Rabu, 31 Maret 2010

Berlatih Drama

Hari-hari ini menjadi hari yang paling sibuk bagi kami. Perayaan Paskah akan segera tiba. Kami harus mempersiapkan segala sesuatunya untuk memeriahkan perayaan tersebut khususnya untuk Perayaan Ekaristi Paskah Keluarga yang akan dilaksanakan hari Minggu, 4 April pk. 08.30.

Salah satu yang paling menguras tenaga dan membutuhkan perhatian ekstra adalah latihan drama. Drama? Ya, memang benar. Di luar kebiasaan, kali ini kami akan menampilkan sebuah drama yang berkisah tentang hidup keseharian. Tahun-tahun sebelumnya, kami hanya memvisualisasikan kisah kebangkitan Yesus berdasar teks Kitab Suci yang dperagakan oleh anak-anak.


Dikisahkan dalam drama itu, seorang anak yang kurang mendapat perhatian karena papa mamanya sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sementara sang anak hanya dipercayakan kepada pembantu. Suatu saat, karena bujukan teman-temannya, sang anak tergoda untuk bermain game online hingga akhirnya menjadi kecanduan. Saking kecanduannya, anak ini menjadi pemalas, tidak pernah lagi belajar dan mengerjakan peer, enggan ikut sekolah minggu, dan mulai berani mencuri uang papa mamanya agar terus bisa bermain.

Suatu ketika karena perasaan bersalah, anak ini takut pulang. Ia hanya berjalan ke sana ke mari tak tentu arah hingga akhirnya ia kelelahan dan jatuh tertidur justru di dekat rumahnya sendiri. Dalam tidurnya, ia melihat Yesus yang disalib. Betapa pedih. Betapa sengsara. Ia rela disalib untuk menebus dosa manusia. Sang anak menjerit-jerit, “Jangan salibkan Yesus! Jangan salibkan Dia! Aku yang bersalah! Aku yang telah mencuri uang papa mama… “. Dan berkat mimpi ini, anak tersebut akhirnya sadar dan meminta maaf kepada papa mamanya. Ia berjanji akan memperbaiki semuanya.

Karena berbentuk drama dan waktu yang lumayan mepet, kami memutuskan bahwa drama akan tetap diragakan oleh anak-anak dan didubbing secara langsung oleh para pendamping.

Proses latihan drama itu sendiri ternyata berjalan tidak dengan mudah. Selain karena sifat anak-anak yang cenderung tidak serius, kurang konsentrasi, sering guyon sendiri dengan teman-temannya, lupa adegan, hingga kendala para pendubber yang tidak komplet.


Namun, semua ini harus kami atasi. Kami harus membesarkan hati dan menambah porsi kesabaran saat menangani anak-anak karena apa yang kami lakukan hanyalah untuk memuliakan namaNya. Semoga saat tiba hari H nanti, kami dapat menampilkan yang terbaik untuk menyambut kebangkitanNya.

Dunia 'Ini'

Dunia ‘ini’ sungguh menakjubkan. Benar-benar ajaib. Sampai hari ini aku masih saja geleng-geleng kepala dibuatnya. Tentu semua mengerti dengan yang aku maksud, bukan? Yah, tepat! Dunia ‘ini’ adalah dunia maya tempat kita biasa saling bertemu, bertatap muka walau hanya dengan secuil foto yang menjadi identitas. Tempat kita biasa saling mencurahkan isi hati; sedih, senang, haru, tertawa, opini, pembelajaran, dan entah apalagi. Semua menjadi satu sebagai sebuah komunitas. Tanpa batas. Tanpa ada perbedaan.

Ah, betapa dunia ‘ini’ sudah memberi sebuah pengharapan. Pengharapan akan persahabatan yang dilandasi dengan ketulusan, kejujuran, dan semangat untuk berbagi kasih. Moga pengharapan ini terus tumbuh dan berkembang. Ibarat sebutir biji yang teramat kecil, yang tumbuh di tanah yang subur hingga ia menjelma menjadi pohon kehidupan. Daunnya rimbun menghijau. Bunga-bunganya harum bermekaran. Dan akhirnya, semua akan menghasilkan buah-buah kebahagiaan. Semoga.

Selasa, 30 Maret 2010

Belajar Dari Sepakbola

Dulu aku tidak menyukai sepakbola. Namun, sejak menonton siaran pertandingan Liga Inggris di sebuah stasiun televisi swasta nasional beberapa tahun yang lalu, pandangan itu berubah seratus delapan puluh derajat. Aku menjadi suka tetapi suka yang pemilih. Maksudnya? Iya, aku jadi suka menonton pertandingan sepakbola tetapi hanya khusus liga-liga di Eropa. Kalau untuk pertandingan di liga Indonesia aku ogah banget. Bukannya enggak mencintai negara sendiri tetapi kenyataannya pertandingan sepakbola di dalam negeri tidak enak untuk dinikmati dan cenderung menjengkelkan. Mulai dari penonton yang suka tawuran dan gemar merusak fasilitas publik hanya karena klub kesayangannya kalah atau karena enggak dapat tiket nonton, pemain yang lebih suka menendang kaki daripada bola dan adu jotos di lapangan karena tidak bisa menahan emosi, wasit yang lebih sering dimaki-maki dan didorong-dorong daripada dihormati, dan pengurus induk organisasi yang lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada kepentingan persepakbolaan nasional. Semua dihinggapi masalah yang nggak ada ujung pangkalnya. Bak benang ruwet yang sulit untuk diurai lagi.

Kalau ditanya apa klub favoritku, pasti dengan sigap aku akan menjawab Manchester United (MU). Ya, MU, MU, dan hanya MU. Para pemainnya penuh talenta dengan pola permainan menyerang yang sangat enak untuk ditonton. Ditambah sosok Alex Ferguson, manajer bertangan dingin yang ada dibalik semua itu. Aku masih ingat betapa menyenangkannya saat menyaksikan kelincahan Ryan Giggs dengan dribel lincahnya yang sanggup melewati hadangan pemain lawan atau tendangan bebas akurat nan mematikan milik David Beckam yang sangat memanjakan para penyerang MU.

Satu pertandingan MU yang paling aku kenang hingga saat ini adalah ketika melawan Bayern Munich di Final Liga Champion 1999 yang digelar di Camp Nou. Pertandingan itu sungguh mendebarkan, dramatis, sekaligus menguras emosi. Hampir sepanjang pertandingan, aku terus dipeluk kekhawatiran karena klub kesayanganku sudah tertinggal 0-1 sejak menit-menit awal. Di saat kekhawatiran itu makin membuncah, hanya seucap doa yang terus kupanjatkan: Tuhan, semoga Engkau memberi kemenangan untuk MU... Dan sungguh ajaib, di menit-menit akhir pertandingan yang sudah memasuki injury time, MU sanggup membalikkan keadaan. Mereka akhirnya bisa merebut mahkota Liga Champion setelah menang 2-1.

Lalu, apakah hanya hal-hal itu yang menyebabkan aku menjadi begitu menyukai sepakbola? Tidak. Ternyata dari menonton pertandingan sepakbola, aku bisa menemukan banyak pelajaran positif yang akan semakin mengembangkan kehidupanku. Lebih mengutamakan kepentingan tim (kelompok) daripada kepentingan pribadi. Tidak bersikap egois atau ingin menang sendiri. Berjuang tanpa kenal lelah, tanpa putus asa, hingga tetes keringat terakhir, untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Bersikap jujur, tidak berpura-pura, atau menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tidak terlena dengan keberhasilan yang sudah dicapai tetapi terus berusaha memberikan yang terbaik. Bersikap sportif, mau mengakui dan menerima kekalahan. Berani meminta maaf ketika melakukan kesalahan dan patuh pada peraturan yang berlaku.

Senin, 29 Maret 2010

Teladan Penjual Donat

“Donat… donat… donat.. donat… “ Suara bapak penjual donat itu selalu menerbitkan rasa iba di hatiku. Entah mengapa? Mungkin, karena suaranya yang agak-agak sengau atau mungkin juga karena melihat langkah kakinya yang tiada kenal lelah, menyusuri jalan setapak demi setapak, untuk menjajakan donat. Namun, dari hari ke hari, saat aku semakin sering mendengar suaranya, rasa iba itu berubah menjadi kekaguman.

