Minggu, 01 Juli 2012

Buta

Seorang lelaki tua berjalan tertatih-tatih. Tongkat panjang warna putih yang dipegangnya terus-menerus diketuk-ketukkannya. Tongkat itu seakan menjadi penanda bagi dirinya untuk mulai melangkah. Suara yang ditimbulkannya menjadi batas yang harus dilalui dengan sangat hati-hati karena lelaki tua itu buta. Aku tertegun. Pandanganku seakan tak mau lepas pada sosoknya. Aku kagum, meski buta, ia terus berusaha melangkahkan kaki. Meski tak bisa melihat apa-apa, ia tidak mau menyerah dengan keadaan. Ia buta tapi tetap mampu menjadikan dirinya bisa “melihat”. Bagaimana dengan aku? Meskipun dikaruniai mata yang sempurna, yang bisa melihat segala keindahan di sekitarku, aku malah seringkali membutakan diri. Contoh paling sederhana: aku masih suka melanggar peraturan lalu lintas. Merah yang seharusnya berhenti malah aku labrak dengan seenaknya tanpa perasaan malu. Aku pun tidak peduli dengan kebersihan di lingkunganku. Ada tempat sampah, eh… aku malah suka membuang sampah di sembarang tempat. Terhadap sesamaku yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir, aku juga pura-pura tidak melihat. Aku sering abai dengan mereka. Aku justru menghindar karena tidak ingin direcoki persoalan tentang mereka. Kalau toh peduli, kerapkali hanya formalitas belaka dan berhenti pada kata-kata indah yang tidak pernah menjadi kenyataan. Aku juga belum mampu melihat kebaikan sesamaku. Buktinya, aku masih suka menyalahkan mereka tanpa alasan jelas. Aku sering menganggap bahwa diriku adalah orang paling baik dan paling sempurna yang harus dituruti segala ucapannya. Aku sering lupa bahwa tidak ada manusia yang sempurna di bumi ini. Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa manusia lain. Aku bisa melihat tapi apa gunanya kalau hal itu tidak aku gunakan dengan baik? Bukankah itu sama artinya aku tidak bersyukur kepada Tuhan? Bukankah itu sama saja dengan menyia-nyiakan karunia-Nya? Terima kasih, Pak. Keberadaanmu telah membuka mata hatiku.

Senin, 04 Juni 2012

Memaknai Peristiwa

Kemarin, kotaku diguyur hujan lebat. Selama hampir dua jam, ribuan jarum keperakan terus berjatuhan ke atas bumi. Menyebabkan genangan air dimana-mana. Membuat berbagai kendaraan yang melintas di jalan harus melambatkan kecepatannya dan ekstra waspada akibat pandangan yang mulai terhalang. Di beberapa titik, angin yang melintas bersama hujan juga menumbangkan pepohonan. Salah satu pohon tumbang terjadi beberapa meter dari kantorku. Menimpa sebuah mobil yang sedang berhenti di lampu merah dan sebuah becak yang tengah mangkal menunggu penumpang. Tidak ada korban jiwa tetapi akibat kejadian itu abang tukang becak harus dilarikan ke rumah sakit karena luka yang cukup serius. ”Kasihan Pak Amat!” temanku tiba-tiba nyeletuk. ”Kenapa, Mas?” tanyaku keheranan. ”Pagi hari pas ketemu aku ia sempat mengeluh karena dompetnya hilang... Sudah dicari dan ditanyakan kemana-mana belum juga ketemu. Eeehhhh... siang harinya kok malah kejatuhan pohon. Kasihan kan?” terang temanku. Aku terdiam mendengar penjelasannya. Memang kasihan Pak Amat; sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua kemalangan harus dialaminya dalam satu hari. Memikirkan itu, tiba-tiba sebuah tanya melintas dalam kepalaku: apa maksud Tuhan dengan peristiwa ini? Setiap peristiwa di luar kemampuan manusia yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Ia yang merencanakan dan melakukannya. Tentunya di balik segala peristiwa ada hikmah yang yang bisa diambil, ada pelajaran yang bisa dipetik dan dimaknai untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Namun seringkali, manusia tidak bisa memahaminya. Ketika berbagai peristiwa yang tidak mengenakkan menimpa dirinya, manusia cenderung mengeluh, protes, dan mulai menyalahkan Tuhan. Sebaliknya saat mengalami peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi lupa diri dan bertindak semau gue. Manusia mulai melupakan Tuhan. Sebenarnya hanya dua hal yang diinginkan Tuhan dari manusia; selalu mengingatNya dan terus bersyukur dalam setiap peristiwa. Ingat Tuhan menjadi tanda manusia yang sadar akan hakekatnya. Sadar bahwa keberadaannya di dunia ini adalah semata-mata karena anugerah Tuhan. Tuhanlah yang berkuasa. Tuhan yang menentukan. Setiap yang dilakukanNya adalah yang terbaik untuk kehidupan manusia. Untuk itu manusia hanya perlu bersyukur, bersyukur, bersyukur, dan terus bersyukur. Semoga kita mampu melakukannya.

