Sabtu, 31 Oktober 2009

Topeng


“Huah… panasnya,” ujar Pak Dahlan sembari menyeka keringat yang membanjir di dahinya. Segera ia mempercepat langkahnya, mencari pepohonan di pinggir jalan yang bisa digunakannya untuk berteduh. Barang dagangannya bergerak ke sana-kemari seirama dengan langkah kakinya yang semakin cepat.

Beberapa saat kemudian, Pak Dahlan sudah terlihat di bawah pohon angsana yang tidak seberapa besar. Jari tangannya mengepit sebatang rokok yang barusan dinyalakannya. Sementara, barang dagangannya tergeletak di sampingnya.

Tiba-tiba sebuah sedan BMW abu-abu metalik berhenti tepat di depan tempat Pak Dahlan beristirahat. Dari mobil itu keluar seorang laki-laki parlente mengenakan jas hitam berharga mahal. Dasi dengan warna senada semakin menambah kewibawaan laki-laki tersebut. Sepertinya ia adalah salah satu pejabat tinggi negara. Bergegas ia menghampiri Pak Dahlan.

“Jualan topeng ya pak?” tanya lelaki itu sembari melirik barang dagangan milik Pak Dahlan.

“I.. iya tuan…” jawab Pak Dahlan tergagap. Rupanya kekagetannya belum sirna melihat kedatangan lelaki itu.

“Topeng apa saja pak?” tanya lelaki itu lagi.

“Topeng hantu ada, topeng binatang ada, topeng tokoh-tokoh kartun juga ada. Tuan mencari topeng seperti apa?” Pak Dahlan menjawab dengan ramah.

Lelaki itu sejenak termangu. Diambilnya gulungan kertas di balik saku jasnya. Kemudian diserahkannya gulungan kertas itu kepada Pak Dahlan, “Topeng seperti ini pak… tolong dicarikan ya?!”

Segera Pak Dahlan menerima gulungan kertas tersebut, dibukanya, dan dibacanya perlahan-lahan, Topeng Kamuflase; digunakan untuk menutupi segala pikiran, niat, dan keinginan buruk bin jahat agar terlihat baik bahkan sangat baik di hadapan orang lain. Topeng Konspirasi; digunakan sebagai alat untuk menjebak orang lain yang tidak disukai karena sudah mengusik kenyamanan pribadi yang korup, penuh kecurangan dan ketidakjujuran agar di mata orang lain terlihat sebagai tindakan yang wajar.

“Maaf tuan… saya tidak jualan topeng seperti ini,” kata Pak Dahlan.

”Lho… bapak gimana sich… tadi katanya jualan topeng!!!” Lelaki itu tiba-tiba berkata dengan marah.

“Iya, saya memang jualan topeng tapi bukan topeng seperti yang ada dalam catatan bapak,” jawab Pak Dahlan mencoba bersikap sabar.

“Ah… bapak ini benar-benar payah. Percuma saja saya bicara dengan bapak!!!” Lelaki itu kemudian pergi meninggalkan Pak Dahlan. Setelah menutup pintu mobil dengan suara keras, ia segera menggeber mobil sedan BMWnya dengan kesetanan.

“Oalah… manusia memang aneh. Jelas-jelas topeng itu selalu dipakai tiap hari… lha kok masih saja nyari-nyari di tempat lain. Sudah gitu pake acara marah-marah segala… Ah… dasar…!” guman Pak Dahlan sambil mengelus dada.

*) apakah kita juga (suka) menggunakan topeng dalam kehidupan kita?

Jumat, 30 Oktober 2009

Mengapa Berubah?

Dua orang bersahabat, namanya Tino dan Kasno. Mereka tinggal satu kampung tetapi beda RT. Banyak orang yang menjuluki mereka ‘pasangan serasi’ karena dimana Tino ada di situ pasti Kasno juga ada, pun sebaliknya. Persahabatan mereka sudah terjalin saat mereka duduk di bangku SD hingga kini, saat mereka sudah sama-sama kelas II SMA.

Namun, takdir harus membuat mereka berpisah. Tino akan melanjutkan sekolahnya di kota besar. Orangtua Tino berharap anaknya bisa memiliki pendidikan tinggi, sukses dan berhasil dalam kehidupannya. Dan rasa-rasanya, hal itu tidak mungkin dapat diraih jika Tino masih tinggal di kampung.

Beberapa puluh tahun berlalu. Tino sudah menjadi pejabat tinggi di sebuah BUMN terkenal sedangkan Kasno hidup pas-pasan dan tinggal di sebuah rumah mungil di pinggir kota bersama dengan anak istrinya.

Takdir rupanya kembali mempertemukan mereka. Sayangnya kali ini jauh dari suasana yang membahagiakan. Tino bersama dengan koleganya berencana akan membangun sebuah pabrik, dan untuk itu harus dilakukan penggusuran terhadap beberapa rumah di pinggir kota. Salah satunya rumah milik Kasno. Mereka menganggap bahwa rumah-rumah itu adalah rumah-rumah liar yang berdiri di atas lahan milik pemerintah. Tentu saja rencana ini mendapat tantangan yang sangat keras dari para pemilik rumah.

Tidak ada yang mau mengalah. Semua menganggap dirinya benar sementara pihak lain adalah pihak yang patut dipersalahkan (dikalahkan). Akhirnya, dengan kekuasaan dan limpahan uang yang dimiliki, Tino memaksakan kehendaknya. Ia bersama dengan aparat dengan beberapa alat-alat berat menggusur rumah-rumah itu. Jerit tangis menghiba, sumpah-serapah dan caci-maki yang terus keluar dari mulut-mulut yang kecewa tak lagi dihiraukan. Juga persahabatannya dulu dengan Kasno. Semuanya musnah, hancur tak bersisa.

Kisah di atas hanyalah sekedar ilustrasi. Salah satu fragmen yang menjelaskan sebuah perubahan yang terjadi pada manusia. Mengapa berubah? Apakah karena keadaan, materi berlimpah, kekuasaan yang tiada batas serta nilai-nilai yang tak lagi dianut karena sudah dianggap kedaluarsa?

Pada dasarnya, apa yang ada di dunia ini selalu mengalami perubahan sebab perubahan itu kekal adanya. Perubahan menandakan bahwa sesuatu itu (apapun wujudnya) hidup dan selalu berkembang.

Hal yang kemudian patut direnungkan; perubahan itu akan membawa kita kemana? Ke arah yang positif, yang akan membuat hidup lebih baik atau justru ke arah sebaliknya. Pada hal-hal yang akan membuat kita sengsara, yang merubah kita menjadi manusia yang tak lagi memiliki nurani. Kalau memang yang terjadi adalah demikian, lalu apa artinya? Mengapa mesti berubah?

Ah, pada akhirnya, kita pasti akan sepakat bahwa seorang penjahat yang berubah menjadi orang baik akan lebih berarti dibandingkan seorang alim yang merubah diri menjadi pribadi yang bengis dan jahat.

Kamis, 29 Oktober 2009

Tantangan Baru

Akhirnya… setelah tiga hari rehat dari aktivitas bikin postingan, hari ini aku mulai menulis lagi. Satu pertanyaan yang kemudian muncul: setelah 1 tahun dengan 200 postingan, lalu apa lagi? Pastinya ya… terus menulis. Lagi dan lagi… Dan berkaitan dengan tulis-menulis ini, ada satu inspirasi yang aku dapat dari seorang sahabat blogger. Mbak Fanny namanya. Terus terang, aku salut dengan kehebatannya. Di tengah kesibukannya sebagai seorang notaris, mbak Fanny masih menyempatkan diri mengurusi beberapa blognya secara rutin. Salah satu blognya yaitu Sang Cerpenis Bercerita, beberapa hari lalu bahkan sudah mencapai 500 postingan. Benar-benar mengagumkan!

Membuat 500 postingan dalam jangka waktu yang belum genap 1 tahun tentu bukanlah hal yang main-main. Dibutuhkan semangat dan keseriusan dalam menggeluti aktivitas tersebut.

Lalu, apa kaitannya denganku? Yap, betul sekali… aku juga ingin mencapai postingan yang ke-500. Bedanya dengan mbak Fanny, aku ingin menandai posting ke-500 ini tepat saat blogku berusia 2 tahun.

“Apa kamu yakin bisa melakukannya?” tiba-tiba aja sisi hatiku nyelonong angkat bicara.

