Selasa, 28 September 2010

Jika Bisa...

Sudah beberapa hari ini, aku merasa berbeda ketika melewati jalan itu. Arus kendaraan yang biasanya lancar-lancar saja kini menjadi sedikit tersendat dan agak semrawut. Selidik punya selidik, ternyata ada bagian jalan yang rusak dan berlobang. Dan untuk menghindari kecelakaan, dipasanglah papan-papan peringatan untuk menutupi bagian jalan yang rusak tersebut. Akibatnya, jalan semakin sempit sedangkan arus kendaraan tetap dan cenderung bertambah.

Mengapa jalan itu tidak segera diperbaiki? Mengapa ketika jalan itu rusak dan berlobang, tidak ada lagi polisi yang (mau) berjaga di pos polisi, di ujung jalan itu?

Ah… sepertinya aku harus menyetujui apa yang pernah dikatakan oleh teman sekantorku beberapa waktu lalu: “Jika bisa diperlama, mengapa harus dipercepat? Jika bisa bisa diabaikan mengapa harus diperhatikan? Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?”

Ckckckckckck… ternyata, memang inilah budaya yang terjadi di negeri ini.

Senin, 27 September 2010

Damai di hatiku, damailah negeriku

Tulisan itu aku baca beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku baru saja pulang dari gereja setelah mengikuti misa pagi. Di perjalanan menuju ke rumah, aku melihat beberapa becak yang sedang 'parkir' di pinggir jalan. Pada salah satu becak, tepatnya di dekat sandaran tempat duduk, aku menemukan tulisan tersebut. Terpampang secara sederhana, diam, sambil berharap ada orang-orang yang akan membacanya.

Damai di hati. Hidup yang penuh kedamaian. Semua orang pasti menginginkannya. Bukan hanya sekedar keinginan tetapi sudah menjadi kebutuhan yang selalu dicari. Bagaimana hal itu bisa diperoleh? Apakah ketika kita memiliki jabatan yang tinggi, yang membuat banyak orang jadi segan dan menunduk-nunduk, ketika kekuasaan tak terbatas ada di genggaman, saat harta kekayaan melimpah ruah, kita bisa memilikinya? Jawabannya adalah tidak. Jabatan yang tinggi, kekuasaan yang tanpa batas, serta harta kekayaan yang melimpah, membuat banyak orang cenderung selalu berpikir untuk mempertahankannya. Dan karena hal itu, mereka sanggup menggunakan segala cara mulai dari yang baik hingga yang paling jahat sekali pun demi mencapai tujuan tersebut.

Lalu, bagaimana agar damai itu bisa diperoleh? Damai (yang sejati) hanya bisa dirasakan ketika kita mampu bersyukur. Bersyukur dalam segala situasi kehidupan kita. Susah-senang, baik-buruk, mendapat berkat atau musibah. Kebaikan, kesenangan serta berkat yang diperoleh akan selalu menyadarkan kita betapa Allah itu teramat baik dan selalu mencintai kita. Oleh karena itu, kita perlu melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Mampu menjadi saluran berkat dan kebaikan bagi orang lain. Sebaliknya, kesusahan, keburukan, dan musibah, akan mengingatkan kita bahwa kita ini hanyalah manusia yang lemah, yang tidak berdaya. Untuk itu, kita harus selalu ingat dan bersandar kepadaNya. Dia yang sudah memberi hidup, Dia pula yang berkuasa atas kehidupan kita.

Nah, ketika damai itu sudah ada di hati, maka kehidupan kita pun akan menjadi damai. Kita dapat menyelaraskan kehidupan kita dengan orang lain. Membuang segala sifat yang egois, menerima keberadaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan mampu bekerja sama dengan orang lain demi kebaikan bersama.

“Damai di hatiku, damailah negeriku”. Semoga kita mampu mewujudkannya.

Sabtu, 25 September 2010

Kasno

Pagi baru saja berganti dengan siang. Di dekat pos polisi sebelah lampu merah itu, Kasno beristirahat. Di sampingnya tergeletak sapu lidi bertangkai panjang yang menjadi alat kerjanya sehari-hari. Sesaat, ia mengusap peluh yang menetes di dahinya. Pekerjaan sebagai penyapu jalan memang cukup melelahkan. Apalagi, tiap hari ia harus berangkat pagi-pagi. Membersihkan jalanan yang masih lengang agar terlihat bersih sebelum orang-orang beraktifitas.

Meski lelah dan tiap hari berkawan dengan debu, ia tidak pernah mengeluh. Ia justru selalu bersyukur pada Tuhan. Bersyukur atas hidup yang telah diterimanya selama ini. Bersyukur untuk pekerjaan yang sudah 'dilakoninya' hampir 5 tahun ini. Memang hanya sebagai penyapu jalan. Tapi baginya, itu sudah cukup berharga mengingat pendidikannya yang hanya tamatan SMP.