Entah, mulai jam berapa, bapak penjual donat itu keluar dari rumah, aku tidak tahu. Yang aku tahu, saat sebagian besar orang masih menikmati suasana pagi dengan membaca koran, bercanda dengan cucu, menonton berita dan gosip, atau menikmati sepiring gorengan ditemani secangkir teh hangat, bapak itu sudah ada di jalanan sambil memanggul susunan rak-rak plastik berisikan donat. Suaranya yang khas meluncur deras, berharap ada orang-orang yang akan segera membeli dagangannya. Kadang berhasil, tapi tak jarang sia-sia. Namun langkahnya terus terayun. Bahkan hingga sang malam memeluk raganya.

Perjuangan yang luar biasa. Teladan hidup yang patut untuk dicontoh. Jujur, aku merasa malu melihat bapak penjual donat itu. Aku yang dikaruniai pekerjaan yang lebih baik, di kantor yang nyaman, tidak kepanasan, tidak kehujanan, seringkali malah tidak berusaha bekerja dengan sebaik-baiknya. Hanya bekerja seadanya dan lebih banyak ‘leyeh-leyeh’ (bersantai-santai) karena merasa pekerjaan sudah beres.

Terima kasih, Pak. Suara khasmu telah membuka mata hatiku. Ayunan langkah kakimu membangkitkan semangatku untuk memperbaiki sikap-sikap yang kurang pantas, yang aku lakukan selama ini. Aku harus bekerja dengan baik karena itu adalah bukti rasa syukurku. Dan karena, ada lebih banyak orang yang nasibnya tidak seberuntung diriku. Kepanasan, kehujanan, bergelut dengan sampah, dikejar-kejar petugas, bertaruh nyawa, hanya demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik.

Jumat, 26 Maret 2010

Hari Ini Ponakanku Bertambah Lagi


Hari masih pagi. Jarum jam dinding belum menyentuh angka tujuh. Tiba-tiba telepon berdering. “Haloo…,” tanya istriku sesaat setelah mengangkat gagang telepon.

“Mbak, Lia perutnya sakit banget. Mungkin bayinya akan segera lahir. Minta tolong ibu untuk menjemput Samuel,” suara di seberang menjelaskan.

Telepon itulah yang menyebabkan suasana pagi ini terasa sangat berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Ibu mertuaku sempat bingung karena ia belum bersih-bersih rumah. Akhirnya, ayah mertuaku memutuskan untuk tidak ngantor karena harus segera menjemput Samuel, cucunya.

Baru beberapa menit, telepon kembali berbunyi. “Mbak, Lia sudah bukaan lima.” Waduhhh… kok cepet sekali! Dan benar saja, ketika kami (aku dan istriku) sedang nonton tv, telepon pun berbunyi lagi, “Syukurlah mbak, bayinya sudah lahir, laki-laki.”

Gembira, senang, bahagia, tumpah ruah menjadi satu. Hari ini ponakanku bertambah lagi. Ya, bertambah satu hingga jumlah semuanya menjadi tujuh. Dua dari kakakku, laki-laki dan perempuan. Satu, laki-laki, dari adikku. Dua lagi dari adik iparku, laki-laki dan perempuan. Dan yang terakhir, dua laki-laki dari adik iparku yang satunya.

Jujur, sebenarnya ada sepercik kesedihan yang selalu muncul. Giliranku kapan? Kapan istriku akan hamil dan melahirkan anak, padahal pernikahan kami pertengahan tahun ini sudah akan menginjak usia 9 tahun? Semakin memikirkannya, kesedihan itu semakin terasa. Ah, aku tidak layak menuntut hal itu. Bukankah semua itu adalah kehendak Tuhan? Bukankah rencanaNya adalah rencana yang terbaik? Dan saat merenungkannya, aku seolah disadarkan. Hanya kehendakMu yang akan terjadi Tuhan, ucapku dalam hati.

Rasanya, hanya perkenan dan kehendak Tuhanlah yang juga telah terjadi pada adik iparku. Bayangkan, pada tahun-tahun awal pernikahannya, adikku ini pernah mengalami keguguran selama 3 kali. Entah apa penyebabnya. Setelah peristiwa keguguran yang terakhir, beberapa tahun tidak terjadi apa-apa hingga kurang lebih 2,5 tahun yang lalu ia dinyatakan positif hamil lagi. Setelah menjalani proses kehamilan normal, lahirlah ponakanku yang keenam yang diberi nama Samuel Defano. Belum genap satu tahun, rupanya Tuhan sudah memberikan rejeki kembali kepada adik iparku ini dengan kelahiran bayi laki-laki, adik Samuel.

RencanaNya adalah yang terindah. Itu yang selama ini juga kuhayati. Seindah kesempatan yang telah diberikannya kepada kami. Ya, karena belum dikaruniai momongan, hampir seluruh perhatian dan kesibukan, kami curahkan untuk tugas-tugas pelayanan di gereja. Aku dipercaya masuk dalam kepengurusan di gereja dan menangani Tim Kerja Komsos yang tahun kemarin sudah memasuki periode kepengurusan yang kedua. Sedangkan istriku menjadi lektor, membantu tugas pendampingan di PIA dan ikut aktif membantu koor untuk tugas-tugas misa di gereja.

Akhirnya, aku hanya bisa bersyukur atas itu semua. Atas segala kesempatan yang telah diberikanNya untuk keluargaku. Aku dan istriku. Atas hadirnya ponakan-ponakan yang lucu, nakal, dan menggemaskan, yang akan lebih sering memanggilku dengan sebutan pakdhe atau om. Juga untuk ponakan-ponakan lain yang kutemukan dalam tugas-tugas pelayanan di gereja. Syukur dan syukur yang akan selalu kuucapkan untukMu.

note: maaf fotonya kurang 2, satu enggak ketemu dan satunya lagi karena barusan lahir jadi belum sempat difoto...

Kamis, 25 Maret 2010

Habis Manis Dibuang Saja...

Melihat dan mendengarkan acara Dialog Pagi di Metro TV beberapa hari lalu, membuat hati ini sangat miris. Perasaan seperti diaduk-aduk hingga air mata pun tak kuasa untuk ditahan. Bagaimana tidak? Saat itu dihadirkan 2 perempuan renta berumur 78 tahun yang terancam hukuman 2 tahun penjara. Bagaimana bisa? Mari kita simak berita yang dimuat di Media Indonesia, Kamis, 18 Maret 2010:

Ketika memasuki ruang persidangan Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Soetarti, 78, dan Roesmini, 78, tampak berjalan tergopoh-gopoh sambil dipapah. Ekspresi sedih dan cemas terlihat dari raut wajah dua janda pahlawan itu. Kehadiran dua perempuan renta itu untuk menjalani siding perdana, terkait dengan kasus rumah dinas yang harus mereka kosongkan di Jalan Cipinang Jaya II A RT 007/007, Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.

Perum (Perjan) Pegadaian memidanakan Soetarti, istri almarhum R. Soekarno, dan Roesmini, istri dari Ahmad Husaeni, dengan ancaman hukuman dua tahun penjara. Tuduhannya, mereka menyerobot tanah orang lain dan menempati rumah negara milik Perum Pegadaian seluas 236 m2. Mereka didakwa dengan Pasal 12 ayat (1) jo Pasal 36 ayat (4) UU No 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.

Menurut Jaksa Ibnu Suud, saat membacakan dakwaan pada sidang perdana, Perum Pegadaian telah memberi peringatan pada 2008 melalui surat peringatan nomor 235 untuk segera mengosongkan rumah dinas tersebut. Namun, mereka tidak mau pindah dan ingin membeli saja.

“Rumah dinas itu tidak berlaku lagi jika atas nama surat penempatan rumah sudah tidak bekerja atau meninggal dunia. Rumah itu atas nama suami bukan istri,” ungkap Ibnu.