Jumat, 01 Juni 2012

Mereka Juga Perlu Disayang

“Hai!” Sebuah suara mengagetkanku. Aku celingukan berusaha mencari asal suara itu. Tapi, tidak ada seorangpun di dekatku. “Hai, aku ada di depanmu.” Suara itu terdengar lagi. Aku berusaha menajamkan mata. Di depanku? Bukankah hanya ada hamparan tanaman di hadapanku? Apakah? “Mengapa engkau tidak mengenali suaraku? Aku di sini di hadapanmu. Aku tanaman soka berbunga kuning yang biasa engkau pandangi dan engkau elus tiap pagi,” terang suara itu. Aku terperangah. Heran bercampur tidak percaya. Tanpa kedip aku pandangi tanaman soka berbunga kuning yang ada di hadapanku. Kucubit pipiku. Kukucak-kucak mata. Ahh… ini memang nyata. Aku tidak sedang bermimpi. “Tidak usah heran sobat, aku dan kawan-kawanku di sini memang bisa berkata-kata seperti engkau. Hanya, bahasa kami memang berbeda. Dan karena itu, tidak semua orang bisa memahami kami,” jelasnya. “Mengapa engkau mengajakku bicara. Apakah aku termasuk orang yang bisa memahamimu?” tanyaku masih dengan rasa tidak percaya. Tanaman soka berbunga kuning itu bergoyang-goyang seolah-olah sedang tertawa. “Sobat, aku terkesan denganmu. Dulu, waktu pertama kali bertemu, saat engkau memegang tubuhku, aku sudah sangat ketakutan. Jangan-jangan, engkau akan mencabuti bunga-bungaku. Engkau akan merusak tubuhku. Tapi ternyata, engkau berbeda,” papar tanaman soka berbunga kuning itu sambil melambai-lambaikan rangkaian bunganya yang begitu indah. Mendengar ucapannya, tiba-tiba berkelebat rangkaian kejadian beberapa hari lalu. Waktu itu aku usai jogging memutari taman kota yang yang terletak tidak jauh dari rumahku. Keringat yang bercucuran membuat tubuhku semakin bugar. Hembusan angin pagi pun seolah menambah kesegaran. Setelah mencuci kaki di kolam di tengah taman, aku menyandarkan tubuhku pada sebuah batu di pojok taman. Sambil beristirahat, aku memandang hamparan tanaman yang ada di hadapanku. Sejenak aku tertegun. Tanaman-tanaman itu begitu indah. Ada soka berbunga merah dan kuning, rumput-rumputan, bayam-bayaman dengan bunga warna coklat, dan masih banyak lagi. “Ah, aku pengen memetik bunga soka warna kuning itu. Bunganya sungguh indah dan menarik hati,” kataku dalam hati. Segera kuayunkan tanganku menggapai bunga itu. Saat hendak menarik bunga itu dari tangkainya, tiba-tiba terdengar sebuah suara di sudut hatiku. “Mengapa kau harus memetiknya. Bukankah lebih indah bila ia tetap ada di sana. Lagi pula setelah kaupetik, keindahan bunganya hanya dapat dinikmati sebentar saja dan setelah itu pasti akan terbuang percuma,” terang suara itu. Buru-buru kuurungkan niatku. Tangan yang sudah terulur selanjutnya aku gunakan untuk membelai bunga itu. “Sobat, aku tidak berbeda dengan yang lain. Dulu, aku memang pernah ingin memetikmu,” akuku dengan jujur. Tanaman soka berbunga kuning itu kembali bergoyang-goyang. “Tidak mengapa. Aku suka dengan kejujuranmu,” katanya perlahan. “Ketahuilah, aku dan teman-temanku juga butuh disayang. Meski kami kecil dan tidak pernah protes, rasanya sakit sekali jika melihat ada manusia yang menyia-nyiakan kami begitu saja,” tambahnya. Aku mengangguk-angguk. Ya, mereka juga ciptaan Tuhan sama seperti kita. Kalau kita butuh disayang, mereka juga perlu disayang.