Ia juga sangat bersyukur karena Tuhan sudah memberikan Murti untuknya. Murti, istrinya, perempuan berperawakan kecil dengan wajah yang cantik. Istri yang baik dan setia. Istri yang mau menerima apa adanya dan tidak banyak menuntut.

Dari perkawinannya dengan Murti yang sudah berjalan 6 tahun, lahirlah Redo, putra semata wayangnya yang kini berusia 4 tahun. Buah hati yang amat disayanginya dan menjadi sumber penghiburan di kala penat merasakan beban hidup.

Beban hidup memang dirasakannya semakin berat dari hari ke hari. Semakin menghimpit dan membuatnya harus terus memeras otak, mencari berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, ia tidak pernah malu melakukan pekerjaan apa pun selepas pekerjaan utamanya. Yang penting tidak merugikan orang lain dan selalu dilandasi dengan kejujuran, begitu prinsip yang selalu dipegangnya.

Kamis, 23 September 2010

Jayus

Jayus Surya Pradana. Itulah namaku. Aku, anak bungsu dari keluarga Prawiro. Aku dan keluargaku tinggal di sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Ayahku seorang petani sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kakakku, laki-laki, sering aku panggil dengan sebutan Bagong karena tubuhnya gendut tapi pendek. Umurnya selisih dua tahun denganku.

Semenjak kecil, aku dan kakakku dididik untuk hidup sederhana. Maklumlah, keluarga kami bukan keluarga berada tapi tergolong keluarga yang pas-pasan. Maksudnya, pas ada makanan ya di makan, pas tidak ada ya mesti harus berpuasa. Meski demikian, ayahku selalu berusaha memberikan pendidikan yang terbaik untuk aku dan kakakku. Menurutnya, pendidikan itu penting untuk masa depan dan bisa meningkatkan harkat kehidupan. Lagipula ia tidak ingin anak-anaknya hanya seperti dirinya yang SD saja tidak tamat.

Karena prinsip itulah, ayahku bekerja keras setiap hari. Di sela-sela waktu senggangnya ia mengerjakan pekerjaan apa pun. Asal halal dan menghasilkan uang, pasti akan dilakukannya. Ia juga mewajibkan aku dan kakakku untuk mulai belajar mencari uang sendiri.

Setelah lulus SMA, aku memberanikan diri untuk pergi ke kota. Selain karena alasan mencari pekerjaan yang lebih layak juga karena aku ingin mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Awalnya, ibuku sangat keberatan dan sempat menangis tersedu-sedu. Namun setelah mendapat ’penghiburan’ dari ayah, akhirnya ia luluh dan mengijinkanku pergi.

Ternyata, kehidupan di kota tak seindah bayanganku. Aku harus siap ditolak, berani hidup menggelandang, dan makan seadanya. Tak jarang, aku juga mesti puasa sekian hari karena tidak memiliki uang sepeser pun. Namun, semua itu tidak menghalangi tekadku. Aku ingin mencari kehidupan yang lebih baik.

Rupanya, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik. Karena hasil kerjaku yang cukup baik, aku mulai mendapatkan kepercayaan dari bos dan diangkat sebagai tangan kanannya.

Dua tahun kemudian, aku memutuskan untuk meneruskan pendidikan. Aku mengambil kuliah sore hingga malam hari di sebuah akademi akuntansi.

Meski capek setelah seharian bekerja, aku berusaha tetap fokus dalam kuliahku. Aku selalu belajar dengan sungguh-sungguh. Tak jarang, aku juga mengerjakan tugas-tugas kuliah hingga larut malam. Berkat kerja kerasku itu, aku selesai kuliah tepat waktu bahkan menjadi lulusan terbaik.

Setelah mendapat bekal pendidikan yang cukup baik, aku berusaha mencari pekerjaan baru. Tidak seperti masa sebelumnya, kali ini terasa lebih mudah. Segera saja, aku mendapatkan pekerjaan di lembaga keuangan terkemuka dengan gaji yang tinggi.

Satu setengah tahun bekerja, aku mulai dapat membeli rumah. Aku juga sudah memiliki mobil pribadi. Tabunganku di salah satu bank pemerintah pun mulai menggembung.

Akhirnya, aku dapat mewujudkan impian masa kecilku. Menjadi orang kaya dan memiliki banyak uang. Namun, kekayaan yang terus bertambah mengubah kepribadianku. Aku menjadi orang yang pelit dan egois. Aku terus merasa kurang dan tidak puas. Aku ingin terus menambah kekayaan dan harta bendaku. Aku tidak peduli walau cara yang aku lakukan merugikan orang lain. Yah, aku tidak peduli!