Menurut Soetarti, sesuai PP No 40/1994, karyawan yang telah bekerja minimal 10 tahun diperbolehkan membeli rumah dinas. Namun ketika dia melaksanakan haknya, justru ditolak. Di sisi lain, banyak rumah dinas tetap dikuasai pegawai meski mereka tidak mendapat gelar pahlawan.


Habis manis dibuang saja. Itu yang mungkin bisa dikatakan. Para suami yang telah berjuang demi memerdekakan negeri ini hingga tetes darah terakhir ternyata istri-istri mereka malah mengalami perlakuan yang tidak sepatutnya. Lalu, dimana letak keadilan? Dimana hati nurani? Apakah demi sesuatu yang belum tentu terbukti kebenarannya, mereka harus menanggung semua itu. Padahal mereka hanyalah orang tua lanjut usia yang seharusnya mendapatkan perlindungan. Gaji mereka yang hanya Rp. 970.000,- pun belum tentu cukup untuk menopang kehidupan mereka saat ini.

“Dulu waktu suami saya masih hidup, kami dihormati, tapi sekarang kok malah diginikan. Saya sedih sekali,” ungkap Soetarti sambil meneteskan air mata.

Habis manis dibuang saja. Inikah yang memang banyak terjadi di negeri ini?

Rabu, 24 Maret 2010

Kena Tag (lagi)...

Hehehe… hari ini aku kena Tag lagi. Tag ini aku terima dari sahabatku mbak Reni yang asli Madiun. Namanya Tag 10 Membuka Diri. Sesuai dengan namanya, si penerima Tag ‘kudu’ buka-bukaan tentang dirinya sesuai pertanyaan yang diajukan. Oke, biar makin jelas, segera yukkk… simak pertanyaan dan jawaban-jawabannya di bawah ini…

1. Siapakah diri anda di rumah?
Suami dari seorang istri, mantu dari orangtua istri, kakak untuk adik ipar, dan pakde untuk para ponakan yang ganteng, nakal, dan pastinya lucu-lucu.
2. Siapakah diri anda menurut teman-teman anda?
Sahabat yang baik (eh… bener gak ya?) yang mau memberikan tumpangan untuk temen yang kebetulan nggak ada tumpangan saat mo pulang ke rumah. Tapi kadang suka gemas n’ marah kalo liat temen yang gak rapi ato suka mengotori tempat yang udah dibersihkan.
3. Sebutkan 5 benda yang diidamkan tetapi belum tercapai!
Emmmm… apa ya (pura-pura mikir…)? Ini aja dech…rumah yang tidak begitu besar dan tidak begitu kecil, yang ada halamannya meski nggak luas-luas amat, ada pohon mangga tumbuh besar di halaman, juga kebun untuk menyalurkan hobi bercocok tanam…
4. Siapakah nama pasangan anda?
Fransiska Eka Setiyoningsih ato akrab disapa Ningsih
5. Ceritakan 5 hal yang paling anda suka tentang pasangan anda!
Pengertian, perhatian, punya rasa setia kawan yang amat tinggi, bertanggung jawab,dan penyayang
6. Kapan anda menikah?
1 Juli 2001 (ehhh… nggak terasa udah hampir 9 tahun…)
7. Apa kenangan pahit anda bersama pasangan anda?
Rasanya kok tidak ada dan moga terus demikian…
8. Lagu tema cinta anda?
Tak Bisa Ke Lain Hati (kita sama nih mbak…) alasannya; itu lagu pertama yang diberikan oleh istriku saat pertama kali datang ke rumahnya (ceritanya pas mo pedekate nih…) dan memang lagu itu akhirnya jadi kenyataan karena setelah pacaran hampir 9 tahun aku bener-bener nggak bisa ke lain hati… banyak sich temen-temen yang cantik tapi semuanya lewaaatttttt…
9. Perubahan apa yang ingin anda lihat dari pasangan anda?
Bisa lebih sabar dan lebih rapi terhadap siapa pun dan apa pun…
10. Tag 10 teman yang lain
Nah, selanjutnya Tag ini akan kuberikan untuk: mbak Clara, mbak Lilah, Keboo, mas Megi, mbak Seiri, mbak Inge, mbak Lina, mas Fai_cong, mbak Fanda, dan mas Darin.

Piuhhhh… akhirnya selesai juga dengan Tagnya. Buat temen-temen yang kena Tag met ngerjain ya… tapi itu nggak paksaan lho… kalo emang nggak dikerjain juga nggak apa-apa kok karena pasti nggak akan kena sangsi. Oke, segini aja ya… Salam kasih untuk kalian semua…

Selasa, 23 Maret 2010

Jam Karet

Barangkali istilah ini sudah sangat familiar di telinga kita. Yah, istilah yang melukiskan waktu yang tidak pernah tepat. Molor dan molor. Hitungannya bisa menit tetapi bisa juga jam-jam-an. Dan kalau sudah begitu terasa sangat menyebalkan.

Hal itu pula yang aku alami hari minggu yang lalu. Entah mimpi apa, hari itu terasa sibuk sekali. Ada beberapa kegiatan yang mesti aku jalani dalam rentang waktu yang hampir bersamaan. Jam 07.20 rekam pake handycam homili di gereja, jam 09.00 ke Kapel Markus untuk liputan pelatihan pembuatan sabun cuci dan kreolin, dan jam 10.00 kembali lagi ke gereja untuk liputan presentasi KEP (Kursus Evangelisasi Pribadi). Plus hari itu aku harus jaga perpus mulai jam 08.00 – 12.00.

Urusan homili di gereja beres. Pun dengan jaga perpus karena aku bisa gantian dengan istriku. Tinggal tugas liputan. Jam 08.45, aku mulai siap-siap meluncur ke Kapel Markus. Saat itu istriku nyeletuk, “Paling acaranya belum mulai mas… biasanya kan molor.”

Ternyata, apa yang dikatakan istriku terbukti. Di Kapel Markus masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang kelihatan. Satu peserta pelatihan yang duduk sendirian di dalam kapel, satu orang di pintu masuk yang bertugas melakukan pendaftaran peserta, dan satu orang yang tampak hilir mudik melakukan persiapan di sana-sini.

Empat puluh menit berlalu. Pelatihan belum juga dimulai. Aku mulai gelisah. “Kapan mulainya ya?” sebuah suara tiba-tiba bergaung di hatiku. Lima menit kemudian, tim yang akan memberikan pelatihan tiba, sambil membawa beberapa peralatan dan bahan-bahan yang akan digunakan selama pelatihan. Saat itu pun peserta pelatihan belum genap 10 orang. Maka dengan sangat terpaksa, aku mohon ijin untuk pamit karena harus bertugas di tempat lain.

Molor atau tidak tepat waktu dalam sisi apa pun hanya akan merugikan bagi siapa pun. Anehnya, masih banyak orang yang menyukainya. Bahkan kelihatannya sudah menjadi budaya di negeri ini. Maka tidak heran, orang yang tepat waktu justru dianggap aneh dan di luar kebiasaan.

Orang yang suka molor atau tidak tepat waktu adalah orang yang tidak pandai menghargai waktu. Ia hanya berpikir untuk dirinya sendiri. Akibatnya, ia juga kurang menghargai orang lain.

Apakah kita ingin terus seperti itu? Tentu tidak. Maka, ayo kita berlomba-lomba untuk selalu tepat waktu, kapan pun dan di mana pun! Mau?

Senin, 22 Maret 2010

Sebuah Perkenalan

Tak kenal maka tak sayang. Ungkapan itu terasa sangat pas untuk menggambarkan rumah baruku. Rumah baru? Ya, memang benar. Beberapa hari lalu, aku membangun sebuah rumah baru. Bukan dalam artian sebenarnya karena rumah baru yang aku maksud hanyalah sebuah blog. Dan seperti rumah sebelumnya, rumah ini pun aku bangun dengan semangat kesederhanaan, mulai dari theme hingga pernak-perniknya. Namun meski sederhana, semoga rumah baruku (juga) bisa menjadi tempat persinggahan yang nyaman dan berkesan bagi para sahabatku.

