Jumat, 31 Juli 2009

Sebuah Keinginan

Tidak terasa sembilan bulan sudah, aku terperangkap dalam dunia perbloggingan. Sebenarnya istilah ‘terperangkap’ hanyalah kiasan karena aktivitas yang satu ini saat ini sudah menjadi salah satu aktivitas favorit. Bagaimana tidak, mulai dari pagi sebelum berangkat ke kantor ato pas jam istirahat siang, aku pasti sempet-sempetin nengok ‘rumah mayaku’. Malam harinya sebelum berangkat tidur, aku lebih intens lagi menggumuli blogku. Mulai dari baca-baca tulisan di shoutmix, baca komentar para sahabat di postinganku, blogwalking (berkunjung ke blog sahabat) ato kirim postingan baru.

Dalam sembilan bulan pergumulanku dengan dunia blog, banyak hal positif yang sudah aku peroleh. Ide-ide yang terus mengalir, kemampuan menulis yang semakin terasah dan yang pasti sahabat, yang dari hari ke hari terus bertambah. Namun di sisi lain, ternyata aktivitas ngeblog juga memberi dampak yang negatif (paling tidak untuk diriku). Tugas yang sering molor karena keasyikan ngeblog, biaya listrik yang terus naik karena komputer nyala tiap hari hingga tambahan biaya langganan internet karena sudah tiga bulanan ini aku selalu melebihi kuota yang sudah ditetapkan.

Nah, menjelang satu tahun aktivitas ngeblogku, ada sebuah keinginan yang ingin aku realisasikan. Sebenarnya keinginan ini lahir setelah melihat kesuksesan salah satu sahabat blogger, namanya mbak Reni. Di tengah kesibukannya yang cukup padat, baik sebagai istri, ibu dan karyawan di salah satu kantor di kota Madiun, ia masih sempat mengurusi blognya. Hal yang membuatku kagum, walau belum genap satu tahun, beberapa hari yang lalu, mbak Reni sudah merayakan postingannya yang ke-200. Bener-bener sebuah prestasi yang hebat!

Harapanku hanyalah ini: pas di satu tahun aku mengelola blogku, aku ingin bikin postingan yang ke-200. Sederhana tetapi tantangannya juga cukup berat. Dilihat dari sumber tulisan sebenarnya tidak begitu sulit karena ide bisa ada dimana saja. Hambatan yang paling berat justru berasal dari dalam diri; lelah akibat beban pekerjaan yang menumpuk, rasa malas yang tiba-tiba muncul dan kebiasaan menunda pekerjaan. Dua hal terakhir ini yang sampai saat ini sulit aku hilangkan dalam kehidupanku.

Tentunya aku harus terus berusaha. Nggak boleh patah semangat dan kalah karena ada hambatan. Satu hal yang membuatku selalu bersemangat; ada banyak sahabat yang setia mendampingi aku. Dan untuk itu aku hanya bisa berucap: terima kasih. Terima kasih dan terima kasih. Salam kasihku untuk kalian semua.

Sahabat

Sahabat,
disaat aku lupa
dan tidak tahu apa yang harus dikerjakan
Engkau datang mengingatkanku

Disaat aku dirundung kesedihan yang sangat
hingga air mataku jatuh bercucuran
Engkau menyediakan bahumu
sebagai tempat untuk menyandarkan bebanku
Tanganmu lembut menggenggam tanganku
Hadirmu menyejukkan batinku yang terluka

Sahabat,
saat ragaku lemah tak bertenaga
pikirku kalut
sebab beban pekerjaan yang tak jua berakhir
juga semangat hidup yang hampir padam
Engkau hadir membawa pengharapan
bahwa esok pasti kan lebih baik

Engkau bagaikan pelita di kegelapan malam
Engkau bagaikan tetes air
di tengah padang gersang nan tandus

Terimakasih Sahabat

Kamis, 30 Juli 2009

Sang Pelukis

Di sebuah kerajaan, hiduplah seorang pelukis yang sangat terkenal. Hasil lukisannya dikagumi rakyat seantero kerajaan. Baginda Raja pun sangat menyukai lukisan dari sang pelukis. Bahkan sebagian besar ornamen yang mempercantik dinding dalam istana adalah hasil kreasi sang pelukis.

