Minggu, 29 November 2009

Setelah Menerima Kini Saatnya Memberi

November akan segera berakhir, berganti dengan bulan yang baru. Itu berarti kurang satu bulan lagi tahun juga akan berganti. Ada banyak kenangan yang sudah terjadi sepanjang bulan ini. Entah suka, entah duka. Pun dengan persahabatan di dunia maya yang terus saja terjalin. Saling menyapa, saling berkunjung, saling memberi komentar dan saling memberi perhatian berupa award.

Bagi aku secara pribadi, November (kembali) menjadi bulan yang teramat membahagiakan. Di bulan ini aku menerima beberapa award dari sahabat-sahabat mayaku. Berawal dari mas Rizky, sahabat baru, yang memberiku award berbacklink. Award yang sama juga diberikan oleh adek Ichaelmago.


Selanjutnya mas Tomi, juga seorang sahabat baru, memberiku award yang sederhana namun penuh makna. Award yang sama diberikan pula oleh Gek, sahabat baru yang berasal dari Bali.


Award selanjutnya dari mbak Lina dengan blognya yang diberi nama Sharing Yuk…, mengajak kita untuk saling berbagi tentang banyak hal yang terjadi di dalam kehidupan ini.


Mbak Fanda, sahabat lama yang berasal dari Surabaya, memberiku sebuah award yang manis. Award ini adalah kado atas usia blognya (Baca Buku Fanda), yang genap berumur 1 tahun. Selamat ya mbak, semoga blognya sungguh menjadi mata air yang terus memancar, menyegarkan dan memberi inspirasi bagi kami semua.


Kemudian mas Munir dengan blognya yang penuh dengan petuah-petuah nan bijak memberiku award yang indah. Award yang sama juga diberikan oleh adek Ichaelmago.


Dan di penghujung bulan, mbak Yunna, seorang siswi sekolah menengah atas yang hobi banget dengan urusan membuat film, memberikan award yang cantik. Award ini dibagikan sebagai penanda atas postingannya yang sudah mencapai 100 buah. Selamat ya mbak. Terus berkarya dan tetap semangat.


Nah, setelah menerima begitu banyak perhatian dari para sahabat, kini saatnya bagiku untuk memberikan perhatian yang sama lewat award. Sengaja award yang ingin kuberikan bukan award yang sudah aku terima karena dari hasil blogwalking, award-award itu sudah menyebar bagaikan virus kepada banyak sahabat yang lain. Untuk itu aku mencoba membuat sebuah award khusus yang aku namakan Award Kasih. Harapannya, semoga award ini dapat semakin mempererat persahabatan di antara kita, berlandaskan kasih, yang membuat hati kita senantiasa memancarkan kasih itu untuk lingkungan di mana kita berada.


Award ini akan aku berikan untuk para sahabatku yaitu: Rizky, Ichaelmago, Tomi, Gek, Lina, Fanda, Munir Ardi, Yunna, Clara, Laksamana Embun, Kabasaran Soultan, Itik Bali, Anindyarahadi, Ateh75, RanggaGoBlog, Setiakasih, Dinoe, Afdil, Seti@wan Dirgantar@, Aan, Eka Wijayanti, Sigit Purwanto, Trimatra, Ivan Kavalera, Sang Cerpenis Bercerita, SeNja, Rumah Ide dan Cerita, Ritma, Si Kumb@ng, KucingTengil, M. Ridwan Mahadi AT, Seri Bahasa, Lisna Lina, Becce_lawo dan Reni.

Jumat, 27 November 2009

Lilo

Lilo, seekor ulat muda termangu di dahan pohon waru. Matanya nanar menatap sekawanan kupu-kupu yang barusan terbang dan kini hinggap di pohon jambu yang sedang berbunga lebat. Kupu-kupu itu indah sekali. Sayapnya biru cerah dengan semburat hitam serta totol-totol putih yang terangkai dengan sangat sempurna.

Ketika seekor kupu-kupu dari kawanan itu tiba-tiba hinggap di pohon waru, Lilo bergegas menghampiri, “Kawan, darimanakah asalmu?” tanyanya ramah.

“Oh… kau ulat,” Kupu-kupu itu terkejut ketika melihat ada seekor ulat berada di dekatnya. “Aku berasal dari pohon-pohon di taman itu, tidak jauh dari tempat ini,” lanjutnya.

“Betapa indahnya dirimu, berbeda dengan keadaanku yang buruk rupa ini…,” ujar Lilo, memelas. “Dari apakah engkau diciptakan?” tanyanya kemudian.

Kupu-kupu itu tergelak. Ia keheranan dengan pertanyaan ulat itu. “Pertanyaanmu aneh. Bukankah engkau jika saatnya tiba, juga akan berubah seperti aku? Ketahuilah kawan, kita berasal dari hal yang sama. Dahulu aku juga seperti engkau, buruk dan ditinggalkan. Namun karena kemurahan Tuhan, aku diberi kesempatan berubah menjadi sangat indah,” terangnya panjang lebar.

Lilo semakin tidak mengerti. Berulangkali ia berusaha mencerna apa yang dikatakan oleh kupu-kupu itu. Ia juga akan berubah menjadi indah? Lalu, kapan saat itu tiba? Belum sempat ia bertanya lebih lanjut, kupu-kupu itu sudah terbang meninggalkannya.

Berhari-hari Lilo tidak bisa tidur. Aneka pertanyaan itu terus merasuki pikirannya. Dan semakin ia memikirkannya, ia tidak sabar untuk menantikan saat itu. Saat dirinya berubah menjadi indah. Ia sudah bosan terus-terusan terkurung dalam tubuh jeleknya yang penuh bulu. Apalagi ketika ia mendapati kenyataan, beberapa temannya telah terdiam dalam bungkusan berwarna coklat. Satu di antaranya bahkan telah memunculkan makhluk hidup baru yang sangat indah.

“Aku harus segera berubah!” jerit Lilo. Ia segera memikirkan beragam cara untuk mewujudkan keinginan tersebut. Setelah berpikir matang, akhirnya ia memilih satu cara yang dirasanya bakalan berhasil. Ia akan menggulung dirinya di dalam dedaunan. Dan segera ia melaksakan rencana tersebut. Pertama-tama dikumpulkannya potongan-potongan daun terbaik. Setelah itu ia menempatkan diri di atas dedaunan yang telah disusunnya sedemikian rupa. Gulung sana gulung sini dan huppp… akhirnya ia tidak kelihatan lagi, terbungkus di dalam daun. Namun karena tidak hati-hati dan pandangannya yang terhalang daun, Lilo jatuh ke tanah. Daun-daun yang membungkus dirinya kini terasa mencengkramnya. Nafasnya tersengal-sengal karena sesak. Ia berusaha keluar dari bungkusan tersebut tetapi usahanya sia-sia. Akhirnya, Lilo mati akibat ketidaksabaran dan kebodohannya sendiri.

Kamis, 26 November 2009

Teladan Pak Eko

"Sesibuk apapun diri kita jika itu untuk melayani Tuhan, waktu harus disediakan!" tegas pak Eko suatu malam saat berbincang denganku di teras rumahnya yang lumayan besar.

Sebenarnya tujuanku ke rumah beliau hanyalah untuk meminta tanda-tangan surat undangan panitia Natal yang hendak kuedarkan dua hari lagi. Maklum, untuk kepanitiaan tahun ini, pak Eko dipercaya menjadi ketua pelaksana sedangkan aku sebagai sekretaris.

Setelah urusan tanda-tangan dan segala hal yang berhubungan dengan kepanitiaan selesai, pak Eko mengajakku berbincang-bincang tentang banyak hal. Mulai dari kehidupan menggereja secara umum hingga cerita tentang pengalaman pelayanannya selama ini. Kebetulan untuk kepengurusan periode yang baru (2009-2012), pak Eko dipercaya menjadi Ketua Wilayah setelah pada 2 periode sebelumnya melaksanakan tanggung jawab sebagai Ketua Lingkungan.

Awalnya saat menjadi Ketua Lingkungan, pak Eko sungguh merasa berat. Pekerjaannya sebagai maintenance di sebuah perusahaan swasta yang cukup bonafide, menuntut keseriusan dan perhatian yang lebih. Apalagi ia juga sering ditugaskan ke luar kota. Namun pak Eko tetap berusaha menjalankan tanggung jawab pelayanan yang diberikan kepadanya dengan sungguh-sungguh. Ia tak ingin ada yang dikalahkan. Semua mendapat porsi secara seimbang. Dan ketika tugas-tugas pelayanan itu dilaksanakan dengan baik, pak Eko merasa bahwa rahmat Tuhan sungguh mengalir. BerkatNya terus melimpah dalam kehidupannya. Bila ada permasalahan yang timbul akibat kedua perannya itu, Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik.

Mendengar penuturan pak Eko, aku teringat sebuah firman Tuhan yang berbunyi demikian: “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan atau minum, dan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. Bukankah hidup itu lebih penting daripada makanan dan tubuh itu lebih penting daripada pakaian. Pandanglah burung-burung di langit yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? Siapakah di antara kamu yang karena kekuatirannya dapat menambahkan sehasta saja pada jalan hidupnya? Tetapi carilah dulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (Matius 6:25-27.33).

Terima kasih pak Eko, engkau sudah memberi pencerahan bagiku. Lewat teladan yang engkau berikan, hatiku sungguh terketuk. Aku merasa malu karena aku yang justru belum menjadi apa-apa, kadang beralasan macam-macam ketika tugas-tugas pelayanan menghampiriku. Entah sibuk, tidak ada waktu, tidak mau mengerjakan, malas dan lain sebagainya. Sekali lagi terima kasih karena aku boleh berkenalan, berbincang-bincang dan akrab denganmu.

Note:
* Ketua Lingkungan bertugas mengkoordinir segala kegiatan yang berkaitan dengan umat (Katolik) di lingkungannya baik itu kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial. Cakupan wilayahnya hampir sama dengan Ketua RW.
* Ketua Wilayah bertugas mengkoordinir Ketua Lingkungan di wilayahnya. Biasanya dalam satu wilayah minimal ada 4 lingkungan dan maksimal 9 lingkungan.