Rumah ini aku beri nama SEJENAK. Tentu ada maksud di balik nama itu. Sejenak berarti sebentar atau beristirahat dalam waktu yang tidak lama. Karena ada 3 titik di belakangnya maka bisa ditambahkan macam-macam hal seperti: sejenak diam, sejenak hening, sejenak singgah, sejenak membaca, sejenak merenung, sejenak berkomentar, dan masih banyak sejenak yang lain lagi. Dan karena hanya sejenak, tulisan yang aku posting pun hanya tulisan-tulisan singkat yang semoga bisa memberi makna. Sebagai penegas dari nama itu, aku tambahkan beberapa kalimat: “Hidup itu indah. Yang aku perlukan hanyalah keluar SEJENAK dari rutinitas. Diam, hening, untuk melihat, merasakan, dan menemukan mutiara-mutiara kehidupan…”

Nah, tanpa berpanjang kata, aku undang para sahabat untuk berkunjung di rumah baruku (klik di sini) sembari berucap; selamat datang dan terima kasih atas kunjungan kalian. Salam terkasih.

Minggu, 21 Maret 2010

Kau dan Aku Beda

Kau dan Aku beda
bukan untuk saling menilai
saling menghina
apalagi saling memerangi

Kau dan Aku beda
agar saling memahami
saling melengkapi
dan saling memberi kasih

Kau dan Aku beda
itu harus selalu disyukuri
sebab perbedaan membuat hidup menjadi indah
hidup menjadi lebih bermakna

Jumat, 19 Maret 2010

Kebenaran

Kebenaran terdiam di sudut gelap
matanya sembab oleh air mata yang tak henti mengalir

Mengapa aku mesti dicampakkan?
Mengapa aku kini dilupakan?
Mengapa aku serupa dengan barang rongsokan
yang harus dibuang jauh-jauh?
Apakah engkau takut kepadaku?
Apakah karena engkau
lebih suka mencumbu kegelapan?

Ah… lengking tawamu
makin membuatku tak berdaya
Kapankah engkau akan sadar?
dunia tak selamanya berputar
akan tiba saatnya dia akan berhenti
dan jika hal itu tiba
tak ada gunanya lagi semua penyesalan

Kamis, 18 Maret 2010

Gimana Mau Berhasil Kalo Disiplin Aja Enggak Bisa!

Dueennnggg! Tiba-tiba kalimat itu menjelma menjadi palu godam yang menghantam kepalaku. Memompa seluruh aliran darah dalam tubuhku dan membangunkan sebuah kesadaran dalam diriku. Ternyata selama ini, aku belum mampu mendisiplinkan diri. Kalau toh (berusaha) untuk disiplin semuanya hanya berlangsung sesaat. Hari ini bisa tetapi besok, lain lagi ceritanya.

Lalu, bagaimana dengan keinginanku menjadi penulis? Motivasi sudah ada. Pun dengan ide yang banyak bertebaran di sekitarku. Dulu, jadwal juga udah aku susun dengan rapi. Kapan waktunya kerja, pelayanan di gereja, jalan-jalan, dan waktu untuk menulis. Bahkan akhir-akhir ini aku sering pasang alarm untuk membangunkanku di pagi hari. Tapi semuanya jadi mubazir karena aku enggak bisa disiplin. Jadwal tinggal jadwal yang hanya bisa diam tanpa pernah protes karena enggak pernah dipedulikan. Pun dengan alarm di pagi hari. Bangun sih… tapi hanya untuk mematikan alarm trus molor lagi dengan alasan masih ngantuk, dll. Lha… kalo kayak gitu yang terus-terusan aku jalani… gimana bisa berhasil? Pastinya aku akan jalan di tempat. Dan itu semua terjadi karena aku belum bisa disiplin!

Disiplin, disiplin, dan disiplin. Kata itu harus aku patri di dalam diri. Meresapkannya dan mengaduknya hingga tercampur merata dalam aliran darahku. Memampukan seluruh raga untuk melakukan apa pun yang sudah aku rencanakan demi kebaikan hidupku. Tanpa pernah mengeluh. Tanpa pernah menunda-nunda. Tanpa pernah menggunakan berbagai macam alasan sebagai langkah pembenaran. Semoga.

Rabu, 17 Maret 2010

Bersyukurlah

Sering, hal yang sudah menjadi kebiasaan
membuat kita lupa untuk bersyukur

udara yang kita hirup,
sepiring nasi lengkap dengan lauk 3 x sehari,
air berlimpah untuk mandi dan mencuci,
mata yang bisa melihat,
mulut yang dapat berbicara,
telinga yang mendengar dengan baik,
tangan dan kaki sempurna untuk melakukan banyak hal


Semua itu adalah anugerah
maka, bersyukurlah…

Selasa, 16 Maret 2010

Tuaian Memang Banyak, Tetapi Pekerja Sedikit


Ungkapan itulah yang tertulis dalam Injil Lukas 10:2. Sebuah ungkapan yang rasanya pas sekali dengan perkembangan Tim Kerja Pendampingan Iman Anak di paroki kami, Paroki Katedral Semarang. Banyak anak yang perlu mendapat pendampingan untuk pertumbuhan imannya tetapi hanya sedikit pribadi yang terpanggil untuk menjadi pendamping bagi anak-anak. Dalam banyak kesempatan, yang sering terlibat hanya ‘itu-itu’ saja baik di lingkungan maupun di paroki. Yang lebih memprihatinkan lagi, masih banyak lingkungan yang tidak ada kegiatan pendampingan bagi anak-anak.

Namun itulah tantangan kami. Tantangan yang mesti dijawab dengan kerja keras. Memang, kami kadang merasa letih, enggan, tidak punya harapan, sia-sia segala yang sudah kami upayakan, tetapi ketika melihat wajah anak-anak, semua itu sirna berganti dengan semangat yang menyala-nyala karena di pundak merekalah terletak masa depan gereja.

Berlatar belakang hal tersebut, kami kembali mengadakan rekoleksi untuk pendamping dan calon pendamping anak-anak (PIA) di Gua Maria Kerep Ambarawa, 15 dan 16 Maret. Selain untuk penyegaran, kegiatan ini juga dimaksudkan untuk mencari generasi baru pendamping iman anak, di tingkat lingkungan dan paroki.

Lagi-lagi, kami harus menerima kenyataan. Dari 35 lingkungan yang kami tawari, tidak sampai seperlimanya yang menyatakan diri untuk ikut mengirimkan perwakilannya. Banyak alasan yang dikemukakan. Masalah waktu yang tidak cocok karena berbarengan dengan kegiatan lain yang lebih penting hingga tidak adanya pribadi yang mau terlibat.

The Show Must Go On. Itulah yang kami lakukan. Harapan kami, meski hanya sedikit yang ikut (tentunya ini tidak sesuai dengan harapan), kami harus tetap semangat dan lebih bersemangat. Sedikit tetapi berkualitas akan lebih berarti daripada banyak namun tak berbuah apa-apa. Dan satu hal yang tetap harus kami lakukan, mendaraskan doa kepadaNya agar ada lebih banyak pribadi yang terketuk hatinya untuk melanjutkan pelayanan ini. Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit, karena itu mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu.

Senin, 15 Maret 2010

Sahabat

Awalnya, kita bukanlah apa-apa
lalu, dunia ajaib ini mempertemukan kita
entah kapan kita mulai saling memperhatikan?
entah kapan kita mulai saling memberi cinta?
itu semua tak lagi penting
karena kita sudah jadi Sahabat

Memang,
kita tak bisa setiap kali saling menyapa
bukan karena bosan atau tak lagi peduli
hanya kesibukanlah yang jadi penyebab

Sahabat,
terima kasih untuk semua kerinduan
terima kasih untuk segenap cinta dan kasih
terima kasih untuk persahabatan
di antara kita


* terima kasih untuk sahabatku Seri
atas AWARD indah yang diberikannya untukku


(para sahabat, aku minta maaf karena hanya bisa posting
dan belum sempat berkunjung ke rumah sahabat. Namun
di lain waktu, aku pasti akan memperbaikinya.
Salam Kasih untuk kalian semua
)

Jumat, 12 Maret 2010

Kasih

Ketika kekerasan dan kebencian terus saja merajalela
hanya satu hal yang dapat menghentikannya
ialah kasih

Saat hati remuk karena berbagai peristiwa
dan kesedihan yang teguh memeluk jiwa
hanya satu hal yang mampu mengobatinya
ialah kasih

Kasih yang menyatukan kita
Kasih yang membuat kita bertahan
Kasih yang menjadikan kita berarti
hingga jarak yang membentang
dan beda yang ada
tak lagi punya arti

Kasih dan hanya kasih
tidak ada yang lain

Marilah kita sebarkan kasih itu untuk semua
kini, esok, dan sepanjang kehidupan kita


Award yang indah ini aku terima dari mbak Ninneta
dengan sebuah pesan:
sebarkanlah malaikat-malaikat ini agar tercipta kedamaian di dunia ini...