Namun entah mengapa, sudah beberapa hari ini sang pelukis kelihatan selalu bersedih dan tidak bersemangat. Berkali-kali ia hanya termangu di serambi depan rumahnya tanpa berbuat apa-apa. Rupanya pangkal segala masalah yang menyebabkan sang pelukis menjadi murung adalah karena ide yang tidak kunjung datang. Ide yang akan membuat dirinya tergerak untuk segera melukis. Sudah berbagai usaha ia lakukan, mulai dari membaca, melihat kembali koleksi lukisaannya hingga mengamati pemandangan di sekeliling rumah. Tapi ternyata semua itu hanya sia-sia saja. Ide yang dinantikannya belum juga hadir.

Akhirnya karena bosan, sang pelukis memutuskan untuk pergi ke alun-alun kerajaan. Di tempat ini, sang pelukis duduk santai di bawah pohon besar yang tumbuh di pinggir alun-alun sambil mengamati orang-orang yang lalu lalang di hadapannya. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang pengemis yang sedang asyik mengais-ngais barang di tempat sampah. “Aha… aku sudah mendapatkan ide itu sekarang!” teriak sang pelukis dalam hatinya. Dengan langkah tergesa, dihampirinya si pengemis.

Pengemis itu masih asyik dengan kesibukannya. Namun ketika dilihatnya ada orang asing yang datang mendekat, sejenak ia menghentikan pekerjaannya sambil berkata, “Ada apa tuan?”

“Kawan, maukah engkau menjadi model lukisanku?” tanya sang pelukis ramah, menjelaskan maksud kedatangannya.

Si pengemis kaget. Ia tidak menyangka akan ditanya seperti itu. Sejenak, ia terdiam sambil mencoba mengingat-ingat siapa sebenarnya orang asing yang berdiri di hadapannya.

“Ayolah kawan, aku sangat membutuhkan pertolonganmu. Maukah engkau menjadi model lukisanku?” ulang sang pelukis sambil menyodorkan sebuah kartu nama kepada pengemis itu.

Pengemis itu masih terdiam. Diamat-amatinya kartu nama yang barusan diterimanya. Di sana tertulis dengan tinta emas: ‘SANG PELUKIS, pelukis pribadi keluarga kerajaan’. “Hah… jadi engkau inikah sang pelukis yang terkenal itu!?” jerit si pengemis tak percaya.

“Ya, itulah aku,” jawab sang pelukis dengan tegas.

“Kalau begitu, aku pasti akan sangat senang menjadi model lukisanmu,” tambah pengemis itu dengan wajah berbinar.

“Kalau memang engkau sudah setuju, kutunggu 3 hari lagi di rumahku.” Kata sang pelukis. “Oke kawan… kita bertemu 3 hari lagi… jangan sampai lupa ya,” sambungnya sambil mengajak berjabat tangan sebelum melangkah pergi.

Tiga hari berlalu. Pagi-pagi benar, si pengemis sudah membongkar celengan ayamnya. Celengan itu adalah harta kekayaan satu-satunya yang pernah dimilikinya. Ia kemudian membeli baju dan celana baru. Juga parfum wangi dan semir rambut yang berharga mahal. Ia ingin penampilannya kelihatan wah di hadapan sang pelukis.

Setelah semuanya beres, segera si pengemis berangkat. Ketika sampai di rumah sang pelukis, dengan perasaan tak sabar, ia membunyikan sebuah benda yang terletak di depan pintu rumah sang pelukis. Tak berapa lama, pintu itu pun terbuka.

“Bapak mencari siapa?” tanya sang pelukis sambil mengamati dengan seksama orang yang berdiri di hadapannya.

“Saya mencari tuan. Bukankah tuan sendiri yang menyuruh saya untuk datang ke sini?” jawab si pengemis keheranan.

Sang pelukis mencoba mengingat-ingat sesuatu. Tapi sosok di hadapannya tetap tidak dikenalnya.

“Saya adalah pengemis yang pernah tuan temui di alun-alun waktu itu. Hari ini saya datang untuk memenuhi undangan tuan,” terang pengemis itu mencoba mengingatkan sang pelukis.

Sang pelukis terbelalak. Ia tidak menyangka pengemis yang waktu itu ditemuinya kini seolah telah berubah menjadi pribadi yang lain.

