola sebuah Panti Asuhan yang didirikan secara khusus untuk menampung balita dan anak-anak yang terlantar, yatim piatu atau mereka yang dilalaikan akibat perceraian orangtuanya. Panti Asuhan Cinta, itulah namanya.

Cinta kecil adalah anak semata wayang keluarga Prawiro. Saat menginjak bangku kelas V SD, Cinta mengalami sebuah peristiwa yang mengguncang kehidupannya. Kedua orangtuanya bercerai. Sang mama lebih memilih untuk menikah dengan lelaki lain. Sejak saat itu, Cinta yang periang berubah menjadi gadis pemurung. Ia menutup diri dari pergaulan dengan teman-temannya.

Papanya juga terlihat sangat syok dengan kenyataan tersebut. Ia tidak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Rasa cintanya kepada sang istri rupanya tertanam begitu kuat. Namun semuanya tidak lagi berarti karena hanya bertepuk sebelah tangan.

Setahun setelah peristiwa itu, Cinta kembali terguncang. Kali ini dunia di hadapannya dirasakannya benar-benar runtuh. Papanya meninggal. Cinta menangis sejadi-jadinya. Tidak ada lagi harapan yang dimilikinya. Hanya kegelapan. Hanya kesedihan dan keputusasaan. Terbayang kembali wajah mamanya. Mama yang sudah mengandung dan melahirkannya. Mama yang tega meninggalkannya demi memburu kesenangannya sendiri. Mama yang begitu dibencinya karena telah menyebabkan papanya meninggal.

Sepeninggal papanya, Cinta tinggal bersama nenek dan kakeknya. Mereka mengasuh Cinta dengan limpahan kasih sayang. Namun, kebencian di hati Cinta terhadap mamanya tidaklah hilang. Kebencian itu justru makin menggerogoti hatinya. Ia menjadi gadis yang teramat sensitif dan mudah marah. Apalagi jika mendengar nama mamanya disebut. Ia sama sekali tidak mau bertemu lagi dengan mamanya.

“Cinta, buanglah kebencian itu dari hatimu. Bagaimana pun engkau adalah anaknya, yang dulu pernah dikandung dan dilahirkannya. Maafkanlah dia… apalagi saat ini ia begitu membutuhkanmu,” bujuk neneknya suatu malam.

“Tidak, ia bukan mamaku! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah memaafkannya!” tegas Cinta, lantang.

Neneknya menghela nafas sebelum menjawab, “Kamu tidak boleh berkata seperti itu. Mamamu hanya manusia biasa yang tidak akan luput dari kesalahan. Dan, aku percaya ia sudah menyesali perbuatan yang dulu pernah dilakukannya. Ia butuh pengampunan. Ia butuh kata-kata maafmu..” Beberapa saat suasana hening. “Kalau Tuhan saja selalu mengampuni kesalahan kita, mengapa kamu tidak mau memaafkan kesalahan mamamu? Ayolah, Cinta… berikan maafmu sebelum semuanya terlambat…,“ bujuk neneknya sekali lagi.

Cinta terdiam. Ah… mengapa kebencian yang teramat menyiksa ini tidak mau hilang? Mungkinkah aku bisa memaafkannya?

Dan, rencana Tuhan teramat indah. Di saat-saat terakhir sang mama menghirup udara di dunia ini akibat penyakit kangker yang telah lama menggerogoti tubuhnya, Cinta datang. Hatinya disembuhkanNya agar mau memaafkan mamanya.

Pertemuan terakhir itu sungguh mengharukan. Cinta memeluk erat mamanya yang terbaring tak berdaya. Tak henti-hentinya air mata mengalir deras dari kedua bola matanya. “Aku memaafkanmu mama…” Beberapa detik kemudian sang mama menghembuskan nafas terakhir. Seulas senyum tergurat di wajahnya yang perlahan-lahan mulai dingin.

Beban yang teramat berat, yang menindih Cinta bertahun-tahun sirna sudah. Kebencian yang mengendap sekian lama hilang tak berbekas. Hatinya kini dipenuhi dengan cinta. “Aku ingin mengembalikan semua yang dulu hilang... Rasa cinta dan kasih…Tuhan, terima kasih karena Engkau begitu mencintai aku… berilah aku kekuatan agar bisa membagikan cintaMu yang tanpa batas itu untuk orang lain,” ujarnya dalam hati.

Minggu, 04 Juli 2010

Rumah Baru

Uahhhhh… akhirnya, kesampaian juga untuk pindah ke rumah baru. Lega, senang, bahagia, campur aduk menjadi satu. Segala kerisauan yang menghantui selama ini sirna sudah. Yah, rumah baru yang aku maksudkan di sini memang hanya sekedar ‘rumah maya’ yang ada dan hanya bisa dilihat secara online (lewat internet). Tapi paling tidak, hal itu tidak mengurangi kebahagiaanku karena akhirnya aku bisa memiliki rumah yang baru.

Jujur, sebenarnya keinginan untuk memiliki rumah baru sudah ada sejak lama. Namun karena berbagai kendala, keinginan itu selalu saja hanya terpendam dalam hati. Kendala utama yang paling aku rasakan adalah karena ketidakmampuanku menguasai pemrograman yang berhubungan dengan web/blog. Setiap kali aku mencoba membongkar rumah lamaku selalu saja terjadi error. Kalau pun akhirnya bisa, eh… tiba-tiba saja ada beberapa perabotannya yang hilang entah kemana. Akhirnya, karena rasa sayang dan tidak ingin semua yang aku hasilkan selama ini menjadi sia-sia, aku mengambil keputusan untuk tetap menghuni rumah lamaku.