Rabu, 25 November 2009

Sebuah Pelajaran

Kejadian ini aku alami kemarin malam. Ceritanya, waktu itu aku mau menjemput istriku di tempat rekan gerejanya yang baru ngadain sembahyangan 7 hari meninggalnya sang ibu. Aku sendiri barusan kelar mengikuti rapat panitia natal di gereja. Saat tengah melaju di atas sepeda motor, tiba-tiba ketika sampai di sebuah perempatan, ada seseorang yang mencegatku, “Mas-mas… bisa numpang?” tanya orang itu yang ternyata seorang ibu paruh baya. Ia tampak membawa sebuah karung, entah apa isinya.

Aku menghentikan sepeda motorku. Dan belum sempat aku menjawab, ibu itu langsung nangkring di atas sepeda motorku. “Mau kemana bu?” tanyaku kemudian. Ibu itu mengatakan letak rumahnya. Waduh… kok kayaknya jauh… padahal beberapa meter lagi aku sudah sampai di tempat istriku berada, ujarku dalam hati. Setelah menimbang-nimbang akhirnya aku memutuskan untuk mengantar ibu itu.

Di tengah perjalanan, aku menyempatkan diri untuk menelpon istriku dan memberitahu apa yang sedang terjadi, karena aku tidak ingin istriku menunggu dengan penuh tanda tanya. Setelah urusan ini beres, aku melanjutkan perjalanan.

Selama perjalanan, ibu itu banyak bercerita tentang dirinya. Tentang keluarganya, juga tentang pekerjaan yang dilakukannya.

Tak terasa, kami sudah sampai di tujuan. Ibu itu segera turun. Sambil mengucap terima kasih, ia menunjukkan jalan yang harus aku ambil agar bisa kembali ke jalan besar tanpa harus memutar lebih jauh.

Tuhan, aku mengucap terima kasih atas peristiwa yang sudah kualami. Aku bersyukur karena Engkau masih memberiku kesempatan untuk berbuat baik. Ampuni aku jika kadang (/sering?) merasa berat, terlalu banyak berpikir, terlalu banyak menimbang dan dipenuhi aneka prasangka, ketika berhadapan dengan orang lain yang membutuhkan pertolongan, apapun itu bentuknya. Semoga pengalaman ini menjadi sebuah pelajaran bagiku agar aku semakin peka, memiliki kerelaan hati, dan ketulusan.

Selasa, 24 November 2009

Melakukan Yang Terbaik

Siang itu matahari terasa panas menyengat. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.45, waktu untuk segera bersiap-siap makan siang. Di dalam gereja beberapa orang sedang kusyuk berdoa. Mereka tidak terganggu dengan panasnya siang karena udara di dalam gereja terasa sejuk hingga membuat badan tidak gerah dan suasana menjadi nyaman. Di depan patung Bunda Maria, di bagian pojok belakang dan di depan altar, Bu Hadi dan Bu Srifatun tampak asyik dengan pekerjaannya, mengepel lantai gereja.

Bu Hadi dan Bu Srifatun adalah dua dari beberapa karyawan Gereja Katedral yang bertugas atas kebersihan dan kenyamanan lingkungan di dalam gereja. Tugas mereka antara lain; menyapu, ngepel, mengelap bangku dan laci-laci, membersihkan bekas lilin, kamar pengakuan, dan membersihkan ‘lowo-lowo’ yang bisa dijangkau oleh mereka. Atas kesungguhan dan kerja keras mereka, setiap saat kita bisa hadir di gereja dalam lingkungan dan suasana yang bersih, yang membuat kita menjadi betah berdoa, bertemu dengan Tuhan.

Bu Hadi yang bernama lengkap Satini Maria Magdalena adalah kelahiran Purbalingga tahun 1946. Sejak kecil, Bu Hadi sudah ditinggal orang tua dan hidup sendirian tanpa sanak saudara. Sehingga ia hanya bisa menamatkan pendidikannya sampai kelas 1 SD.

Setelah menikah dan merasakan beban hidup yang semakin berat sedangkan anak-anak masih sekolah, Bu Hadi mencoba meminta tolong untuk bisa bekerja di gereja. Atas jasa Bu Reti, dewan waktu itu, sejak tahun 1971 Bu Hadi mulai bekerja hingga sekarang ini.

Beliau sangat bersyukur karena berkat pekerjaan yang dilakoninya selama ini dan terutama karena berkat Tuhan, ia dapat menyekolahkan anak-anaknya. Sampai saat ini dari ke-6 anaknya telah mentas 4 orang sedangkan 2 lagi sudah lulus SMA tetapi belum bekerja. Sedangkan suaminya telah meninggal dunia sehingga untuk memenuhi hidup sehari-hari hanya bergantung pada gaji dari gereja. Meski berat karena harus berpikir sendirian untuk mengatur hidup keluarga dan gaji yang kecil, Bu Hadi terus berusaha dengan mencari tambahan di luar pekerjaan di gereja dengan jalan menerima cucian atau setrikaan. Ia berprinsip, yang utama adalah membesarkan anak-anak dan selanjutnya hanya pasrah kepada Tuhan.

Pernah suatu kali Rm. Hantoro mengatakan, “Wis mbok dianggep koyo omahe dewe wae, ora usah petung karo gawean.” Dan memang hingga kini, Bu Hadi selalu bekerja dengan penuh semangat. Ia tekun melakukan pekerjaannya setiap hari. Baginya bekerja di gereja tidak bisa dibuat sembarangan, harus hati-hati. Banyak tempat-tempat suci yang harus dihormati. Dan sebagai umat yang sudah dibaptis ketika mulai bekerja di gereja ini, ia memulai pekerjaannya dengan membuat tanda salib dan berdoa, dengan harapan bisa bekerja dengan baik, lancar dan tidak ada halangan apapun.

Bila ada barang-barang dari umat ketinggalan di dalam gereja seperti buku, dompet, kacamata atau barang-barang berharga lainnya, Bu Hadi tidak pernah sembarangan untuk mengambil. Ia akan menyimpan barang-barang tersebut untuk selanjutnya menunggu diambil yang empunya. Saat menjelang Paskah atau Natal, jika anak-anak latihan, ia mau menyadari dengan menunggu hingga selesai latihan dan setelah itu baru mulai membersihkan walaupun jam kerja sudah habis. Pada perayaan Paskah dan Natal pun, Bu Hadi tidak pernah meminta untuk diberi bingkisan dari orang-orang yang pergi ke gereja. Bila ada yang tahu dan kemudian memberi bingkisan diterima sebagai anugerah Tuhan.

Berbeda dengan Bu Hadi, Bu Srifatun bekerja di gereja karena menggantikan pekerjaan ibunya yang sudah sepuh dan mulai sakit-sakitan. Tepatnya mulai tanggal 15 Agustus 1978. Bu Srifatun yang bernama lengkap Masrifatun lahir di Semarang tanggal 10 Oktober 1955. Dan saat ini bertempat tinggal di Tarupolo III RT 2 RW 10.

Sebagai umat berkeyakinan lain, Bu Srifatun tetap melaksanakan tugasnya dengan rajin dan tekun. Baginya bekerja di gereja adalah suatu ibadah. Niatku di sini adalah untuk bekerja, untuk mencari makan, demikian tegas Bu Srifatun.

Dalam melaksanakan tugasnya, Bu Srifatun senantiasa menaruh hormat terhadap tempat atau barang-barang yang disucikan semisal salib, altar, patung Bunda Maria, dan patung-patung yang lain. Nyuwun sewu Gusti Yesus… kula badhe nyapu, kula badhe ngepel…, nyuwun sewu Bunda Maria… kula badhe resik-resik, demikian ucap Bu Srifatun ketika hendak memulai pekerjaannya. Ia selalu meminta ‘ijin’ dengan harapan bisa melakukan setiap pekerjaan dengan baik.

Sebagai seorang ibu yang memiliki 5 anak, 3 sudah berkeluarga dan 2 lagi masih bersekolah di STM dan SMP kelas 2, suami yang bekerja wiraswasta di bidang percetakan, Bu Srifatun merasa betah bekerja di gereja. Ia merasa senang karena dengan bekerja di gereja ia memiliki banyak kenalan orang-orang penting sehingga bisa membantu mencarikan pekerjaan yang lumayan bagi anak-anaknya. Selain itu bekerja di gereja waktunya lebih longgar, masuk jam 8 pagi dan pulang jam 2 siang. Beda kalau harus ‘mbabu’ di tempat orang, dalam rumah tangga, yang harus mulai bekerja dari pagi sampai malam, sehingga tidak mempunyai waktu untuk berkumpul dengan keluarga, disamping karena pendidikan yang hanya berijazah SMP.

Bu Hadi dan Bu Srifatun telah memilih pekerjaan terbaik menjadi abdi Tuhan yang setia, yang tekun dan rajin mengerjakan karya pelayanan dengan membersihkan ruang-ruang di gereja sehingga umat yang hadir di dalamnya dapat krasan dan bertemu dengan Tuhan. Semoga kita mampu meneladan semangat mereka untuk melakukan yang terbaik, apapun pekerjaan kita.

Senin, 23 November 2009

Hidup Untuk Orang Lain

Semua berawal dari sikap cuek. Itulah barangkali yang dirasakan oleh Anik Prasetyawati ketika ia dikenalkan kepada Sutardi untuk mulai menjalin hubungan yang serius. Bagi Sutardi hal ini sungguh menjadi tantangan tersendiri. Sudah berkali-kali ia menjalin hubungan, semuanya berjalan dengan mudah dan ia gampang mendapat pacar, tapi kali ini ternyata lain, ia harus berusaha dengan sungguh-sungguh. Lewat berbagai usaha yang gigih yang dilakukan Sutardi, akhirnya Anik mulai belajar untuk mencintai. Baginya mungkin inilah jalan yang harus dilaluinya setelah keinginannya masuk biara dilarang oleh orangtuanya. Terserah Tuhan kalau memang Ia memberi jalan harus berumahtangga. Jika itu yang terbaik pasti Tuhan akan memberi kemudahan, begitu keyakinannya.