“Maaf pak, pengemis yang waktu itu aku temui adalah pribadi yang apa adanya. Bukan seperti bapak yang penuh dengan polesan, kepalsuan dan kepura-puraan!” Sang pelukis menjawab tegas. “Silakan bapak pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,” tambahnya sambil buru-buru menutup pintu.

Si pengemis mencoba membujuk, tapi semuanya sudah terlambat. Kini, impiannya musnah sudah.

Rabu, 29 Juli 2009

Gagak, Beringin dan Ular

Seekor gagak terbang melintas. Di ujung sebuah dusun ia berhenti sejenak. Pandangannya tertuju pada sebuah pohon beringin yang sedang menangis. Karena penasaran, segera ia menuju pohon itu. “Wahai beringin, mengapa engkau menangis?” tanya gagak penuh perhatian.

Beringin itu tergeragap. Ia tidak menyangka ada yang sedang memperhatikannya. “Eh.. oh… kau gagak… “ jawabnya terbata-bata sambil buru-buru menyusut air matanya.

“Mengapa engkau menangis?” tanya gagak itu sekali lagi.

Beringin itu terdiam beberapa saat. Dihelanya napas sebelum menjawab, “Wahai gagak, aku menangis karena sakit yang kurasakan di sekujur tubuhku. Lihatlah, ranting dan dahanku banyak yang patah. Daun-daunku pun berguguran jatuh ke bumi. Tubuhku juga penuh guratan. Dicoret-moret oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Semua ini akibat ulah para penghuni dusun. Hampir setiap hari saat mereka melintas, mereka pasti menyempatkan diri untuk bermain-main di sekujur tubuhku. Memanjat, bergelantungan, mengukir nama mereka, juga memetiki daun-daunku untuk dibuat mainan. Mereka selalu tertawa-tawa dengan riang, terus bermain seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mereka tidak pernah mendengarkan jerit tangisku yang terus menghiba..” terang beringin sambil terisak.

Gagak sedih mendengar penuturan beringin. “Bolehkah aku menolongmu?” ujar gagak mencoba menawarkan bantuan.

Beringin terkejut. Ia tidak menyangka gagak yang baru saja ditemuinya mau menawarkan bantuan. “Gagak, jika engkau mau membantuku, aku akan sangat berterimakasih… tapi… bagaimana caranya?” Beringin masih tidak percaya dengan kata-kata gagak.

“Baiklah kalau begitu, aku akan segera menolongmu… mengenai bagaimana caranya, aku tidak akan mengatakannya, yang pasti aku jamin kesusahanmu akan segera berakhir,” ucap gagak seraya pergi meninggalkan beringin.

Satu jam berlalu. Beringin menanti kedatangan gagak dengan harap-harap cemas. Di hatinya masih tersimpan ketidakpercayaan dan kini, ketidakpercayaan itu semakin bertambah besar karena gagak belum juga kelihatan.

Tak lama berselang, di kejauhan, tampak sekumpulan gagak terbang sambil membawa sesuatu. Sesaat kemudian, gagak-gagak itu sampai di tempat beringin. Tiba-tiba saja bau bangkai yang sangat menusuk hidung memenuhi udara.

"Gagak, apa yang kau bawa ini, baunya menyengat sekali?" tanya beringin sambil berkali-kali menutup hidungnya.

"Yang kubawa ini bangkai, sobat. Dan inilah yang akan menolongmu. Dengan ini, pasti tidak akan ada manusia yang berani mendekatimu," terang gagak sambil meletakkan bangkai-bangkai itu di sekitar tubuh beringin.

Beringin hanya bisa mengangguk-angguk tanda mengerti. Sebetulnya ia merasa berat. Apalagi bau bangkai-bangkai itu sangat menyengat. Tapi karena semua ini demi kebaikannya, ia menuruti apa yang dikatakan gagak.

Semenjak ada bangkai di pohon beringin itu, penduduk dusun yang biasanya mampir dan bermain-main menjadi enggan. Mereka tidak tahan dengan bau busuk yang sangat mengganggu penciuman mereka. Akhirnya, mereka mulai meninggalkan kebiasaan bermain di tempat itu.

Beringin tentu saja gembira. Kini, tidak ada lagi pengganggu yang membuatnya menangis. Untuk membalas kebaikan gagak, beringin mempersilakan gagak bersarang di atas tubuhnya. Tentu saja gagak sangat senang menerima tawaran beringin.

