Minggu, 30 November 2008

Di Luar...


Sore ini ketika misa tengah berlangsung, Romo yang berada di altar tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan berkata, “Mohon bapak-ibu yang masih berada di luar agar segera masuk ke dalam karena di dalam masih banyak tempat duduk yang kosong.” Suasana menjadi hening. “Jika bapak-ibu tidak mau masuk, misa ini tidak akan saya lanjutkan!” tegas Romo. Satu, dua, lima menit berlalu. Sejurus kemudian tampak beberapa umat mulai masuk dan menempati bangku-bangku yang masih kosong, sementara umat lain yang berada di dalam (yang saat itu tengah berdiri) menunggu sambil celingukan melihat orang-orang itu.

Sebenarnya mengapa mengikuti misa di luar? Ada beragam alasan yang dikatakan. Karena tempat duduk di dalam sudah penuh. Datang terlambat sehingga jika masuk ke dalam merasa malu kalau mengganggu umat yang lain. Karena bisa pulang cepat jika nanti misa sudah selesai. Atau karena memang sudah menjadi kebiasaan.

Mengikuti misa minggu di gereja bagi orang Katolik adalah suatu keharusan. Ini adalah bentuk tanggung jawab dan tanda bakti kita kepada Tuhan yang sudah memberi hidup. Dan ketika tiba di gereja pilihan kemudian ada di tangan kita. Memilih mengikuti misa dengan duduk tenang di dalam sambil menyimak dan mendengarkan sabda Tuhan serta homili Romo dengan seksama. Bernyanyi dengan suara lantang dan mendaraskan doa dengan sungguh-sungguh. Atau lebih memilih mengikuti misa di luar. Dengan duduk atau berdiri di dekat motor atau mobil (sambil njagain juga, takut ntar ada apa-apa...), memilih di pos satpam agar tersembunyi dan tidak kelihatan umat lain (kalo lagi ikut misa…), di taman doa atau duduk di depan dan samping gereja dengan menggunakan kursi-kursi plastik persis seperti di warung-warung makan.

Sekali lagi pilihan memang ada di tangan kita. Namun ketika kita meniatkan diri untuk mengikuti misa akan lebih baik ketika kita bisa bersungguh-sungguh. Sungguh-sungguh memberikan satu atau dua jam kita untuk Tuhan tanpa diganggu oleh pikiran-pikiran kemanusiaan kita. Karena itu berarti kita telah bersyukur atas segala karunia yang sudah dilimpahkan-Nya untuk kita.

Jumat, 28 November 2008

Rem

Pernahkah kita membayangkan andai kendaraan atau mobil kita tidak diberi rem? Bagaimana ketika kita ngebut di jalan raya dan tiba-tiba harus berhenti mendadak karena lampu lalu lintas menyala merah? Bagaimana jika berada di jalanan yang menurun?

Rem mungkin hanyalah bagian kecil dalam motor atau mobil kita. Namun berkat jasanya kita bisa mengendalikan motor atau mobil kita yang cukup besar. Dengannya kita bisa lebih menghargai pemakai jalan yang lain. Kapan saatnya berhenti. Kapan harus menahan diri untuk tidak menyalip atau ngebut. Dengan rem kita bisa lebih berhati-hati ketika berada di jalanan.

Manusia juga sudah diberi rem oleh Tuhan. Rem itu adalah hati nurani. Persoalannya adalah apakah rem itu masih kita pakai? Ataukah sudah sejak dahulu kita lepas dan kita buang entah kemana? Melihat situasi dan kecenderungan masyarakat dewasa ini hal itu sudah terjadi. Kekerasan ada di mana-mana. Ketidakadilan bertumbuh semakin besar. Hanya karena persoalan sepele dengan mudahnya manusia saling bertikai, tawuran bahkan saling bunuh dengan cara-cara yang begitu biadab. Manusia mencari hal-hal untuk memuaskan nafsu tanpa mempedulikan sesama dan lingkungannya dengan foya-foya dan korupsi di segala bidang.

Untuk itu, kembali menggunakan rem adalah satu-satunya jalan yang mesti diperjuangkan. Memang sungguh berat apalagi ketika melihat pengaruh lingkungan yang ada di sekitar kita. Materialisme, hedonisme, kesenangan-kesenangan sesaat seakan terus hadir dan berlomba-lomba mempengaruhi kita. Mereka menawarkan sejuta kenikmatan dan kesenangan semu yang pada akhirnya membuat kita menjadi bimbang dan gampang terjatuh.

Tapi disadari atau tidak, itulah tantangan yang harus dihadapi. Rem yang sudah kita miliki hendaknya kembali kita rawat dengan baik. Kita jaga agar tidak cepat aus tergerus oleh keadaan dan lingkungan yang menawarkan banyak keindahan semu. Rem itu senantiasa kita lumasi dengan rajin mendengarkan firman-firman-Nya melalui doa dan ibadah kita sehari-hari serta ketekunan kita dalam melaksanakan kehendak baik. Berat memang, terlebih kita hanya manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Namun kita percaya, di bawah bimbingan-Nya tiada yang mustahil.