Kamis, 11 Maret 2010

Hidup Adalah Belajar

Belajar menerima, menggunakan apa pun yang sudah diberikan-Nya untuk memperkembangkan hidup menjadi lebih baik, dan bersyukur atas semua anugerah itu.

Belajar merasakan cinta yang diberikan orang lain dan kemudian membalasnya dengan cinta yang sama bahkan lebih.

Belajar menerima orang lain apa adanya. Tidak menganggap mereka lebih jelek, lebih buruk, lebih miskin, lebih tidak sempurna, dan beragam label negatif lainnya karena kita berasal dari zat yang sama.

Belajar meminta maaf ketika melakukan kesalahan dan memberi pengampunan kepada orang lain yang mengaku salah atas tindakannya kepada kita.

Belajar menerima dan menghargai perbedaan serta menjadikannya sebagai sesuatu yang indah, yang diciptakan Tuhan agar kita bisa saling bekerjasama, saling membantu, saling memberi hati dan cinta, demi kebahagiaan bersama.

Kadang, dalam seluruh proses pembelajaran itu, kita kurang mengerti dan tidak tahu apa yang mesti dilakukan hingga tindakan kita pun menjadi batu sandungan untuk orang lain dan bertentangan dengan kehendak Tuhan. Namun, setelah jatuh kita harus bangkit. Setelah terlena dalam mimpi, kita perlu bangun dan sadar, agar selanjutnya mampu memperbaiki kesalahan dan kembali kepada kebenaran.

Hidup tidaklah abadi. Semua akan lenyap ketika saatnya tiba.

Rabu, 10 Maret 2010

Tentang Aku

Aku lahir, tumbuh, dan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang sederhana. Ayahku, pegawai negeri sipil dari Dinas Pekerjaan Umum atau DPU (yang kini telah pensiun) sedangkan ibuku, hanya ibu rumah tangga biasa. Aku anak kedua dari empat bersaudara. Kakakku, laki-laki, bersama dengan istri dan kedua anaknya, sulung laki-laki dan bungsu perempuan, sekarang tinggal di Kudus. Adikku yang pertama, laki-laki, juga telah menikah dan mempunyai satu anak laki-laki. Saat ini mereka berdomisili di Cikarang. Sementara adikku yang bungsu, perempuan, belum menikah, masih tinggal bersama orang tua di sebuah desa di tengah kota Semarang yang bernama Lempongsari.

Pertengahan tahun ini, aku akan memasuki usia pernikahan yang ke-9 tahun. Dalam rentang waktu itu banyak suka duka yang sudah aku alami. Senang, sedih, kecewa, marah, dan berbagai perasaan yang lain. Berbaur menjadi satu. Membentuk sebuah simfoni kehidupan yang begitu indah. Sungguh, aku bersyukur karenanya. Meski saat ini aku masih menumpang di rumah mertuaku. Meski saat ini Tuhan belum mengaruniakan momongan untuk keluargaku. Namun, aku tetap percaya bahwa rencanaNya adalah rencana yang terbaik dan terindah untuk keluargaku.

Jujur, awalnya, aku adalah orang yang pemalu dan cenderung rendah diri. Sering, aku takut jika harus bertemu dan berhadapan dengan orang lain karena tidak tahu harus ngomong apa. Aku juga pendiam dan tidak banyak bicara. “Ora muni yen ora dithuthuk (tidak bicara kalau tidak diajak bicara),” demikian sebuah ungkapan dalam bahasa Jawa. Perasaan ini bertahun-tahun menggangguku hingga suatu saat aku membulatkan tekad untuk mengatasi semua ini. “Aku harus menghadapi ketakutanku dan mengalahkannya!” jeritku, lantang. Dan syukurlah, sejak saat itu, perlahan namun pasti aku mampu meminimalisir semua perasaan itu.

Secara fisik, aku bisa dikatakan cukup ganteng (itu kata ibuku lhooo…) dan termasuk dalam kelompok yang menamakan dirinya KUTILANG. Bukan nama seekor burung tapi KUTILANG adalah singkatan dari KUrus, TInggi, dan LANGsing. Mungkin inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa aku merasa rendah diri. Apalagi pas masanya duduk di bangku SMA. Aku sering iri kalau melihat teman-temanku yang bertubuh atletis, yang menyebabkan mereka gampang mencari cewek untuk dijadikan pacar. Aku? Boro-boro… Kisah cintaku masa SMA hanyalah kisah cinta yang kupendam dalam hati karena aku tidak pernah berani menyatakannya… Dan karena kurus itulah, aku melakukan berbagai cara untuk memperbaiki bentuk tubuhku agar terlihat ideal. Minum jamu penambah berat badan, minum susu berprotein tinggi, makan buah pepaya secara teratur, hingga menambah porsi makan. Namun semuanya tidak mampu memenuhi keinginanku. Kalaupun sempat naik, beberapa hari kemudian pasti akan turun lagi. Akhirnya, aku sadar. Aku harus menerima apa yang sudah dikaruniakan Tuhan dan selalu bersyukur karenanya. Walau kurus, bukankah aku sehat dan tidak gampang sakit? Aku jadi gampang bergerak ke sana ke mari dan lebih bersemangat dalam memberikan pelayanan untuk gereja dan umat?

Berbicara masalah pelayanan, saat ini aku diserahi tanggung jawab sebagai Koordinator Tim Kerja KOMSOS. KOMSOS singkatan dari Komunikasi Sosial. Secara umum tugasnya adalah untuk mengkomunikasikan segala hal yang terjadi di lingkungan gereja dan di luar gereja. Entah dari romo kepada umat, umat ke romo, atau antara umat dengan umat. Dan untuk mendukung upaya tersebut, Tim Kerja KOMSOS mempunyai 4 bidang kegiatan yaitu: penerbitan majalah yang dikenal dengan nama BERKAT singkatan dari BERita KATedral, pemutaran film untuk keluarga dalam SIKKAT atau SInema Keluarga KATedral, pengelolaan PUSKAT atau PerpUstakaan KATedral, dan website paroki yang beralamat di www.katedralsemarang.or.id.

Satu hal yang menjadi fokusku saat ini adalah menjadi penulis. Penulis yang baik dan berhasil. Tentu untuk mencapai hal itu dibutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang tidak sedikit. Oleh karena itu, aku harus menulis setiap hari.

Upsss… akhirnya selesai sudah tulisanku Tentang Aku. Terima kasih untuk mbak Eka yang telah memberikan Tag 7 hal tentang diri sendiri ini. Maaf, kalau tidak sesuai dengan petunjuk. Selanjutnya, aku akan memberikan sebuah award untuk semua sahabatku dan kepada siapa saja yang berkunjung ke rumahku ini. Kehadiran dan dukungan kalian sungguh sangat berarti, menjadi sumber inspirasi dan memberi semangat dalam setiap karyaku. Salam kasih untuk kalian semua.

Selasa, 09 Maret 2010

Andi

Andi. Demikian ia akrab disapa. Seorang anak berumur sembilan tahun. Tubuhnya kurus tinggi dengan rambut keriting hitam kemerahan akibat terbakar matahari. Ia adalah salah satu pengemis yang biasa mangkal di lampu merah itu. Setiap hari mulai dari jam 7 pagi hingga jam 7 malam, tak henti-hentinya ia menadahkan tangan untuk meminta belas kasihan orang-orang yang berlalu lalang di jalan itu. Kadang usahanya berhasil tapi sering juga ia menahan kecewa karena orang-orang hanya menggelengkan kepala atau memberi isyarat tangan yang berarti ‘tidak’.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya, ia sangat tidak menginginkan pekerjaan itu. Ia malu. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang bisa dilakukannya untuk membantu ibu dan kedua adiknya.