Rabu, 22 September 2010

Kepada Manusia

Bumi sedang meratap
tubuhnya yang dulu indah kini tampak layu
digerus dan digerogoti keegoisan manusia
hutan-hutannya perlahan menghilang
laut dan sungainya semakin kotor akibat sampah
langitnya pun terus dicemari beragam polusi
sementara, aneka sumber daya alam
diambil tanpa perhitungan yang matang

akankah kita terus seperti itu?
berpikir hanya untuk saat ini
tanpa memperhitungkan masa depan?

Ingatlah,
bumi ini hanya satu

Selasa, 21 September 2010

Karena Tidak Peduli

Sejak tiga hari lalu, jalan di dekat pelabuhan itu bertambah ramai. Bukan saja oleh lalu lalang kendaraan yang semakin padat merayap, tapi juga karena kerumunan orang yang ingin menonton. Menonton? Ya, mereka ingin menonton jalan itu yang separuh permukaannya sepanjang hampir 50 meter telah amblas dan tenggelam ke dalam laut. Meski sudah ada tanda peringatan untuk tidak boleh mendekat dan berada di lokasi jalan yang amblas, mereka seolah tidak peduli. Mereka bahkan menjadikan jalan itu sebagai tempat wisata baru.

Hal itu pula yang mendorong Pak Tarno berjualan di tempat itu. Kerumunan orang ditambah siang yang panas menyengat merupakan kombinasi yang pas, yang teramat sayang untuk disia-siakan, apalagi oleh penjual es keliling seperti dirinya. Dan memang, keuntungan yang didapatnya selama dua hari berjualan di tempat ’wisata baru’ itu terhitung cukup memuaskan.

Tapi, manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat tengah asyik menjajakan es jualannya di antara orang-orang yang sedang melihat-lihat, jalan itu tiba-tiba kembali amblas. Orang-orang kaget. Mereka menjerit-jerit tak karuan. Namun, semuanya sudah terlambat. Beberapa berhasil menyelamatkan diri sementara yang lain tenggelam, hilang, ditelan air laut yang berwarna kecoklatan. Termasuk Pak Tarno.

Senin, 20 September 2010

Ternyata...

“Yeahhh… akhirnya!” teriakku saat turun dari angkutan. Lelah dan rasa kantuk yang begitu mendera, seketika lenyap tak berbekas. Berganti dengan kegembiraan yang meluap-luap. Aku kembali merogoh saku kemejaku. Mengambil kartu undangan berwarna biru tua yang sudah mulai lecek. Kubaca lagi rangkaian huruf keemasan yang tertera pada undangan itu. “Mohon kehadiran para sahabat blogger dalam acara KOPDARNAS pada tanggal sekian pukul sekian di ruang A, Gedung X, Jalan Y, Kota Z.”

Gedung X. Yah, tidak salah lagi, pasti gedung yang ada di depan itu. Bergegas aku melangkahkan kaki. Kurasakan detak jantungku semakin tidak karuan. Antara perasaan cemas dan gembira. Cemas karena pasti di tempat itu tidak ada yang aku kenal. Gembira karena meski tidak kenal secara fisik, bayangan pribadi, pemikiran dan perasaan dari orang-orang yang akan kutemui sudah begitu aku akrabi melalui persahabatan di dunia maya.

Benar saja, awalnya memang terasa kaku. Namun setelah saling memperkenalkan diri, semua mencair begitu saja, lumer digerus hangatnya persahabatan. Kami saling berbaur dan segera tenggelam dalam percakapan yang begitu akrab mengenai banyak hal. Tentang tempat tinggal, keluarga, hobi, juga tentang pekerjaan masing-masing. Keakraban kami semakin diteguhkan dan dipersatukan melalui beragam acara dan permainan yang sudah dirancang sedemikian rupa. Tuhan… rasanya aku ingin waktu berhenti saat itu… aku ingin lebih lama lagi menikmati hangatnya persahabatan yang dilandasi oleh kasih. Kasih yang mampu menerima perbedaan. Kasih yang mau memberi dan menerima apa adanya.

Tiba-tiba, tit tit tit… tit tit tit… tit tit tit…, dering alarm hp berbunyi nyaring, memecah kesunyian pagi. Aku tergeragap bangun. Kukucak-kucak mata. Jarum pendek jam yang tergantung di dinding sana masih menunjuk ke angka 4. Huahhh….. aku menguap lebar-lebar. Ternyata… semua hanyalah mimpi. Mimpi yang begitu indah.

nb: postingan ini merupakan posting ulang yang sudah mengalami revisi, sebagai bentuk partisipasi dalam lomba yang diselenggarakan oleh bang Munir

Minggu, 19 September 2010

Terima Kasih Tuhan

Tuhan,
hari ini aku jatuh lagi
entah untuk yang keberapa kali
aku tak mampu lagi menghitungnya
yang aku tahu,
aku kembali melukaiMu
dan membuatMu kecewa

aku tidak pantas
aku begitu hitam
tapi tanganMu masih saja terulur untukku
kasihMu yang tiada batas
terus memeluk raga dan jiwaku

terima kasih Tuhan
syukur atas hidup yang masih Engkau beri
kuatkan aku agar mampu bangkit,
memperbaiki hidupku,
demi membalas kasihMu