Selasa, 29 Mei 2012

Wajah-Wajah Malaikat

Minggu selalu menjadi hari yang menyenangkan. Setelah sepekan tenggelam dalam kesibukan kerja, Minggu menjadi hari yang paling ditunggu untuk rehat sejenak, memulihkan kembali stamina, dan memupuk semangat untuk hari-hari berikutnya. Tak terkecuali bagiku. Mingguku adalah kegembiraan. Mingguku menjadi hari yang dipenuhi kebahagiaan karena inilah waktu untuk bertemu dengan wajah-wajah malaikat. Mungkin ada yang bertanya, siapa mereka? Mereka adalah anak-anak yang seringkali hadir dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (sekolah minggu). Memang, aku tidak terlibat langsung mendampingi mereka. Aku hanya menjadi pengamat, kadang memberi sedikit bantuan atau sesekali mencatat dan mengabadikan tingkah polah mereka melalui kamera yang aku bawa. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk merasakan kegembiraan yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Wajah-wajah yang polos, penuh dengan keceriaan. Wajah-wajah tanpa prasangka dan rasa curiga. Wajah-wajah yang dipenuhi kasih. Kadang, mereka saling bersitegang karena menginginkan atau memperebutkan sesuatu. Kadang ada juga yang menangis karena ditinggal orangtuanya mengikuti misa. Ada yang nampak cuek, asyik dengan dirinya sendiri tanpa memperhatikan teman di sekelilingnya. Ada yang aktif bertanya dan ada pula yang hanya diam saja sambil terus memperhatikan yang lain. Mereka berbeda tapi saling menyatu dalam kebersamaan yang begitu indah. Wajah-wajah malaikat… ahh… inilah seharusnya yang terus kita miliki dan tampilkan dalam keseharian. Namun realitas yang ada, wajah-wajah kita seringkali hanyalah wajah-wajah yang suntuk, lelah, penuh beban, memancarkan kesedihan, dan tak jarang pula penuh dengan keputusasaan. Semua disebabkan karena berbagai masalah yang terus menguntit mulai dari soal ekonomi, pekerjaan, karir, masalah keluarga, pendidikan, jodoh, masa depan, dan masih banyak lagi. Bagaimanapun masalah memang akan selalu ada selama kita hidup di dunia ini. Masalah adalah batu ujian bagi kita untuk mencapai kehidupan yang lebih bernilai. Masalah menjadi tanda kasih Tuhan yang tidak berkesudahan. Tuhan tidak akan pernah memberikan masalah yang tidak dapat ditangani umat-Nya. Melalui masalah, Ia hanya ingin menyadarkan kita bahwa Ia ada di samping kita. Ia selalu mengulurkan tangan saat kita jatuh dan tenggelam dalam masalah. Ia akan merengkuh kita, menopang dan menolong, serta memberikan jalan terbaik. Sudahkan kita menyadarinya? Maka, mari kita benahi wajah kita agar kembali menjadi wajah-wajah malaikat. Bukan hanya untuk pura-pura tetapi didasari oleh kesungguhan, ketulusan, dan kemurnian hati yang dipenuhi oleh cinta-Nya. Semoga.

