Senin, 14 November 2011

Cerita Si Rumput

Aku adalah sebatang rumput. Aku tumbuh bergerombol dengan saudara-saudaraku di sebuah taman kota. Di sana tumbuh juga sahabat-sahabatku. Keluarga cemara, keluarga soka, keluarga bougenvill, keluarga palem, keluarga kamboja berbunga kuning, keluarga teh-tehan, dan masih banyak lagi. Selain itu, di tengah taman, ada sebuah kolam berbentuk lingkaran yang di salah satu sudutnya berdiri tatanan bebatuan yang tinggi menjulang. Benda itu adalah tugu peringatan yang didirikan untuk memperingati peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di kota. Di puncak tugu terdapat lampu-lampu yang terus menyala ketika malam tiba.

Dahulu, taman tempatku tinggal adalah sebuah taman yang sunyi. Jauh dari keramaian. Hanya ada satu dua orang yang berkunjung. Sekedar melepas lelah setelah seharian bekerja atau menikmati udara malam sambil melihat lampu-lampu kendaraan yang tengah melintas memutari taman.

Tapi kesunyian itu perlahan sirna. Tepatnya semenjak deretan air mancur di kolam itu berfungsi kembali. Semburan airnya bahkan kini terlihat lebih tinggi. Menimbulkan suara gemuruh ketika tetes-tetes airnya kembali menyentuh permukaan kolam. Sering, hembusan angin menerbangkan butiran-butiran air hingga jatuh di atas tubuhku. Uhh… segarnyaa... Selain itu, di beberapa sudut taman juga ditambah dengan lampu-lampu yang cukup artistik. Juga didatangkan beberapa keluarga baru untuk menghuni taman. Ada yang berdaun merah, berbunga putih bersih, bunga-bunga aneka warna, dan kelompok paku-pakuan.

Orang-orang pun mulai berdatangan. Terus dan terus. Hingga tiap malam tamanku terasa sesak. Apalagi jika malam minggu tiba. Mereka ada yang datang bergerombol, berpasang-pasangan, atau hanya sendiri. Biasanya, mereka akan melakukan berbagai aktifitas. Ada yang asyik bercengkerama bersama keluarga, berkejar-kejaran tak tentu arah, berjalan memutari taman sambil ngobrol ngalor ngidul, bermain bola, bermain sepeda, tidur-tiduran, saling memoto dengan aneka gaya, dan memadu kasih.

Jujur, sebenarnya aku gembira tempat tinggalku menjadi ramai. Tapi di sisi lain aku sangat sedih. Ternyata mereka kurang peduli dengan keberadaan taman. Terlebih dengan aku dan saudara-saudaraku. Meski sudah disediakan tempat tersendiri dan papan peringatan: TIDAK BOLEH MENGINJAK RUMPUT, mereka tetap bandel. Mereka malah asyik menginjak-injak, meniduri, bahkan mengobrak-abrik kami dengan segala hal yang mereka lakukan. Mereka juga tak segan-segan mengotori badan kami dengan aneka sampah.

Menurut cerita yang pernah aku dengar dari sekawanan burung yang hinggap di keluarga cemara, kelakuan mereka itu memang sebagian besar seperti itu. TIDAK PEDULI. Mereka bisa seenaknya membuang sampah di sembarang tempat padahal sudah ada tempat khusus yang disediakan. Mereka tanpa malu-malu melanggar tanda-tanda peringatan dan peraturan lalu lintas tanpa memperhatikan keselamatan sesamanya. Mereka lebih peduli dengan kepentingannya sendiri bukan yang lain. Anehnya, mereka juga tak segan-segan memangsa sesamanya hanya demi kepuasan, melindungi kepentingannya, atau sekedar untuk berebut harta dan kekuasaan.

Ahh... sebenarnya mereka itu makhluk seperti apa?

Rabu, 09 November 2011

Saat Ini

Suatu ketika, seorang anak bertanya kepada ayahnya, ”Bisakah aku tidak melakukan kesalahan dalam waktu satu tahun, Yah?”

Sang ayah keheranan mendapat pertanyaan seperti itu. Dipandangnya wajah anaknya. Di sana terpancar sebuah kesungguhan. ”Satu tahun itu tidak sebentar, Nak. Ada 365 hari yang berjalan di dalamnya. Rasanya engkau tidak akan mungkin melakukannya,” jawab ayahnya.

”Bagaimana kalau satu bulan, Yah. Bisakah aku melakukannya?” Si anak mencoba menawar.

”Itu juga tidak mungkin, Nak. Satu bulan masih terlalu lama,” geleng sang ayah.

”Bagaimana kalau satu minggu?” kejar anaknya.

