Senin, 28 Februari 2011

Indahnya Perbedaan

Itulah gambaran yang muncul saat pelaksanaan Karnaval Seni dan Budaya dan Pawai Ogoh-Ogoh dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1933, Minggu, 27 Februari. Gemulainya para penari Jawa berpadu dengan tarian Dayak yang rancak. Barongsai dan Liong pun tak mau kalah unjuk gigi di antara atraksi Reog dan 3 Ogoh-Ogoh raksasa yang digotong oleh puluhan pemuda.

Gereja Katedral yang menjadi bagian dari masyarakat kota Semarang juga turut berperan serta. Lewat beberapa muda-mudi yang bernaung dalam wadah OMK (Orang Muda Katolik) Katedral, mereka ikut bergabung dengan mengusung Warak Ngendhog yang menjadi ciri khas kota Semarang. Selain itu, mereka juga menampilkan pribadi-pribadi seperti uskup, romo, bruder, dan suster, serta beberapa penari dan prajurit yang menjadi pengiring.

Karnaval ini dibuka secara resmi oleh Walikota Semarang, H. Sumarmo HS, dengan pemukulan gong, di halaman Balai Kota. Dan setelah itu, arak-arakan peserta karnaval mulai menyusuri jalan protokol di kota Semarang mulai dari Jl. Pemuda – Jl. Pandanaran – dan berakhir di lapangan Pancasila, Simpang Lima. Di sepanjang perjalanan, warga masyarakat tampak begitu antusias melihat jalannya karnaval. Banyak di antara mereka yang langsung mengabadikan momen tersebut dengan kamera yang sudah mereka persiapkan.
















Jumat, 25 Februari 2011

Cermin Yang (Sudah) Retak


Aku mempunyai sebuah cermin. Cermin itu lumayan besar, berbentuk persegi panjang dengan kayu berukir yang membatasi pinggir-pinggirnya. Cermin itu adalah hadiah yang diberikan oleh pacarku saat aku berulang tahun yang ke-25. Mengapa cermin? Ah, itu juga hal yang pernah aku tanyakan pada pacarku. “Hehehe… aneh ya kalau aku memberi hadiah sebuah cermin?” Pacarku balik bertanya. “Bagiku, cermin adalah lambang kejujuran karena apa pun yang dilakukan di depannya, pasti akan dipantulkan apa adanya. Aku berharap, kita juga bisa melandasi hubungan kita dengan sikap seperti itu, jujur, entah itu lewat kata-kata maupun perbuatan,” jelasnya lebih lanjut.

Ehm… alasan yang cukup masuk akal. Dan semenjak itu, aku menjadikan cermin pemberiannya sebagai barang kesayangan. Cermin itu aku letakkan di kamar tidurku. Setiap menjelang tidur dan bangun tidur aku pasti melihatnya. Dan setiap hendak bepergian, aku menyempatkan waktu beberapa menit untuk mematut diri di depan cermin itu. Merias wajah, memadupadankan pakaian yang akan aku kenakan, hingga menata rambutku agar terlihat lebih menarik.

Namun, sejak tiga hari lalu, aku memendam kekecewaan. Cermin kesayanganku retak di sana-sini. Retak karena kesalahanku sendiri. Waktu itu aku begitu tergesa-gesa karena bangun kesiangan padahal ada kuliah pagi yang harus kuikuti. Saat sedang berdandan... tiba-tiba, ada seekor cicak jatuh tepat di kepalaku. Tentu saja aku kaget bukan kepalang. Seketika aku menjerit dan tanpa sadar melemparkan botol parfum yang sedang aku pegang. ”Kraaakk!” Botol itu tak sengaja mengenai cerminku dan membuat kaca yang semula mulus menjadi retak bahkan hampir pecah. Aku terperangah. Aku terdiam tanpa kata. Tapi, apa mau dikata, semuanya sudah terjadi.