Saat ini, mereka memang hanya tinggal berempat. Di sebuah rumah mungil yang sangat sederhana. Berdinding anyaman bambu dan beralaskan tanah. Sering, saat musim penghujan tiba, air masuk dengan leluasa, menimbulkan genangan dan menambah dingin hingga semakin menusuk tulang.

Ayah Andi yang berprofesi sebagai tukang batu sudah meninggal satu setengah tahun yang lalu akibat penyakit asma yang telah lama dideritanya. Dan sejak itu, hidup keluarga ini terasa semakin berat. Tidak ada lagi sumber nafkah bagi keluarga. Karenanya, Ibu Andi kemudian membuka warung sederhana di depan rumah. Walau penghasilannya pas-pasan tetapi Ibu Andi tidak menyerah.

Situasi ini membuat Andi harus mengambil keputusan yang sulit. Ia berhenti dari sekolahnya. Ia tidak ingin menambah beban yang sudah terlalu berat disandang oleh ibunya. Apalagi jika melihat adik-adiknya yang masih sangat muda. Ia ingin bekerja tapi harus bekerja apa? Setelah menimbang-nimbang sekian lama, akhirnya, ia menetapkan hati untuk menjadi pengemis. Awalnya memang sangat berat apalagi jika secara tidak sengaja harus berpapasan dengan teman-teman SDnya. Rasanya, ia ingin segera menyembunyikan wajahnya karena malu.

Dan seperti hari-hari yang telah berlalu, siang itu, Andi bersama teman-temannya sedang mengemis di jalan itu. Matahari yang cukup menyengat tak dirasakannya. Namun tiba-tiba suasana berubah. “Ada petugas… ada petugas!” demikian teriak salah satu temannya dengan suara cukup keras.

Impian meraih sekeping rejeki musnah sudah. Semua berlari tak tentu arah. Menghindari kejaran para petugas berseragam coklat yang berwajah bengis. Pun dengan Andi. Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Karena rasa takut yang sangat, Andi tidak hati-hati. Ia tidak melihat sebuah mobil yang melintas cukup kencang di sampingnya. Dan… “brakkkk…!!!” sebuah hantaman keras membuat tubuh Andi melayang dan jatuh tepat di hadapan sebuah truk yang juga tengah melaju dengan kencang. Tak ayal, roda truk itu pun melindas tubuh Andi. Kepalanya remuk. Darah segera mengalir bagaikan mata air. Semua terkesiap. Semua menjerit. Tapi tak ada lagi yang bisa dilakukan. Juga oleh para petugas berseragam coklat yang berwajah bengis itu. Mereka malah buru-buru pergi begitu terjadi tabrakan itu.

Mendung tiba-tiba datang. Angin berhenti berhembus. Matahari pun menjadi muram dan tidak punya gairah lagi untuk melanjutkan karyanya. Dunia menangis.

Senin, 08 Maret 2010

Menulis Dengan Hati


Entah di mana aku menemukan kata-kata itu, aku tidak ingat lagi. Yang pasti, kata-kata itu seakan terus mengikuti aku. Menyihirku dan membuatku makin terpesona. Membelenggu pikiranku. Memporak-porandakan perasaanku. Lalu sebuah tanya tiba-tiba menggelora: apakah aku sudah melakukannya? Ah… rasanya masih terlalu jauh. Aku masih harus banyak belajar, mengalami, dan memahami berbagai peristiwa.

Hati adalah muara dari aneka perasaan yang dialami manusia. Sedih, gembira, kecewa, marah, benci, dan masih banyak lagi. Dalam hati juga bersemayam nurani yang akan selalu mengingatkan kita untuk melakukan kebenaran dan menjauhi ketidakbenaran.

Maka, menulis dengan hati akan membuai pembacanya. Ikut terisak atau meneteskan air mata ketika bertutur tentang kesedihan. Tertawa saat menceritakan kegembiraan. Pun marah dan benci saat melukiskan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang terus saja meraja.

Menulis dengan hati, berangkat dari kejujuran dan berpihak pada kebenaran. Karenanya, kita beroleh semangat untuk mulai memperbaiki diri. Menjadi pribadi yang lebih baik dan membawa berkat untuk orang lain.

Bagaimana menurut sobat?

Jumat, 05 Maret 2010

Suatu Siang di Kaliurang

Kawasan wisata Kaliurang suatu siang. Mendung tampak menggantung menutupi langit. Namun, orang-orang tidak peduli. Mereka tampak bergembira menikmati indahnya tempat wisata. Ada yang hanya berjalan-jalan tapi tidak sedikit pula yang berkeliling sambil menaiki kereta wisata. Di sudut yang lain, beberapa dari mereka menikmati beragam makanan yang tersaji di rumah-rumah makan yang banyak bertebaran.

Di tengah situasi semacam itu, seorang bapak setengah baya terlihat tengah beristirahat. Namanya Bambang Prabowo atau lebih akrab disapa Pak Bambang. Siang itu ia ditemani istri dan anaknya.


Bagi Pak Bambang sekeluarga yang berasal dari Semarang, Kaliurang bukanlah tempat yang asing. Mereka kerap kali berkunjung ke tempat ini. Selain karena berhawa sejuk, tempat wisatanya juga beragam; ada hutan wisata, kolam renang, sarana bermain bagi anak-anak, dan kereta wisata yang mengajak pengunjung berkeliling sambil menikmati pemandangan yang teramat indah. Sayangnya, di tempat ini, jumlah tempat sampah belum memadai sehingga masih ada sampah-sampah yang berceceran di sana-sini.

Satu hal yang selalu membuat kangen dari Kaliurang adalah makanan khasnya. Pak Bambang yang pensiunan pegawai negeri dari Disperindag menyebutnya burger tempe. Namun kebanyakan orang lebih mengenal sebagai jadah tempe. Irisan jadah berwarna putih diberi tempe yang bersemu kecoklatan. Bagi yang memilih porsi kecil, komposisi ini bisa langsung dimakan. Tetapi bagi mereka yang suka dengan porsi besar, masih bisa ditambah dengan irisan jadah di atasnya sehingga sepintas mirip dengan burger.

Keluarga Pak Bambang adalah contoh keluarga yang ideal. Ada bapak, ibu, dan 2 anak putra dan putri. Sebuah kombinasi yang diidamkan oleh semua orang. Apalagi ketika melihat kerukunan yang tercipta di antara mereka. Bu Endang sendiri yang bernama lengkap Endang Widiastuti, istri Pak Bambang, yang juga pensiunan pegawai negeri dari RRI Semarang, adalah sosok yang ramah. Pun dengan Hendro Pramudya Nugroho dan Nungki Pratiwi Kusumastuti, kedua anak mereka. Saat ini Hendro yang lulus dari UDINUS tahun 2009 sudah bekerja sedangkan Nungki masih kuliah di Undip semester enam.

Prinsip hidup yang diyakini oleh keluarga yang sudah menikah selama 25 tahun ini adalah: selalu mensyukuri apapun yang sudah diberikan Tuhan. Jadi sewaktu pensiun dari pegawai negeri tidak pernah mengalami apa yang dinamakan Post Power Syndrome karena sejak dulu sudah terbiasa hidup rekoso (hidup susah). Mau rejeki banyak ataupun sedikit tetap disyukuri. “Hidup itu kan harus nrimo, Mas. Adanya begini ya mesti disyukuri. Dijalani dengan sebaik-baiknya. Tidak usah kemrungsung. Kalau memang ndak ada ya sudah… tidak harus di ada-adakan. Kalau pun memang hanya bisa ternak teri (mengantar anak dan istri) setelah pensiun ya mesti diterima dan dijalani dengan ikhlas,“ pungkas Pak Bambang.