Rabu, 26 November 2008

Takut

Ketika aku masih kecil aku adalah seorang yang rendah diri. Karena perasaan itu membuat aku selalu takut jika harus berhadapan dengan orang lain. Bertemu dan berbicara dengan orang lain. Hingga remaja perasaan ini masih terus saja kubawa. Hingga suatu saat aku terpaksa harus bertemu dengan seseorang karena suatu keperluan yang penting dalam hidupku. Ada rasa bimbang dalam hatiku antara keinginan bertemu dan tidak. Satu, dua, tiga hingga beberapa hari aku menunda kepentingan ini. Lebih karena aku takut untuk bertemu. Takut, nanti pas ketemu mau ngomong apa? Gimana nanti kalau aku salah ngomong? Akhirnya aku memaksakan diri. Aku harus berani. Aku harus menghadapi ketakutan ini. Kalau tidak mulai sekarang, pasti semuanya akan terus tertunda. Dan akhirnya, aku menemui orang itu. Ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Kekhawatiran yang ada di kepalaku selama ini hilang sudah… Dan sejak saat itu aku menjadi lebih berani.

Gatot, salah seorang teman di gerejaku lain lagi. Ia selalu takut jika berada di tempat yang gelap. Katanya ada yang selalu membayangi langkahnya. Jika terpaksa harus pergi ke suatu tempat di malam hari, ia selalu mengajak teman yang lain. Jika harus sendirian pasti ia tidak akan berani. Hingga ada olok-olok di antara kami: Gatot si gendut penakut. Percuma saja badannya yang gedhe tapi nyalinya ciut.

Rasa takut dimiliki oleh setiap orang. Takut karena merasa tidak mampu. Takut gelap (karena ada setan katanya seperti Gatot teman saya). Takut pada ketinggian. Takut jika mendapat nilai yang jelek. Takut kehilangan orang yang disayangi. Takut jika tidak bisa membahagiakan istri. Takut hidup sengsara. Takut kehilangan pekerjaan. Takut jika pekerjaan tidak selesai tepat waktu. Takut tidak punya uang. Dan banyak jenis ketakutan yang lain.

Rasa takut bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi kita perlu bersyukur karena kita punya rasa takut. Takut dengan nilai jelek membuat kita belajar dengan giat untuk memperoleh hasil yang bagus. Takut jika pekerjaan tidak selesai tepat waktu membuat kita tidak menunda-nunda jika ada suatu pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Membuat kita menjadi lebih rajin dan tekun. Takut mengecewakan orang lain membuat kita lebih hati-hati dengan perkataan dan perbuatan kita. Takut akan Tuhan membuat kita selalu sadar akan tindakan yang kita lakukan. Apakah sudah sesuai dengan tuntunan-Nya? Atau tindakan kita justru sudah melanggar perintah-Nya?

Di sisi yang lain, rasa takut juga menimbulkan tindakan yang cenderung negatif. Karena takut jika mendapat nilai jelek membuat orang mengambil jalan pintas dengan membuat catatan-catatan kecil agar bisa mencontek. Takut tidak punya uang membuat orang menjadi gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Mencuri. Menodong bahkan kalau perlu membunuh. Mengambil hak orang lain dengan cara korupsi.

Rasa takut jangan sampai membuat kita lari dari kenyataan. Rasa takut harus dihadapi. Rasa takut akan membuat kita menjadi lebih waspada. Akan membuat kita lebih mempersiapkan diri dan membuat kita lebih bertanggung jawab dalam segala hal. Tentunya jika kita mengambilnya dari sisi yang positif.

Senin, 24 November 2008

Hujan

Pagi ini hujan turun membasahi bumi. Dan hawa dingin datang menyergap kehidupan. Aku masih meringkuk di bawah selimut ketika tiba-tiba bunyi alarm berbunyi. Rrrriiiinngggg…. Aku mencoba membuka mata walau berat dan kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 05.00. Aduh, aku harus bangun! Aku harus segera mandi karena hari ini aku sudah berjanji untuk mulai lagi mengikuti misa harian yang sejak tiga hari ini sudah aku tinggalkan.

Sejenak aku terdiam. Bukankah di luar hujan deras? Apakah aku akan nekat menerobos hujan untuk mengikuti misa? Aku berada dalam kebimbangan. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap berangkat. Kenapa aku harus takut dengan hujan? Bukankah aku bisa memakai payung?

Hujan bagi sebagian orang kadang terasa menakutkan. Menakutkan karena ia bisa saja datang begitu tiba-tiba dan memporak-porandakan pesta ultah atau pesta perkawinan yang sudah dirancang sempurna dengan undangan yang berlimpah. Menakutkan karena mungkin ia juga akan membatalkan janji kita dengan klien penting yang akan mendatangkan keuntungan besar.