Sejak hari itu, aku berusaha mencari waktu untuk menjelaskan kejadian ini pada pacarku. Mungkin ini hanya hal sepele, tapi bagiku kejujuranlah yang terpenting seperti yang diajarkan oleh pacarku. Aku juga berusaha membenahi cerminku yang telah retak. Beberapa isolasi aku tambahkan untuk menutupi retakan-retakannya. Tapi, cermin yang sudah retak tidak akan pernah sama dengan sebelumnya saat ia belum retak. Dan, aku pun merasakannya saat berada di depannya. Ah, cermin kesayanganku... maafkan segala kebodohanku.

Hati manusia juga bisa diibaratkan seperti cermin. Ketika ia menjadi retak karena sesuatu, sulit untuk membuatnya pulih seperti semula. Sesuatu itu bisa berupa kata-kata yang menyakitkan atau perbuatan yang membuat orang jadi tersinggung dan marah. Hati yang telah retak akan bertambah retak bahkan hancur berkeping-keping jika karena sesuatu itu kemudian tumbuh kebencian dan dendam membara yang sulit dihapuskan. Oleh karena itu, marilah saling menjaga hati... menjaga sikap dan perbuatan... agar jangan sampai, kita, membuat hati orang lain menjadi retak hingga hancur berkeping-keping. Andai pun semua itu sudah terjadi... marilah kita saling memaafkan dengan tulus dan ikhlas.

Selasa, 22 Februari 2011

Ulat (Yang) Tidak Mau Menjadi Kupu-Kupu


Pagi baru saja meninggalkan peraduannya. Di langit, matahari bersinar terik, memancarkan cahayanya dengan riang ke seluruh muka bumi. Di daun pohon angsana di pinggir jalan itu, dua ekor ulat, Ri dan Ro, sedang bercengkerama sambil sesekali mengunyah dedaunan di mulut mereka.

“Betapa beruntungnya aku ini, setiap hari hanya makan dan tidur saja,” kata Ri dengan penuh sukacita.

“Iya, tapi kadang aku merasa sedih, akibat perbuatan kita, daun-daun itu jadi rusak, penuh lobang, dan tidak menarik lagi,” timpal Ro.

“Loh, bukankah itu sudah seharusnya. Daun-daun itu kan makanan kita, jadi kita punya hak untuk melakukan hal itu!” jawab Ri dengan nada tinggi.

“Hehehe… sobat… kita memang punya hak… tapi bukan berarti kita menjadi rakus dan melakukan hak kita dengan semena-mena. Coba, sekali-kali kau berhenti mengunyah dan diam barang sejenak, pasti akan kau dengar rintihan daun-daun itu,” kata Ro dengan sabar.

“Ah… peduli amat!” ujar Ri, ketus.

Di tengah pembicaraan mereka, tiba-tiba seekor kupu-kupu terbang melintas. Kupu-kupu itu terlihat sangat indah. Sayapnya kuning keemasan dengan totol-totol hitam di bagian bawah. Badannya terlihat gagah dengan kaki-kaki yang penuh tenaga. Kupu-kupu itu hinggap di sebuah dahan, tak jauh dari Ri dan Ro.

”Wahai kupu-kupu, darimana asalmu? Apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Ro sambil tak henti-hentinya mengagumi keindahan kupu-kupu itu.

”Eh.. oh... kau ulat. Aku berasal dari jauh. Aku ke sini karena mencari bunga-bunga yang sedang bermekaran. Aku hendak membantu penyerbukan bunga-bunga itu agar bisa menghasilkan buah dan biji untuk berkembang biak,” jawab kupu-kupu sambil menyeka keringat di dahinya.

”Ckckckckckck... rajin amat. Kenapa kau mau-maunya melakukan hal semacam itu? Bukankah itu pekerjaan yang bodoh!” kata Ri sambil tertawa.

”Bodoh katamu! Bagiku ini adalah pekerjaan yang mulia. Bukankah di dunia ini kita harus saling tolong-menolong,” jawab kupu-kupu itu.

”Ah... tetap saja bagiku itu sebuah kebodohan. Ngapain menyusahkan diri sendiri untuk kepentingan pihak lain. Mending kayak aku… makan.. tidur… makan… tidur… yang lain mah… EGP,” sambar Ri, tergelak.

”Ri, apa yang kau katakan itu? Menurutku apa yang dilakukannya memang mulia dan patut untuk dicontoh,” kata Ro sambil memandangi Ri. ”Kupu-kupu, aku ingin menjadi sepertimu, aku ingin bisa terbang dan membantu bunga-bunga itu,” lanjutnya.