Minggu, 27 Mei 2012

Siapa Mau Peduli?

Di sebuah jalan tanah yang tidak begitu lebar, onggokan sampah berserakan. Sampah plastik, bungkus rokok, limbah rumah tangga, bercampur menjadi satu. Sampah-sampah itu berasal dari tempat sampah bobrok di pinggir jalan. Tak berapa lama seorang pemuda melalui jalan itu. “Waduh, siapa sih yang kurang kerjaan ini. Bikin kotor saja!” guman pemuda itu sambil terus berlalu. Orang kedua yang melewati jalan itu berlaku sama. Ia hanya berhenti sesaat, menutup hidungnya dan berlalu. Orang ketiga apalagi. Dengan cuek, ia terus memacu sepeda motornya. Akhirnya, datanglah seorang nenek tua. Jalannya tertatih-tatih. Meski demikian pandangan matanya masih amat baik. Ia melihat onggokan sampah itu. Beberapa detik kemudian, tangannya dengan cekatan mengumpulkan sampah-sampah itu dan menaruhnya kembali di tempat seharusnya. Barangkali, apa yang dilakukan nenek itu adalah sesuatu yang amat langka saat ini. Kebanyakan orang lebih memilih untuk cuek dan tidak peduli. Itu kan bukan urusan gue… Ah, ngapain repot-repot kan udah ada tukang sampah… Uhh, nggak penting banget ngurusin yang begituan, udah bau, bikin tangan jadi kotor lagi. Semestinya, sampah adalah urusan kita semua karena kitalah yang menjadi penyumbang dan penghasil sampah paling besar di muka bumi ini. Oleh karena itu, mulai saat ini kita harus peduli dengan sampah. Jangan mau enaknya sendiri, setelah makan ini itu, menikmati ini itu, lalu buang sampah seenaknya. Lingkungan yang tadinya bersih, jadi kotor karena ulah kita. Satu hal yang perlu diingat, kalau kita nggak mau peduli dengan lingkungan, pasti lingkungan juga nggak akan peduli dengan kita? Nah, siapa yang mau peduli?