Bagi sebagian yang lain hujan memang benar-benar menakutkan karena ia menyebabkan banjir. Banjir yang menenggelamkan apa saja. Banjir yang membuat jalanan jadi macet, semrawut dan penuh ketidaksabaran dimana-mana. Banjir yang kemudian membuat rumah kita menjadi kotor penuh sampah dan lumpur, yang membuat kita harus bersusah payah untuk membersihkannya.

Namun bagi sebagian yang lain, hujan adalah berkah. Hujan menjadi rahmat yang sungguh dinantikan oleh para petani yang sawahnya kering, tanahnya pecah-pecah dan tandus akibat kekeringan selama berbulan-bulan. Hujan adalah anugerah karena ia membawa pertanda dimulainya sebuah pengharapan. Pengharapan akan kehidupan yang lebih baik.

Hujan tetaplah hujan. Tetapi darinya kita bisa belajar tentang artinya sebuah persiapan.

Hujan yang datang hendaknya mengingatkan kita untuk segera membenahi atap rumah yang bocor. Hujan yang datang kiranya juga mengingatkan kita untuk segera memeriksa got depan atau samping rumah. Apakah ia mampet karena sudah terlalu banyak timbunan sampah? Bukankah kita harus segera membersihkannya agar ketika hujan itu datang dengan deras, air dapat segera mengalir dengan lancar sehingga tidak terjadi banjir. Bukankah hujan yang datang juga mengingatkan kita untuk selalu menjaga raga kita agar tetap kuat beraktivitas dan tidak mudah terserang penyakit.

Memang datangnya hujan mengajak kita untuk bersiap-siap. Namun alangkah lebih baik jika persiapan itu bisa kita lakukan jauh hari sebelum ia benar-benar datang seperti halnya para petani yang sawahnya kering, tandus dan pecah-pecah akibat kemarau. Mereka tidak diam berpangku tangan tetapi tetap mencangkuli dan membajak tanahnya dengan penuh kesabaran agar ketika hujan itu benar-benar turun mereka dapat segera memanfaatkan tanah itu untuk menaburkan benih kehidupan. Nah!

Sabtu, 22 November 2008

Kebiasaan (2)

Pagi hari biasanya kita bangun jam berapa? Jam 4,5,6,7 atau malah jam 8. Apa yang kemudian kita lakukan? Leyeh-leyeh sebentar di tempat tidur atau segera beranjak bangun? Berdoa dulu atau tidak? Mandi atau makan terlebih dahulu? Setelah itu biasanya apa? Baca koran, nonton tv sembari nyeruput secangkir kopi. Istirahat sejenak kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.

Setiba di kantor, biasanya apa yang kita lakukan pertama kali? Memeriksa arsip-arsip, nyantai dan ngobrol dengan rekan-rekan atau langsung bekerja? Kemudian saat jam istirahat, pergi ke warung langganan kita yang ada di depan kantor atau di kantor saja karena sudah membawa bekal sendiri dari rumah agar lebih ngirit? Jam 16.00 atau jam 16.30 pulang dari kantor?

Sampai di rumah, makan, mandi kemudian bercengkerama dengan anak istri sambil nonton acara sinetron dan berita? Jam 22.00 kita kembali beranjak tidur? Begitu seterusnya dari waktu ke waktu.

Hidup manusia memang hanyalah rangkaian kebiasaan. Kebiasaan yang dibentuk melalui faktor dari dalam (intern) maupun faktor dari luar (ekstern). Faktor dari luar biasanya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar di mana manusia itu hidup baik melalui orang-orang terdekat (orangtua, istri, suami, anak-anak) maupun pribadi-pribadi lain yang hadir dalam perjumpaan sehari-hari. Sedangkan faktor intern adalah kepribadian, sifat-sifat dasar yang dimiliki manusia yang sudah dikaruniakan oleh Tuhan.

Ada dua jenis kebiasaan yang saling bertolak belakang. Kebiasaan baik dan kebiasaan buruk. Kebiasaan baik akan memberi manfaat dan kebahagiaan bagi orang yang melakukannya sedangkan kebiasaan buruk akan membawa efek negatif, langsung-tidak langsung, kecil-besar, untuk orang yang memilih melakukannya.

Pertanyaannya, bagaimana manusia harus memilah kebiasaan itu? Mana kebiasaan yang baik, yang harus dilakukan dan mana yang buruk, yang harus dijauhi? Dari sononya, manusia sudah dikaruniai akal dan pikiran oleh Tuhan. Akal dan pikiran ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya demi kebahagiaan diri sendiri dan juga orang lain. Dengan akal dan pikiran manusia akan bisa menilai, menimbang baik buruk suatu kebiasaan. Kebiasaan baik akan terus dipupuk, dirawat dan dilakukan serta diusahakan untuk terus ditambah. Sedangkan kebiasaan buruk dihilangkan.