Tanggal 24 Oktober 1993 mereka menikah di Paroki Ambarawa. Setelah pernikahan itu, Sutardi dan Anik tetap aktif dalam kegiatan gereja. Mereka sama-sama mengelola majalah Ragi, majalah Paroki Ambarawa. Selain itu, Sutardi juga aktif di banyak kegiatan lain. Menjadi Ketua Mudika, Ketua Lingkungan hingga Prodiakon Lingkungan. Selain itu ia juga aktif dalam kepramukaan. Bagi Sutardi, semua kegiatan itu adalah panggilan Tuhan karena ia yakin Tuhan telah mempersiapkannya sejak mudika hingga sekarang ini untuk mewartakan kabar gembira bagi orang lain.

Keluarga Sutardi bukanlah keluarga kristiani. Kedua orangtuanya adalah pemeluk kepercayaan Sapto Darmo (kejawen). Memasuki kelas 2 SMP, Sutardi mulai ikut pelajaran baptis. Setelah 3 tahun mengikuti pelajaran, 12 April 1983 ia dibaptis dengan nama permandian Fransiskus Xaverius. Sehari sebelumnya, ia terpaksa memimpin ibadat untuk orang meninggal padahal saat itu usianya baru 17 tahun. Ternyata peristiwa itu menjadi tonggak sejarah baginya karena memberi hikmah untuk menjadi berani.

Dalam hidup berkeluarga, Sutardi merasa bahwa Tuhan begitu baik. Tuhan sangat mengasihi keluarganya. Dan kasih itu sangat terasa sekali pada saat istrinya hendak melahirkan anak ketiga setelah anak keduanya keguguran saat masih dalam kandungan. Saat itu, istrinya harus dioperasi cesar setelah satu hari satu malam bayinya tidak mau keluar. Setelah operasi, ternyata terjadi pendarahan hebat hingga istrinya harus dioperasi lagi sampai lima kali. Perasaan Sutardi campur aduk, apalagi ketika dokter menyatakan bahwa nyawa istrinya tinggal 5 menit. Ia hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Pada saat-saat kritis, Kardinal yang saat itu berkunjung ke rumah sakit, dipaksanya untuk memberkati istrinya. Setelah mendapat minyak suci dan berkat dukungan doa dari para romo, umat lingkungan, paroki maupun teman-teman kerjanya, istrinya berangsur-angsur membaik dan sehat hingga saat ini.

Karena kesibukan yang begitu banyak baik di gereja, lingkungan dan tempat kerjanya, Sutardi merasa kesulitan pada saat harus membagi waktu untuk keluarganya. Ia merasa sangat berat hingga kadang ia melupakan keluarganya. Pada saat seperti itu, istrinya selalu memberi peringatan. Kadang sering terjadi konflik, tapi bagi Sutardi dan Anik konflik adalah hal biasa yang harus dihadapi dan diselesaikan. Yang penting jangan meluapkan kemarahan di depan anak.

Dalam menjalani hidup, Sutardi berpedoman bahwa hidup bukan hanya untuk diri sendiri tetapi disiapkan untuk orang lain. Dan ia memandang kehidupan seperti air mengalir. Pasrah dan terbuka terhadap setiap rencana Tuhan. Karena baginya setiap memasrahkan segala sesuatu kepada Tuhan pasti Ia akan memberi jalan.

Bagi Anik, ia merasa sangat beruntung bersuamikan Sutardi. Ia merasa Tuhan sudah memberinya suami yang bermutu. Satu prinsip yang selalu dipegangnya bahwa hidup harus selalu berubah setiap saat untuk menuju kebaikan. Dan hal itu harus terus menerus diasah melalui berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidup. Kadang gembira, sedih, dengan berbagai masalahnya. Semua itu harus dihadapi karena setiap kita bisa menyelesaikan masalah yang ada di depan mata, kita juga bisa menyelesaikan masalah-masalah yang lain. Jika ternyata kita tidak mampu kita bisa mohon pertolongan kepada Tuhan. Anik juga selalu memperhatikan perkara-perkara kecil apalagi jika hal itu berkaitan dengan anak. Ia berkeyakinan jika bisa menyelesaikan perkara-perkara kecil pasti ia juga bisa menyelesaikan perkara-perkara besar.

Minggu, 22 November 2009

Cinta?

Kawan, aku menyukaimu
entah sejak kapan perasaan itu hadir
aku tidak tahu
mungkin ketika engkau bercerita
soal prahara yang menimpa rumah tanggamu
tentang suamimu yang egois, gemar main pukul,
dan ketahuan selingkuh dengan wanita lain
tentang putri semata wayangmu
yang mulai belajar memahami
segala yang dilihat dan didengarnya
sungguh…
aku tidak tahu

Mungkinkah suka ini akan berubah menjadi cinta?
aku tak berani menjawabnya
karena aku juga tak sendiri lagi
ada cinta lain yang bersemi di hatiku

Dan bila suka itu memang telah berubah menjadi cinta
biarlah cinta itu kupendam rapat-rapat
biarlah cinta itu menjadi kenangan yang terus abadi
bukankah cinta tidak harus memiliki?
biarlah karena cinta itu
engkau dan aku menjadi sahabat
saudara dalam suka dan duka kehidupan

Sabtu, 21 November 2009

Kepada Tuan

Kepada tuan yang empunya kuasa dan hukum
lihatlah kami
raga kami lemah dihimpit kemiskinan
wajah kami lusuh tertimpa berat kehidupan
dengarkan juga kami
suara kami lenyap bukan karena penyakit
tetapi kami lelah berteriak
kata-kata yang terucap
selalu tertiup angin
dan dibawanya pergi entah kemana

Kepada tuan yang empunya kuasa dan hukum
mengapa engkau tak mau berubah?
mengapa matamu semakin buta?
mengapa telingamu semakin tuli?
mengapa hatimu kau rubah menjadi batu?


Sadarlah tuan,
hidup tidaklah abadi
semua yang kau punya dapat hilang dalam sekejap
dan bila saat itu tiba
engkau pasti akan merana
karena neraka telah menunggumu
di sana

Jumat, 20 November 2009

Tuhan Mencintaiku

Memikirkannya membuatku terdiam tanpa kata
Merenungkannya membuat aku begitu bahagia
ketika mengucapkannya berulangkali dalam hati
tiba-tiba air mata mengalir deras di kedua pipiku

Tuhan mencintaiku
sungguh Ia mencintaiku
walau aku tidak pantas, kotor, hitam
Ia tetap setia di sampingku
menungguku,
mengulurkan tangan-Nya,
serta merengkuhku dalam kasih-Nya
yang tak terbatas

Tuhan, aku juga mencintai-Mu
semoga aku mampu mewujudkannya
dalam setiap kata dan tindakanku
karena Engkau sudah mencintai aku

Kamis, 19 November 2009

Kasih-Nya Seluas Samudera

Anak bagi keluarga adalah anugerah yang tidak ternilai harganya. Ia adalah titipan Tuhan yang harus dirawat dengan penuh kasih dan sayang. Begitu juga dengan Sugito. Ia kini merasa lega. Anak laki-laki yang begitu didambakannya telah lahir dengan selamat. Tetapi rupanya Tuhan memberikan cobaan bagi keluarganya. Anak laki-lakinya lahir prematur. Usianya baru 6 ½ bulan di dalam kandungan. Karena ekonomi yang tidak memadai, Sugito hanya bisa merawat anak itu di rumah. Meski keadaan yang serba minim ditambah lagi ketiadaan listrik, ia berusaha merawat anak itu dengan penuh perhatian. Setiap saat disiapkannya petromaks di kanan kiri di atas kepala dan di sisi yang lain tak ketinggalan botol berisi air panas untuk membuat anak itu tetap hangat. Berkat dukungan dari seluruh keluarga dan terutama karena mukjijat dari Tuhan, anak laki-lakinya kini telah tumbuh semakin besar dan sehat.

Sugito yang bernama lengkap Bernardus Sugito menikah awal tahun 1973. Meski hanya bekerja sebagai wiraswasta dengan jalan mereparasi alat-alat elektronik seperti radio, tape, TV, Sugito merasa bahagia. Ia tidak terikat dengan orang lain. Baginya bekerja secara mandiri lebih enak dan bebas waktunya. Tetapi ia tetap berusaha mendisiplinkan diri dalam bekerja. Ia selalu berusaha dengan sungguh-sungguh memenuhi segala kebutuhan keluarga. Hingga tak jarang seringkali ia memenuhi panggilan ke luar kota bersama teman.

Pernah suatu saat, Sugito merasa kalut dalam hidupnya. Ia mengalami cobaan berat. Ia merasa down. Ia mengalami krisis iman. Karena terdorong kebutuhan untuk memenuhi kehidupan keluarganya, lambat laun ia melupakan kewajiban untuk pergi ke gereja. Ia malah mencari jalan pintas. Saat sedang berdoa, ia didatangi mahkluk gaib yang ingin memberinya uang dan harta yang melimpah. Dan itu berlangsung secara terus menerus. Tetapi pada akhirnya, Sugito sadar, semuanya hanyalah semu dan sia-sia. Ia berusaha mencukupi kebutuhan keluarga tetapi tidak tercapai toh ia sudah meninggalkan Tuhan. Akhirnya ia sowan ke Romo dan diberi nasehat-nasehat. Setelah bertobat rupanya Tuhan memberi jalan kepadanya untuk mengikuti pilihan menjadi prodiakon. Sebelumnya Sugito tidak pernah mau tetapi saat itu ia merasa sanggup. Ia mantap untuk mengatakan ya walau tidak tahu apa yang akan dikerjakannya nanti.