Jumat, 25 Mei 2012

Mati

Desa Sumber Urip geger. Pak Jayus, orang paling kaya di desa itu yang terkenal amat dermawan tiba-tiba mati. Tentu saja berita ini membuat banyak orang kaget, heran, dan tidak percaya. Pasalnya, Pak Jayus juga dikenal sebagai orang yang gemar berolahraga. Tiap pagi, ia selalu jalan kaki berkeliling desa sambil ditemani Molly, anjing herder kesayangannya. “Wah, Kang, sampeyan pasti mengada-ada. La wong tadi pagi saya ketemu dan ngobrol dengan Pak Jayus dan dia kelihatan baik-baik saja kok,” ujar Yu Surti, penjual bubur langganan Pak Jayus, tak percaya. “Hehehe… berita bener kok dibilang bohong. Ceritanya begini, tadi sehabis jalan-jalan Pak Jayus sempat mampir di warung Kang Sarto. Saat asyik ngobrol, ia mengeluhkan dadanya yang tiba-tiba sakit. Tak berapa lama Pak Jayus malah pingsan. Tentu saja orang-orang di warung kebingungan. Untunglah ada Pak Dio yang cepat tanggap. Ia bersama beberapa orang segera menggotong Pak Jayus dan membawanya ke puskesmas. Tapi ternyata semuanya sudah terlambat. Pak Jayus mati tepat saat tiba di puskesmas,” jelas Kang Slamet panjang lebar. Peristiwa kematian memang seringkali tidak terduga. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, kepada siapa saja, dan lewat peristiwa apa saja. Saat Sang Empunya Kehidupan sudah memutuskan maka tidak ada seorang pun yang dapat menolak. Membahas lebih lanjut tentang kematian atau mati, ada fenomena yang bisa dibilang teramat ganjil. Aneh karena sebenarnya hidup tapi ‘mati’, ‘mati’ namun hidup. Mati dalam hal fisik dan mati rohani. Fenomena ini banyak terjadi di sekitar kita. Ngakunya bisa melihat tapi ternyata suka melanggar rambu-rambu lalulintas. Buang sampah bukan di tempatnya. Sudah kaya tapi masih suka melakukan korupsi. Suka main kekerasan tanpa alasan jelas. Bapak perkosa anak. Anak matiin bapak atau ibu. Ibu gorok leher kedua anaknya hingga tewas. Suami bunuh istri dan memutilasi tubuhnya menjadi beberapa bagian. Dan masih banyak lagi. Pendek kata, banyak orang yang sudah berubah menjadi zombie. Hidup tapi tidak benar-benar hidup alias ‘mati’ karena sudah tidak memiliki perasaan dan hati. Apakah kita mau terus berlaku seperti itu? Tentu tidak. Mumpung masih diberi kesempatan, ayo kita segera bangun untuk kembali menajamkan nurani. Agar hidup yang singkat ini menjadi berarti dan mendatangkan banyak berkat. Bagi Tuhan, sesama, dan diri sendiri.

Rabu, 23 Mei 2012

Mendengarkan

Suatu hari, mulut protes kepada Tuhan, “Mengapa Engkau berbuat tidak adil padaku?” Tuhan kaget. Dipandanginya mulut dengan wajah penuh kasih. “Mengapa engkau berkata demikian. Apa yang telah kulakukan padamu?” “Lihatlah aku. Aku kesepian karena aku hanya hidup sendiri. Aku iri dengan telinga. Ia memiliki pasangan yang bisa diajak ‘curhat’ dan bekerja sama!” seru mulut dengan lantang. Tuhan hanya tersenyum. “Anak-Ku, engkau telah salah menilai maksud-Ku. Ketahuilah, Aku menciptakanmu sendiri karena Aku ingin engkau lebih banyak diam daripada berbicara. Aku ingin engkau bisa lebih mendengarkan dengan kedua telingamu daripada memuaskan mulutmu yang penuh ego.”