”Ada tujuh hari dalam satu minggu. Dalam waktu selama itu ada banyak hal yang bisa terjadi. Engkau tidak mungkin bisa melakukannya.”

”Bagaimana kalau satu hari. Apakah kali ini aku bisa melakukannya?” Si anak belum putus asa.

”Belum, Nak. Satu hari ada 24 jam. Segala hal juga bisa terjadi dalam rentang waktu selama itu.”

Sesaat sang anak terdiam. Ia mencoba berpikir keras. ”Bagaimana kalau satu jam, Yah. Apakah aku bisa melakukannya?” kejarnya lagi.

”Itu juga tidak mungkin, Nak.”

”Satu menit,Yah?”

Sang ayah kembali menggeleng.

”Kalau begitu, apakah aku bisa melakukannya dalam waktu satu detik saja?”

Kali ini sang ayah tersenyum. ”Kalau satu detik, mungkin kau bisa melakukannya, Nak!” tegasnya kemudian.

”Oke, Yah, mulai saat ini aku akan hidup dari detik ke detik,” pungkas anaknya dengan mimik serius.

Sering dalam kehidupan ini, kita berpikir jauh ke depan, tentang apa yang terjadi dan apa yang akan kita lakukan nanti. Padahal, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok. Kita tidak bisa memastikan apakah esok kita masih diberi kesehatan, masih bisa bekerja dengan baik, masih dapat bertemu dengan orang-orang yang kita cintai, masih diberi kehidupan. Sungguh, kita tidak akan pernah tahu.

Hidup bukanlah nanti tapi saat ini, detik ini. Oleh karena itu, seperti sang anak, marilah kita hayati hidup dari detik ke detik dengan ucapan syukur. Bersyukur karena kita masih diberi kehidupan dan bisa menikmatinya dengan baik. Saat ini.

Minggu, 06 November 2011

Berbeda Itu...

Berbeda itu indah. Enggak percaya? Coba letakkan dua buah aquarium di atas meja yang berbeda. Isi kedua aquarium itu dengan air hingga hampir penuh. Pada aquarium pertama masukkan satu jenis ikan sedangkan pada aquarium kedua beberapa jenis ikan. Ada yang pipih panjang, bulat, oval, berwarna merah, kuning, hitam. Tambahkan pula dua genggam pasir berwarna putih serta tanaman air. Lalu setelah semuanya beres, pandangi kedua aquarium itu, mana yang lebih menarik? Tentu kita akan sepakat bahwa aquarium kedualah yang lebih indah.

Contoh lain, coba amati padang luas yang hanya ditumbuhi rumput. Bandingkan dengan taman yang berisi beraneka jenis tanaman. Ada yang berdaun merah, kuning, hijau pupus, hijau tua, mengeluarkan warna-warni bunga. Diantara tanaman-tanaman itu ada gemericik air yang keluar dari bebatuan beragam ukuran yang tertata dengan rapi. Lalu ditambah pula dengan lampu hias yang terpasang di sekeliling taman. Duhh... betapa taman itu terlihat lebih semarak dan menyegarkan mata, lebih berkesan, dan tentunya lebih indah bila dibandingkan dengan padang luas yang hanya terisi rumput.

Berbeda itu berani. Berani bersikap, bertindak, dan bertutur kata sesuai dengan hati nurani. Sejalan dengan kebenaran yang berasal dari Tuhan. Ketika banyak orang melakukan korupsi dan aneka manipulasi di banyak tempat dan pekerjaan, orang yang berbeda memilih untuk teguh memperjuangkan kejujuran. Ketika beragam kekerasan cenderung semakin membudaya dalam kehidupan sehari-hari, orang yang berbeda tetap setia melakukan tindakan yang berlandaskan kasih. Ia terus memelihara kasih itu dan membagikannya kepada setiap orang tanpa memandang perbedaan. Saat teman-teman di kantor sibuk main game pada jam kerja, orang yang berbeda justru bekerja dengan tekun. Waktu banyak orang berlomba-lomba menerobos lampu merah, orang yang berbeda enggan melakukannya, ada atau tidak ada polisi yang sedang bertugas, karena hal itu sama artinya dengan melanggar hukum. Ketika banyak orang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan dan membuang sampah sembarangan, orang yang berbeda berani peduli terhadap sampah yang membuat lingkungannya menjadi kotor. Ia dengan sigap mengambil sampah-sampah itu dan membuangnya ke tempat yang seharusnya.

Pertanyaannya, apakah kita berani menjadi berbeda, atau justru lebih memilih ikut arus, hanyut, dan tenggelam di dalamnya? Semoga saja kita mampu memilih yang benar karena hidup ini terlalu singkat. Sia-sia saja jika kita hanya mengisinya dengan hal-hal yang jauh dari kebenaran.