Sebagai prodiakon, Sugito berusaha memberikan pelayanan secara penuh kepada umat. Membantu memberikan komuni atau kadang bergantian memimpin ibadat di stasi dan lingkungan. Selain itu, ia juga memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

Dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga Sugito seringkali dijadikan teladan oleh lingkungan sekitar. Meski satu RW hanya mereka yang Katolik, tetapi mereka tidak merasa minder. Tidak rendah diri. Bagi Sugito sebagai kaum minoritas harus tegar. Meski dalam masyarakat sendirian tetapi harus bisa menggarami. Dan hal itu dilakukannya dengan ikut aktif membaur dalam kegiatan di masyarakat baik RT maupun RW. Ia selalu berusaha memberikan contoh yang baik. Begitu juga di dalam keluarga, ia senantiasa menanamkan nilai-nilai positif kepada anak-anaknya dan menjalin komunikasi yang baik satu sama lain, sehingga mereka tidak mencari hal-hal yang keliru tetapi lebih memilih mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif.

Sugito yang lahir tanggal 20 Mei 1949 dan bertempat tinggal di Desa Mlati Norowito VIII / 231 Kudus, kini merasa bahagia. Ia dan istrinya betul-betul merasakan kasih Tuhan begitu berlimpah. Anak-anaknya yang terdiri dari enam putri dan satu putra kini telah bisa mandiri. Mereka sebagian besar sudah bekerja dan tinggal si bungsu yang masih bersekolah di SMPK. Dari putrinya yang sulung, kini ia sudah menimang dua cucu. Kadang saat hari raya Lebaran, Sugito beserta seluruh keluarga mengunjungi tetangga sekitar untuk bersilaturahmi saling memaafkan. Pun ketika Natal tiba, tetangga dekat juga datang untuk mengucapkan selamat.

Rabu, 18 November 2009

Mau Berkembang

Namanya Bapak Djemono. Lengkapnya Ignatius Djemono. Beliau kelahiran Kulonprogo tanggal 3 Januari 1941. Bila melihat sosoknya, kita akan sangat terkesan dengan kesederhanaan dan ketulusan hatinya.

Karirnya dimulai pada tanggal 1 Januari 1961. Ketika itu, ia menjadi guru di SD Pangudi Luhur Boro, mengajar kelas VI. Setelah hampir dua setengah tahun mengajar di kelas VI dan setengah tahun kemudian di kelas IV, tahun 1964 ia dipindahtugaskan menjadi guru di SMP Pangudi Luhur Boro hingga tahun 1967.

Tahun 1968 Bpk. Djemono kembali dipindahtugaskan. Saat itu, bersamaan dengan kepindahannya ke Semarang dan ia ditempatkan di SMP Domenico Savio. Pengalaman menjadi guru di sekolah ini adalah pengalaman yang sangat berkesan. Di SMP Domenico Savio, ia pernah mengajar di semua kelas, baik kelas 1, kelas 2 maupun kelas 3. Dan karena karir yang terus menanjak, tahun 1996 Bpk. Djemono diangkat menjadi kepala sekolah.

SMP Domenico Savio adalah sekolah yang difavoritkan oleh banyak orang tua. Hal ini disebabkan karena selain sekolah ini sudah punya ‘nama’ juga ditunjang dengan sistem pendidikan yang sudah teratur, tingkat kedisiplinan yang baik hingga banyak sekali menghasilkan lulusan terbaik. Setiap tahunnya, sekolah ini menampung lebih kurang 400 siswa baru dari jumlah pendaftar 600-700 calon siswa. Dari total 400 siswa baru, 20-25 siswa diantaranya adalah anak dari keluarga tidak mampu.

Penerimaan siswa baru didasarkan atas kemampuan siswa yang dilihat dari nilai hasil tes masuk. Tetapi kadang memang ada orang tua yang ingin memasukkan anaknya lewat ‘jalan belakang’ walaupun dengan nilai yang tidak memenuhi standar. Bagi Bpk. Djemono, hal ini sangat dihindari sebab selain akan mengorbankan sang anak, karena tingkat kemampuan yang berbeda sehingga anak akan susah payah mengikuti pelajaran. Dan di sisi lain akan menurunkan citra sekolah karena akan berdampak pada hasil lulusannya.

Tahun 2000, Bpk. Djemono memasuki masa pensiun. Saat ini, ia tinggal di Jl. Bima II/37 A Semarang dengan seorang istri dan satu orang putri, hasil perkawinannya sejak tahun 1980. Bagi Bpk. Djemono, kesederhanaan dan kejujuran adalah dua hal yang paling utama. Hal ini dapat dilihat dari letak dan situasi rumahnya yang sederhana, yang justru tidak kelihatan karena berada di bagian paling ujung, ‘diapit’ oleh rumah-rumah yang lebih mewah.

Untuk bepergian, Bpk. Djemono lebih memilih jalan kaki atau naik angkutan umum. Bila ada orang yang menawari untuk bersama-sama naik mobil atau motor, tak jarang justru malah akan ditolak. “Lebih baik begini, bisa bebas dan tidak merepotkan orang lain,” ucapnya saat ditanyakan alasannya.

Di lingkungan tempat tinggalnya, Bpk. Djemono bisa membaur dengan baik. Prinsip kejujuran dan mendukung hal-hal yang baik selalu ia pegang. Baginya semua agama adalah sama dan selalu mengajarkan kebaikan serta kerukunan. Ia sangat tidak setuju jika ada perselisihan dan pertengkaran yang dipicu karena perbedaan agama seperti kasus-kasus yang terjadi selama ini. Ia berharap semua pemuka agama dapat secara tulus hati saling terbuka, mau berdialog, hidup rukun satu sama lain dan menghindari konflik-konflik yang terjadi dengan lebih mempererat, memperbanyak dan memperdalam persamaan-persamaan yang ada serta mengurangi perbedaan yang timbul. “Perbedaan itu memang akan selalu ada tetapi cukuplah hal itu disimpan di lingkungan sendiri tanpa berusaha untuk membanding-bandingkan dengan lingkungan/kelompok lain,” tegasnya.

Ketika disinggung tentang kecenderungan orang-orang sekarang yang justru memiliki ‘pemahaman iman yang sempit’, Bpk. Djemono secara terbuka sangat tidak setuju dengan hal yang demikian. Baginya iman harus selalu berkembang. Iman dalam prakteknya harus dapat mengikuti perkembangan jaman. Dengan demikian, tiap orang dituntut untuk selalu terbuka, mau belajar dengan jalan banyak membaca dan melihat perkembangan yang terjadi. Ketika hal ini dilakukan niscaya orang akan menjadi lebih arif dan tidak asal memberikan penilaian negatif terhadap perubahan-perubahan yang dilakukan tanpa dasar yang jelas.

Selasa, 17 November 2009

Hati-hati Gunakan...

Hati-hati gunakan mulutmu
Hati-hati gunakan mulutmu
Karna Bapa di surga melihat segala
Hati-hati gunakan mulutmu

Hati-hati gunakan matamu
Hati-hati gunakan matamu
Karna Bapa di surga melihat segala
Hati-hati gunakan matamu

Hati-hati gunakan tanganmu
Hati-hati gunakan tanganmu
Karna Bapa di surga melihat segala
Hati-hati gunakan tanganmu


Susunan kalimat di atas adalah lirik sebuah lagu yang sering dinyanyikan dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak di gerejaku. Pada saat menyanyikannya, para pendamping biasanya akan membuat gerakan-gerakan yang lucu dan menarik, yang kemudian ditirukan anak-anak. Lalu, suasana berubah menjadi heboh apalagi kalau lagu itu diteruskan dengan mengucapkan bagian tubuh yang lain semisal kaki, hidung, telinga dll.

Lagu itu memang cukup sederhana. Namun dari sebuah kesederhanaan tersurat makna yang teramat dalam. Sebuah ajakan untuk selalu berhati-hati dan mawas diri terhadap segala sesuatu yang dilakukan di dunia ini.

Apa yang aku perbuat dengan mataku? Apakah aku lebih sering melihat keindahan yang sudah dikaruniakan oleh Tuhan dan bersyukur karenanya? Atau aku lebih suka melihat hal-hal yang buruk, yang membuat aku jatuh ke dalam dosa?

Apa yang aku lakukan dengan mulutku? Seringkah aku bergunjing, membicarakan kejelekan dan keburukan orang lain, ketimbang mengatakan hal-hal yang baik tentang mereka? Mengapa aku terbiasa untuk marah-marah tanpa sebab yang jelas, membentak, memaki, bersumpah serapah dan berkata-kata kotor, serta menghina orang lain daripada bertutur halus penuh kasih?

Apa yang aku kerjakan dengan tanganku? Sudahkah aku membiasakan diri untuk mengulurkan tangan ketika sesamaku mengalami kesulitan? Apakah tanganku lebih terbiasa melakukan yang tidak baik; mengambil ‘sesuatu’ yang bukan haknya, menggunakannya untuk kekerasan, daripada berbuat kebaikan dan kasih?


Semoga, ada lebih banyak kebaikan yang aku lakukan ketimbang kejahatan. Lebih banyak kasih yang mengalir daripada kebencian dan permusuhan. Karena Bapa di surga melihat segala yang aku lakukan.

Senin, 16 November 2009

Pahlawan Yang Dilupakan

Pagi begitu dingin. Di sekitar, kegelapan masih terasa menutupi pandangan. Bu Muji bergegas meninggalkan rumah. Tak ketinggalan dibawanya karung untuk bekerja. Barusan ia melihat jam di dinding rumahnya menunjukkan pukul 04.30, saatnya untuk segera berangkat. Ia harus cepat karena jika tidak, ia pasti ketinggalan bis dan akibatnya, ia harus berjalan kaki ke pangkalan untuk mencari daihatsu.

Dari angkutan yang membawanya, Bu Muji kemudian turun di Mesjid Petompon dan selanjutnya masuk ke Gisiksari. Jika di tempat ini ia mendapat banyak maka akan dititipkannya dan selanjutnya menuju ke Asrama Polisi Kalisari untuk melanjutkan pekerjaannya.