Sabtu, 18 September 2010

Jadikan Aku Rendah Hati


Tuhan,
jadikan aku rendah hati
jangan biarkan semua kebaikan yang aku lakukan
menjadi alasan bagiku
untuk lebih dihormati,
untuk lebih dihargai,
untuk lebih dipuji,
untuk lebih diperhatikan
namun, biarlah semua itu
menjadi bukti syukurku kepadaMu
karena Engkau begitu mencintai aku

Tuhan,
jadikan aku selalu rendah hati


gambar diambil dari andreas29.wordpress.com

Jumat, 17 September 2010

Mau Menulis Apa Ya?

Ini adalah pertanyaan ‘klasik’ yang sering hinggap di kepalaku. Kadang kalo pas lagi penuh dengan ide, pertanyaan ini bisa langsung kujawab tanpa berlama-lama. Tinggal duduk di depan komputer, jari-jemari menari di atas keyboard, dan jadilah sebuah tulisan. Namun tak jarang, justru terjadi sebaliknya. Sudah puluhan menit berpikir, ide tak kunjung muncul. Nah, di saat-saat seperti ini, pertanyaan itu begitu menyiksaku.

Mengapa ide bisa muncul begitu mudah bahkan saling susul menyusul tapi di lain waktu terasa seret, hilang, bahkan tidak ada sama sekali? Mungkin jawabannya adalah karena aku kurang fokus. Bukankah sebenarnya ide itu sudah terserak di sekelilingku? Berbagai pengalaman yang aku alami, perjumpaan yang terjadi dengan sesama ciptaan, aneka perasaan yang muncul saat melihat suatu peristiwa, buku-buku, majalah, film, sinetron. Semua itu adalah sumber ide yang tidak pernah kering.

Selain kurang fokus, ada satu hal lagi yang sering menggangguku. Hal itu bernama rasa malas. Ya, malas. Malas berpikir untuk mendapatkan ide. Malas duduk di depan komputer dan mulai mengetik karena suatu ‘alasan’ yang kadang dibuat-buat. Juga, malas jika harus mendisiplinkan diri.

Semua itu menjadi tantangan yang harus aku hadapi. Tantangan yang mesti aku kalahkan karena aku ingin terus menulis. Menulis setiap hari. Mungkin, satu dua kali aku akan terjatuh dan gagal, tapi setelah itu aku harus bangkit, berusaha lagi dengan lebih sungguh-sungguh. Hingga pada akhirnya ketika pertanyaan ‘klasik’ itu kembali muncul, dengan senyum kemenangan aku akan duduk di depan komputer dan mulai menulis. Ada atau tidak ada ide.

Rabu, 15 September 2010

Katanya...

Katanya, negeri ini adalah negeri yang makmur, yang gemah ripah loh jinawi. Kekayaan alamnya melimpah-limpah tak terbatas. Namun, mengapa masih banyak kemiskinan di negeri ini. Masih banyak mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak, mereka yang harus putus sekolah dan tidak bisa bersekolah, mereka yang tidak memiliki pekerjaan yang pantas, mereka yang lebih memilih menanggung penderitaan akibat sakit karena ketiadaan biaya untuk berobat.

Katanya, orang-orang di negeri ini ramah tamah dan murah senyum. Namun anehnya, kekerasan terus saja meningkat dan menjadi konsumsi sehari-hari di televisi. Sedikit saja salah paham, langsung menyulut pertikaian yang tidak jarang menyebabkan nyawa melayang.

Katanya, bhineka tunggal ika dijunjung tinggi di negeri ini. Namun, mengapa masih saja ada orang-orang yang mempermasalahkan dan membesar-besarkan perbedaan. Menganggap dirinya yang terbaik sedangkan orang lain harus diperangi karena dianggap menjadi duri.

Katanya, para wakil rakyat itu berjanji akan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun, ternyata semua itu hanyalah kebohongan semata. Mereka hanya berjuang untuk kepentingannya sendiri.

Katanya, ah... katanya... Ternyata di negeri ini memang terlalu banyak katanya. Terlalu banyak orang yang pintar ngomong dan memberi komentar. Terlalu banyak katanya... sehingga kita menjadi lupa untuk mewujudkannya di dalam tindakan. Andaikata teringat... kita hanya mampu bertindak atas nama diri sendiri, bukan untuk orang lain.