Beberapa bulan berlalu. Gagak yang bersarang di pohon beringin kini telah memiliki beberapa telur. Sebentar lagi telur-telur itu akan menetas menjadi bayi-bayi gagak yang cantik. Tentu saja hal ini membuat gagak amat bahagia. Tetapi dibalik kebahagiaan itu, gagak merasa cemas. Pangkal kecemasan ini bermula saat seekor ular besar mulai membuat rumah di bawah pohon beringin. Menurut cerita beringin, ular itu datang di tengah hujan lebat. Awalnya ular itu hanya menumpang untuk berteduh. Tapi entah mengapa, sampai sekarang, ular itu masih terus menetap.

Suatu hari, gagak berpamitan kepada beringin, “Beringin, tolong jaga telur-telurku ini, aku akan pergi sebentar untuk mencari makan,” kata gagak sesaat sebelum mengepakkan kedua sayapnya.

Rupanya saat seperti inilah yang dinantikan oleh sang ular. Ia tiba-tiba berkata kepada beringin, “Beringin kawanku, bolehkah aku memanjat tubuhmu dan melihat-lihat sarang gagak di atas sana?”

Tentu saja pertanyaan ular membuat beringin terperanjat. “Mau apa kau ular melihat sarang gagak sahabatku?” sambar beringin cepat.

“Terus terang, aku ingin menikmati telur-telur itu. Aku berjanji jika engkau mengijinkannya, aku akan setia menjaga keberadaanmu setiap hari dan memberimu kekuasaan,” kata ular berusaha membujuk.

“Tapi ular, gagak adalah sahabat yang dulu pernah menolongku. Lebih-lebih ia menyuruh aku untuk menjaga telur-telurnya. Jika aku mengijinkanmu memakan telur-telur itu bukankah aku akan dicap sebagai penghianat?” beringin mulai bimbang.

“Ayolah… apa yang pernah dilakukan beringin adalah masa lalu. Aku pasti akan menggantinya dengan hal yang lebih. Dan lagi, apa artinya cap penghianat jika engkau memiliki kekuasaan!” tegas ular.

Akhirnya, beringin pun kalah. Ia tergiur kekuasaan yang ditawarkan ular. Saat ular merayapi tubuhnya dan mulai menyantap telur-telur gagak, ia terdiam dan hanya membiarkan begitu saja.

Sore harinya, gagak pulang dari perjalanannya. Saat melihat sarang yang porak-poranda dan telur-telur yang sudah hilang, gagak menjerit histeris. Tangisnya pecah mengoyak telinga dan terdengar mengiris hati. Ia tidak menyangka beringin tega menghianatinya. Tanpa berkata apa-apa, ia segera pergi sambil membawa luka yang begitu dalam.

Selasa, 28 Juli 2009

Kasih Itu...

Suatu pagi seorang petani menaburkan benih cinta
di tanah kehidupan
Sesaat, diberinya benih itu dengan air kesabaran
Lalu ditambahkannya pula pupuk kemurahan hati
Juga cahaya ketulusan
Dan benih itu pun tumbuh menjadi pohon kebenaran
Dahannya kokoh dan akarnya kuat mencengkram jiwa
Daunnya rimbun menghijau
dengan bunga-bunga kemesraan yang mulai harum semerbak
Tak berapa lama bunga itu pun berubah menjadi buah-buah kasih
Merah meranum
Sedap dipandang
dan nikmat dirasakan


Mari kita bagikan kasih itu untuk semua orang
Hari ini, esok, dan setiap hari dalam perjalanan hidup kita

Minggu, 26 Juli 2009

Membalas Kejahatan Dengan Kebaikan (lagi)

Beberapa hari yang lalu, aku menonton sebuah film yang berjudul COLLATERAL DAMAGE. Film ini bertutur tentang pembalasan dendam yang dilakukan oleh Gordon (diperankan oleh Arnold Schwarzenegger), seorang petugas pemadam kebakaran yang istri dan anaknya tewas akibat serangan bom yang dilakukan oleh teroris. Gordon tidak puas dengan kerja aparat penegak hukum yang terkesan lambat dalam membekuk gembong teroris sehingga ia memutuskan untuk ikut terlibat menangkap hidup mati para teroris yang sudah membunuh orang-orang yang teramat disayanginya.