Bu Muji adalah seorang pemulung. Pekerjaannya hanyalah mencari sisa-sisa barang yang masih berguna yang sudah dibuang ke tempat sampah oleh pemiliknya. Kadang sebagai pemulung, ia dianggap telah mencuri, mengambil barang-barang yang masih berguna. Tetapi Bu Muji berprinsip, ia tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain apalagi mencuri, karena Tuhan maha tahu. Ia akan selalu bertanya atau ‘nembung’ kepada pemilik rumah apakah barang ini atau barang itu memang sudah tidak berguna dan sudah dibuang. Jika memang demikian, ia akan segera meminta ijin untuk mengambil. Kadang ada juga pemilik rumah yang memang sengaja mengumpulkan barang-barang tidak terpakai yang masih laku untuk dijual dan diberikan kepada Bu Muji. Ia akan selalu bersyukur dengan pemberian ini karena akan menambah penghasilannya.

Dari hari ke hari, Bu Muji selalu menempuh rute yang sama. Baginya jika harus berpindah ke tempat yang baru, ia tidak berani karena pasti akan dicurigai karena belum dikenal. Selain itu, ia juga merasa betah di tempat lama karena di sana ia sudah banyak dikenal dan mengenal. Sehingga dengan demikian ia dapat lancar melakukan pekerjaannya. Meskipun hasilnya tidak seberapa, ia selalu berusaha bekerja dengan baik. Kadang ketika mendapat hasil yang banyak, langsung disetor ke penampung, dan bila hanya sedikit kemudian dititipkan untuk mencari lagi. Jika sudah merasa lelah, Bu Muji tidak pernah memaksakan diri, semuanya langsung disetor dan kemudian pulang. Kira-kira pukul satu siang ia tiba kembali di rumah.

Pernah suatu ketika saat hujan turun dan Bu Muji berteduh di sebuah rumah, ia membayangkan: “Wah udan-udan, nggoreng pohung, ning dhuwur kasur karo ndelok TV, Enak tenan. Aduh Gusti kono do nggoreng pohung, ndelok TV ning kasur aku kok turut sampah koyo ngene kapan aku isa koyo ngono?” Tapi ia juga menyadari dirinya tidak mempunyai keahlian apa-apa, hanya bisa bekerja sebagai pemulung. Dan pekerjaan ini sudah dilakukannya sejak tahun 1976, saat pertama kali ia mulai menikah. Dari hasil pernikahannya itu, Bu Muji dikaruniai 5 anak. Satu sudah meninggal dan kini tinggal empat, satu putra dan tiga putri. Yang sulung sudah menikah dan memberinya seorang cucu. Kini hanya tinggal si bungsu yang masih bersekolah di SMP 13 kelas III. Meski hasil dari memulung memang tidak seberapa, Bu Muji selalu bersyukur karena sering mendapat bantuan beasiswa sehingga dapat menyekolahkan anak-anaknya. Apalagi suaminya telah meninggal lima tahun yang lalu.

Dalam keseharian Bu Muji yang bernama lengkap Veronica Mujinah dan lahir pada tanggal 20 Oktober 1959 adalah seorang yang aktif. Di gereja, ia aktif dalam kegiatan Legio Maria dan Monica. Sebagai seorang Legioner, Bu Muji aktif dalam melakukan kunjungan-kunjungan baik ke rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, ke rumah-rumah bahkan sekali waktu ke rumah sakit jiwa. Baginya keinginan untuk melayani sesama adalah keinginan yang selalu diidam-idamkannya. Tapi dalam hal ini, Bu Muji menegaskan bahwa ia tidak mampu bila harus membantu dengan dana tetapi bila dengan seluruh tenaga, ia pasti siap. Oleh karena itu ia berharap agar selalu diberi kesehatan, karena dengan kesehatan, ia dapat melayani Tuhan dengan jalan melayani sesama yang membutuhkan.

Setelah hampir tiga tahun aktif di Legio Maria, ada hal positif yang dirasakan oleh Bu Muji. Ia yang dulu begitu fanatik dalam berdoa, inginnya selalu dikabulkan untuk setiap doa yang dilakukan, kini bisa lebih pasrah dalam berdoa. Ia ‘lilo legowo’ jika doanya kadang tidak terkabul. Baginya, Allah itu maha baik. Ia selalu memperhatikan umatnya. Tapi ada satu hal yang begitu dipegang oleh Bu Muji; doa saja tanpa melakukan perbuatan tidak ada gunanya. Baginya hidup adalah untuk bekerja selain berdoa. Keduanya harus selalu berjalan beriringan.

Di lingkungan tempat tinggalnya, di kampung Deliksari RT. 02 RW VI rumah no. 75, Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Gunung Pati, Kabupaten Semarang, Bu Muji dikenal sebagai orang yang ringan tangan dan suka membantu. Rumahnya, seringkali dijadikan ‘base camp’ untuk para frater yang ingin belajar menyelami kehidupan pemulung. Mereka dengan gembira berbaur dengan seluruh keluarga Bu Muji, berkumpul bersama, makan, minum dengan hanya menggelar tikar dan membagi giliran dalam berdoa. Meski mereka tinggal di daerah yang labil, jalan yang naik turun, dan sumber air yang sulit karena harus 2 kilo bila ingin mandi atau sekedar mengambil air, mereka tidak pernah mengeluh. Justru mereka selalu bersyukur karena telah diberi tempat bernaung.

Selain itu, Bu Muji adalah orang yang dipercaya untuk memandikan jenasah. Baik laki-laki atau perempuan, tua muda, meninggal karena sakit parah atau biasa, selalu dikerjakannya dengan sepenuh hati. Baginya itu adalah bagian dari pelayanan walau kadang ia menerima omongan yang tidak-tidak dari tetangga sekitar.

Bu Muji memang hanyalah seorang pemulung. Tetapi ia adalah pejuang yang sangat gigih bagi kehidupannya. Ia adalah pahlawan yang justru sering kita lupakan. Karena pekerjaannya, lingkungan kita menjadi bersih, bebas dari sampah yang tidak berguna. Bagi keluarganya, ia adalah ibu yang penuh tanggung jawab, selalu berusaha mencukupi kebutuhan sehari-hari anak-anaknya walau hanya bekerja sebagai pemulung. Bagi lingkungan sekitar, ia adalah sosok yang sangat dibutuhkan. Dan bagi gereja, ia adalah salah satu pelayan Tuhan, yang siap pergi kemanapun untuk melayani sesama. Bu Muji benar-benar seorang pahlawan kehidupan.

Minggu, 15 November 2009

Obrolan Tentang 2012


Siang teramat terik. Di pos ronda depan rumah Syamsul, Udin dan Bejo tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Udin asyik membaca koran sedangkan Bejo dari tadi sibuk mengelap keringat yang mengalir deras di dahinya. Majalah yang dipakainya untuk berkipasan sudah nampak lusuh dan sobek di sana-sini.

Sejenak, Bejo melirik sahabatnya. “Lagi baca apa sih, Din? Kok kayaknya serius banget…” tanyanya untuk mengusir heran.

“Wah, ini memang bener-bener serius, Jo. Bayangin aja, 3 tahun lagi dunia yang kita tempati ini akan kiamat,” jawab Udin dengan mimik yang teramat serius. “Coba kamu baca koran ini..,” lanjutnya sambil mengangsurkan koran yang dipegangnya ke tangan Bejo.

Bejo menerima koran itu. Beberapa detik kemudian, ia sudah larut, membaca berita yang ditunjukkan Udin. “Oalah… ini tentang ramalan suku Maya itu tho…,” Bejo manggut-manggut. Diserahkannya kembali koran itu kepada Udin.

“Lalu gimana, Jo,” desak Udin.

“Gimana apanya?” tukas Bejo.

“Ya tentang ramalan itu…,” tambah Udin.

“Memangnya kamu percaya dengan ramalan itu?” tanya Bejo sambil membuka kaos singletnya yang sudah banjir keringat.

“Lha gimana ndak percaya, tanda-tanda ke arah itu kan sudah jelas. Bumi semakin panas, lapisan es di daerah kutub yang mulai mencair, juga berbagai bencana yang datang silih berganti tanpa henti,” jawab Udin.

“Sebenarnya kalau mau jujur, sebagian dari hal itu terjadi akibat ulah manusia sendiri. Pemanfaatan teknologi yang kebablasan, polusi yang makin banyak dan meningkat kualitasnya, penebangan hutan yang tanpa kendali dan masih banyak perilaku negatif lainnya,” kata Bejo sembari menatap wajah sahabatnya itu. “Jadi, jangan terus dikait-kaitkan dengan datangnya hari kiamat. Kiamat itu kan urusan Tuhan!” lanjutnya.

“Lalu, apa yang mesti kita lakukan dengan ramalan itu?” tanya Udin, penasaran.

“Ya, biarkan saja. Toh, pada saatnya nanti dunia ini memang harus kiamat. Dan untuk masalah itu bukan hak manusia untuk menduga-duga apalagi pakai meramal-ramal segala. Semuanya menjadi wewenang Tuhan untuk menentukannya. Bisa hari ini, esok, lusa, 2 tahun, 10 tahun bahkan 100 tahun lagi, nggak bakalan ada yang tahu. Yang penting bagi kita, apa yang mesti kita siapkan untuk datangnya hari kiamat itu? Segera bertobat atas segala kilaf dan dosa yang sudah diperbuat selama ini, memperbanyak amal kebaikan untuk sesama, serta selalu menjaga dan merawat bumi ini agar tidak semakin rusak. Nah, hal yang demikianlah yang semestinya terus kita perjuangkan…,” terang Bejo panjang lebar.

Udin mengangguk-angguk. Kekhawatirannya yang tadi menggunung kini sedikit demi sedikit mulai runtuh.

Sabtu, 14 November 2009

Kamu Aja, Aku Nggak Bisa...

Radi kesal. Ternyata apa yang dibayangkannya tadi sore menjadi kenyataan. Rapat pemilihan Ketua RT malam itu berjalan alot. Beberapa orang yang dijagokannya untuk menjadi Ketua RT yang baru semuanya menolak. “Maaf pak, aku belum punya pengalaman, jadi aku tidak berani mengemban amanat itu,” begitu jawab Andi menanggapi permintaan Radi.