”Sabarlah sobat, aku yakin, sebentar lagi engkau pasti juga akan menjadi seperti aku. Yang mesti kau lakukan hanyalah bermatiraga dan diam dalam keheningan. Sabar dan ikhlas sampai waktunya tiba,” jawab kupu-kupu sambil mengepakkan sayapnya. ”Selamat tinggal sobat,” sambung kupu-kupu itu.

”Hehehe... matiraga, diam, sabar, ikhlas... ah... semuanya hanya omong kosong. Pokoknya aku tidak mau menjadi kupu-kupu!” tegas Ri.

Dan hari demi hari terus berlalu. Ro yang mengikuti saran kupu-kupu terus bersabar di dalam keheningan. Sementara Ri semakin membabi buta dalam memuaskan nafsunya. Ia tak peduli dengan rengekan atau tangisan menyayat dari para daun. Akhirnya, karena terlalu rakus, Ri mati dengan perut terbelah dan segala yang dimakannya berceceran menebarkan bau busuk yang begitu menyengat.

***

Tetap menjadi ulat atau berubah menjadi kupu-kupu yang indah adalah pilihan hati nurani. Keduanya tentu membawa konsekwensi masing-masing yang harus dipertanggungjawabkan. Satu hal yang pasti... hidup ini terlalu singkat... hidup ini tidaklah abadi. Maka, membuat orang lain tersenyum bahagia kiranya akan lebih baik dan lebih indah daripada membuat orang lain bercucuran air mata karena luka yang sudah kita torehkan. Marilah... mulai saat ini... kita buang jauh-jauh segala keegoisan dalam diri kita... buang jauh-jauh segala pemikiran bahwa hanya diri kitalah yang terbaik, yang paling benar, yang paling berhak, yang paling bisa memutuskan... Kita tidaklah hidup sendiri di dunia ini... masih ada orang lain di sekitar kita... mereka juga perlu didengarkan, dipahami, dan dijaga perasaannya... Oleh karena itu, jadilah berkat satu sama lain.

Sabtu, 19 Februari 2011

Sedih


Sedih rasanya… jika ternyata teman yang selama ini ada di samping kita... ternyata malah menikam dari belakang... di depan tampak manis tapi ternyata di belakang berubah menjadi pribadi yang tidak punya hati…

Sedih rasanya… jika ternyata pelayanan yang selama ini dilakukan dengan sepenuh hati… malah dituduh yang macam-macam… dan dianggap mencari keuntungan untuk diri sendiri…

Sedih rasanya… jika di dalam satu tim kerja… tidak lagi terjalin komunikasi yang baik… yang satu hanya bisa menyalahkan dan mengganggap dirinya paling benar… sedangkan yang lain adalah pihak yang patut untuk selalu dipersalahkan…

Sedih rasanya…

Jumat, 11 Februari 2011

Allah Menjadikan Segalanya Indah

Itulah tema yang diangkat pada Misa Imlek 2562 yang diselenggarakan di Gereja Katedral, Kamis, 10 Februari. Misa dibawakan secara konselebrasi oleh Romo FX. Sukendar Wignyosumarta Pr, Romo Antonius Suparyono Pr, Romo FX. Sugiyana Pr, Frater Wicaksono, dan Romo Materius Kristiyanto Pr sebagai selebran utama.

Dominasi warna merah cukup menyemarakkan suasana misa. Mulai dari hiasan altar, lampion dan rumbai-rumbai yang tergantung di pintu-pintu gereja, seragam kelompok koor yang berasal dari Paroki Atmodirono, dan pakaian yang dikenakan oleh umat.

”Tahun Baru ini sungguh menjadi berkat untuk kita semua. Marilah kita juga mensyukuri segala berkat yang telah dilimpahkan Tuhan pada tahun yang telah berlalu dan bersyukur untuk tahun yang baru,” ucap Romo FX. Sugiyana Pr yang akrab dipanggil Romo Sugi saat mengawali homilinya. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa menurut penanggalan Cina, tahun ini termasuk tahun kelinci. Kelinci adalah turunan bulan maka orang yang lahir di tahun ini bisa dikatakan orang yang beruntung. Kelinci juga merupakan lambang keanggunan, kelemahlembutan, sopan santun, perbuatan yang baik, kepekaan akan segala sesuatu yang indah, dan cinta akan ketentraman. Maka diharapkan orang yang mempunyai shio ini dapat memberi pengaruh bagi lingkungan sekitar dan masyarakat.