“Lho… kenapa enggak yakin? Kalau mbak Fanny aja bisa, kenapa aku enggak? Apa bedanya aku dengan mbak Fanny?” jawabku sedikit ketus.

“Wah ya jelas aja beda. Apa kamu nggak ingat kalau diri kamu itu kadang suka ‘aras-arasen’ (malas). Trus juga seneng nunda-nunda kerjaan. Kadang juga malah bingung sendiri apa yang mesti ditulis/dikerjakan. Nah, maksudku dengan yakin itu ya kayak gitu… Yakin nggak kalau kamu bisa memerangi semua hal negatif tersebut?” tanya sisi hatiku, lagi.

Sejenak aku terdiam. Memang benar apa yang dikatakan sisi hatiku. Kadang hal-hal seperti itu suka sekali mengganggu aktivitasku. Nggak hanya pas bikin tulisan tapi juga sering dalam pekerjaan yang lain.

“Ah… aku pasti bisa! Aku harus tetep fokus, pandai membagi waktu dengan kerjaan pokok, selalu bersemangat, dan menghilangkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang selama ini mengganggu,” ujarku penuh keyakinan.

Yah, 500 postingan saat usia 2 tahun…, itulah tantangan baru yang akan kujalani. Dengan keyakinan dan dukungan dari para sahabat, aku pasti akan mampu meraihnya. Semoga.

Minggu, 25 Oktober 2009

Ah... Leganya...

Mungkin memang ungkapan itu yang tepat untuk menggambarkan perasaan hatiku saat ini. Lega sekaligus bersyukur. Ternyata impian yang dulu pernah hadir dalam pikiranku (baca tulisan ini), malam ini berhasil kuselesaikan. Tepat pada saat satu tahun usia ‘rumah maya’ku ini. Kurasakan untuk menggapai impian itu, ada banyak hambatan yang terus hadir. Rasa malas, badan yang penat, rongrongan pekerjaan pokok yang kian hari semakin bertambah, juga ide yang kadang-kadang tak mau kompromi. Namun, berkat bimbinganNya dan semangat dari para sahabat, perjuangan itu purna sudah (untuk malam ini).

Sebagai wujud syukur atas malam yang indah ini, jujur, aku tidak bisa memberikan apa-apa kepada para sahabat. Hanya sekedar kenangan berupa dua buah award. Award yang menjadi tanda persahabatan yang terus terjalin di antara kita. Persahabatan nan tulus berlandaskan kasih.




Kedua award ini akan kuberikan kepada semua sahabatku. Mereka yang telah berkenan mampir, memberi komentar, sekedar menyapa atau hanya datang untuk melihat-lihat. Terima kasih. Terima kasih karena kedatangan kalian sungguh memberi keindahan untuk ‘rumah maya’ku ini.

Satu Tahun

Tak terasa satu tahun berlalu
rumah yang dulu putih dan tanpa apa-apa
telah berubah menjadi beragam warna
untaian kata yang terus terajut
sapa dan peduli dari sahabat
menjadi hal terindah
yang begitu membahagiakan

Kini,
hanya sebuah ucap yang bisa kuberikan
TERIMA KASIH SAHABAT

Seandainya...

Setiap kali menyaksikan program reality show ‘MINTA TOLONG’ di sebuah stasiun televisi swasta nasional, selalu muncul keharuan yang tiba-tiba merayap di dalam hati. Saat orang yang meminta tolong akhirnya mendapatkan pertolongan (biasanya si penolong adalah orang tak berpunya yang hidupnya pas-pasan). Beberapa saat setelah si peminta tolong pergi, datang orang lain lagi yang pura-pura bertanya (membeli) sesuatu. Sesaat kemudian ia mengeluarkan segepok uang limapuluh atau seratus ribuan, “Ini ada uang untuk Ibu/Bapak… karena Ibu/Bapak telah berbuat baik…” katanya sambil terus melangkah pergi. Si penolong hanya terbengong-bengong ketika menerima uang (yang barangkali seumur-umur baru dilihatnya) itu. Lalu (biasanya), ia pun bersujud syukur, mengucap terima kasih dengan terbata-bata sambil menyusut air mata yang deras mengalir. Kemudian sambil berlari-lari, ia segera mengabarkan ‘sukacita’ ini kepada suami, istri atau anak-anak. Mereka pun saling berpelukan sambil menangis bahagia.

Kebahagiaan ini tentu adalah hal yang sangat wajar karena dengan segepok uang yang sudah diterima, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meneruskan hidup. Membayar biasa SPP anak-anak yang sudah telat selama 3 bulan. Memperbaiki rumah yang sudah sedemikian reyot dengan atap yang bocor di sana-sini. Membeli susu untuk si kecil. Atau untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari.

Segepok uang yang sama, bisa memiliki arti yang lain jika yang menerimanya adalah orang yang memiliki banyak uang (kaya). Barangkali ia hanya memandang sebelah mata dan menganggap hal itu biasa-biasa saja. Sebab bagi si kaya, segepok uang itu sama nilainya dengan jumlah uang yang sering dihabiskan untuk berbelanja di mal-mal, main ke diskotik, makan di restoran terkenal, pesiar ke tempat-tempat wisata hingga menginap di hotel bintang lima.

Mengapa harus ada orang miskin dan orang kaya? Mengapa masih ada orang-orang yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan, sandang, pendidikan, dan papannya sementara ada orang lain lagi yang begitu mudah menghambur-hamburkan uang untuk menikmati semua hal itu? Apakah Tuhan telah bersikap tidak adil?

Tentu ada maksud di balik semua itu. Sebab kita harus selalu percaya bahwa Tuhan maha penyayang dan berlimpah kasih. Dan sebagai wujud syukur atas kasih yang sudah kita terima, kita diharapkan juga bisa berlaku sama terhadap sesama terutama untuk mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir.

Ah... seandainya saja kita selalu bisa menaburkan kebaikan kepada mereka yang membutuhkan (yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir) dengan penuh kesadaran dan ketulusan, betapa menjadi indah dunia ini. Semoga.

Sabtu, 24 Oktober 2009

Pak Mardi

Malam bertambah larut. Pak Mardi duduk terpekur. Diam. Pandangannya kosong, menatap ke arah jalan raya yang mulai sepi dari lalu lalang kendaraan. Sesekali masih terlihat satu dua orang yang tengah berjalan kaki, entah mau kemana.

Pandangannya kemudian beralih ke arah gambar-gambar yang berada di sampingnya. Sudah seminggu ini ia berjualan gambar-gambar itu setiap malam, di sebuah emperan toko yang sudah lama tutup. Gambar-gambar itu saat ini menjadi pilihan mata pencahariannya yang paling realistis setelah ia tak sanggup lagi bekerja sebagai kuli bangunan. Yah, sebuah kecelakaan kerja telah membuatnya mengambil keputusan itu. Kecelakaan yang membuat kaki kirinya menjadi sulit untuk digerakkan. Sementara ia tak memiliki kepandaian yang lain. Maklum, SMA saja ia tidak tamat.

Sejenak, Pak Mardi menghela napas. Perasaannya gundah. Sudah sedari petang saat ia mulai membuka dagangannya hingga malam semakin larut, tidak ada satu orang pun yang datang. Terbayang di benaknya wajah Marni, istrinya, dan Galih, putra semata wayangnya, yang sedang menunggu di rumah.

Marni. Ah… mengingat istrinya itu, Pak Mardi selalu bersyukur. Ternyata pilihannya memang tidak keliru. Marni selalu nrimo dan tidak pernah menuntut macam-macam. Kadang Pak Mardi sendiri yang merasa malu karena selama 10 tahun pernikahan mereka, ia belum juga dapat membahagiakan istrinya. “Tidak apa mas, aku sudah sangat bahagia dengan kehadiran Galih…” begitu ujar Marni jika ia mengungkapkan perasaan itu.

Kehadiran Galih memang telah mengubah semuanya. Tangisan, tawa riang dan segala tingkah polahnya menjadi sumber penghiburan bagi ayah dan ibunya. Sejak saat itu pula, Pak Mardi semakin bersemangat dan tekun melakukan pekerjaannya.

Namun, mencari uang memang tidak mudah. Hanya bermodalkan semangat dan ketekunan saja tidak akan berarti jika kesempatan itu tidak ada. Sering, Pak Mardi merasa iri dengan para anggota DPR yang menyebut dirinya sebagai wakil rakyat. Lewat berbagai tayangan televisi, ia melihat dan mendengar kinerja para wakil rakyat itu jauh dari harapan. Mereka malah terlihat sibuk sendiri dengan berbagai kepentingan pribadinya. Yang lebih parah, ada beberapa dari mereka yang tega menumpuk kekayaan dari hasil korupsi dan kolusi.