“Aku juga nggak bisa pak, pekerjaan di kantorku banyak sekali. Aku takut kalau-kalau nanti malah tidak bisa bekerja dengan baik,” susul Anto.

“Wah, apalagi aku. Mengurusi rumah tanggaku saja aku sering kelimpungan gimana nanti kalau harus mengurusi orang lain…?” kata Eko tak mau kalah.

“Lalu, kalau semua menolak… siapa yang harus jadi Ketua RT?” tanya Radi dengan nada tinggi.

“Loh… kan masih ada Pak Radi!” jawab Andi, Anto, dan Eko berbarengan.

Yah, selalu begitu. Lagi-lagi ia yang harus menjadi Ketua RT. Padahal jabatan itu sudah diembannya selama 5 periode berturut-turut.

Barangkali ilustrasi di atas adalah gambaran nyata yang banyak terjadi di sekitar kita. Orang enggan bahkan tidak mau terlibat ketika diajak untuk melayani sesamanya dengan menjadi pengurus RT, RW atau bentuk pelayanan yang lain yang notabene tidak memperoleh imbalan. Orang dengan gampang akan menunjuk orang lain daripada menerima dengan ikhlas jabatan tersebut.

Bandingkan jika yang ditawarkan adalah jabatan yang basah, yang mendatangkan banyak uang. Orang tentu akan berbondong-bondong menonjolkan diri bahkan rela saling sikut, saling dorong dan mencari sejuta alasan demi mendapatkan jabatan tersebut.

Uang mungkin memang hal yang penting dalam kehidupan ini tetapi ikut terlibat dalam pelayanan kepada sesama merupakan hal yang jauh lebih penting. Sebab kita tidak dapat hidup tanpa keberadaan orang lain
.

Jumat, 13 November 2009

Aku Ingin Bom Meledak Lagi

Ya, hal itulah yang mengganggu pikiranku beberapa hari ini. Mungkin ada yang menganggap aneh atau malah menuduhku sebagai antek teroris. Lebih buruk lagi kalau kemudian ada orang-orang yang memperkarakan aku setelah membaca judul tulisan ini. Tapi, itu semua nggak bener kok. Meski aku ingin bom meledak lagi, aku tetap mencintai negeri ini 200% karena di sini aku dilahirkan, hidup dan berjuang.

Sebenarnya, bom yang aku maksud bukanlah bom seperti yang sering diledakkan oleh kelompok teroris pimpinan Noordin M. Top itu, yang meluluhlantakkan gedung-gedung dan membinasakan orang-orang tak berdosa, tetapi bom yang akan membuka kesadaran, bom yang menunjukkan kebenaran dan bom yang akan membangkitkan lagi nurani-nurani yang sudah mati.

Sebagai bagian dari rakyat di negeri ini, jujur, aku sudah terlalu muak dengan ulah para oknum pejabat. Mereka yang ngakunya sebagai wakil rakyat ternyata bisanya hanya petantang-petenteng, pintar berdebat, saling tuding dan omong kosong sana-sini tanpa pernah memikirkan dengan sungguh-sungguh rakyat yang sudah memilihnya. Mereka yang kebetulan berkuasa atas hukum malah sering bertindak sewenang-wenang. Memelintir hukum demi kepentingannya sendiri. Membuat aneka rekayasa agar orang-orang yang tidak berdosa bisa dipersalahkan. Juga mereka-mereka yang menggunakan kekuasaan dan jabatannya untuk memperkaya diri sendiri dengan berbagai tindak korupsi.

Nah, untuk merekalah aku ingin bom meledak lagi. Sebab selama ini mereka sudah buta. Mereka juga tuli dan perasaan mereka sudah berubah menjadi batu. Mereka tidak lagi peduli bahwa di saat mereka tertawa-tawa karena berbagai kelimpahan, masih banyak rakyat yang hidupnya serba kekurangan; yang bingung memikirkan hari ini harus makan apa, yang tidak memiliki pekerjaan tetap, yang tidak bisa mendapatkan sandang dan papan secara layak, dan yang kebingungan untuk mencari kebutuhan hidup anak istrinya.

Semoga saja karena bom itu mereka segera sadar dan nurani mereka kembali terketuk. Karena tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua bisa hilang dalam sekejab jika Tuhan berkehendak.

Kamis, 12 November 2009

Orang Gila di Taman Itu

Setiap melintasi taman itu, aku selalu melihatnya. Kadang ia duduk diam di bangku kayu satu-satunya yang terletak di tengah taman. Tatap matanya tajam memandang lurus ke depan. Namun tatap itu tak bercahaya dan kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Kadang pula ia terlihat menari-nari sambil tertawa cekikikan. Rambut panjangnya yang awut-awutan bergerak ke sana ke mari mengikuti tariannya yang tanpa irama. Pakaiannya kumal, kotor, penuh lobang di sana-sini. Bahkan penutup auratnya hanyalah selembar kain yang ditutupkan secara serampangan.

Menurut cerita ibuku, lelaki itu dahulu, tepatnya 6 tahun yang lalu, adalah salah satu warga di kampungku. Kampung Margojayan yang terletak di belakang taman itu. Namanya Sanjaya atau lebih dikenal dengan panggilan Jaya Pelit. Sanjaya adalah satu-satunya orang kaya di kampungku. Rumahnya bertingkat dua, sangat besar, dan dikelilingi pagar tinggi yang di atasnya ditaruh kawat berduri. Meski kaya, Sanjaya dikenal sebagai orang yang sombong dan pelit. Ia tidak pernah mau bergaul dengan warga kampung.

Di rumah besar itu, Sanjaya tinggal bersama seorang pembantu. Istrinya sudah lama menceraikannya. Menurut kabar burung yang beredar, sang istri tidak tahan dengan pola hidupnya yang hanya mengenal dua hal ‘kerja dan uang’. Yah, prinsip hidupnya memang mengharuskannya seperti itu. Hidup untuk bekerja dan memperoleh kekayaan sebanyak mungkin.

Suatu siang di bulan Desember, terjadi kebakaran hebat di rumah Sanjaya. Diduga akibat konsleting listrik. Kebetulan saat itu rumah dalam keadaan kosong. Pembantu satu-satunya yang bekerja di rumah itu pulang kampung sementara Sanjaya sendiri sedang berada di kantor. Karena jalan kampung yang sempit, mobil pemadam kebakaran kesulitan untuk mencapai lokasi. Apalagi rumah itu dikelilingi pagar tinggi yang terkunci rapat dan hanya bisa dibuka dengan remote control. Alhasil, warga sekitar juga tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya, rumah itupun terbakar habis.

Sore harinya ketika Sanjaya pulang, ia hanya bisa melongo. Matanya nanar menyaksikan rumahnya yang kini tinggal puing. Ia menjerit sejadi-jadinya. Meratapi harta bendanya yang sudah musnah. Dan semenjak saat itu, semuanya perilakunya berubah. Ia menjadi pendiam dan kerap bertindak aneh. Tiba-tiba menangis histeris atau malah tertawa cekikikan. Rupanya karena begitu tertekan, ia sudah menjadi gila. Namun, tak seorang pun yang mau mempedulikannya.

Rabu, 11 November 2009

Buta

Siang teramat terik. Di sebuah trotoar, dua orang buta berjalan pelan. Tangan kanan mereka memegang tongkat panjang yang diketuk-ketukkan ke tanah, untuk menandai dan memperlancar perjalanan mereka. Sementara tangan satunya, memegang sebuah pikulan yang disandarkan pada pundak mereka. Pada pikulan itu tergantung beraneka jenis krupuk.

“Krupuk… krupuk… krupuknya pak, bu…,” teriak mereka berbarengan.

Seorang ibu yang tengah melintas, berhenti sejenak saat mendengar teriakan itu. Dihampirinya dua orang buta yang tengah menjajakan krupuk itu. Setelah ‘pilih-pilih’ dan membayar, si ibu beranjak pergi sambil membawa krupuk-krupuk yang sudah dibelinya.

Kedua orang buta itu terlihat sumringah. Hari belum lagi sore tetapi krupuk yang mereka bawa tinggal sedikit. “Terima kasih Tuhan, Engkau telah melancarkan rejeki kami hari ini,” ucap salah satu orang buta itu, lirih. Setelah beristirahat sejenak, kedua orang buta itu kembali melanjutkan perjalanan.

Melihat perjuangan mereka, tiba-tiba saja aku jadi malu. Meski mengalami keterbatasan fisik, mereka tidak pernah menyerah. Mereka tetap berjuang dengan penuh kesungguhan, kejujuran tanpa mengharap belas kasih orang lain sambil terus mendaraskan syukur atas segala berkat yang telah mereka terima dari Tuhan.

Berbeda dengan aku. Meski mataku sehat, tak jarang aku gampang mengeluh jika aneka kesukaran, dan masalah hadir dalam kehidupanku. Meski aku dapat melihat lingkungan sekitarku dengan beragam pribadi yang tiap hari aku temui, sering aku bersikap acuh, tidak peduli, egois dan enggan mengulurkan tangan, memberi bantuan untuk orang-orang yang sedang mengalami kesusahan. Aku malah membiarkan hati dan pikiranku menjadi buta.

Selasa, 10 November 2009

Engkau

Engkau seperti rayap
bekerja dalam gelap
gerogoti milik kami
hingga hancur tak bersisa
yang dilihat baik
hanyalah kedok
untuk tutupi kebusukan

Engkau malih rupa jadi buaya
petantang-petenteng sok kuasa
hukum adalah kami,
kami adalah hukum, teriakmu
sambil tunjukkan taringmu
yang terus bersimbah darah

Haruskah kami selalu kalah?

Sabtu, 07 November 2009

Hidup Untuk Melayani Sesama


“Umur saya sudah condong ke barat, Mas. Jadi apa yang bisa saya lakukan untuk orang lain pasti akan saya lakukan dengan sungguh-sungguh, walaupun tidak dengan materi tetapi hanya dengan tenaga saja,” ungkap Martinus Sulaiman. Perkataan itu diwujudkannya dalam bentuk kegiatan pelayanan yang digelutinya selama ini. Salah satunya bergabung dalam tim pangruktiloyo bersama FW. Tirahtun, istrinya.