(tulisan ini adalah feature yang saya buat saat Pelatihan Jurnalistik beberapa hari lalu dengan sedikit koreksi dan pembenahan)

Kamis, 04 Maret 2010

Akhir Yang Indah

Uhhhh… lagi-lagi sang waktu terus berlari. Meninggalkan berbagai kenangan di belakang. Tak terasa tiga hari sudah berlalu. Dan hari ini (28/02), menjadi hari terakhir pelatihan.

Karena hari Minggu, kegiatan pertama yang kami lakukan adalah mengikuti misa yang dipimpin oleh Romo Agoeng. Ada hal yang terasa sangat spesial pada misa kali ini. Ya, kebetulan hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun Ibu Widi (penggagas acara pelatihan) yang ke-44.

Ketika diminta mengungkapkan kesan, pengalaman, kehidupan, yang telah dijalani selama 44 tahun ini, Ibu Widi tampak sumringah. Di wajahnya terpancar kebahagiaan yang teramat sangat. Ia sungguh bersyukur meski orangtuanya hanya bisa memberikan ilmu dan bukan harta. Berkat ilmu itu pulalah yang membuatnya menjadi pribadi seperti sekarang ini. Satu hal yang selalu diyakininya, ia akan melakukan dengan sebaik-baiknya setiap tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

Pergulatan hidup memang tidak pernah mudah tetapi semua itu dijalani dengan penuh semangat karena ia yakin dan percaya bahwa Tuhan selalu menyertai. Baginya yang utama adalah bergaul dengan siapapun. Berdamai dengan sesama dan menjadi saluran berkat untuk mereka.

Saat memberikan homilinya, Romo Agoeng mengajak kami untuk tetap fokus terhadap apa pun yang kami lakukan. Dengan fokus, setiap masalah akan dapat teratasi.

Usai misa dibuat acara khusus bagi yang sedang berulang tahun. Memang hanya sekedar potong tumpeng tetapi hal ini sungguh bermakna karena menjadi tanda perhatian dan cinta yang tulus.

Setelah makan pagi, acara pelatihan dilanjutkan dengan evaluasi secara keseluruhan. Ibu Widi dan Mbak Berta yang berkonsentrasi pada KOBAR dan CERGAM memberikan beberapa catatan dari hasil revisi KOBAR dan CERGAM masing-masing kelompok. Pada dasarnya semua sudah berusaha dengan maksimal dan itu harus dihargai. Harapannya; jika membikin sesuatu harus benar-benar dipikirkan dengan serius, apakah maksud yang kita inginkan bisa dimengerti oleh pembaca dan apakah media yang kita tawarkan dibutuhkan oleh umat? Proses pembelajaran dan bekerja dalam kelompok adalah hal yang sangat penting dan berharga. Makanya kita diharapkan dapat saling mendukung dan memberi motivasi.

Saat memberikan evaluasi tentang Feature, Bapak Kunto mengungkapkan masih banyak tulisan yang miskin data. Ini terjadi karena kemauan untuk terus bertanya masih sangat kurang dan belum bisa menangkap fakta-fakta yang ada di sekitar. Banyak yang tidak fokus, judul dan isi yang tidak sesuai, lead yang kurang menarik dan pemuatan foto kurang diperhatikan sungguh-sungguh karena sering terjadi foto yang ditampilkan tidak mendukung cerita yang ingin disampaikan.

Untuk menghasilkan Feature yang baik, ada 3 tahap yang harus dilakukan. Pertama, perencanaan; jangan terburu-buru tetapi dipikirkan secara matang agar bisa menggali informasi lebih dalam. Kedua, peliputan; mencari sumber informasi dengan gigih dan telaten. Ketiga, penulisan dan penyuntingan. Di atas semuanya, kita diharapkan selalu berlatih agar kemampuan makin terasah.

Mendekati akhir acara, kami kemudian dipecah menjadi 3 bagian besar yaitu Kevikepan Semarang, Kevikepan Yogyakarta, dan Kevikepan Surakarta. Masing-masing kevikepan diharapkan saling berembug untuk memberikan masukan sebagai tindak lanjut yang harus dilaksanakan setelah pelatihan ini baik untuk tingkat kevikepan maupun keuskupan.

Dari beberapa catatan yang dibuat dan dibacakan, ada hal-hal yang hampir sama sebagai tindak lanjut. Adanya pertemuan berkala untuk saling bertukar informasi, pelatihan lanjutan dengan tema yang berbeda, pelatihan yang sama di tingkat yang lebih rendah (kevikepan, paroki), dan pembuatan milis.

Dan sebagai acara pamungkas, kami melakukan foto bersama, mulai dari foto dengan kelompok, foto sekevikepan masing-masing, dan foto secara keseluruhan, yang akan kami bawa sebagai kenang-kenangan.



Selamat berpisah kawan-kawan. Semoga segala proses pembelajaran dan ilmu yang sudah didapatkan empat hari ini sungguh memberi makna untuk kehidupan dan tugas-tugas pelayanan kita selanjutnya. Makin menjadi saudara untuk bersama-sama mewartakan kabar gembira. Sampai jumpa lagi di pertemuan selanjutnya bulan Agustus 2010.

Rabu, 03 Maret 2010

Asyiknya Menulis Feature

Apa yang terbayang di benak ketika kita diharuskan bertanya kepada orang lain dengan hanya menggunakan maksimal satu kata saja? Enggak tahu, bingung atau malah segera menemukan kata-kata yang tepat? Itulah yang terjadi pada sessi awal pelatihan hari ketiga (27/02). Bapak Kunto dari Penerbit Galangpress, Yogyakarta, mengajak kami untuk mengadakan simulasi tentang hal itu. Maka kemudian meluncurlah kata-kata seperti ini: capek? wareg (kenyang)? kober (sempat)? gemuk? jengkel? ngantuk? lapar? serak? sakit? pusing? sehat? semangat? bingung? merokok? Kesimpulannya, dari masing-masing kata itu bisa diawali dengan kata apakah. Apakah capek? apakah wareg? dan seterusnya.. Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang menjadi titik awal penulisan Straight News (berita langsung).

Lalu, bagaimana dengan Feature? Feature atau berita kisah mengajak kita untuk menggali lebih dalam (kenapa…?). Tidak hanya menuliskan apa yang ada di permukaan tetapi mencari hal-hal lain yang ada di balik suatu kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan pribadi tertentu. Kaidah pertama yang harus selalu menjadi pegangan adalah; tidak boleh beropini dan berandai-andai. Jadi, kita harus memastikan jawaban langsung dari narasumber dan menuliskannya secara benar (sesuai fakta). Selalu memperhatikan soal penulisan data diri (nama), tempat, acara, juga hal-hal yang berkaitan dengan angka-angka. Kalau kutipan langsung harus ditulis persis seperti yang dikatakan oleh narasumber. Ini dilakukan agar tidak terjadi komplain di kemudian hari setelah tulisan diterbitkan.

Untuk bisa memperoleh sesuatu yang lebih dalam dibutuhkan kegigihan dan ketekunan dalam mencari informasi. Tidak cepat puas ketika jawaban diberikan tetapi wajib kritis sekaligus skeptis.

Bagaimana jika narasumber tidak mau hasil wawancaranya dipublikasikan? Tentu harus dihargai tetapi perlu dilihat kepentingan yang lebih luas. Apakah hal itu berkaitan langsung dengan kepentingan publik? Apakah tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran? Jika kedua hal ini tidak dipenuhi, kita perlu melakukan deal-deal tertentu (nama narasumber disamarkan, dll) agar masing-masing pihak tidak merasa dirugikan.

Agar semakin mengenal, memahami, dan bagaimana feature seharusnya dibuat, kami kembali masuk dalam kelompok. Masing-masing kelompok diberi tugas untuk mengadakan wawancara yang nantinya akan menjadi bahan penulisan feature. Ada yang harus mewawancarai penjual jadah tempe, penjual pisang, penjual sate, penjaga wisma (tempat penginapan), dan para wisatawan. Meski kelompok, tulisan harus dibuat sendiri-sendiri dengan tema yang berbeda.

Kebetulan kelompokku kebagian jatah para wisatawan. Maka, setelah menyiapkan segala sesuatunya (bloknote, kamera digital, dll), kami segera menuju ke Kawasan Wisata Kaliurang.