Ah… memikirkan hal itu, kadang membuat Pak Mardi tergoda untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Menipu, menjual barang haram (seperti tawaran salah satu teman karibnya yang saat ini sudah menjadi pecandu obat-obat terlarang), dan mencuri. Namun, setiap kali keinginan itu muncul, di saat yang sama ada suara yang selalu mengingatkannya. “Lebih baik menjadi orang miskin yang jujur daripada orang kaya yang penuh tipu muslihat,” pesan ayahnya suatu ketika.

Tiba-tiba lamunannya buyar. Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depan Pak Mardi. Dari mobil itu keluar seorang pria berbadan tegap dengan langkah tergesa. Menghampirinya.

“Ada gambar-gambar binatang yang dilindungi pak? Anak saya sangat membutuhkannya untuk pelajarannya esok hari. Sudah beberapa toko buku saya datangi tapi tidak ada yang menjualnya,” kata orang itu dengan ramah.

“Oh… ada… ada pak. Coba saya cari sebentar…” Pak Mardi segera membolak-balik gambar-gambar yang dipajangnya. Sesaat kemudian ia menyunggingkan senyum. “Ini pak gambarnya,” lanjutnya sambil memberikan gambar yang dimaksud.

Orang itu segera menerima gambar dari tangan Pak Mardi. Setelah melihat-lihat sejenak, ia merogoh sakunya dan memberikan lembaran seratus ribuan.

“Maaf pak, harganya hanya sepuluh ribu. Kalau uangnya segitu, saya tidak punya kembaliannya,” kata Pak Mardi.

“Tidak usah dikembalikan pak. Ini sudah rejeki bapak…,” jawab orang itu sambil bergegas masuk ke dalam mobilnya. Beberapa detik kemudian mobil sedan itu melaju meninggalkan Pak Mardi yang masih terbengong-bengong, tak percaya.

Ahh...

Hari ini negeriku gempar. Presiden, seluruh jajaran menteri, dan wakil-wakil rakyat yang baru dilantik beberapa hari lalu memutuskan untuk tidak menerima gaji sepeserpun dari negara sebelum kehidupan seluruh rakyat menjadi sejahtera. Agar hal itu menjadi suatu keputusan yang mengikat, Presiden kemudian menerbitkan sebuah PERPU.

Niat baik pemerintah ini ternyata juga membuat para koruptor dan orang-orang yang baru ‘magang’ jadi koruptor merasa trenyuh. Mereka sangat terharu dan guna menghilangkan rasa itu, Persatuan Koruptor Seluruh Negeri (PPSN) yang menjadi wadah bagi para koruptor, mantan koruptor dan calon koruptor, baik yang tinggal di dalam negeri maupun di negara lain, memutuskan untuk segera bertobat. Sebagai wujud dari pertobatan itu mereka menyerahkan seluruh harta hasil korupsi serta separuh harta milik pribadi kepada pemerintah untuk dikelola dan digunakan sebagai modal yang akan ditambahkan dalam proyek mensejahterakan rakyat.

Tiba-tiba…. bumi berguncang. Getarannya yang pelan namun begitu terasa membuat lampu ruang tengah bergoyang-goyang. Aku pun terbangun dari tidur. Sambil mengucak-ngucak mata yang tidak gatal, aku mengguman sendiri, “Ahh… ternyata cuma mimpi…”

Jumat, 23 Oktober 2009

Keterlibatan

Sebuah awal yang bagus. Paling tidak kesan itulah yang tertangkap ketika melihat dan mengikuti pertemuan Tim Kerja PIA (Pendampingan Iman Anak) Kamis kemarin. Dari 25 surat undangan yang disebar ternyata hampir 2/3 undangan yang menyempatkan diri untuk datang. Tentu saja hal ini merupakan surprise bagi kami karena melihat dari pengalaman yang sudah-sudah, setiap kali kami mengadakan pertemuan, kurang dari separuh undangan yang mau datang. Itupun orang yang itu-itu saja.

Pertemuan malam itu adalah pertemuan pertama kami setelah dilantik beberapa hari lalu, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Gereja tanggal 7 Oktober. Pembahasan difokuskan untuk mengevaluasi program-program kegiatan yang dilaksanakan pada kepengurusan periode lalu, mencatat berbagai kendala yang ditemui dan mencari jalan pemecahan terhadap permasalahan.

Dari hasil pembicaraan, ada beberapa hal yang menjadi catatan bagi kami. Pertama, masalah pendampingan anak-anak setiap hari minggu di gereja. Melihat kecenderungan akhir-akhir ini, anak-anak yang mau mengikuti kegiatan dirasa semakin berkurang. Mereka lebih tertarik untuk beraktifitas sendiri di halaman gereja. Tentu saja masalah ini adalah PR yang harus segera dicari jalan keluarnya. Bagaimana menciptakan kegiatan pendampingan yang menarik, membuat anak betah dan terlibat secara aktif serta memotivasi orangtua agar turut mendorong anak-anaknya untuk mengikuti kegiatan.

Kedua, masalah keterlibatan pendamping. Awalnya kami merasa cukup optimis pada saat mengadakan kegiatan rekoleksi untuk calon pendamping dan pendamping awal tahun lalu. Ada banyak pribadi (orang-orang baru) yang turut berpartisipasi dan beberapa kemudian menyatakan mau terlibat secara aktif dalam kegiatan mendampingi anak-anak. Namun setelah sekian waktu berlalu, proses seleksi alam berjalan, secara perlahan, satu demi satu mereka mulai menghilang (baca: tidak aktif lagi), hingga hanya menyisakan pendamping lama yang hanya itu-itu saja.

Kok hanya itu-itu saja? Mungkin memang keluhan itu yang sering terdengar di telinga kami. Dan sepertinya hal ini juga dirasakan oleh berbagai paguyuban yang ada di gereja kami. Parahnya, orang yang sama bisa terlibat dalam berbagai macam paguyuban. Ya di PIA, Lektor (pembaca firman tiap minggu di gereja), Kaum Muda, Komsos (Komunikasi Sosial) dan masih banyak lagi.

Apakah memang hanya orang yang itu-itu saja yang mau terlibat dalam (berbagai) kegiatan? Apakah tidak ada orang lain lagi yang mau terlibat? Bagaimana dengan proses kaderisasi jika suatu saat orang (yang itu-itu saja) mulai mengundurkan diri (baca: tidak aktif lagi)?

Keterlibatan memang tidak bisa dipaksa-paksa. Semua harus keluar dari hati; kesadaran, kerelaan dan ketulusan untuk ikut berpartisipasi. Karena tidak ada keuntungan materi yang akan diperoleh. Hanya kepuasan batin, rasa syukur dan kegembiraan dalam menjalani hari.

Nah, maukah kita ikut terlibat dalam pelayanan di manapun kita berada, tanpa pernah memperhitungkan untung dan rugi berdasarkan materi, sebagai wujud syukur atas banyak karunia yang sudah kita terima dari Tuhan?

Kamis, 22 Oktober 2009

Melihat Masa Lalu

Ini cerita tentang seseorang bernama Rio. Beberapa tahun yang lalu, Rio adalah rekan kerja di kantor. Orangnya sedikit pendiam, ramah dan murah senyum. Meski satu kantor, tidak setiap hari aku bisa bertemu dengannya. Maklum, kantor kami memang memiliki dua jenis usaha yang berjalan bersama. Satu bergerak di bidang penjualan produk-produk pertanian dan lainnya di bidang jasa penanggulangan rayap (termite control). Aku di melayani di toko sedangkan Rio adalah petugas lapangan jasa rayap.

Suatu ketika pada jam istirahat siang, aku melihat Rio tengah duduk diam di gudang belakang. Saat kudekati ternyata ia tengah membaca sesuatu.

“Lagi sibuk apa, mas?” sapaku sambil terus duduk di sebelahnya.

“Eh.. mas Roni. Enggg… ini mas lagi belajar…” jawabnya sedikit kaget.

Kuamati buku yang sedang dipegangnya dengan rasa penasaran. “Mas Rio kuliah lagi ya? Kuliah di mana? Ngambil jurusan apa?” berondongku ingin tahu.