Senin, 13 September 2010

Selamat Ulang Tahun


Adek,
baru beberapa bulan aku dekat denganmu
namun, rasa sayang kian melekat kuat
kita memang bukan saudara akibat pertalian darah
tapi apalah artinya itu
saat rasa ini terus mekar

dan, ketika pagi ini menyembul indah
rona wajahmu begitu ceria bagaikan mentari
senyum manismu menghangatkan jiwaku

Selamat Ulang Tahun, Adek
panjang umurmu dan makin rajin belajarmu,
makin besar sayangmu untuk papa tercinta,
untuk kakak, adek, mbak yang selama ini menjagamu,
untuk akung, untuk emak, dan saudaramu yang lain,
makin dekat engkau dengan Tuhan,
tidak boleh cengeng dan penakut,
dan moga berkatNya
senantiasa melimpah untukmu

Adek,
Selamat Ulang Tahun

pf: 13 September 2000 – 13 September 2010

Minggu, 12 September 2010

Para Jiner


Merasa aneh dengan judul di atas, atau malah bingung? Pastinya itu bukan nama salah satu jenis makanan yang disajikan di hari lebaran ini. Itu juga bukan nama tempat pariwisata yang ada di kota Semarang. Para Jiner adalah sebutan akrab yang aku sematkan pada sekelompok orang, semuanya cewek, yang sering bersama-sama di gereja. Sebutan itu muncul begitu saja. Penyebabnya adalah karena mereka sering kelihatan ngobrol dan online (memanfaatkan hotspot milik gereja) di pojok pastoran gereja yang ada gentongnya. Loh, lalu apa hubungannya? Hehehe... secara guyon... aku menyamakan mereka dengan para jin yang akan keluar saat gentong itu digosok oleh seseorang.

Jadi, Para Jiner itu maksudnya para jin? Eh... tenang... tenang... itu hanya sekedar istilah. Lagi pula mereka adalah orang yang baik. Persahabatan dan kebersamaan di antara mereka juga patut diacungi jempol. Dan kebersamaan itu kian terbukti dua hari ini. Mereka dengan bersemangat saling membantu mengisi koor untuk menyemarakkan misa. Tercatat sebanyak 3 kali hal itu dilakukan. Sabtu misa pk. 17.30 dan Minggu pada misa ke-2 pk. 07.00 dan misa ke-5 pk. 18.15. ”Ini adalah bentuk keterlibatan dari Jiner Choir,” demikian salah satu di antara mereka menyebut.

Kebersamaan yang indah. Kebersamaan yang menghidupkan. Kebersamaan di dalam pelayanan. Mereka dengan mudah akan saling menolong ketika ada salah satu di antara mereka membutuhkan bantuan. Mereka juga akan saling menghibur saat salah satunya mengalami kesedihan.

Semoga kebersamaan ini terus langgeng. Semoga persahabatan di antara mereka juga kian kokoh. Tidak tergerus oleh egoisme, kemarahan, kebencian, dan prasangka negatif yang menjadi arus besar jaman ini. Dan semoga, mereka semakin dekat dengan Tuhan dan aktif memberi pelayanan untuk siapa pun dan kapan pun.

Ayo Para Jiner, tetaplah satu untuk semua dan semua untuk satu!

Sabtu, 11 September 2010

Salib


“Mengapa kamu berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?”

Sabda di atas aku dengar saat mengikuti misa pagi hari ini. Sabda itu mengingatkan aku akan salib. Yah benar, salib! Salib selalu mempunyai empat arah. Ke atas, ke bawah, ke kanan dan kiri. Ke atas sebagai perlambang bahwa kita harus selalu mengingat dan menyembahNya. Dia yang telah memberikan hidup, menjaga, dan merawat kehidupan kita di dunia ini. Ke kanan dan ke kiri menjadi tanda bahwa setelah mendapatkan karunia kehidupan dariNya dengan segala kelebihan dan kekurangan, kita perlu berbagi dengan sesama. Saling menolong, memberi kasih, dan menjadi saluran berkat untuk orang lain. Dan yang terakhir adalah ke bawah untuk mengingatkan kita bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah abadi. Semua akan lenyap dalam sekejap jika itu atas perkenanNya.

Keempat arah itu harus berjalan secara seimbang. Yang satu tidak boleh melebihi yang lain atau mengurangi yang lain.

Maka, tidak ada gunanya kita melakukan kewajiban agama kita dengan tekun jika tutur kata, perbuatan, dan tindakan kita menjadi ’batu sandungan’ bagi orang lain.

Jumat, 10 September 2010

Dunia Pasti Berputar

Dunia pasti berputar
Ada saatnya semua harus berubah
Ingat pasti bertukar
Kita harus siap hadapi semua
Ikhlaskan segalanya
Jalani semua yang ada di dunia

Pertama kali mendengar lagu di atas, aku langsung suka. Liriknya sederhana tetapi sarat makna. Apalagi Charlie, vokalis grup band ST 12, menyanyikannya dengan penuh penghayatan. Suara seraknya yang mendayu-dayu terasa sungguh menyentuh kalbu.