Memang tidak akan mudah. Baik untuk memulai suatu kebiasaan yang baik atau menghilangkan kebiasaan buruk yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Banyak godaan yang akan hadir. Tapi percaya deh, asal ada niat, kemauan yang kuat serta kesadaran akan kebiasaan tersebut semuanya pasti akan dapat dilakukan. Dan yang pasti jika hari ini gagal, kali lain kita akan tetap terus berusaha hingga berhasil.

Marilah kita berlomba-lomba melakukan kebiasaan yang baik. Tidak usah mulai dari hal-hal yang spektakuler tapi mulailah dari hal-hal sederhana, kecil dan kelihatannya remeh. Membiasakan diri berpamitan ketika berangkat kantor atau sekolah. Membiasakan diri bersikap ramah, menyapa dan memberi senyum dengan orang-orang yang kita jumpai dalam perjalanan. Itu beberapa contohnya. Nah, segeralah biasakan diri dengan hal-hal yang baik...

Kamis, 20 November 2008

Mengikuti Misa Harian

Sudah hampir dua minggu ini tiap pagi aku selalu mengikuti misa harian. Awalnya sungguh berat untuk melaksanakan kegiatan ini. Aku yang tadinya biasa bangun pukul 6 pagi harus mulai belajar untuk bangun lebih awal. Meski rasa kantuk masih bergelayut di kedua pelupuk mataku, namun aku harus berusaha. Satu dua kali masih malas-malasan. Tapi kini setelah jalan beberapa hari ternyata kegiatan ini memberi kenikmatan bagiku.

Mengikuti misa harian membawa dampak positif bagiku. Sepulang dari Gereja, aku menjadi lebih leluasa mengisi waktuku sebelum berangkat ke kantor. Aku bisa lebih nyantai. Hal lain yang aku rasakan, hatiku menjadi lebih tenteram dan damai sehingga aku lebih bersemangat menjalani hidupku.

Ketika aku merenungkan kegiatan ini lebih dalam, ada beberapa nilai yang bisa aku dapatkan. Nilai-nilai itu diantaranya:
Bersyukur.
Bersyukur karena Tuhan sudah memberikan hidup baru, hari baru dan semangat yang baru. Bersyukur karena Dia memberi kesempatan kepadaku untuk masuk dan bersimpuh di tempat kediaman-Nya.
Mendengarkan firman-Nya
Aku bisa belajar dan menghayati firman Tuhan serta melaksanakannya dalam hidup hari ini sesuai arahan Romo yang diberikan melalui homilinya.
Menerima Tubuh Kristus
Melalui ekaristi suci aku diperkenankan menerima Tubuh Kristus. Dan dengan Tubuh Kristus di dalam diriku, aku dikuatkan untuk melangkah sesuai dengan perintah-Nya.
Memperoleh berkat perutusan
Dengan berkat yang aku terima aku memperoleh rahmat untuk hidup hari ini dan membagikannya kepada sesama.

Bapa,
aku bersyukur atas hari baru, hidup baru dan kesempatan baru yang Engkau berikan hari ini
aku bersyukur karena Engkau memanggilku untuk hadir di hadapan-Mu
aku hanyalah manusia yang lemah
penuh dosa dan ketidakpantasan
namun aku bersyukur Engkau senantiasa mempedulikan aku

Bapa,
aku pasrahkan seluruh hidupku kepada-Mu
aku pasrahkan segala rasa hatiku kepada-Mu
di dalam nama Putera-Mu terkasih
Tuhan kami Yesus Kristus
kini dan sepanjang masa
Amin.

Selasa, 18 November 2008

Kekerasan

Pagi ini di sebuah stasiun televisi swasta ada sebuah berita tentang tawuran yang melibatkan 2 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Bogor. Akibat tawuran itu telah menyebabkan seorang pelajar meninggal dunia dengan beberapa luka bacok di tubuh. Ironisnya, pelajar ini adalah pelajar teladan yang ikut tawuran karena ingin dianggap solider kepada teman. Di Koran Kompas hari ini juga dimuat berita tentang bentrok fisik antara mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana dan mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Kupang di Kupang, Nusa Tenggara Timur yang menyebabkan satu orang tewas dan sembilan luka-luka. Bentrokan ini terjadi hanya karena saling ejek. Beberapa waktu yang lalu kita juga disuguhi aksi kekerasan yang terjadi di lapangan sepakbola dalam negeri. Pelatih dan official memukul wasit. Pemain mengeroyok wasit hingga babak belur. Dan para pemain yang saling baku hantam karena emosi yang tidak tertahan.

Dalam lingkungan yang paling dekat dengan kita yaitu keluarga, kekerasan juga seringkali terjadi. Suami memukuli istri. Suami istri menganiaya anak atau pembantu. Dan yang terbaru adalah istri yang tega memutilasi suaminya menjadi 14 bagian hanya karena perasaan jengkel yang begitu meluap. Kelewatan!!!