Ada cerita tersendiri mengapa ia bisa sampai terlibat dalam pelayanan ini. Waktu itu, mbah mertua sedang menanti ajal. Pada saat demikian, mbah mertua selalu memanggil-manggil namanya dan nama istrinya. Tak berapa lama, ia bersama istri dan ketiga anaknya segera datang untuk mendoakan mbah mertua bersama-sama. Di sela-sela doa itu, secara spontan istrinya memberi saran agar mbah mertua segera dibabtis. Ia merasa bimbang karena saat itu ia sendiri baru magang menjadi katolik. Namun teringat pesan Sugihartono, guru agamanya waktu itu, bahwa pada saat-saat darurat diperbolehkan seorang yang belum babtis untuk membabtis orang lain, ia pun merasa mantap. Setelah memberi ‘kepyuran’ air dan tanda salib… atas nama Bapa, Putra dan Roh Kudus, tak berapa lama mbah mertua meninggal. Karena pada waktu itu kekurangan orang, ia dan istrinya ikut memangku dan memandikan jenasah mbah mertua.

Awalnya memang ada rasa takut tetapi lama kelamaan menjadi hal yang biasa. Apalagi mengingat bahwa apa yang dilakukannya adalah pelayanan. “Jangan memikirkan macam-macam, yang penting tetap melayani saja,” aku bapak yang saat ini bertempat tinggal di Jl. Tumpang I no. 72 ini.

Selama 15 tahun pelayanannya mengurus jenasah, banyak suka-duka yang ia alami. “Saya tetap bisa melayani meski dari kekurangan saya,” ucapnya. “Dukanya itu ya kalau pas dipanggil malam-malam, apalagi waktu itu saya belum punya kendaraan. Tapi untunglah, ada tim yang membantu,” lanjutnya.

Tim pangruktiloyo di lingkungannya, yaitu lingkungan Karangkumpul II, terdiri dari 5 orang untuk tim inti, baik laki-laki maupun perempuan. Biasanya sudah ada pembagian tugas untuk tim ini. Jadi ketika ada orang yang meninggal, tim langsung bergerak. Hal pokok yang dilakukan adalah; memandikan jenasah, ‘ndandani’ atau merias jenasah, dan menghias peti. Kadang tim ini juga melayani lingkungan lain yang membutuhkan, yang tidak memiliki tim pangruktiloyo sendiri.

“Kondisi saat ini sudah lebih baik dibandingkan dulu. Sekarang sudah banyak lingkungan yang memiliki tim pangruktiloyo,” tuturnya. “Apalagi pelayanan ini sangat didukung oleh gereja karena di gereja Sampangan sendiri juga ada tim pangruktiloyo yaitu Cinta Kasih,” tambahnya. Setiap terjadi pengantian pengurus gereja selalu diadakan penyegaran dengan memberikan kursus-kursus soal merawat jenasah.

Ada satu prinsip yang selalu dipegangnya ketika mengurus jenasah. Ia selalu beranggapan bahwa yang dilayaninya masih dalam keadaan hidup sehingga pelayanan harus diberikan sebaik mungkin dan tetap dihormati. “Jangan mentang-mentang sudah meninggal lalu bisa diperlakukan seenaknya sendiri,” tegasnya. Prinsip ini dilandasi oleh satu keyakinan bahwa pada saatnya nanti, ia juga akan mengalami hal yang sama. Jadi bila saat ini ia merawat dengan baik harapannya pada saat meninggal, ia juga memperoleh perlakuan yang sama.

Selain aktif dalam tim pangruktiloyo, sejak tahun 1999, ia juga menjadi prodiakon lingkungan. Di lingkungan tempat tinggalnya saat ini, ia diserahi tanggung jawab sebagai ketua RT. Sedangkan istrinya aktif dalam posyandu dan pelayanan KB.

Meski ada banyak kegiatan disamping pekerjaan utamanya sebagai karyawan di PT Gelora Pacar Farma, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi, ia selalu berusaha menyisihkan waktu untuk keluarganya. “Dalam keluarga harus tetap saling mendukung. Selalu menjaga komunikasi dan memelihara keterbukaan satu sama lain,” katanya mengungkap resep yang hampir 40 tahun ini selalu dilakukannya. Berkat pendampingan itu, ketiga anaknya sudah berhasil menyelesaikan pendidikannya sampai jenjang yang tertinggi dan juga sudah mentas. Bahkan saat ini ia dari anak-anaknya, ia memperoleh tambahan 4 cucu.

“Saya merasa bahwa Tuhan sudah banyak mengaruniakan berkat untuk keluarga saya. Oleh karena itu saya selalu ingin membalas kebaikan-Nya dengan melayani sesama. Tidak dengan materi tetapi dengan ‘raga’ dan tenaga yang saya miliki,” pungkasnya.

(tulisan ini adalah hasil wawancara langsung dengan yang bersangkutan)

Jumat, 06 November 2009

Sama Sekali Nggak Lucu

Ckckckckck… orang Indonesia itu betul-betul kreatif banget. Apa-apa bisa dibuat reality show atau sinetron. Nggak percaya? Tengok aja ‘ontran-ontran’ yang terjadi beberapa hari ini. Entah yang satu ini mau dimasukkan kemana. Disebut sinetron bisa. Reality show juga bisa karena memang sejatinya ini adalah peristiwa yang dialami oleh si pelaku. Perkara bahwa itu hanya rekayasa itu soal lain. Tapi kalau disebut dagelan kayaknya juga cocok banget.

Judulnya Cicak Versus Buaya. Meski ngambil judul seperti ini, kita nggak bakalan tau mana yang Cicak dan mana yang Buaya sebab kadang si Cicak bisa berubah jadi Buaya, sebaliknya si Buaya juga bisa malih rupa jadi Cicak. Anehnya lagi, SitGel (kita sebut aja kayak gini ya… Sinetron Dagelan) ini juga nggak mengenal peran Antagonis dan Protagonis. Sebab seluruh pemainnya dituntut bisa melakoni kedua peran ini, ya jadi baik, ya jadi jahat. Pokoknya semua bisa diatur-atur tergantung mana yang lebih menguntungkan.

Karena nggak ada peran dan alur cerita yang pasti. SitGel ini bisa berubah-ubah layaknya komidi putar. Kalau penonton mulai enggak suka… alur dibuat sedemikian rupa supaya penonton jadi tertarik lagi. Kadang di beberapa bagian diselipi adegan tangisan, sumpah-sumpahan plus sakit-sakitan. Entah ini beneran atau rekayasa biar terkesan lebih dramatis, kayaknya penonton nggak boleh tau sebab ini rahasia sutradara.

Dua hari aja nonton SitGel ini… tiba-tiba aja kepala jadi pening, perut mual, dan pengen muntah. Lha gimana enggak? Alur ceritanya jadi makin ruwet kayak benang kusut. Seluruh pemainnya kepengen jadi yang paling bener, nggak ada yang mau ngaku salah. Semua pengen nyelametin dirinya sendiri. Pokoknya… dagelan banget dech… dagelan yang sama sekali enggak ada lucu-lucunya.

Rabu, 04 November 2009

Ketika Uang Tak Lagi Berarti

Malam semakin larut. Suara orang yang tadi ramai mengobrol kini sudah tidak terdengar lagi. Berganti dengan suara dengkur yang saling susul-menyusul. Satu dua perawat yang kebetulan shift malam beberapa kali terlihat mondar-mandir, mengecek kondisi pasien di ruang perawatan yang menjadi kewenangannya.

Di ruang Melani kelas VVIP, Bu Rekso baru saja terlelap. Wajahnya tampak kuyu tanda kelelahan. Seharian ini ia sudah berjaga tanpa ada seorang pun yang datang menggantikannya. Sementara Pak Rekso, terbaring di ranjang, tak bergerak. Beberapa selang menancap di tubuhnya. Sudah hampir sebulan ini Pak Rekso mengalami koma akibat berbagai penyakit serius yang menggerogoti tubuhnya.

Meski koma sekian lama, pikiran dan perasaan Pak Rekso sebenarnya masih terus merespon dan merangkum segala hal yang terjadi di sekitarnya. Tentang istrinya yang mulai jenuh karena saban hari harus menjaga dan merawat dirinya yang hanya ‘diam tak bergerak’. Juga tentang Danu, Hendy dan Sawitri, ketiga anaknya yang mulai meributkan soal pembagian harta warisan.

Memikirkan ketiga anaknya itu selalu membuat batin Pak Rekso merasa tertekan. Bagaimana tidak? Setiap saat mereka selalu meminta jatah uang yang jumlahnya tidak sedikit. Kalau tidak diberi, pasti ada saja ‘tindakan’ yang akan mereka lakukan. Ngambek tidak mau sekolah, menjual barang-barang berharga di rumah, mencuri uang, adalah beberapa contoh yang kerap terjadi.

Sebenarnya kelakuan ketiga anaknya itu tidak jauh berbeda dengan apa yang sering dilakukan Pak Rekso waktu masih kecil. Bedanya dulu ia anak tunggal. Kedua orangtuanya adalah pengusaha sukses yang memiliki banyak perusahaan. Rumahnya sangat besar dengan deretan mobil mewah yang tersimpan rapi di garasi serta para pembantu yang jumlahnya hampir satu lusin. Rekso kecil hidup bergelimang kemewahan. Sayangnya karena kedua orangtuanya sangat sibuk, ia kekurangan kasih sayang. Kehidupannya sehari-hari hanya dipenuhi dengan uang, uang dan uang saja. Uang bisa menyelesaikan semuanya, begitu selalu kata ayahnya. Dan memang, dengan uang berlimpah, Rekso selalu mendapatkan apa yang diinginkan oleh orangtuanya (dan diinginkannya). Sekolah favorit mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi meski harus lewat ‘jalan belakang’. Kerja di pemerintahan hasil koneksi. Pun saat ia memutuskan untuk menjadi anggota DPR. Uang berjumlah milyaran ia gelontorkan untuk tercapainya keinginan tersebut. Tanpa sungkan dan malu, ia membagi-bagikan uang kepada siapa saja yang mau mendukung dirinya.