Dunia memang pasti akan berputar. Terus dan terus. Kadang kita ada di atas tetapi bukan tak mungkin suatu saat akan berada di bawah. Saat di atas, jangan membuat kita menjadi sombong, jumawa, bahkan tidak mau kenal lagi dengan sesama. Justru saat seperti itu, menjadi kesempatan bagi kita untuk lebih berbagi, lebih memperhatikan yang lain, mereka yang kekurangan. Sebaliknya ketika ada di bawah, tidak membuat kita nglokro, menyerah, apalagi putus asa dan menyalahkan Tuhan karena membuat hidup kita menderita. Ini menjadi saat bagi kita untuk lebih bertekun dalam usaha dan doa.

Intinya adalah selalu bersyukur dalam keadaan apa pun. Entah di atas maupun di bawah. Bersyukur atas kelebihan (harta yang melimpah) dan kekurangan (hidup yang pas-pasan). Bersyukur karena Ia masih berkenan melimpahkan nafas hidup untuk kita. Semoga kesempatan ini dapat kita pergunakan sebaik-baiknya untuk menjadikan hidup kita semakin bermakna dan berguna bagi orang lain. Saat di atas maupun di bawah.

Kamis, 09 September 2010

Selamat Idul Fitri

Sahabat,
ketika adzan mahgrib bergema sore ini
itu pertanda ramadhan kita tlah usai
segala amalan dan laku yang baik di bulan ini
semoga menjadi berkat melimpah tuk kita
menjadikan kita putih
demi menyambut hari kemenangan

Dan,
pada saat yang begitu indah ini
aku hanya bisa berucap
SELAMAT IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR dan BATIN


Rabu, 08 September 2010

Sebuah Teladan

Malam ini, aku menonton sebuah video pendek. Durasinya hanya 5 menit lebih 32 detik. Meski singkat, tetapi ternyata ceritanya sungguh luar biasa. Mengisahkan tentang seorang pemuda yang sejak lahir sudah tidak memiliki tangan dan kaki. Walau cacad dan tidak sempurna, ia tidak pernah putus asa dan menjadikan semua itu sebagai alasan untuk tidak berusaha dan mengasihani diri sendiri. Justru ketidaksempurnaan itu menjadikannya sebagai pemuda yang tegar. Pemuda yang mandiri, yang tidak menggantungkan kehidupannya dari belas kasihan orang lain. Bahkan, ia mampu menjadi seorang motivator yang handal bagi banyak orang.

Sungguh, cerita ini menohok kesadaranku. Bukankah Tuhan sudah mengaruniakan tangan dan kaki yang sempurna untukku? Apa yang sudah aku lakukan dengannya? Apakah ada lebih banyak kebaikan yang terjadi melalui tangan dan kakiku? Atau justru tangan dan kakiku menjadi ’alat’ yang merugikan orang lain?

Tuhan,
aku bersyukur atas tangan dan kaki ini
yang Engkau berikan secara sempurna

semoga lewat tangan dan kaki ini,
ada lebih banyak kebaikan yang aku lakukan,
ada lebih banyak kasih yang aku berikan,
untuk sesamaku


Selasa, 07 September 2010

Proyek

Malam ini, aku dan beberapa teman yang tergabung dalam Tim Kerja PIA (Pendampingan Iman Anak) mengadakan pertemuan untuk membahas sebuah proyek. Proyek? Eh... jangan keburu menduga yang tidak-tidak. Jangan pula langsung berpikir negatif mendengar kata proyek. Pastinya, ini bukan proyek seperti milik para anggota DPR yang terkesan dipaksakan dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Proyek ini legal dan nggak akan merugikan siapa pun. Proyek ini berkait erat dengan Natal. Yap, benar! Kami memang sedang merencanakan untuk membuat pohon natal. Bukan pohon natal sembarangan tetapi yang sungguh spesial. Kami sebut begitu karena rencananya pohon natal ini akan dibuat dari gelas-gelas air mineral (berbagai merk) yang dirangkai menjadi satu dengan lebar 2 meter dan tinggi 5 meter.

Tentu saja ini bukan proyek dadakan. Ide awal sudah tercetus sejak akhir tahun lalu. Setelah berembug, semuanya menyatakan setuju dan mencanangkan hal ini sebagai proyek bersama yang harus direalisasikan. Dan guna mendukung maksud tersebut, sejak awal tahun ini, kami mulai mengumpulkan gelas-gelas air mineral yang sudah tidak terpakai dari berbagai tempat dan acara/kegiatan. Awalnya, banyak orang yang heran melihat apa yang kami lakukan. Namun lambat laun, mereka bisa mengerti dan ikut mendukung kegiatan kami.

Sungguh, ini memang bukan kerja yang main-main. Apalagi seperti kebiasaan yang sudah-sudah, mendekati akhir tahun, adalah saat-saat yang cukup sibuk bagi kami. Ada banyak hal yang harus kami pikirkan. Persiapan kurikulum pengajaran PIA untuk satu tahun mendatang, mempersiapkan Misa Natal Keluarga dengan segala pernak-perniknya, juga membuat parcel natal untuk mengisi uang kas.