Kenapa kekerasan demi kekerasan senantiasa menghiasi kehidupan sehari-hari kita? Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab timbulnya hal tersebut. Mulai dari perkara yang paling sepele seperti saling ejek, saling pandang, masalah wanita, rasa tidak puas, perbedaan pendapat, jengkel, motif ekonomi atau karena pengaruh dari media. Tidak bisa dipungkiri, pengaruh media sekarang ini memang sedemikian kuat. Televisi lewat beragam tayangannya baik berupa berita, film kartun (animasi), reality show, sinetron hingga film-film luar maupun dalam negeri seringkali menvisualkan kekerasan demi kekerasan secara vulgar mulai dari pagi hingga malam hari. Begitu terus dari waktu ke waktu. Belum lagi lewat berita-berita di media massa.

Apakah kekerasan demi kekerasan ini memberi keuntungan kepada kita? Apakah dengan kekerasan hidup menjadi lebih baik? Tentu semua akan sepakat tidak sama sekali. Kekerasan hanya membawa penderitaan dan kekerasan-kekerasan yang lain. Hidup tidak tentram dan selalu diliputi ketakutan. Kalau begitu apa yang mesti kita lakukan? Jauhi kekerasan, biasakan hidup damai dan bagikanlah kasih kepada semua orang tanpa pandang bulu.

Tentu tidak mudah untuk melakukan hal ini. Kita harus siap dikucilkan dan dimusuhi. Kita harus siap dianggap sok suci, sok alim, sok pahlawan dan sok-sok yang lain. Namun tiada perubahan yang terjadi tanpa ada pengorbanan. Ini adalah tantangan yang harus dimulai dari diri sendiri. Ketika seseorang berkata-kata kasar kepada kita, balaslah dengan kata-kata yang lembut dan menentramkan. Ketika ada orang yang mengajak kita berkelahi, kita balas dengan permintaan maaf yang tulus karena mungkin ia sudah tersinggung dengan perbuatan kita. Ketika orang berusaha menanamkan kebencian, kita bagikan kasih kepada semua orang.

Berat memang, tapi kita percaya Tuhan akan selalu membimbing kita karena di atas segalanya Ia tidak menginginkan manusia hidup dalam kekerasan.

Senin, 17 November 2008

Peduli

Apakah kita peduli pada rambut yang mulai panjang, yang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pergi ke tukang cukur? Pada perut kita yang keroncongan di tengah kesibukan yang begitu padat? Apakah kita peduli pada mata yang sudah lelah akibat lama begadang?

Apakah kita peduli pada istri yang mengajak kita untuk berbicara? Peduli dengan omelan istri saat sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya? Apakah kita peduli pada bayi kecil kita yang menangis karena lapar dan mengompol? Peduli dengan ayah-ibu yang beranjak tua dan mulai sakit-sakitan?

Apakah kita peduli pada kamar tidur kita yang berantakan? Pada tumpukan pakaian di pojok kamar yang menunggu untuk dilipat dan disetrika? Pada pakaian yang mulai sobek? Pada tumpukan piring cucian di sudut dapur? Pada sepatu yang mulai berdebu? Peduli pada halaman rumah yang kotor? Pada got depan rumah yang mulai mampet? Pada sampah yang dibuang tidak pada tempatnya?

Apakah kita masih suka menerobos lampu lalu lintas di perempatan jalan saat warnanya masih merah? Pedulikah kita dengan anak-anak kecil di pinggir jalan yang asyik mengamen dan meminta-minta di saat teman-temannya yang lain bersekolah? Apakah kita peduli dengan situasi masyarakat di sekitar kita? Pada tetangga yang butuh bantuan?

Jika kita seorang perokok, apakah kita peduli dengan asap rokok yang mengganggu orang lain yang ada di sekeliling kita? Peduli bahwa dengan tindakan kita sudah merugikan kesehatan orang lain?

Jika kita seorang pedagang, apakah kita peduli dengan apa yang sudah kita jual? Dengan kualitasnya? Dengan harganya?

Jika kita seorang pemimpin, apakah kita peduli dengan rakyat yang kita pimpin? Dengan kebijakan-kebijakan yang kita ambil? Dengan janji-janji yang pernah diucapkan dahulu? Apakah kita peduli dengan kesejahteraan rakyat?

Dan, mengapa kita peduli semua itu?

Karena kita adalah makhluk Tuhan yang sudah dikaruniai akal dan budi. Karena Tuhan tidak hanya menciptakan AKU, KAMU atau KITA. Karena Ia telah menciptakan dunia seisinya secara lengkap dan sempurna.

Oleh karena itu kita harus peduli. Karena dengan peduli berarti kita sudah menghargai hidup. Dengan peduli kita belajar bersosialisasi dan bertoleransi. Dengan peduli membuat hidup menjadi damai, tenteram dan mutu hidup semakin berkembang. Dengan peduli berarti kita sudah bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena Ia pun sudah peduli pada kehidupan dan kebutuhan kita. Bersyukur atas segala kebaikan yang sudah diberikanNya untuk kita.