Namun karena uang pula akhirnya ia terjerat kasus. Semua berawal ketika ada seorang pengusaha mendatanginya dan mengajukan ijin untuk mendirikan pabrik di daerah X. Karena rakyat di daerah X banyak yang tidak setuju, si pengusaha berusaha merayu Pak Rekso agar menggunakan kekuasaannya. Tentu saja Pak Rekso mengiyakan asal ada sejumlah uang sebagai balas jasa. Setelah pabrik berdiri dan uang puluhan milyar mengalir ke rekening Pak Rekso, timbul masalah baru. Ternyata sang pengusaha adalah tersangka kasus korupsi yang dicari-cari oleh polisi, yang diduga telah merugikan negara puluhan trilyun.

Sang pengusaha ditangkap polisi. Ketika diinterogasi, ia ‘bernyanyi’ tentang Pak Rekso. Berbekal informasi ini, Pak Rekso akhirnya juga ikut ditangkap. Setelah melalui persidangan yang berliku dengan beragam bukti, Pak Rekso dinyatakan bersalah dan harus mendekam di penjara selama 2 tahun.

Mendengar keputusan ini Pak Rekso langsung sesak napas. Tak berapa lama ia jatuh pingsan. Guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, ia segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan intensif, ia dinyatakan mengidap berbagai penyakit yang tergolong serius. Diduga semua itu terjadi karena pola hidupnya yang tidak sehat.

Tiba-tiba, beberapa bayangan hitam mendekati Pak Rekso. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, bayangan-bayangan itu memegang tangan dan kakinya lalu menyeretnya kuat-kuat, membawanya pergi entah kemana.

Selasa, 03 November 2009

Seperti Gema

Sore begitu cerah. Di langit, awan berarak, berkejaran dengan matahari yang perlahan turun di ufuk barat. Tapi, semua itu tidak mampu menghapus gundah di hati Rudi. Beban itu malah dirasakannya semakin berat. Tarikan nafasnya terus memburu seiring dengan teriakannya yang bertambah keras, “Aku membencimu… aku tidak mau berteman denganmu… kamu jahat…!!!”

Namun, suara itu terus mengikutinya… masih sama dan juga bertambah semakin keras…”Aku membencimu… aku tidak mau berteman denganmu… kamu jahat!!!”

Ah… mengapa? Mengapa suara itu terus mengikuti apa yang dikatakannya? Betulkah ini ‘sesuatu’ seperti yang pernah dikatakan oleh Dani, kakak sepupunya, dua hari lalu, saat menjumpai dirinya dalam keadaan ‘sangat’ marah.

“Tidak ada gunanya engkau marah-marah seperti ini, Rud. Cobalah teliti lagi mengapa teman-temanmu bersikap demikian kepadamu. Jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan karena belum tentu semua itu benar,” ucap Dani berusaha menenangkannya. “Tenangkan dirimu. Ambilah cuti barang satu dua hari dan pergilah ke gunung, ke tempat yang memungkinkan engkau melepaskan semua kekesalan dan kemarahan yang selama ini kau pendam dalam hati. Aku jamin, setelah melakukannya… engkau pasti akan mengalami kelegaan… juga sebuah pelajaran tentang hidup yang akan membuatmu semakin bijaksana,” lanjutnya.

“Kelegaan, benarkah itu yang dirasakannya kini? Lalu, mengapa beban itu malah bertambah berat? Apakah kakak sepupunya sudah berbohong kepadanya?” Beragam tanya itu tiba-tiba saja menyergap pikirannya.

Lalu suasana hening. Angin berhembus perlahan. Menerbangkan dedaunan kering di sela-sela pepohonan dan membawanya jatuh ke bumi.

Di saat seperti itu, Rudi teringat kembali dengan pesan mendiang ayahnya, beberapa saat sebelum meninggal. “Nak, hidup itu seperti gema. Kita akan menerima kembali apa yang telah kita berikan. Kalau engkau memberikan kebaikan maka engkau pun akan menerima kebaikan. Sebaliknya, jika engkau melakukan kejahatan maka kejahatanlah yang akan engkau terima. Ketika engkau mencintai maka kau akan dicintai. Pun kalau membenci, engkau juga akan dibenci.”

“Ayah… maafkan aku… ternyata selama ini aku sudah berlaku salah terhadap teman-temanku. Aku sombong dan acuh terhadap mereka. Aku kurang peduli dengan kesusahan mereka. Aku juga selalu menuntut dan tidak pernah mau mengerti keadaan mereka!” jeritnya tiba-tiba.

Dan saat kesadaran itu merekah, perlahan namun pasti… beban di hatinya sedikit demi sedikit mulai terangkat.

Senin, 02 November 2009

Perpustakaan Kami


“Ma… ini gambar apa ya?” teriak seorang gadis kecil sambil mengangsurkan buku yang lagi dipegangnya pada sang mama yang sedang asyik membaca koran. Di pojok, beberapa anak memilih-milih buku. Mereka tertawa-tawa dan saling berbicara satu dengan yang lain. Deretan buku yang semula tertata rapi menjadi berantakan akibat ulah mereka. Sementara di sudut lain, beberapa anak dengan usia yang lebih muda, asyik bermain bongkar pasang puzzle, ditemani orangtuanya.

Itulah yang terjadi hampir setiap minggu di perpustakaan kami. Minggu? Ya, benar, karena hanya pada hari itulah perpustakaan kami dibuka untuk umum, mulai pukul 08.00 – 12.00. Perpustakaan kami sebenarnya adalah perpustakaan milik gereja yang pengelolaannya diserahkan kepada kami, Tim Kerja Komunikasi Sosial (KOMSOS) Gereja. Perpustakaan ini menempati sebuah ruangan berukuran 6 m x 4 m.

Mengingat awal berdirinya perpustakaan ini adalah mengenang perjuangan yang tiada kenal lelah, semangat pantang mundur, kerjasama yang terjalin dengan baik, dukungan dari seluruh umat dan pendampingan sepenuh hati yang dilakukan oleh Romo.

Ide awal tentang perpustakaan sebenarnya bukan buah pemikiran kami tetapi merupakan program kerja Tim Kerja Kitab Suci. Mereka yang terlebih dahulu memesan sebuah ruangan dan memberi tanda ruang tersebut dengan tulisan PERPUSTAKAAN. Beberapa waktu berlalu tetapi belum juga ada aktivitas yang dilakukan. Melihat kenyataan ini, kami berinisiatif untuk mengambil alih program tersebut.

Setelah mengantongi ijin dari Romo Kepala Paroki, kami bergerak cepat. Tim khusus kami bentuk. Beberapa langkah juga segera kami lakukan. Membuat pengumuman di gereja bahwa akan dibuka perpustakaan dan untuk itu dimohon partisipasi umat untuk menyumbangkan buku-buku yang sudah tidak terpakai. Membuat proposal kepada beberapa penerbit untuk meminta bantuan buku. Juga membeli sendiri buku-buku baru dari sedikit dana yang kami miliki.

Pekerjaan yang menguras tenaga segera terpampang di depan mata. Mulai dari mendaftar buku secara rinci, mengklasifikasikan dan memberi kode pada buku, memberi sampul plastik untuk tiap buku agar tidak mudah rusak, serta membuat kartu inventaris dan katalog untuk buku.

Akhirnya, setelah 4 bulan lebih berkutat dengan berbagai aktivitas yang cukup melelahkan, tanggal 6 Mei 2007, perpustakaan kami diresmikan. Walau hanya upacara sederhana dengan ibadat singkat, pemberian berkat oleh Romo, potong pita dan santap jajan pasar, peristiwa ini sungguh sangat berkesan bagi kami. Perjuangan yang penuh dengan suka dan duka berakhir bahagia. Namun bukan berarti perjuangan akan berhenti sampai di sini saja karena ke depan masih banyak hal yang harus kami lakukan dan kami sempurnakan.

Kini, dua setengah tahun berlalu sejak peristiwa itu. Perpustakaan kami berkembang dengan baik. Dana dari gereja untuk pembelian buku baru sudah beberapa kali kami terima dan kami belanjakan. Pun umat masih saja ada yang terketuk hatinya untuk memberikan sumbangan buku. Hingga hari ini koleksi perpustakaan sudah mencapai hampir 2300an judul, terdiri dari buku (buku rohani, buku cerita, buku komik, buku pengetahuan), majalah (rohani dan pengetahuan), vcd (rohani dan umum), dan surat kabar. Untuk anggota perpustakaan sudah mencapai 233 orang. Sementara tiap minggu rata-rata 25 orang yang melakukan pengembalian dan peminjaman buku.

Memang jumlah itu tidak ada artinya bila dibandingkan dengan jumlah seluruh umat yang hampir mencapai 7000 orang. Namun, kami tidak perlu berkecil hati karena harus diakui minat baca di negara ini memang tergolong rendah. Yang paling utama sekarang adalah tetap memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya sambil terus berharap semakin banyak umat yang tergerak untuk menjadi anggota perpustakaan. Semoga.

Minggu, 01 November 2009

Buaya Harus Mati!!!

Buaya makin jumawa
Buaya makin tinggi hati
taringnya yang setajam pisau belati
kekuatan dan kuasanya yang tidak terkendali
makin hari semakin mengoyak nurani
padahal bau busuk itu terus menguar
dari mulutnya yang bersimbah darah

Ayo…
mesti kita hanyalah cicak
apakah diam saja ketika harga diri terus diinjak?
apakah hanya menutup mata ketika rasa keadilan itu
terus dihancurkan dengan rekayasa keji?

Para cicak…
kita mesti bergerak dan bersatu
kita tunjukkan bahwa kebenaran itu masih ada
buaya harus mati!!!
agar ia tak lagi menjadi monster
yang hantui kita sepanjang waktu

(puisi dukunganku untuk KPK)