Wuih… tempatnya sungguh mempesona. Hamparan hutan pinus menghijau sejauh mata memandang membentuk lukisan alam yang sangat indah. Belum lagi dengan hawa yang teramat sejuk, membuat para wisatawan betah berlama-lama di tempat itu. Apalagi hal ini didukung dengan sarana dan prasarana yang lumayan lengkap. Mulai dari rumah makan, penjual souvenir dan makanan khas, kolam renang, sarana bermain untuk anak, dan kereta wisata.

Tak hendak berlama-lama, kami segera menyebar untuk mencari target. Awalnya terasa agak sulit karena ini adalah pengalaman baru bagi kami. Tapi kami tidak boleh kalah sebelum bertanding. Kami mesti berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

Akhirnya, setelah beberapa lama, masing-masing dari kami berhasil mewawancarai wisatawan. Ada kebanggaan yang terpancar, ada kebahagiaan yang mengalir, ketika semua itu dapat tercapai. Tugas selanjutnya sudah menanti yaitu melaporkan hasil wawancara menjadi sebuah tulisan yang dipahami dan enak dibaca.

Setelah berlelah-lelah, memeras ide, menyusun kata-demi kata, satu demi satu feature yang sudah diprint atau ditulis tangan kemudian ditempel di dinding kelas. Masing-masing peserta bersama pengajar diharapkan memberikan komentar baik kritik maupun saran terhadap karya-karya tersebut.


Yah… sungguh hari yang sangat mengasyikkan. Betapa kami diajarkan untuk semakin mengenal orang lain, tidak cepat mengambil kesimpulan, mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, tidak gampang menyerah, tekun dan selalu mengasah kepekaan sehingga dapat menemukan hal yang tidak biasa dari hal yang biasa.

bersambung

Senin, 01 Maret 2010

Luar Biasa

“Selamat pagi,”, “Luar Biasa,”. Itulah yang mengawali kegiatan pelatihan hari kedua (26/02). Hari ini sessi pertama akan membahas tentang “Fungsi Karya Jurnalistik Dalam Gereja” dan “Media Alternatif & Media Group”. Disampaikan oleh Romo Y.I. Iswarahadi SJ dari Puskat Yogyakarta.

Karya Jurnalistik adalah karya yang berhubungan dengan surat kabar. Dalam konteks jaman sekarang, hal ini mempunyai arti yang lebih luas, yaitu meliputi berita lewat surat kabar/majalah, radio, televisi maupun internet.

Antara surat kabar dan majalah memiliki perbedaan yang cukup mencolok. Perbedaan itu adalah:
•Surat kabar berita sangat aktual sedangkan majalah tidak (berita yang masih relevan untuk pembaca).
•Surat kabar sirkulasi luas, majalah terbatas.
•Surat kabar terbit setiap hari tetapi majalah tidak.
•Pada umumnya materi yang disajikan oleh majalah diolah lebih dalam (lebih fokus).

Untuk semakin memperdalam materi, Romo Is menampilkan sebuah slide berupa kumpulan lukisan hasil coretan tangan yang diberi narasi dan musik latar. Menampilkan dua buah cerita aktual yang berhubungan dengan hidup sehari-hari.

Dari kedua cerita itu, ada perbedaan mendasar tentang model komunikasi yang disampaikan. Komunikasi searah yaitu komunikasi yang hanya berasal dari intruksi satu orang saja dan komunikasi dua arah yang melibatkan banyak unsur dari kedua belah pihak. Satu hal yang perlu digarisbawahi, komunikasi terjadi jika informasi sampai ke tujuan dan memberi manfaat/dimengerti sehingga akan menimbulkan perubahan sikap (adanya tanggapan).

Pada sessi kedua, diberikan materi tentang KOBAR dan CERGAM oleh Mbak Berta. Kalau CERGAM adalah Cerita Bergambar alias komik, bagaimana dengan KOBAR? KOBAR singkatan dari Koran Selembar, yaitu media sederhana yang bisa dikembangkan oleh siapa saja. Hanya dibutuhkan selembar kertas HVS ukuran folio dan tulisan tangan.

KOBAR dibuat sebagai media alternatif untuk mengakses hal-hal yang tidak diliput oleh media lain (yang lebih besar) dan hanya dalam lingkup kecil (untuk kepentingan kelompok atau komunitas). Bisa terbit tiap hari atau mingguan, tergantung komitmen dari pengelolanya. KOBAR sebaiknya ditempel pada tempat-tempat yang setrategis tetapi bisa juga difotokopi dan dibagikan jika ada dana.

Tulisan yang ditampilkan di KOBAR harus aktual, riil terjadi, unik dan memiliki kedekatan serta nilai kemanusiaan yang tinggi. Beritanya juga harus memenuhi prinsip 5W1H (what=apa, when=kapan, where=dimana, who=siapa, why=alasan, how=bagaimana).

Secara umum, format KOBAR terdiri dari Nama KOBAR plus Logo, Alamat Redaksi, Rubrik (Tajuk Utama, Opini, Berita, Profil, dll). Sedangkan prinsip utamanya: berita/artikel penting harus ditulis terlebih dahulu daripada yang tidak penting.

Tentang CERGAM, hal yang paling utama adalah soal pembuatan naskah. Proses ini meliputi: penentuan tema (hasil riset, perpustakaan, dll), pembuatan sinopsis (ringkasan cerita), treatment (menentukan frame, tokoh, adegan, suasana), dan storyboard atau naskah untuk menentukan banyaknya frame, yang akan memudahkan illustrator memvisualisasikan alur cerita dalam bentuk gambar.

Setelah menerima cukup materi, kami dibagi dalam kelompok-kelompok untuk membuat KOBAR dan CERGAM. Masing-masing kelompok mengambil tempat sendiri-sendiri agar tidak saling mengganggu dan bisa lebih berkonsentrasi dalam melaksanakan tugas.

Aku tergabung bersama 2 orang teman dari Yogyakarta, 1 dari Wonogiri dan 1 dari Surakarta. Kami kemudian saling berdiskusi, melontarkan ide, dan membagi pekerjaan.


Hampir 4 jam kami berkutat untuk menyelesaikan tugas. Capek tapi juga sangat membahagiakan karena kami bisa bekerja sama dan saling memotivasi.


Sebelum evaluasi hasil kerja masing-masing kelompok, diadakan misa dipimpin oleh Romo Agoeng. Dalam homilinya, romo mengemukakan sebuah pertanyaan; sebenarnya untuk apa sich kita melakukan semua ini, mengurusi majalah paroki dan segala permasalahannya, padahal kita tidak digaji? Jawabannya adalah; karena kita sudah terlebih dahulu dicintai oleh Allah. Jadi untuk membalas semua itu, kita perlu melakukan upaya kebaikan (mengusahakan yang baik), yang salah satunya dengan mengembangkan majalah paroki.

Usai misa, kami melakukan santap malam guna memulihkan raga kami setelah seharian beraktivitas. Setelah itu diadakan evaluasi. Sebelumnya masing-masing kelompok diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil karyanya baik KOBAR maupun CERGAM. Setelah semuanya selesai, Mbak Berta dan Ibu Widi kemudian memberikan evaluasi.

Dari evaluasi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
•Urutan caption (tempat untuk menuliskan keterangan) dan balon dialog (kotak untuk tempat dialog) dalam CERGAM tidak boleh sembarangan. Harus dari kiri ke kanan atau atas bawah.
•Kalau membuat gambar, harus dipikirkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan.
•Gambar dan alur cerita perlu diperhatikan agar tidak terjadi jumping.
•Judul bisa menyusul yang penting kerangka dan sinopsisnya sudah jelas.
•Tulisan tangan untuk KOBAR jangan terlalu kecil agar bisa dibaca.
•Soal kerapian harus diperhatikan.
•Sebaiknya diberi spasi di pinggir.

Akhirnya, pk. 23.00, seluruh proses pembelajaran hari kedua selesai. Aku segera masuk ke kamar. Lelah terasa begitu membelenggu raga. Tanpa menunggu lama, aku segera tertidur dengan perasaan puas karena hari ini terasa begitu luar biasa. Entah apalagi yang akan kudapatkan esok hari.

bersambung