Nah, marilah kita peduli!!!

Minggu, 16 November 2008

Perbedaan

Pernahkah kita membayangkan apa jadinya jika Tuhan hanya menciptakan daratan? Apa jadinya pula jika hanya ada lautan? Bagaimana jika di bumi hanya ada manusia saja tanpa ada tumbuh-tumbuhan ataupun binatang? Terlebih lagi jika manusia yang diciptakan hanya laki-laki atau perempuan saja? Bosan, jenuh, atau malahan kita tidak ingin hidup.

Apakah kita juga pernah berlama-lama menatap hamparan padang rumput, hanya rumput? Apa yang kita rasakan? Malas, ah! Bandingkan jika kita menatap sebuah taman yang di dalamnya selain ada hamparan rumput juga ada beraneka tanaman bunga warna-warni, tanaman dengan daun yang indah, kolam kecil dengan beragam ikan, pancuran air lengkap dengan sebuah patung. Indah bukan? Pastinya kita akan betah berlama-lama menikmati taman ini. Mengapa? Karena adanya perbedaan.

Perbedaan adalah hidup. Dan hidup adalah bagaimana menyatukan perbedaan itu menjadi sesuatu yang dapat berjalan seiring sejalan tanpa adanya keinginan untuk saling menonjolkan diri.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan seringkali tidak pernah mau kompromi dengan adanya perbedaan. Perbedaan harus disamakan. Diseragamkan. Karena yang paling baik adalah AKU. Jika tidak mau atau tidak bisa maka jalan satu-satunya adalah pemaksaan kehendak. Banyak kejadian yang bisa menjadi contoh dalam hal ini. Kasus bom Bali dan kasus bom-bom yang lain. Kasus penyerangan Aliansi Kebangsaan di Lapangan Monas oleh Laskar FPI. Dan masih banyak kasus yang lain.

Perbedaan adalah hukum alam karena sudah diciptakan oleh Tuhan. Perbedaan harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dengan adanya perbedaan kita akan semakin berkembang sebagai manusia, bisa lebih menghargai hidup dan mengembangkan sikap toleransi. Dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sudah dikaruniai akal budi hendaknya manusia jangan pernah berpikir untuk menyeragamkan perbedaan karena itu bertentangan dengan kehendak Tuhan. Jadi, tetaplah berbeda!!!

Jumat, 14 November 2008

Akal dan Pikiran

Aku punya rekan sekerja bernama Arman (nama samaran). Dia adalah seorang yang banyak akal, lucu, periang, jahil dan gemar bercerita kepada rekan-rekan yang lain. Jika satu hari saja Arman tidak masuk kerja, kantor rasanya jadi sepi. Tiada celoteh-celotehnya yang begitu spontan dan lucu. Tiada kejahilan-kejahilan yang diperbuatnya. Pokoknya semua jadi terasa hambar.

Suatu ketika Arman bercerita tentang kehidupan keluarganya di rumah. Ia membanggakan diri bahwa di rumahnya sudah mempunyai 2 televisi warna, kulkas, playstation, blender, rice cooker dan sederet peralatan elektronik lainnya. Arman bangga bisa mengusahakan semua itu terlebih daya listrik di rumahnya hanya 450 W. Lho, kok bisa, padahal kan alat-alat elektronik yang dipergunakannya begitu banyak? Selidik punya selidik, ternyata ia sudah mengakali meteran listrik yang ada di rumahnya sehingga daya yang bisa dipakai menjadi tidak terhingga walau ia hanya membayar sesuai standar daya 450 W. Untung bukan, begitu katanya. Dengan biaya sedikit tetapi bisa memakai begitu banyak.

Akhir-akhir ini lewat tayangan di televisi, kita melihat ada begitu banyak penipuan yang sudah dibuat di sekitar kita. Sabun palsu, obat palsu, ikan palsu, buah palsu, telur palsu dan berbagai-bagai pemalsuan yang lain. Orang semakin pandai menggunakan akalnya untuk melakukan banyak pemalsuan. Mencari jalan agar mereka mendapat untung yang sebesar-besarnya. Mereka tidak berpikir bahwa akibat perbuatannya itu sudah merugikan dan membahayakan orang lain.

Lain lagi cerita tentang LAPINDO. Kenapa bencana seperti LAPINDO bisa terjadi. Semula karena orang terlalu membanggakan akalnya. Orang merasa jumawa, keminter dan menggunakan akalnya yang keblasuk untuk mengeruk banyak keuntungan. Akibatnya apa! Alih-alih mendapat keuntungan hasilnya malah menyengsarakan begitu banyak orang. Rumah-rumah kini sudah menghilang akibat banjir lumpur. Anak-anak tidak bisa bersekolah. Orang tua harus bersusah payah mencari sesuap nasi karena lahan pekerjaanya sudah menguap entah dimana. Namun sebagai orang yang banyak akal, mereka tetap berdalih bahwa semua itu adalah bencana alam. Semua itu adalah kehendak yang Di Atas. Ah, betapa pinternya mereka mencari-cari alasan untuk melarikan diri dari tanggung jawab.

Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk yang paling sempurna. Ia telah mengaruniakan akal dan pikiran agar dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Dipergunakan bukan untuk menipu, mengakali atau mencari jalan untuk merugikan orang lain. Namun sebaliknya, akal dan pikiran hendaknya dapat dipergunakan demi kesejahteraan bersama. Demi kemajuan, kemakmuran dan keselamatan sesama manusia sebagai makhluk Tuhan.

Rabu, 12 November 2008

Sssttt… Ada yang Baru...


Ketika hari ini aku mengikuti misa pagi, ternyata ada sesuatu yang baru di dalam Gereja. Sekilas memang tidak nampak jika tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Apa Itu? Patung Maria dengan bayi Yesus yang semula sendirian, kini sudah ditemani Patung Yusuf. Mereka kini berdiri sejajar saling berdampingan dengan anggun dan berada di tempat yang agak lebih tinggi dari bangku umat. Bila direnungkan lebih dalam, bukankah seharusnya memang demikian. Yusuf, Maria dan Yesus adalah keluarga kudus yang menjadi panutan kita. Namun hal ini tentu mengandung konsekwensi paling tidak bagi calon manten yang hendak menikah di Gereja Katedral. Bila biasanya di akhir misa/pemberkatan nikah selalu ada doa untuk Bunda Maria, kini akan lebih baik lagi jika hal itu diubah menjadi doa untuk Keluarga Kudus dengan harapan keluarga baru yang akan dibangun nanti dapat belajar, menimba pengalaman dan mendapat bimbingan serta kekuatan dari Yusuf, Maria dan Yesus.

Beberapa bulan sebelumnya, ada juga hal yang berubah di lingkungan pastoran. Pintu gerbang sebelah dalam yang biasanya bebas terbuka kini sudah tidak lagi. Pintu itu kini tertutup rapat dengan tulisan: “PERHATIAN, TAMU DIHARAP LEWAT DEPAN SEKRETARIAT, KENDARAAN TAMU/UMAT PARKIR DI LUAR”, “PERHATIAN, KENDARAAN RODA2/RODA4 DILARANG MASUK/PARKIR DI DALAM HALAMAN PASTORAN”, “PERHATIAN, DEMI KENYAMANAN & MEMUDAHKAN KEPERLUAN ANDA, TAMU HARAP LAPOR SATPAM/SEKRETARIAT”. Saat pertama kali melihat keadaan ini, sontak di dalam pikiran timbul hal-hal yang cenderung negatif. “Lho kok ditutup! Ada apa ini? Apa umat sekarang sudah tidak boleh masuk lagi? Romo-romo sudah menutup diri dan membuat dirinya menjadi eklusif dan sukar untuk dicari? Bagaimana nanti jika ada umat yang diburu waktu untuk mendapat sakramen perminyakan sedangkan kalau menemui Romo saja kini dipersulit?” Memang pikiran-pikiran semacam itu sah-sah saja dan memang seharusnya dimunculkan namun tentunya kita harus mengetahui latar belakang keputusan itu. Tentunya ada maksud tertentu dari kebijakan itu. Pertama, umat yang berkepentingan (dengan Romo) bisa berkomunikasi terlebih dahulu dengan sekretariat (atau paling tidak memberitahu satpam jika sekretariat sudah tutup}, siapa, dari mana dan apa tujuannya. Sisi positifnya umat diajak untuk lebih menghargai atau istilahnya ‘nguwongke’ sekretariat dan satpam. Kedua, agar tidak sembarang orang bisa ‘bludas-bludus’ masuk ke dalam pastoran sehingga akan meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketiga, agar lebih tertib terutama untuk parkir roda2 dan roda4 di dalam pastoran. Sayang, tidak semua orang bisa memahami hal ini lebih-lebih banyak diantara umat yang merasa karena sudah lama beraktifitas di gereja sehingga sah-sah saja jika mereka melanggar kebijakan yang dibuat oleh Romo. Mereka dengan seenaknya parkir roda2 dan roda4 di dalam atau membuka pintu gerbang tanpa mau menutupnya kembali.

Suatu perubahan memang diperlukan. Lebih-lebih untuk suatu keadaan yang sudah berlangsung terus-menerus selama beberapa tahun. Dengan adanya perubahan akan membawa suasana baru. Perubahan akan menjadi tanda adanya perkembangan. Dan kini memang waktu yang tepat. Adanya Romo-romo baru membawa hal-hal yang baru. Satu hal yang mungkin perlu dicatat bahwa suatu perubahan harus selalu disosialisasikan terlebih dahulu sehingga umat tidak kaget atau bahkan syok menerima suatu perubahan.