Namun, kami tidak boleh menyerah. Meski harus membagi konsentrasi, kami yakin bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. Syaratnya hanyalah terus menjaga kebersamaan di antara kami. Kebersamaan yang begitu indah. Kebersamaan yang selama ini terus menghidupkan dan menjadi pelita dalam karya pelayanan kami.

Senin, 06 September 2010

Musuh Atau Sahabat

Musuh atau sahabat
mana yang engkau pilih?
yang satu begitu mudah
yang lain terasa sulit

seribu musuh teramat sedikit
namun seorang sahabat
begitu berharga

musuh membuat hati dicekam gelisah,
dikurung prasangka, dan hasrat melukai
tetapi sahabat akan menghangatkan jiwa
dan membuat hidup semakin bermakna

Jika bisa mendapatkan sahabat,
mengapa lebih memilih mencari musuh?

Minggu, 05 September 2010

IMB

Chun, Uya, dan Ongen yang tergabung dalam FUNGKY PAPUA, tak kuasa menahan air mata yang jatuh. Terlihat mereka sangat syok, kaget, dan sedih, bahkan salah satu diantaranya pingsan ketika akhirnya diumumkan bahwa merekalah yang harus meninggalkan panggung IMB (Indonesia Mencari Bakat) malam ini. Perjuangan yang sudah berlangsung hampir tujuh bulan usai sudah. Kebersamaan yang sudah terjalin erat bagaikan saudara harus segera diakhiri.

Yah, panggung IMB yang digelar tiap Sabtu dan Minggu di sebuah stasiun televisi swasta ini memang sangat spesial. Selain menampilkan bakat-bakat menarik dan spektakuler dari para pesertanya, tersaji juga sebuah drama tentang kehidupan. Tentang kerja keras, kemauan untuk terus belajar, mau berkompromi dengan siapapun, tidak egois, berani menerima tantangan, mengerjakan segala sesuatu dengan serius, optimis, selalu semangat, dan memelihara kebersamaan di dalam persaudaraan yang tulus meski di atas panggung harus bersaing satu sama lain.

Maka, tidak mengherankan, ketika salah satu peserta harus keluar, peserta yang lain pun merasa kehilangan. Mereka kemudian saling bertangisan, memberi penghiburan, dan saling memeluk untuk berbagi peneguhan.

Bagi kita, selain menikmati sajian demi sajian yang selalu menarik, tidak ada salahnya untuk mengambil pelajaran-pelajaran berharga baik yang tersurat maupun tersirat. Pun juga kebanggaan bahwa ternyata di negeri ini, negeri yang kita cintai ini, masih ada banyak bakat terpendam yang menunggu kesempatan untuk diasah dan ditampilkan.

Sabtu, 04 September 2010

Maaf, Anda Tidak Hidup Sendiri!

Jangan keliru menafsirkan kalimat di atas. Kalimat itu hanyalah sekedar uneg-uneg yang keluar begitu saja dari dasar hati. Penyebabnya adalah karena semakin banyak ketidakpedulian dan arogansi yang berkembang di sekitar kita.

Terhadap hal ini, jujur, saya sering merasa jengkel, mangkel, marah, dan sedih. Mulai dari pengguna jalan yang seenaknya sendiri main klakson dan salib sana-sini tanpa perhitungan yang matang hingga membuat pengguna jalan yang lain kelabakan. Mereka yang suka menerobos lampu lalu lintas, nekad melaju meskipun menyala merah, dan membuat lalu lintas menjadi semrawut. Mereka yang suka parkir sembarangan dan membuat orang lain tidak memiliki akses untuk parkir atau menggunakan jalan. Mereka yang hobi banget membuang sampah sembarangan. Membuat tempat-tempat umum menjadi kotor dan tidak sedap dipandang mata. Dan masih banyak contoh yang lain lagi.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan terus-terusan melakukan hal itu? Terus saja beranggapan bahwa hanya aku yang berhak, aku yang harus didahulukan, aku yang harus dihormati, aku yang paling berkuasa, aku yang... ?

Maaf, Anda tidak hidup sendiri di dunia ini! Masih ada orang lain yang harus dihargai, dihormati, dan diakui hak-haknya. Anda tidak lebih tinggi daripada orang lain hanya karena Anda lebih kaya, lebih berkuasa, lebih pintar, dan lebih memiliki kesempatan. Anda dan orang lain adalah sederajat karena sama-sama ciptaan Tuhan.