Rio agak kikuk mendengar pertanyaan-pertanyaanku yang saling bersahutan. Sejenak ia menutup buku yang dipegangnya sebelum menjawab, “Iya mas… aku kuliah di Universitas Tri Darma ngambil jurusan ekonomi…”

“Wah, hebat mas…” ujarku dengan penuh kekaguman.

Dua bulan setelah percakapan itu, Rio mengundurkan diri dari pekerjaannya. Saat kutanya apa alasannya, ia berujar,”Biar bisa konsentrasi mas karena sebentar lagi ada praktek kerja lapangan yang mesti dijalani.”

Waktu kembali berjalan seperti biasanya. Aku pun tenggelam dengan kesibukan di kantor yang dari hari ke hari semakin bertambah. Kabar tentang Rio bak hilang ditelan bumi.

Namun, semua itu berubah sejak sebulan yang lalu. Seperti biasanya siang itu aku sedang sibuk melayani pembeli yang tak henti-hentinya bertanya ini dan itu ketika kulihat sebuah sepeda motor berhenti di depan kantor. Beberapa saat kemudian, pengendara sepeda motor itu masuk sambil menggandeng seorang gadis kecil berparas ayu. Dari jauh kulihat ia tersenyum kepadaku. Sesaat aku agak pangling, siapa orang ini? Namun kebingungan itu seketika berubah menjadi suatu kegembiraan. Ternyata ia adalah Rio.

Dari kesan yang kudapat setelah sekian lama berpisah, Rio tak banyak berubah. Ia tetaplah pribadi yang ramah dan hangat. Kini, Rio sudah berkeluarga dan memiliki satu bidadari kecil bernama Enes yang berumur 4 tahun. Dari informasi seorang teman kantor kuketahui ternyata Rio sudah menjadi seorang pengusaha yang sukses.

Sejak saat itu, Rio semakin sering datang ke kantor. Kadang ia sengaja datang untuk membeli barang tertentu tapi sering pula ia hanya ngobrol-ngobrol di gudang belakang dengan orang-orang yang dulu pernah menjadi rekannya. Katanya, ia ingin menjaga tali silaturahmi agar persahabatan yang dulu pernah terjalin tidak putus begitu saja.

Ah, Rio, aku semakin kagum denganmu. Meski sudah sukses (dan kaya) engkau tidak pernah melupakan kami. Engkau tetap mengingat kami sebagai bagian dari kehidupanmu.

Rabu, 21 Oktober 2009

Aku Rindu

Aku rindu pada kejujuran
yang dulu selalu diajarkan oleh ayahku
benar adalah benar
dan salah tetaplah menjadi salah

Aku rindu pada kerelaan dan ketulusan
seperti yang sering ditunjukkan oleh ibuku
saat ia terbangun dalam lelah di pagi buta
karena rengek kecilku
yang tidak pernah kenal kompromi

Aku rindu pada cinta
yang membuatku menjadi ada
membuat kehidupan menjadi berarti
dan penuh warna

Aku rindu pada nurani
yang tak lelah menegur diri

Mengapa semua itu tak lagi punya arti?

Selasa, 20 Oktober 2009

Aku Melihat Tuhan

Aku melihat Tuhan pagi ini
ketika kudapati seorang nenek buta yang renta
kebingungan di pinggir jalan
sementara aku hanya terdiam
tak peduli

Aku melihat Tuhan siang ini
saat seorang wanita
dengan anak kecil di gendongan
melolong histeris
melihat rumah kardusnya yang hancur
diobrak-abrik petugas penertiban
tangis yang menghiba
tenggelam oleh kecongkakan dan angkara murka
tak ada yang mau peduli
juga aku

Aku melihat Tuhan sore ini
saat orang-orang yang kelaparan
datang di depan rumah
membuatku jijik
hingga dengan hati yang membatu
kuusir mereka
tanpa memberi apa-apa


(Sebab sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku)

Menunggu Telepon Berdering

Pak Ridwan gelisah. Berkali-kali ia mondar-mandir di ruang tengah rumahnya yang luas. Berkali-kali pula ia melihat telepon yang tergeletak di meja pojok dekat televisi. Sedari pagi dering telepon yang ditunggu-tunggunya tidak kunjung tiba. Dering telepon yang diyakininya akan menjadi kesempatan untuk meningkatkan martabatnya, harga dirinya dan tentu saja kekayaannya. Dering telepon itu adalah panggilan dari sang Presiden yang akan menjadikannya calon menteri di kabinet pemerintahan yang baru.

Sebenarnya, menjadi menteri bukanlah pengalaman baru bagi Pak Ridwan sebab pada periode pemerintahan yang lalu, ia sudah berkesempatan menjadi salah satu pembantu presiden. Saat itu ia dipercaya menangani urusan ekonomi agar membuat rakyat sejahtera atau disingkat MENKO MERAJAH. Menurut perasaannya, hasil kerjanya saat itu cukup memuaskan karena ia berhasil mengendalikan harga-harga supaya tidak terus naik, mendatangkan beras impor untuk menanggulangi kekurangan pangan di beberapa daerah serta memberikan program bantuan untuk rakyat miskin. Pak Ridwan tidak peduli jika ada suara-suara sumbang yang mempertanyakan berbagai kebijakannya yang dinilai menguntungkan pihak-pihak tertentu. Ia juga menyangkal bila dikait-kaitkan dengan kasus penyelewengan dana bantuan untuk rakyat miskin yang sedang diselidiki oleh polisi.

“Kring…..” tiba-tiba telepon itu berdering. Suaranya nyaring sekali hingga membuat Pak Ridwan terlonjak kegirangan. Bergegas setengah berlari, ia mengangkat gagang telepon, “Halo selamat siang, dengan Pak Ridwan di sini… ada yang bisa saya bantu?”

“Pak, ini aku lagi di mal MEGAHNYA. Ada berlian bagus yang hendak kubeli tapi ternyata uang di credit cardku tidak cukup. Tolong segera transfer 10 juta ya pak… “ suara di seberang sana memerintah, setengah memaksa. Rupanya telepon itu dari Bu Ridwan, istrinya yang memang gemar sekali berbelanja.

“Ah… ibu selalu saja begitu. Sudah tahu uangnya kurang masih saja membeli barang yang mahal-mahal,” gerutu Pak Ridwan. “Tunggu sebentar, nanti segera aku transfer…” lanjutnya sembari menutup telepon.

Satu jam berlalu ketika telepon itu berdering lagi.

“Halo, selamat siang, dengan Bapak Ridwan?” suara di seberang terdengar di telepon.

“Ya, saya sendiri. Ini dengan siapa?”

“Saya Ninda dari Paguyuban Mahasiswa Peduli Rakyat Miskin. Saya mau menanyakan tindak lanjut proposal yang sudah saya kirim ke rumah bapak tiga hari lalu. Apakah Bapak bersedia membantu kami?” terang suara di seberang.

Pak Ridwan terdiam. Ia ingat, beberapa hari lalu memang ada orang yang menyerahkan sebuah proposal kepadanya. “Maaf mbak, saat ini saya tidak bisa membantu. Saya lagi butuh banyak uang untuk keperluan keluarga saya. Mungkin lain kali…” jawab Pak Ridwan.

“Kalau memang begitu, saya minta maaf pak. Besok pagi saya akan datang ke rumah untuk mengambil proposal. Selamat siang,” suara di seberang mengakhiri pembicaraan.

“Uh… selalu saja begitu. Proposal, pemintaan sumbangan ini-itu. Memangnya cari uang itu gampang. Okelah… kalau itu uang dari kantor, kalau duwit pribadi ya nanti-nanti dulu… Mumpung lagi punya jabatan, punya wewenang… sebaiknya menumpuk harta untuk kebutuhan keluarga. La…giliran udah banyak lha kok malah disumbangkan… enaknya!!!,” batin Pak Ridwan.

Waktu terus merambat. Tak terasa sore mulai menjelang. Pak Ridwan kelihatan semakin gusar karena apa yang ditunggu-tunggunya tidak kunjung tiba. Sepi. Istrinya belum datang. Pun juga Nando, anak semata wayangnya yang kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri.

Memikirkan Nando, selalu membuat Pak Ridwan jengkel. Bagaimana tidak? Anak itu selalu saja minta uang tapi kalau ditanya untuk apa, tidak pernah menjawab jujur. Jika tidak dituruti Nando selalu mengancam tidak mau kuliah lagi. Duhhhh… pusing….