Sejak awal mula, Allah telah menjadikan kita baik adanya, menurut gambar dan citraNya. Kita sama-sama telanjang, tanpa batas, dan tanpa perbedaan. Namun karena sifat egois, manusia kemudian menciptakan dan membatasi diri dengan sekat-sekat yang saling memisahkan, cenderung memandang orang lain dari sisi yang negatif dan tidak pernah mensyukuri apa yang sudah diterima, serta lebih menekankan perbedaan dan menjauhi kebersamaan. Dan akibat dosa, segala yang baik dan indah menjadi luntur. Terbukti dengan banyaknya kekerasan yang terjadi selama ini. Ini menjadi tanda bahwa kehidupan bersama tidak lagi dihargai.

Maka, kembali kepadaNya adalah jalan yang terbaik karena sebenarnya kita miskin di hadapan Allah. Miskin dalam arti kita tidak mempunyai kemampuan apa-apa tanpa campur tangan Allah. Bersikap lemah lembut satu dengan yang lain, murah hati dengan berbagi apa yang kita punya, dan selalu membawa damai, untuk siapa pun, di mana pun dan dalam keadaan apa pun. ”Semoga tahun baru ini menjadi pijakan untuk kembali sebagai citra dan gambar Allah agar kehidupan kita menjadi baik dan indah kembali, hidup suci dan setia akan iman, serta mengusahakan agar segalanya juga menjadi baik dan indah. Dengan demikian kita akan memperoleh kebahagiaan. Semoga ini menjadi semangat kita bersama, ” tegas Romo Sugi.

Kemeriahan Misa Imlek semakin terasa saat tiba pembagian angpao. Anak-anak dengan rapi berbaris maju ke depan untuk menerima berkat dari romo dan angpao dari panitia. Setelah mendapat angpao, anak-anak dapat mengambil balon berwarna merah yang sudah dipersiapkan di pintu-pintu gereja.

Usai misa, umat bersama para romo menikmati perjamuan di Gedung Sukasari sambil mendengarkan iringan musik.






Minggu, 06 Februari 2011

Bersama Malaikat

Barangkali, Anda merasa aneh dengan kalimat di atas. Malaikat? Apakah ada malaikat di dunia ini? Bukankah malaikat itu tempatnya di surga? Yah, Anda mungkin benar tapi mungkin juga salah. Karena memang ada malaikat di dunia ini, tepatnya manusia berhati malaikat. Dan, saya sudah menemukannya.

Malaikat itu adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku sering memanggilnya bu Ina. Tubuhnya tidak bisa dikatakan ideal bahkan cenderung kurus. Namun secara keseluruhan, sosoknya sangat anggun. Keanggunan yang dibalut dengan kesederhanaan. Tutur katanya lembut. Senyumnya tulus.

Dan, bertepatan dengan Tahun Baru Imlek 2562, 3 Februari, saya dengan beberapa rekan Pendamping PIA (Pendampingan Iman Anak) Gereja Katedral Semarang, berkesempatan berkunjung ke rumahnya. Kedatangan kami disambut dengan sukacita. "Sungguh, ini pengalaman yang luar biasa karena teman-teman mau berkunjung ke sini," begitu tuturnya saat menyalami kami satu per satu. Dan tak berapa lama, kami pun sudah bercengkerama, ngobrol ngalor-ngidul ketawa-ketiwi sambil ditemani kue-kue dan makanan khas Imlek.