Namun sejak dua hari lalu, semuanya berubah. Dan rasa-rasanya, aku perlu berterima kasih kepada orang-orang yang ada di belakang www.blogger.com. Berkat pengembangan yang terus-menerus mereka lakukan khususnya dalam pembuatan rancangan template yang baru, aku memperoleh keberanian untuk merubah keputusanku.

Rumah baruku didominasi oleh warna biru. Yap, betul! Biru adalah warna favoritku. Birunya langit. Birunya laut. Ah… warna itu selalu memberi kedamaian, kelegaan, sekaligus keteduhan. Kemudian ditambah dengan hiasan bunga yang menjadi perlambang bahwa si empunya blog menyukai keindahan.

Semoga saja rumah baruku selalu memberi kedamaian, kelegaan, juga keteduhan bagi siapa saja yang datang berkunjung. Semoga mereka juga betah untuk berlama-lama menikmati keindahan yang ditawarkan. Bukan keindahan yang mewah tetapi keindahan yang dibalut kesederhanaan. Dan bagiku sendiri, semoga rumah baru ini semakin menyulut semangatku untuk terus berkarya dan aktif di dunia blogger.

Sabtu, 03 Juli 2010

Pasrah

“Untuk merubah sebuah kebiasaan ternyata enggak mudah. Dibutuhkan lebih dari sekedar niat..” Itu yang kini terngiang-ngiang di telingaku. Yah, sudah sejak lama aku mempunyai sebuah kebiasaan buruk, yang ingin sekali aku hilangkan, tapi ternyata sampai hari ini, kebiasaan itu masih membelengguku dan sukar sekali untuk aku hilangkan…

Kalau ditanya, apakah aku memang ingin membuang kebiasaan itu, pasti dengan serta-merta aku akan menjawab tegas: ingin! Tapi kenapa selalu saja hanya berhenti pada keinginan tanpa mewujud pada tindakan? Bukankah kebiasaan burukku itu tidak ada gunanya dan justru merugikan diriku sendiri? Mungkinkah karena aku yang tidak pernah bersungguh-sungguh selama ini? Tidak tahan terhadap godaan-godaan yang menyeretku pada kebiasaan buruk itu?

Ah… berondongan pertanyaan itu malah membuatku semakin tidak berdaya. Ketidakberdayaan yang akhirnya menuntunku pada sebuah kesadaran ternyata selama ini aku lebih banyak mengandalkan kekuatanku sendiri. Aku jarang sekali melibatkan Tuhan.

Oh Tuhan…
di haribaanMu aku bersimpuh
dengan memanggul beban dari kebiasaan burukku ini
berkali-kali aku terjatuh
namun,
Engkau selalu memberiku kesempatan
Engkau selalu mengulurkan tanganMu yang penuh kasih
Untuk menuntunku kembali

Ampuni aku Tuhan
jika selama ini
aku lebih banyak mengandalkan kekuatanku
kekuatan yang tidak ada apa-apanya
dibanding keMaha-anMu

Tuhan…
kini aku pasrahkan kebiasaan burukku ini
biarlah hanya Engkau
yang akan menuntun segala niatku
untuk menghapuskannya
dari hidupku

Jumat, 02 Juli 2010

Sama Saja...

Sejak kemarin, Tarif Dasar Listrik (TDL) secara resmi dinaikkan oleh pemerintah. Dan seperti yang sudah-sudah, gelombang protes segera saja bermunculan terutama yang digalang oleh para mahasiswa.

Untuk mencari tahu penyebab kenaikan itu, seorang wartawan muda dari sebuah surat kabar terkenal mencoba mewawancarai pihak yang terkait.

Wartawan: “Mengapa Tarif Dasar Listrik (TDL) harus dinaikkan lagi, Pak? Bukankah itu berarti akan menambah beban bagi rakyat?”
Pejabat : “Jangan salah, Mas. Justru yang dilakukan pemerintah itu malah akan menguntungkan rakyat…”
Wartawan: “Kok bisa begitu…?”
Pejabat : “Coba aja Mas pikir… dengan adanya kenaikan itu berarti pemerintah sudah melakukan langkah penghematan. Nah dengan penghematan ini maka dana yang ada bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak, untuk kesejahteraan rakyat. Dan tentu saja, dengan adanya kenaikan pasti akan diiringi pelayanan yang makin meningkat..”
Wartawan: “Ahhh… sepertinya kalimat itu sudah pernah saya dengar, Pak… tapi kenyataannya belum juga terbukti… malah pemadaman listrik secara bergilir makin sering terjadi…”
Pejabat : “Itu kan dulu, Mas.. mulai saat ini tidak ada lagi yang namanya pemadaman secara bergilir… tapi…”
Wartawan: “Tapi apa, Pak?”
Pejabat : “Diganti dengan penyalaan listrik secara bergilir…”
Wartawan: “????????????????”

Kamis, 01 Juli 2010

Sembilan

Sayang,
hari ini, tepat sembilan tahun
usia pernikahan kita
ada banyak cerita,
canda tawa, tangis kesedihan,
pun dengan onak duri
dan semerbak wangi bunga
yang sudah kita lewati bersama
kadang keegoisan begitu meraja
kemarahan datang menghampiri
dan meluluhlantakkan kita
hanya karena kasih, kita mampu bertahan

Sayang,
sembilan tahun sudah
kita bersama merenda hari
berteman sepi dan kesunyian
tak putus kita menyemai harapan
agar mendapatkan momongan
tak lelah kita berusaha
tapi semua adalah kehendakNya
karena rencanaNya
adalah yang terindah dan terbaik
untuk kita

Sayang,
saat malam hendak luruh
berganti dengan pagi
mari kita panjatkan selaksa doa
agar kasih itu makin mewangi
dan terus abadi dalam hati dan karya
hingga maut memisahkan kita