Barangkali cerita ini hampir mirip dengan kejadian Jumat pagi (17/7) di hotel JW Marriot dan Ritz Carlton. Masing-masing, sebuah bom yang disinyalir sebagai bom bunuh diri telah meluluhlantakkan restoran yang berada di kedua hotel tersebut. Puluhan orang terluka bahkan 9 orang diantaranya tewas secara mengenaskan. Salah satu dari korban tewas itu adalah Evert Mucodompis, karyawan restoran di hotel JW Marriot. Satu hal yang membuat hati ini semakin teriris, sehari setelah kejadian itu, istri Evert melahirkan buah cinta mereka yang kedua.

Pemakaman Evert Mucodompis di TPU Tanah Kusir, Jakarta, dihadiri ribuan pelayat. Juga oleh para wartawan yang ingin mengabadikan kejadian tersebut. Victor Mucodompis, ayah Evert saat ditanya salah satu wartawan hanya berujar, “Kejahatan jangan dibalas dengan kejahatan. Kejahatan harus dibalas dengan kebaikan. Jangan simpan amarahmu sampai terbenamnya matahari.”

Mengejutkan! Itu barangkali reaksi kita atas apa yang dikatakan Victor Mucodompis. Selain tidak lazim, kalimat tersebut juga bertentangan dengan logika umum. Bagaimana bisa, ayah yang telah kehilangan anak akibat bom jahanam yang diledakkan oleh orang-orang tidak bertanggungjawab bisa berkata seperti itu? Bukankah semestinya ia mengutuk keras aksi tersebut?

Memang, logika umum yang (biasanya) berlaku dalam keseharian kita adalah seperti ini: kalau dalam film COLLATERAL DAMAGE diceritakan bagaimana Gordon harus memporak-porandakan sebuah stasiun tv hanya gara-gara ada wawancara yang meyinggung-nyinggung soal kematian istri dan anaknya, maka kita pun (juga) terbiasa dengan pembalasan dendam. Memukul ketika terlebih dahulu dipukul, balik memfitnah ketika difitnah dan dicemarkan nama baiknya, sakit hati karena omongan yang tidak mengenakkan hati kemudian membunuh dengan sadis. Ibarat kata: mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa diganti nyawa.

Coba kita simak sejenak kisah berikut: Syahdan pada jaman dahulu, ada dua desa yang letaknya berdampingan. Penduduk di kedua desa itu hidup dengan damai. Saling tolong-menolong dan menghargai satu sama lain. Suatu ketika datanglah seorang pengusaha kaya dari kota. Pak Banu namanya. Di desa A, sebut saja demikian, pak Banu membeli sebidang tanah yang luas. Di tanah tersebut selain membangun rumah untuk keluarganya, ia juga mendirikan tempat usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dari penduduk desa setempat terutama para pemudanya.

Suatu malam, Bejo, anak semata wayang pak Banu yang beranjak remaja, ‘ngapel’ Fitri, cewek yang baru beberapa minggu ini dipacarinya. Kebetulan Fitri adalah penduduk desa B yang berstatus sebagai kembang desa. Karena terlalu asyik, Bejo lupa akan waktu. Ia melebihi jam malam yang berlaku di desa tersebut. Para pemuda desa setempat yang ‘kebetulan’ belum mengenal Bejo semula berusaha memperingatkan dengan halus, menyuruh Bejo untuk segera pulang. Namun karena Bejo tidak peduli, mereka mulai berlaku kasar. Beberapa bahkan sempat memukuli Bejo hingga wajahnya memar-memar.

Ketika sampai di rumah, pak Banu terkejut melihat keadaan Bejo. Segera ia mendesak Bejo untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Selesai mendengar penuturan anaknya, pak Banu marah. Ia tidak terima dengan perlakuan beberapa pemuda desa B.

Keesokan harinya, pak Banu menyuruh beberapa pemuda desa A untuk mencari pemuda-pemuda desa B yang sudah mencelakai anaknya. Beberapa pemuda yang berhasil ditemui tidak ada yang mau mengaku hingga terjadilah percekcokan yang berakhir dengan perkelahian. Karena kalah dalam jumlah, orang-orang suruhan pak Banu akhirnya lari menyelamatkan diri.

Rupanya peristiwa ini menjadi penyebab peristiwa yang lebih besar. Dan tawuran antar pemuda kedua desa pun tidak terelakkan. Suasana yang semula damai berubah menjadi kacau. Rumah-rumah terbakar. Orang-orang yang tidak berdosa menjadi korban. Banyak yang terluka bahkan beberapa di antaranya tewas secara mengenaskan.