Bu Ina yang malam itu ditemani suaminya kemudian mensharingkan kehidupannya. Tentang putri semata wayangnya yang telah meninggal beberapa tahun yang lalu saat genap berusia 9 tahun, 9 bulan, 18 hari, karena terjatuh saat naik kuda. Sebelumnya, Michell, nama putrinya, telah berpamitan kepada teman-teman sekelasnya bahwa ia akan pergi. Dan saat kematiannya pun ditandai dengan peristiwa yang aneh... turunnya hujan saat kemarau panjang. Tentu saja kematian Michell sempat membuat bu Ina dan suaminya terguncang tapi itu tidak lama karena mereka percaya bahwa ini adalah rencana Tuhan yang terbaik. Dan dukacita pun berubah menjadi sukacita.

Sukacita yang hampir sama juga menyelimuti kami malam itu. Sukacita di tengah kebersamaan yang indah. Bersama seorang perempuan berhati malaikat yang kami kagumi. Malaikat yang terus-menerus mengulurkan tangannya, membantu dengan tulus, ketika melihat kami ada dalam masalah. Malaikat yang begitu sederhana dan mau berbagi dengan siapa saja. Ah, semoga kami pun mampu meneladani segala tindakannya. Mampu menjadi malaikat di dalam keluarga, lingkungan, dan masyarakat. Andai semua itu terjadi, alangkah bahagia dan damainya hidup ini. Semoga.

Jumat, 04 Februari 2011

Malaikatku









Tuhan, aku bersyukur
tlah Kau hadirkan mereka dalam hidupku
meski tanpa pertalian darah
tapi entah mengapa
kasih itu terus mengalir

Aku menyayangi mereka
Aku ingin melihat mereka tumbuh dan bahagia

Tuhan,
lindungilah malaikat-malaikatku
sertailah dan bimbinglah mereka
dalam kehidupanNya
karena aku begitu menyayangi mereka

Rabu, 02 Februari 2011

Hobi Baru

Iya, bener. Sekarang aku punya hobi baru. Mengutak-utik kata dan menjadikannya sebuah kalimat yang indah dan bermakna (paling tidak untukku). Kalimat itu kemudian aku pergunakan untuk meng-update statusku di fb tiap hari (pagi). Awalnya sih sekedar iseng... tapi sesudah jalan beberapa hari aku malah jadi ketagihan. Ketagihan yang mengharuskan aku untuk banyak melihat, mendengar, merasakan, dan membaca segala sesuatu.

Beberapa kalimat yang udah aku share di fb ...

• Hidup itu terlalu singkat... apa yang sudah kita lakukan untuk mengisinya? menjadi terang bagi sesama atau justru malah hidup kita menjadi batu sandungan untuk orang lain?
• Jadilah seperti matahari... tepat waktu, setia dalam tugas dan pelayanan, tidak menjadi pemilih tetapi memberi untuk semua, tidak mengeluh ketika mendung dan hujan datang tetapi justru memberi keindahan dengan hadirnya pelangi...
• Mengapa harus mengeluh? Lihatlah sekeliling dan sadarilah… masih banyak mereka yang kekurangan, yang tidak memiliki papan, yang tidak memiliki penghasilan, yang hanya bisa mengharapkan belas kasih orang lain… maka, BERSYUKURLAH… untuk apa pun keadaanmu saat ini…
• Mengapa menyimpan dendam? Mengapa harus menyemai kebencian? Pun, mengapa terus menerus mengakrabi kemarahan? Tawarkan semua itu dengan hati yang berlimpah kasih. Kasih yang memahami. Kasih yang memaafkan dan mengampuni. Juga, kasih yang mau menerima perbedaan...
• Berbeda itu indah. Berbeda itu memberi kehidupan.
Seperti halnya tubuh kita yang tersusun dari banyak perbedaan.
Otak untuk berpikir. Mata untuk melihat. Telinga untuk mendengar. Mulut untuk berbicara. Dan masih banyak lagi… Ketika semua itu bersatu dan saling bergandeng mesra… kita pun mampu menggapai kebahagiaan…
• Setiap orang mencari kebahagiaan tetapi tidak semua mampu meraihnya.
Sebab kebahagiaan menuntut KEIKHLASAN dalam memberi dan menerima
• Mengapa harus menyombongkan diri? Karena kelebihan fisik, aneka talenta, kepandaian, kekayaan, jabatan, kekuasaan... Semua itu adalah anugerah dariNya... maka RENDAH HATILAH senantiasa...