Senin, 21 Mei 2012

Terima Kasih

Beberapa hari lalu, saat dalam perjalanan menuju ke Wonogiri, aku bersama beberapa rekan pendamping Pendampingan Iman Anak (PIA) Gereja Katedral menyempatkan mampir di sebuah warung makan. Siang yang panas plus perut yang keroncongan, membuat kami begitu lahap menikmati menu yang kami pilih. Usai menyelesaikan santap siang, aku mengedarkan pandangan, menelisik setiap jengkal warung untuk melihat-lihat barangkali ada sejumput inspirasi yang bisa aku gunakan sebagai ide tulisan. Ada satu yang menarik perhatianku. Di halaman, tepatnya di pojok dekat pintu warung, seorang pengamen tua dengan rambut dan kumis yang sudah memutih, sedang beraksi. Jari-jari tangannya begitu lincah memetik senar demi senar pada alat musiknya sambil melantunkan sebuah lagu. Di depannya, sebuah topi lusuh dipasang terbalik, menunggu lembaran rupiah dari para pengunjung yang datang ke warung. Setiap kali ada pengunjung yang memasukkan uang ke dalam topi itu, si pengamen menghentikan sejenak lagunya, lalu dengan sikap penuh hormat, keluar kata-kata dari mulutnya: “matur nuwun” (terima kasih). Tiba-tiba, aku teringat dengan pengalaman yang terjadi setiap Jumat di kantorku. Hari Jumat adalah harinya para pengamen dan pengemis. Di hari itu, kasir harus menyediakan uang receh untuk para pengamen dan pengemis yang datang. Kebanyakan dari mereka mau menerima uang yang diberikan tapi hanya sedikit yang mengucapkan terima kasih. Kiranya hal ini bukan saja dilakukan oleh para pengamen dan pengemis yang datang di kantorku karena kita pun “sami mawon” (sama saja). Lidah kita seringkali kelu saat dipaksa untuk mengucapkan terima kasih. Kita sering lupa mengatakannya padahal kita sudah mendapat begitu banyak kebaikan. Entah dari Tuhan maupun sesama. Maka, seperti pengamen tua di warung itu, marilah kita biasakan diri untuk mengucapkan terima kasih. Terima kasih yang dikatakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan. Terima kasih untuk hidup yang sudah dikaruniakan-Nya. Terima kasih karena kita sudah diberi kesehatan sehingga mampu bekerja dengan baik. Terima kasih kepada istri atau suami yang setia menemani kita. Terima kasih untuk anak-anak yang mencintai kita apa adanya. Terima kasih kepada para tetangga yang memperhatikan kita dan menjadi orang pertama selain keluarga yang rela membantu saat kita dalam kesulitan. Terima kasih kepada bapak-bapak polisi yang mengatur lalu lintas sehingga perjalanan kita menjadi lancar. Terima kasih untuk rekan kerja di kantor yang membantu kita menyelesaikan pekerjaan. Terima kasih untuk pramuniaga toko atas keramahan dan pelayanannya yang begitu baik. Terima kasih kepada tukang sampah yang telah membersihkan lingkungan kita. Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih.

Minggu, 13 Mei 2012

Pensil

Seorang anak sedang menggambar. Dengan pensil di tangannya, ia membuat gunung. Di atas gunung, ia membentuk sebuah bulatan yang tidak begitu besar dengan garis-garis kecil mengelilingi bulatan itu. Rupanya itu adalah gambar matahari. Lalu di bawah gunung, ia menggambar sawah yang membentang luas. Di sawah itu, ia meletakkan hamparan padi dengan para petaninya. Beberapa saat, ia memandangi hasil pekerjaannya yang hampir rampung. Ahh… rupanya masih ada yang kurang di sudut itu, gumannya. Ia segera mengayunkan pensilnya. Tiba-tiba ia berhenti. Pensilnya sudah tumpul. Dengan sigap, diraihnya rautan yang tergeletak di sampingnya. Sret… sret… sret… berkat rautan itu, pensilnya kembali tajam. Kita adalah pensil itu. Pensil yang digunakan Tuhan untuk menggambarkan karya-karya-Nya. Mungkin kita akan heran dan protes karena gerakan tangan-Nya tidak bisa diduga. Kadang ketika kita ingin menggambar matahari, Ia malah membuat gunung. Saat kita ingin membuat coretan yang kita sendiri tidak tahu maknanya, Ia justru membuat goresan yang penuh arti. Mungkin pula kita akan merasa begitu kesakitan karena Ia tidak segan-segan meraut kita dengan kasih-Nya. Semua itu dilakukan-Nya dengan penuh cinta. Cinta yang tidak berkesudahan. Cinta yang tidak pernah kering. Cinta yang begitu meluap-luap. Untuk kita pensil kesayangan-Nya.