Tiba-tiba telepon berdering kembali.

“Selamat sore, bisa bicara dengan Bapak Ridwan?” sebuah suara bernada berat terdengar.

“Ya, saya sendiri. Ada yang bisa saya Bantu?” jawab Pak Ridwan.

“Saya Dr. Hendri dari rumah sakit PUNYA KITA. Ini tentang anak bapak…”

“Ada apa dengan anak saya???”

“Tenang… tenang pak… Saya harap bapak terus memohonkan yang terbaik. Beberapa menit lalu beberapa orang membawa anak bapak ke tempat kami. Ia ditemukan overdosis dan saat ini kondisinya sedang kritis…”

Dueennnnng… Palu yang besar seakan menghantam kepala Pak Ridwan. Telepon yang digenggamnya terjatuh. Tiba-tiba saja dadanya terasa sesak. Keringat dingin segera menetes dengan deras. Kemudian semuanya menjadi gelap. Sepi. Hanya semilir angin sore yang menerbangkan dedaunan kering. Jatuh ke bumi.

Senin, 19 Oktober 2009

Mengapa?

Tuan,
kami tak mampu lagi berkata-kata
ketika melihatmu saling berbagi kekuasaan
janji yang pernah kau ucap
untuk membuat kami sejahtera
ternyata hanyalah janji manis
yang tak pernah terbukti

Tuan,
di saat kami lelah
memikirkan beban hidup yang tak kunjung terurai
soal pangan, sandang, papan,
juga kesempatan kerja yang tak pernah ada
Engkau malah bercanda ria
sebab wewenang dan kekayaan yang berlimpah

mengapa Tuan?

Minggu, 18 Oktober 2009

Jangan Memandang Muka

“Uhhhh… panas sekali siang ini!” guman Pak Roiz sambil berkali-kali menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Lalu, diambilnya secarik kertas kumal di saku bajunya. “Ehmmm… kamar jenasah Melati…,” diejanya tulisan yang tertera di kertas itu. Segera ia bergegas untuk mencari ruangan tersebut.

Di antara ayunan langkahnya, Pak Roiz teringat kembali pembicaraan melalui telepon beberapa menit yang lalu. Waktu itu ia sedang asyik memberi makan si Manis, kucing belang hitam piaraannya, ketika tiba-tiba suara telepon nyaring terdengar. “Halo selamat siang… bapak mencari siapa?” tanya Pak Roiz.

“Ehmmm… benarkah ini rumah Pak Roiz?” ujar suara di seberang.

“Ya… saya sendiri. Bapak siapa ya?” tanya Pak Roiz, lagi.

“Saya Gunadi putra Ibu Wiryo yang dulu pernah menjadi tetangga bapak. Siang ini saya sangat membutuhkan bantuan bapak. Kebetulan hari ini adik ibu saya meninggal. Saya sudah berusaha mencari romo kemana-mana untuk memimpin pemberkatan jenasah siang ini. Tapi ternyata tidak berhasil. Harapan saya satu-satunya tinggal kepada bapak…” terang suara di seberang panjang lebar.

Pak Roiz terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang barusan dikatakan oleh lawan bicaranya. Bu Wiryo… rasanya nama itu memang sudah tidak asing lagi baginya. Hampir enam bulan yang lalu, Bu Wiryo adalah tetangganya. Bu Wiryo adalah sosok tetangga yang baik. Meski bergelimang kekayaan ia tidak pernah bersikap sombong dan egois. Malahan ia kerapkali membantu tetangganya yang sedang mengalami masalah. Entah kenapa, tiba-tiba saja Bu Wiryo memutuskan untuk pindah rumah.

KAMAR JENASAH MELATI. Sebuah tulisan besar terpampang di hadapan Pak Roiz. “Ah… ternyata sudah sampai, tapi kok masih sepi…” batinnya.

Tiba-tiba saja seorang wanita gemuk berparas cantik dengan dandanan mewah dan sedikit menor serta rentengan gelang di kedua belah tangannya muncul di hadapan Pak Roiz.

“Ada perlu apa, pak!” kata wanita itu sedikit ketus sambil memandang Pak Roiz penuh selidik mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Ehmmm… apakah benar di sini disemayamkan jenasah bapak Gani?” tanya Pak Roiz dengan perasaan jengah. Ia merasa risih diperhatikan seperti itu. Maklum saja, pakaian yang dikenakannya memang sudah lusuh dan hampir pudar warnanya.

“Benar. Ada perlu apa bapak menanyakan hal itu!” ujar wanita itu, angkuh.

“Saya tadi disuruh ke sini untuk memimpin pemberkatan jenasah bapak Gani,” jelas Pak Roiz.

“Sebaiknya bapak pergi saja karena jenasah bapak Gani sudah ada yang mengurus!” kata wanita itu pendek sambil melangkah meninggalkan Pak Roiz.

Pak Roiz hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia sangat dongkol mendengar ucapan wanita itu. Namun perasaan itu coba ditekannya. Bukankah apa yang dilakukannya adalah bagian dari pelayanan? Kemudian ia bergegas pergi meninggalkan kamar jenasah itu.

Baru saja Pak Roiz menstarter sepeda motornya, hape di saku bajunya berdering. “Ya… dengan Pak Roiz di sini. Ada yang bisa saya bantu?”

“Ini Bu Wiryo. Pak Roiz sudah sampai di mana? Saya tunggu-tunggu dari tadi kok belum kelihatan?”

“Maaf bu, saya tadi sudah sampai di sana tapi tiba-tiba saja seorang ibu menyuruh saya pergi. Katanya sudah ada yang mengurus…,”

“Sebaiknya bapak segera ke sini karena memang hanya bapaklah yang kami tunggu…”

Akhirnya, Pak Roiz kembali ke kamar jenasah Melati. Dan ia pun memimpin pemberkatan jenasah siang itu sesuai permintaan Bu Wiryo. Ketika tengah melepas jubah yang barusan dipakainya, seorang wanita menghampirinya. Ternyata dia adalah wanita yang tadi menyuruhnya pergi.

“Maafkan saya pak, saya tidak tahu ternyata bapaklah yang ditunggu-tunggu oleh adik saya,”

Pak Roiz hanya bisa mengangguk.

Sabtu, 17 Oktober 2009

Sebuah Kesadaran

Malam baru saja beranjak. Di sebuah rumah makan siap saji, tampak beberapa orang sedang bergerombol. Sambil mengobrol sana-sini, kadang diselingi tawa renyah seolah tanpa beban, mereka menikmati makan malam dengan penuh kegembiraan. Beberapa menit kemudian, setelah membersihkan tangan, mereka melangkah pergi, meninggalkan sisa-sisa makanan yang tergeletak di atas meja.

Saat pagi masih malu-malu menyapa, seorang lelaki datang. Ia mengayuh sebuah sepeda butut yang di salah satu sisinya terpasang sebuah ember besar. Setelah memarkirkan sepedanya, lelaki itu segera mengambil ember besar yang dibawanya dan melangkah masuk ke bagian belakang rumah makan siap saji itu. Beberapa karyawan yang masih jaga, yang kebetulan bertemu dengannya menyapanya ramah. Rupanya, kedatangan lelaki itu sudah menjadi hal yang biasa. Beberapa saat kemudian, seorang karyawan membawa bungkusan plastik besar. Sambil berbasa-basi sejenak, karyawan itu kemudian memasukkan bungkusan plastik besar itu ke dalam ember yang dibawa lelaki itu.

Suasana beralih ke sebuah perkampungan kumuh. Dari kejauhan, tampak seorang lelaki mengayuh sepeda bututnya. Ketika sampai di batas kampung, tiba-tiba serombongan anak kecil yang kusut, kurus dan kumal mengerubutinya. Lelaki itu berhenti. Sambil bernyanyi ia mengambil ember yang dibawanya, membuka bungkusan plastik di dalam ember itu dan segera membagi-bagikan isinya kepada anak-anak kecil yang mengerubutinya. Mereka tampak senang bahkan beberapa ada yang saling berebut. Maklum, anak-anak kecil itu tengah kelaparan. Mereka tidak lagi peduli bahwa apa yang mereka makan adalah sisa makanan dari sebuah rumah makan yang sudah dibuang orang.