Nah, selamat berubah Katedralku. Selamat mengembangkan diri menjadi Paroki yang bisa menjadi panutan dan contoh bagi paroki yang lain. Berkat Tuhan melimpah.

Senin, 10 November 2008

Kebiasaan

Suatu ketika saat aku masih kecil, aku terdorong untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang saat itu begitu merangsang keingintahuanku untuk melakukannya. Satu kali, dua kali, tiga kali… empat kali dan akhirnya aku terus melakukannya. Entah sampai hari berapa kali sesuatu itu aku lakukan. Ratusan atau bahkan ribuan kali, aku sudah tidak dapat menghitungnya bahkan mengingatnya. Ketika saat ini aku memikirkannya lagi, apakah sesuatu ini menguntungkan bagiku? Apakah sesuatu ini memperkembangkan kehidupanku? Ternyata jawabnya tidak sama sekali! Sesuatu ini kini telah menjelma menjadi kebiasaan buruk yang begitu sukar aku hilangkan. Sesuatu ini telah menggerogoti jiwaku, perlahan namun pasti. Enak memang kelihatannya namun ternyata aku tidak mendapatkan apa-apa. Ketika rasa enak itu hilang, nikmat sesaat telah lenyap, timbul penyesalan dan rasa berdosa dalam diriku. Dan ujung-ujungnya, tumbuh keinginan untuk menghapus hal ini. Namun sekali lagi (bahkan berulangkali), ketika niat untuk menghapusnya begitu kuat, di sisi lain ia juga tak kalah kuatnya menarikku untuk melakukannya lagi.

Kadang aku berpikir, apakah niatku hanya ada dalam pikiranku? Apakah di balik niat untuk menghentikannya, justru pikiran bawah sadarku menuntunku untuk terus melakukannya? Apakah aku benar-benar dapat menghapus kebiasaan ini? Tentu semuanya tergantung pada diriku sendiri. Sama halnya ketika pertama kali kebiasaan ini aku lakukan. Aku harus menghentikannya! Dan jika ini memang kebiasaan yang buruk, aku harus bisa menggantikannya dengan kebiasaan yang lebih baik.

Dan ketika aku merenung lebih dalam lagi, ternyata ada beberapa hal yang harus aku lakukan untuk mulai menghapus kebiasaan ini, yaitu:

1. Menyadari bahwa kebiasaan yang aku lakukan ini adalah kebiasaan yang buruk. Kebiasaan yang tidak memberi keuntungan apa-apa bagiku. Kebiasaan yang jika aku terus melakukannya membawa dampak yang tidak baik untuk perkembangan jiwaku.
2. Menumbuhkan niat dan dari hari ke hari semakin memperkuat niat tersebut untuk menghapus kebiasaan ini. Ketika kebiasaan ini mulai menyergap batinku, merasuki pikiranku, mendorong tangan dan kakiku untuk melakukannya, aku harus mengokohkan niat untuk menghentikannya. Stop! Tidak! Berhenti!
3. Menjauhi situasi, kondisi dan keadaan yang memperkembangkan kebiasaan itu. Kadang memang seringkali aku yang menciptakan situasi dimana kebiasaan itu akan berkembang. Aku sendiri yang mencari-cari alasan agar kebiasaan itu dapat terus aku lakukan. Mulai saat ini aku tidak boleh mencoba-coba lagi untuk mengundang situasi ini. Aku harus menghindarinya. Aku harus menghentikannya.
4. Mengganti dengan kebiasaan yang lebih baik. Ketika kebiasaan yang buruk itu muncul dan mulai mengganggu pikiranku, aku harus bisa mengalihkannya dan membawa energi serta semangat untuk melakukan hal yang lebih baik. Hal yang memberi manfaat untuk kehidupanku.
5. Dan di atas semuanya itu aku hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Yang Di Atas. Aku hanya bisa berdoa dan mohon kekuatan untuk melaksanakan niat untuk menghapus kebiasaan buruk ini. Karena jika aku hanya bersandar pada kekuatanku sendiri, aku tidak mampu. Aku justru malah sering jatuh dan jatuh lagi.

Tuhan, aku bersyukur karena malam ini aku ada di hadapanMu,
Aku bersyukur karena Engkau masih memberi kesempatan bagiku untuk bersimpuh di bawah kakiMu.
Aku sadar aku manusia yang lemah.
Aku penuh dosa dan selalu menyakiti Engkau dengan kebiasaan burukku.

Tuhan,
Malam ini aku ingin memohon kekuatan, memohon peneguhan untuk niatku,
Agar aku mampu menghapus kebiasaan buruk ini,
Agar aku mampu menggantikannya dengan kebiasaan yang lebih baik

Tuhan,
Aku berserah kepadaMu
Amin.