Jumat, 11 Mei 2012

Cermin

Tiap orang pasti memiliki cermin. Ada yang bentuknya bulat, persegi panjang, lonjong alias oval. Ada yang besar banget seukuran lemari, ukuran normal, atau kecil hingga bisa dimasukkan dalam dompet. Ada yang bentuknya biasa-biasa saja sampai yang tidak biasa karena penuh dengan ukiran-ukiran indah di pinggir-pinggirnya. Dengan cermin kita biasa mematut diri. Berlenggak-lenggok bak penari untuk melihat apakah busana yang dikenakan sudah berpadu padan dengan serasi, merias wajah biar tambah cantik, menyisir rambut agar tidak awut-awutan atau hanya untuk sekedar memandangi wajah sambil memencet jerawat yang mulai banyak bermunculan. Intinya, dengan cermin membuat kita jadi pedhe karena ‘merasa’ sudah mempersiapkan penampilan sebaik mungkin sebelum bertemu dengan orang lain atau menghadiri acara tertentu. Sebenarnya, kita juga adalah cermin. Tiap langkah laku kita entah itu kata-kata atau perbuatan menjadi contoh dan memberi pengaruh bagi orang lain serta diri sendiri. Hal yang baik akan memberikan efek kebaikan. Pun sebaliknya, keburukan akan menimbulkan akibat buruk. Maka, sepatutnya kita selalu mawas diri. Apakah ucapanku sudah memberi berkat untuk orang lain? Apakah yang aku lakukan tidak merugikan orang lain? Apakah segala tindakanku bisa menjadi contoh kebaikan bagi sesamaku? Semoga saja kita mampu melakukan yang terbaik sehingga cermin dalam diri kita selalu berkilau dan membuat orang lain terpesona sehingga mereka dengan rela hati menjadikan kita sebagai standar yang harus ditiru. Mau?

Rabu, 09 Mei 2012

Si Kaki Seribu

Seekor Kaki Seribu menarik perhatianku. Tubuhnya kecoklatan dengan garis-garis melintang yang tersusun rapi. Kaki-kakinya yang begitu banyak berderet rapi di samping kiri dan kanan tubuhnya. Ahh… indah sekali. Apalagi kalau kaki-kaki itu mulai berjalan. Terlihat seperti gulungan ombak yang tengah berkejaran di pantai. Elok dan sedap dipandang. Terpikir olehku, bagaimana ya seandainya kaki-kaki di belakang tiba-tiba ngambek dan tak mau berjalan gara-gara pengen pindah ke depan tapi ditolak atau kaki-kaki di depan ndak mau melanjutkan perjalanan karena capek sementara kaki di belakang terus menuntut untuk maju? Ah… pertanyaan konyol. Tentu saja Si Kaki Seribu tidak akan bisa berjalan. Ia pasti hanya berputar-putar di tempatnya. Gambaran ini kiranya sangat pas dengan kehidupan di sekitar kita. Ada yang berposisi sebagai pemimpin atau dipercaya untuk memimpin karena kecakapan dan kepandaiannya. Pun ada yang merasa tidak punya kemampuan sehingga hanya ada di belakang dan dipimpin oleh orang lain. Ketika pemimpin punya agenda sendiri tanpa mempedulikan keinginan yang dipimpin atau ketika orang-orang yang dipimpin merasa muak dan tidak lagi sepakat dengan sang pemimpin tentu akibatnya akan runyam. Masing-masing pihak akan mencari jalannya sendiri-sendiri. Dan bisa ditebak, keadaan pasti akan bertambah buruk. Bukan kemajuan yang diperoleh tapi kemunduran. Semestinya, sang pemimpin dan orang yang dipimpin harus selalu menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Saling menghormati dan menghargai posisi masing-masing. Bisa dipercaya dan menjalankan amanat dengan baik. Sang pemimpin tidak akan pernah disebut pemimpin jika tidak ada orang yang dipimpin. Sebaliknya orang-orang yang dipimpin tidak akan pernah ada jika semua menjadi pemimpin. Ahh… Si Kaki Seribu yang kecil dan lemah itu ternyata telah mengajarkan sebuah kebijaksanaan.