Kisah di atas adalah sebuah film pendek yang kebetulan diputar dalam pameran Hari Pangan Nasional yang digelar di gerejaku kemarin. Menyaksikan film itu berbagai perasaan bercampur aduk menjadi satu. Jijik, haru, sedih sekaligus ada yang seakan menampar kepalaku. Aku seakan ditohok oleh sebuah kesadaran, bukankah aku juga sama dengan orang-orang di rumah makan itu? Bukankah aku selama ini juga sering menyisakan makanan hanya karena alasan tidak suka atau merasa sudah kenyang? Sering juga aku mengeluh karena makanan yang tidak enak, yang membuatku tidak lagi berselera padahal makanan itu sudah dipersiapkan dengan susah payah oleh ibuku? Bukankah itu berarti aku tidak tahu mengucap syukur? Bersyukur karena aku masih bisa makan tiga kali sehari dengan nasi serta lauk pauk yang komplit sementara di luar sana masih banyak orang yang kelaparan.

Ah… semoga kesadaran ini membawa perubahan bagiku. Berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan semakin peka dengan sesama.

Kamis, 15 Oktober 2009

Kursi

Aku adalah kursi yang bukan sembarang kursi. Aku selalu menjadi rebutan banyak orang. Anehnya, hanya karena aku orang-orang yang suka berebut itu menjadi bertingkah aneh. Yang tadinya enggak pernah peduli tiba-tiba aja jadi sok perhatian. Orang-orang yang dulunya dianggap hanya sebagai pengganggu didekati agar memperoleh simpati. Janji-janji manis terus diobral sepanjang jalan. Berbagai cara, akal licik, hingga teori konspirasi dicari-cari agar jalan semakin lebar dan lapang. Bahkan beberapa ada yang tanpa sungkan dan malu meminta jatah yang ‘katanya’ sudah menjadi haknya.

Aku adalah kursi yang bukan sembarang kursi. Saking istimewanya, membuat orang-orang yang duduk di atasku menjadi terlena. Yang dulu obral janji kini tak lagi sudi untuk mengingat apalagi menepati. Yang dulu sok akrab dan perhatian malih rupa lagi menjadi orang yang egois dan mau menang sendiri. Karena begitu enak dan nikmatnya, mereka sering terkantuk-kantuk hingga terlelap dengan dengkur yang begitu nyaring. Mereka lupa bahwa di sekitarnya masih banyak orang yang tidak bisa tidur karena memikirkan besok harus makan apa, harus tinggal di mana, dan harus bekerja apa.

Aku adalah kursi yang bukan sembarang kursi. Aku menjadi istimewa karena di atasku terletak kewajiban untuk menyuarakan kepentingan sesama. Berjuang agar mereka memperoleh hidup layak dan terbebas dari berbagai macam belenggu yang menghimpit hidup mereka. Sayangnya, kewajiban itu sering terkalahkan oleh hak. Hanya karena telah menduduki aku, orang merasa berhak untuk bertindak seenaknya. Main kuasa, main hukum, ambil harta sana-sini agar perut sendiri semakin membuncit. Ah, mereka memang tak lagi punya nurani.

Aku adalah kursi yang bukan sembarang kursi. Tapi ingatlah, meski istimewa aku tidaklah abadi. Ketika dunia ini lenyap dan sang waktu berhenti, aku takkan dibawa serta. Sebab hanya amal kebaikanlah yang selalu akan diingat. Kebaikan dari melakukan kewajiban sebaik-baiknya demi bahagianya sesama. Semoga.

Rabu, 14 Oktober 2009

Menolong Atau...???

Seorang wanita yang tengah hamil berjalan tertatih-tatih. Beberapa kali ia memegangi perutnya yang sudah sedemikian besar. Berkali-kali pula ia menghiba pada orang-orang yang ditemuinya di sepanjang perjalanan. ”Pak, Bu... saya minta tolong diantarkan ke dokter... perut saya sakit sekali. Saya sudah tidak mempunyai uang lagi. Dompet saya tadi jatuh dan sekarang entah ada di mana. Tolonglah saya..., ” ujarnya memelas.

Orang-orang yang kebetulan dimintai tolong, hanya sekilas memandang. Mereka kemudian beranjak pergi tanpa mengatakan apa-apa. Beberapa sempat terlihat bersimpati tapi hasilnya sama saja, wanita itu tetap dibiarkan sendirian.

Beberapa jam berlalu. Wanita itu masih berjalan tertatih-tatih sambil memegangi perutnya. Wajahnya tampak meringis kesakitan. Namun belum ada seorangpun yang tergerak untuk menolongnya.

Sore menjelang. Wanita itu menghampiri sekumpulan tukang becak yang sedang mangkal di sebuah perempatan. ”Pak... tolonglah saya...” katanya.

Seorang tukang becak mulai bersimpati. Ia segera menawarkan diri untuk membantu wanita itu. Namun tindakan ini ternyata diikuti oleh tukang becak yang lain. Akhirnya, mereka saling berebut untuk membantu wanita itu. Supaya adil siapa yang lebih berhak menolong, para tukang becak itu kemudian melakukan ’suit tangan’ bersama-sama.

Kisah di atas hanyalah sebuah episode reality show ’MINTA TOLONG’ yang tayang tiap hari Senin hingga Rabu di sebuah stasiun TV nasional. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah; mengapa para tukang becak itu sampai berebut ingin menolong padahal sebelumnya tidak ada seorangpun yang tergerak untuk menolong wanita itu? Ternyata jawabannya karena mereka sudah mengetahui crew MINTA TOLONG yang secara sembunyi-sembunyi mengikuti wanita itu. Para tukang becak itu tahu bahwa jika saja mereka mau menolong wanita itu pasti akan mendapat imbalan uang dengan jumlah yang lumayan besar.

Olala.... menolong agar mendapat imbalan? Ah... disadari atau tidak... hal seperti inilah yang kadang (atau sering?) kita lakukan. Kita sebenarnya sulit tergerak untuk melakukan pertolongan kepada sesama. Gilirannya mau memberi bantuan... eh...ternyata ada hal-hal yang kita inginkan sebagai balasannya. Uang, ketenaran, kehormatan, atau puja puji dari seantero negeri.

Tentu semua itu menjadi tidak berarti karena pertolongan kita tidak diberikan secara ikhlas. Tulus dari hati. Tulus karena benar-benar ingin menolong sesama sebagai ciptaan Tuhan. Maka, agar ketulusan itu semakin bermakna kita perlu selalu berprinsip (dalam hal menolong): apa yang dilakukan oleh tangan kananku biarlah tangan kiriku tidak mengetahuinya atau biarlah hanya Tuhan saja yang tahu perbuatanku ini. Nah, selamat menolong sesama!

Selasa, 13 Oktober 2009

Tanda


Kehidupan adalah tanda dan tanda adalah kehidupan. Benar, seluruh hidup manusia dipenuhi dengan tanda. Mulai dari saat membuka mata di pagi hari hingga menutup mata di malam hari.

Mengapa tanda harus selalu ada? Untuk menjawab hal ini, ada baiknya kita melihat dan mempelajari beberapa hal sebagai ‘tanda’ yang dibuat oleh manusia. Rambu-rambu lalu lintas di jalan, tempat-tempat sampah, halte, jembatan penyeberangan, pagar pembatas, dan masih banyak lagi. Tanda-tanda itu dibuat agar manusia dapat hidup dengan teratur, mematuhi segala hal yang telah menjadi kesepakatan bersama dan bertenggang rasa satu dengan yang lain. Apa jadinya bila tanda-tanda itu diabaikan? Kesemrawutan bahkan timbulnya kekacauan akibat manusia yang tidak lagi peduli.

Lalu, bagaimana dengan tanda yang diberikan oleh Tuhan? Sebenarnya, tanda dari Tuhan adalah wujud kasihNya untuk kita. Ia tidak ingin manusia terlalu lama jatuh dalam kesalahan dan dosa. Ia mengirimkan tanda itu sebagai sebuah peringatan. Kalau toh kita masih saja mengabaikannya, kita sendiri yang akan menanggung akibatnya. Apakah memang hal seperti itu yang kita inginkan?

Maka, terhadap tanda kita perlu tahu, mengerti, memahami dan kemudian bertindak benar agar kehidupan kita semakin berkembang ke arah yang baik. Semoga.

Senin, 12 Oktober 2009

Manusia Memang Bodoh...