Jumat, 03 September 2010

Ketergantungan

Bu Iin sedang asyik nonton sinetron kegemarannya di televisi. Malam ini adalah episode terakhir dan ia tidak ingin melewatkan sedetikpun pandangan dari depan televisi. ”Sinetronnya bener-bener bagus, ceritanya sangat menyentuh dan menguras air mata. Apalagi para pemerannya ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Pokoknya, bakal nyesel deh kalo sampai tidak nonton,” jelasnya memberi alasan. Sayangnya, karena ketergantungan itu, membuatnya jadi lupa dengan keadaan sekelilingnya. Lupa dengan warungnya yang didatangi oleh tetangga yang butuh membeli sesuatu. Lupa dengan anak semata wayangnya yang minta ditemani saat belajar. Juga lupa dengan suami yang ada di sampingnya.

Pak Ros setali tiga uang dengan Bu Iin. Dia amat tergantung dengan harta kekayaannya. Akibat ketergantungan itu ia tidak rela jika hartanya berkurang. Berkurang No, Bertambah Yes! Itu prinsipnya. Dan akibat keyakinan itu membuatnya melakukan segala cara untuk mengumpulkan harta kekayaan walau itu dengan jalan yang tidak baik dan merugikan orang lain.

Sama seperti Bu Iin dan Pak Ros, kita pun juga memiliki ketergantungan masing-masing. Dan akibat ketergantungan itu sering membuat kita menjadi mandeg, diam, dan tidak mampu (dan mau) melakukan sesuatu tanpanya.

Tentu semua itu tidak benar. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua bisa datang dan pergi secepat kedipan mata. Satu hal yang harus selalu ditanamkan dalam hati: kita datang ke dunia ini tidak membawa apa-apa dan akan kembali kepadaNya juga dengan tangan kosong. Mengapa kita tidak mau melepaskan ketergantungan kita?

Kamis, 02 September 2010

Cinta


Ia adalah bahasan paling menarik di seantero dunia ini. Ia juga menjadi sumber inspirasi berbagai hal dalam kehidupan manusia. Pun, ada begitu banyak definisi yang dikaitkan dengannya. Cinta begitu indah. Cinta yang memberi. Cinta yang tulus. Cinta tidak menyakiti. Cinta itu buta. Dan masih banyak lagi.

Seperti halnya dunia ini, cinta juga memiliki dua sisi yang sulit untuk dipisahkan. Cinta akan kehidupan membuat manusia selalu menghargai ciptaanNya. Entah itu sesama, ciptaan yang lain, juga alam dan lingkungan sekitarnya. Cinta akan kebaikan menjadikan manusia menjauhkan diri dari sikap-sikap yang merugikan sesamanya. Menjunjung tinggi kebenaran dan setia pada perintah-perintahNya. Sebaliknya, cinta akan diri yang terlalu berlebihan, membuat manusia menjadi pribadi yang sombong, egois, dan tidak memiliki penghargaan akan manusia yang lain. Cinta akan uang dan harta membuat manusia gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Menjambret, mencuri, merampok, melakukan korupsi, membunuh, adalah beberapa hal yang sering terjadi.

Manusia ada karena cinta. Cinta sesama manusia, dan terlebih karena cinta Tuhan sang Mahacinta. CintaNya tidak akan pernah luntur dan hilang walau manusia yang begitu dicintaiNya sering lupa dan meninggalkanNya.

Nah, masihkan kita membalas cintaNya dengan cinta yang tidak benar?

Rabu, 01 September 2010

Sebuah Refleksi

Hari demi hari terus berkejaran. Sang waktu pun enggan berhenti walau hanya untuk sedetik. Tak terasa, hari ini September sudah tiba. Itu berarti tinggal empat bulan lagi sang tahun akan berganti. Itu juga berarti, dua bulan lagi rumah mayaku akan genap berusia 2 tahun.

Ah... saatnya untuk memulai refleksi. Apa yang sudah aku lakukan selama ini? Apakah aku sudah melakukan perubahan di dalam hidupku sesuai dengan berbagai harapan yang aku panjatkan di awal tahun? Apakah segala rencana yang sudah aku susun dapat berjalan dengan baik? Apakah targetku tercapai?

Menanggapi aneka pertanyaan itu, aku hanya bisa diam sambil menggelengkan kepala. Ternyata, aku belum banyak berubah. Aku masih ’sama’ seperti tahun sebelumnya. Aku masih terpuruk dalam ’kebiasaan burukku’. Aku masih sering dicengkeram kemalasan. Aku masih suka menunda-nunda pekerjaan. Aku masih... ah... kiranya ada banyak hal lagi yang bisa kupaparkan...

Lalu, apakah aku harus terus diam dan tidak bereaksi apa-apa saat menyadari kenyataan itu? Tidak! Aku harus berusaha lebih gigih lagi. Aku harus punya semangat dan motivasi yang benar untuk melakukan perubahan. Niat saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kesadaran. Kesadaran bahwa baik-buruk, berhasil-gagal, lebih ditentukan oleh diri sendiri. Kesadaran bahwa jika aku memilih untuk diam atau pun bekerja, sang waktu tidak akan pernah menunggu. Dan, akulah yang akan menanggung akibatnya.