Aku selalu tergelak ketika memikirkan manusia. Sampai-sampai perutku terasa sakit menahan ketawa yang tiada habis-habisnya. Eh… kok perut? Aku kan enggak punya… apalagi mulut?! Ah… tapi persetan dengan semua itu… pokoknya aku selalu ‘pengen’ ketawa melihat ulah manusia yang ngakunya pinter tetapi ternyata bodoh itu…

Namaku adalah uang. Dahulu aku diciptakan oleh manusia sebagai alat tukar pembayaran. Katanya sih biar lebih mudah dan praktis. Maklum, sebelum aku ada, manusia hanya mengenal tukar- menukar barang alias barter dengan sesamanya. Nah, bisa dibayangkan betapa kegiatan itu sangat merepotkan dan membutuhkan tenaga yang besar. Pokoknya ribet banget dechhhh…

Nah, setelah semua manusia memilikiku, kehidupan mereka berangsur-angsur mulai membaik. Tapi di sisi yang lain banyak manusia yang kemudian malah bertindak aneh. Punya uang sedikit berusaha selalu mencari tambahan agar bisa bertambah banyak. Giliran uang sudah banyak… ehhh… masih belum puas… pengennya dapat yang lebih dan lebih lagi. Ironisnya, hanya karena masalah uang, manusia bisa bertindak bagai binatang. Tak sungkan melukai bahkan memakan sesamanya sendiri. Lebih miris lagi mereka jadi tidak hirau akan hubungan kekerabatan. Orangtua, anak, saudara akan dibabat habis jika itu berkaitan dengan rebutan uang. Pendek kata, uang menjadi sumber dari segala jenis kejahatan yang dilakukan manusia mulai dari pemerasan, penodongan, pembiusan, pemerkosaan, pembunuhan keji dan masih banyak lagi.

Bukankah itu sangat menggelikan dan akan membuat perut kesakitan karena tidak bisa menahan tawa. Masak aku yang diciptakan oleh manusia kini gantian menguasai manusia. Aku menjadi tuan atas manusia. Ah… betapa beruntungnya aku atau… betapa bodohnya manusia itu… padahal kalau mereka mau… aku pasti akan menjadi pelayan yang setia jika digunakan secara tepat dan benar… tapi ahhhh… emang gue pikirin… Manusia Memang Bodoh kok…

Minggu, 11 Oktober 2009

Award Persahabatan

Selalu menjadi hal yang paling menyenangkan jika berbicara masalah award, paling tidak untuk aku secara pribadi. Award adalah sebentuk perhatian yang diberikan oleh sobat blogger demi menjalin persahabatan tulus di dunia maya khususnya blog. Memang ada beberapa sobat blogger yang tidak setuju dengan pendapat ini dan itu sah-sah saja sebab di alam demokrasi yang sudah berkembang sedemikian terbuka, setiap orang bebas memberi pendapat. Yang paling utama adalah adanya keinginan untuk selalu menghargai pendapat orang lain.

Kembali ke soal award, sebenarnya award yang hendak aku pajang ini beberapa sudah lama aku terima dan untuk itu dengan segala kerendahan hati aku mohon maaf kepada sobat blogger yang telah memberikannya karena baru pada kesempatan ini bisa aku posting.

Award yang paling awal aku terima tgl. 7 September dari mbak Nura. Ada 4 award yang sangat indah dan penuh makna.





Award selanjutnya aku terima dari adek Ichaelmago tgl. 10 September.


Kemudian pada tanggal yang sama aku juga menerima award berbacklink dari Nuruull.


Tgl. 19 September aku menerima sebuah award dari mbak Fanda. Kemudian sebuah lagi sebagai tanda terima kasih karena blognya berhasil menjadi salah satu pemenang dalam sebuah kontes blog.



Tgl. 10 Oktober aku menerima award dari Avior Clef.


Dan hari ini aku kembali menerima award dari mbak Fanda.


Selanjutnya keseluruhan award ini akan aku berikan untuk sahabat-sahabatku yaitu: Sarah, Joker, Miawruu dan Willyo ALsyah. Semoga kalian berkenan menerimanya. Salam terkasih.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Jangan Menyerah (2)

Selalu ada haru yang tiba-tiba menyeruak ketika mendengarkan lantunan lagu D’Masiv yang berjudul ‘Jangan Menyerah’. Keharuan yang beberapa detik kemudian berubah menjadi sepercik nyala yang terus berkobar. Memanaskan sisi-sisi hati yang lama kedinginan, yang membuat diri menjadi enggan dan tak mampu lagi untuk berbuat. Membakar semangat yang layu dan patah akibat pergulatan hidup yang kian hari kian kejam dan tak bersahabat.

Jangan menyerah. Untaian kata yang sungguh indah bahkan teramat indah dengan makna yang begitu dalam. Marilah… kita renung-resapkan sejenak penggal lirik dari lagu tersebut:

Tak ada manusia yang terlahir sempurna
Jangan kau sesali segala yang telah terjadi
Kita pasti pernah hadapi cobaan yang berat
Seakan hidup ini tak ada artinya lagi

Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik

Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
dan tak pernah putus asa


Jangan menyerah saudaraku. Meski saat ini engkau tengah dipeluk bencana, yang meluluhlantakkan segala harta benda, mengambil nyawa orang-orang terkasih, dan membuat hidup seakan tidak lagi berpengharapan. Percayalah, dibalik semua yang telah terjadi, ada hikmah terindah yang telah dipersiapkanNya untukmu…

Jangan menyerah saudaraku. Tetaplah teguh di dalam kebenaran yang selama ini engkau perjuangkan. Meski segala tipu daya, hujat, caci-maki dan aneka teori konspirasi, menyalak dan terus menggerusmu, memerangkapmu dan menjatuhkanmu ke sudut yang paling gelap. Yakinlah, tidak ada yang abadi di dunia ini, dan tetaplah percaya bahwa di hadapanNya hanya amal kebaikanlah yang sungguh berarti…

Jangan menyerah wahai diriku dan sahabat-sahabatku. Hari memang tidak selalu cerah dengan mentari yang terus bersinar. Kadang hujan badai diselingi sambaran halilintar yang sangat menakutkan hadir di hadapan kita. Membuat kita menjadi lelah, kepayahan hingga mudah jatuh. Membuat kita kemudian putus asa. Jangan menyerah… jangan menyerah… sebab setelah malam gelap yang mencekam, akan datang pagi yang membawa pengharapan baru…

Kamis, 08 Oktober 2009

"KIRMAH"

Ini bukan nama sejenis makanan atau minuman yang biasa dijual di pasar-pasar swalayan. Juga bukan nama buah yang dipakai sebagai teman saat berbuka puasa. KIRMAH hanyalah singkatan dari dua kata yaitu: MIKIR RUMAH.

Apa ada yang aneh dengan kedua kata ini? Oke, biar semakin jelas, kita simak dulu cerita di bawah ini;

Kemarin, gerejaku merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke-81. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dalam rangka HUT diadakan Misa Syukur dilanjutkan dengan Pesta Umat. Berbeda dari tahun sebelumnya, konsumsi untuk pesta umat kali ini berasal dari partisipasi lingkungan serta beberapa tumpeng dari wilayah yang menjadi peserta lomba tumpeng yang digelar bersamaan dengan berlangsungnya misa.

Kata orang; pengalaman selalu menjadi guru yang terbaik. Namun kadang pengalaman menjadi kurang berarti jika hal ini sudah menyangkut banyak orang dan urusan perut. Seperti juga yang terjadi pada Pesta Umat kali ini. Begitu misa selesai, umat segera berbondong-bondong menyerbu konsumsi yang sudah dipersiapkan oleh panitia. Mereka seakan-akan adu cepat satu sama lain meski harus saling berdesak-desakan.

Satu hal yang membuat kami heran, beberapa orang yang sudah menghabiskan konsumsi, masih mengambil lagi konsumsi yang lain. Bahkan ada juga yang mengambil lebih dari satu dan setelah itu mereka langsung pulang. Saat ditanya mereka hanya menjawab, “Ini buat anakku yang di rumah…” “Ini tadi tetanggaku yang nitip… dia nggak bisa datang…” Nah lho??? Ternyata mereka itu KIRMAH… mengambil beberapa karena memikirkan orang-orang di rumah…

Apakah KIRMAH itu salah? Mungkin bagi orang yang bersangkutan akan menjawab tidak apalagi kalau konsumsi yang dipersiapkan memang ada yang tersisa. Namun jika yang sudah dipersiapkan sesuai dengan perkiraan jumlah orang yang datang, KIRMAH menjadi hal yang tidak benar. Ia akan melahirkan sebuah keegoisan. Yang penting aku dapat (apalagi kalau bisa dapat lebih dari satu), persetan dengan orang lain! Salahnya sendiri enggak mau berebut… kalau nggak dapat ya… syukurin!!!

Barangkali bagi sebagian orang, KIRMAH memang sesuatu yang wajar dan sudah menjadi kebiasaan. Tetapi apabila kebiasaan ini membuat orang menjadi egois maka perlu dibuang jauh-jauh. Sebab kita tidak hanya hidup sendiri. Orang lain juga memiliki hak yang sama seperti kita.

Senin, 05 Oktober 2009

Kok...???

“Lebih baik orang bodoh yang benar daripada orang pintar yang tidak benar”

Pernyataan ini keluar dari mulut seorang teman kantor hari ini. Kata bodoh sejatinya ditujukan untuk dirinya sendiri dibandingkan dengan orang lain di luar dirinya. Maklum, teman saya ini ngakunya SD aja enggak tamat. Di kantor, kerjaannya adalah angkut-angkut barang dan melakukan pengemasan pupuk kandang dan humus yang akan dijual ke toko. Di samping itu, kerjaan tetap yang dilakukannya tiap jam istirahat siang dan sehabis pulang kantor adalah mencari rumput. Yah, di rumahnya yang terletak di pinggiran kota, ia memelihara beberapa ekor sapi untuk menambah biaya hidup keluarganya.

Teman saya ini merasa jengkel dengan RT di tempatnya. Tega-teganya membohongi warga demi keuntungannya sendiri. Ceritanya begini: di kampungnya, barusan berdiri sebuah tower dari salah satu operator seluler. Demi memuluskan proses pembangunan dan pemeliharaan tower tersebut, warga dijanjikan akan diberi uang sebesar Rp. 300.000,- tiap KK. Tentu saja warga begitu antusias dan secara serempak mendukung proyek tersebut. Tapi ternyata, janji hanyalah janji karena uang yang diterima warga bukannya Rp. 300.000,- tetapi hanya Rp. 100.000,- Setelah diselidiki, ternyata pemotongan ini dilakukan oleh RT. Alasannya macam-macam, untuk keperluan inilah… itulah…

Mendengar cerita teman saya ini, rasa-rasanya kok telinga ini udah bosen banget. Lha gimana tidak!!! Cerita kayak gitu terus saja berulang dari waktu ke waktu, di berbagai bidang kehidupan dengan banyak pola dan ragam pelakunya. Bahkan yang paling miris, dana bantuan untuk bencana alam pun bisa mengalami nasib serupa. Kok tega-teganya… orang menggunakan kepandaiannya (kepintarannya) untuk membodohi orang lain agar bisa memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri? Apa mereka sudah ndak punya rasa malu? Ah… barangkali urat malu mereka memang udah lama putus…

Kembali kepada pernyataan di atas; mana yang harus kita pilih? Barangkali kalau ada pilihan menjadi orang pintar yang benar, kita akan spontan memilih yang seperti ini tetapi pilihannya hanya dua itu. Jadi sekali lagi… kita akan memilih yang mana?

Minggu, 04 Oktober 2009

Kita Tak Lagi Peka

Kita tak lagi peka
pada dunia yang kian bertambah tua
kekerasan terus merajalela
sementara kasih kepada sesama
menjadi nilai yang tak lagi berharga

Kita tak lagi peka
pada hidup yang mengajari kita
karena nurani telah lama pergi entah kemana

Sabtu, 03 Oktober 2009

Gempa Itu...

Sore itu jalanan begitu ramai. Ridwan bergegas memacu motornya. Terbayang di benaknya, wajah Raden, putra semata wayangnya yang baru berusia satu bulan. Kehadiran Raden sungguh mengubah hari-harinya. Apalagi Raden adalah buah cinta yang sudah sekian lama dirindukannya. Semenjak menikah dengan Ratna, istrinya, hal pertama yang diinginkan Ridwan saat itu adalah segera mendapatkan momongan. Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan ternyata ingin menguji kesabarannya. Satu tahun, dua tahun hingga menjelang tahun ke-14 belum ada tanda-tanda kehamilan pada diri Ratna. Namun ia tidak patah semangat. Segala upaya dicoba, segala doa didaraskannya dengan penuh kesungguhan. Ia percaya, Tuhan punya rencana yang indah untuk keluarganya. Dan akhirnya, Tuhan menjawab doa-doanya, Ratna hamil tepat saat usia pernikahan mereka menginjak tahun ke-14.

Suara klakson yang begitu nyaring membuyarkan lamunan Ridwan. Ah, karena keasyikan melamun, hampir ia menabrak sebuah mobil. Untung suara itu menyadarkannya sehingga ia masih sempat membelokkan kendaraannya dan tidak terjadi kecelakaan. Bergegas Ridwan meminta maaf kepada pengemudi mobil itu. Tapi rupanya pengemudi mobil itu tidak begitu saja menerima permintaan maafnya. Setelah puas mencaci-maki, pengemudi mobil itu segera pergi, melajukan mobilnya dengan kencang. Ridwan hanya bisa mengelus dada…

Setelah hampir setengah jam dalam perjalanan, Ridwan sampai di rumahnya. Sejenak ia memarkir motornya di halaman lalu bergegas masuk rumah. Di ruang tengah ia melihat istrinya sedang menggendong Raden yang tengah tertidur.

“Raden sayang, lagi bobok ya…,” kata Ridwan sambil mencium kening putranya.

“Huss… jangan keras-keras mas… Ia baru saja tertidur. Nggak tahu kenapa, dari tadi siang ia rewel dan nangis terus…” kata Ratna mengingatkan. “Mau makan mas?” lanjut Ratna.

“Nanti aja, ma. Aku mau membetulkan motorku dulu. Rasanya kok ada yang enggak beres…” jawab Ridwan sembari bergegas mengambil kotak peralatan yang terletak di bawah kasur.

Beberapa menit kemudian, Ridwan sudah tenggelam dalam kesibukannya.

Tiba-tiba bumi berguncang sangat hebat. Ridwan tidak sempat berpikir apa yang sudah terjadi karena tiba-tiba saja sepeda motor yang tengah diutak-utiknya, jatuh menimpa dirinya. Membuat dirinya tidak bisa bergerak. Dan saat pandangannya terarah ke rumahnya. Oh… Tuhan!!! Rumah itu sekarang sudah rata dengan tanah, mengubur hidup-hidup Ratna dan Raden, putra kesayangannya. Ia ingin berteriak tapi bibirnya kelu. Hanya tetes air mata yang terus membanjir. Beberapa saat kemudian semuanya terasa gelap. Hening. Sepi.

Kamis, 01 Oktober 2009

Hal Kecil Itu...

Seringkali kita kurang (tidak) memperhatikan hal-hal kecil yang terjadi dalam kehidupan kita. Jarum pentul, peniti atau paku yang tergeletak dengan nyaman di jalanan. Kertas bekas atau tissue yang dibuang di sembarang tempat. Got depan rumah yang mulai tertimbun sampah. Tumpukan buku di sudut kamar yang berdebu. Dan banyak lagi yang lain.

Satu pertanyaan yang kemudian muncul, apakah hal-hal seperti itu patut untuk diperhatikan? Tentu saja jawabannya adalah ya. Kita mungkin tidak akan menyangka bahwa benda-benda tajam yang terserak sembarangan, yang seharusnya dapat kita ambil saat pertama melihatnya, akibat ketidakpedulian kita, mengakibatkan orang lain atau malah orang yang kita sayangi, menjadi terluka. Sampah yang tidak dibuang pada tempatnya, menyebabkan lingkungan menjadi kotor. Apalagi kalau sampah itu berupa sampah organik… wuih… pasti akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Got di depan rumah yang tertimbun banyak sampah akan menyebabkan pendangkalan dan menghambat aliran air. Akibatnya pas musim hujan… air menggenang dan terjadi banjiir…

Nah, kalau hal-hal demikian mulai kita sadari, tentu kita akan selalu berupaya untuk lebih serius memperhatikan hal yang kecil. Sebab barangsiapa setia pada perkara (hal) kecil maka ia setia juga dalam perkara (hal) besar. Dan barangsiapa tidak benar pada perkara (hal) kecil, ia tidak benar juga dalam perkara (hal) yang besar. Maka, lakukanlah hal-hal kecil dengan cinta yang besar.