Kejahatan yang dibalas dengan kejahatan pada akhirnya akan terus menyuburkan kejahatan. Kejahatan menjadi tanpa akhir. Ia justru akan semakin menyebabkan orang-orang tidak berdosa menjadi korban.

Maka menjadi benar apa yang dikatakan Victor Mucodompis bahwa kejahatan harus dibalas dengan kebaikan. Semangat membalas dendam harus diganti dengan semangat mengampuni dan semangat mengasihi. Jika hal ini bisa dilakukan, bukan mustahil aneka kekerasan akan lenyap di muka bumi ini. Sebaliknya, jika kita tidak mau mengusahakannya, jangan pernah berharap kedamaian bisa muncul. Setuju?

(note: tambahan lagi karena ada tulisan dengan judul yang sama, dapat dilihat di sini)

Kamis, 23 Juli 2009

Syukurku

Malam ini, aku lagi asyik berkunjung ke tempat para sahabat bloggerku, baca-baca artikel, beri komentar atau sekedar saling sapa di shoutmix. Kulirik jam yang tergantung di dinding kamar, uhhh… ternyata… udah hampir tengah malam. Tiba-tiba, angin berhembus perlahan. Dingin terasa membekukan tulang. Dan entah darimana datangnya… ada sesosok bayangan putih yang berdiri di sampingku. Aku terkaget-kaget. Dengan perasaan takut yang membuncah, aku mencoba memberanikan diri untuk melihatnya. Sosok itu tinggi tegap. Pakaiannya berkilau-kilauan. Wajahnya sangat tampan. Ia kemudian berkata kepadaku, "Hai Cahya, jangan takut… aku adalah malaikat yang diutus Tuhan… saat ini, sudah tiba waktumu…”

Deggg!!! Aku terkesiap mendengar perkataan malaikat itu. “Tapi, malaikat… secepat itukah? Aku belum siap…” jawabku antara bingung bercampur takut.

“Siap atau tidak… aku akan tetap membawamu…” Malaikat itu dengan segera menarikku.

“Tidak… tidak…” aku meronta sekuat tenaga.

Tiba-tiba… brakkk… kurasakan badanku teramat sakit. Ketika membuka mata… rupanya aku terjatuh dari tempat tidur… o..a..lahhhh ternyata aku hanya bermimpi….

Terima kasih Tuhan… Engkau masih memberikan hidup hari ini…
Bertemu dengan orang-orang terkasih…
Juga orang-orang yang mungkin tidak menyukai aku…
Ampuni aku...
jika aku masih saja mengecewakanMu…
Bimbinglah aku...
agar aku semakin pantas dihadapanMu
Hingga bila saatnya tiba…
Aku bisa menghadapMu dengan ikhlas
Dan tersenyum bangga
Tuhan… syukurku atas hidup hari ini…

Selasa, 21 Juli 2009

Mencari Kebahagiaan

Beberapa puluh tahun yang lalu, hiduplah dua orang bersaudara, si Sulung dan si Bungsu. Mereka hidup sebatang kara. Ayah dan ibu mereka meninggal akibat kecelakaan kereta api pada saat mereka beranjak remaja. Semenjak saat itu, dengan penuh keprihatinan, mereka bahu membahu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ketika sudah sama-sama dewasa, si Sulung dan si Bungsu sepakat untuk pergi mencari kebahagiaan yang selama ini belum pernah mereka rasakan. Setelah membagi harta warisan yang tidak seberapa dan saling berpelukan sambil bercucuran air mata untuk terakhir kalinya, mereka berpisah. Si Sulung menuju ke utara sedangkan si Bungsu ke selatan.

Lima belas tahun berlalu. Si Sulung yang terkenal ulet dan gigih, kini telah menjadi seorang pengusaha yang sukses. Perusahaannya tersebar di mana-mana dengan jumlah karyawan ribuan dan omzet yang mencapai trilyunan. Rumahnya sangat besar dengan beberapa mobil mewah yang tersimpan rapi di dalam garasi. Istri si Sulung sangat cantik dan kebetulan juga seorang wanita karier yang punya jabatan cukup tinggi di kantornya. Dari perkawinan mereka, lahirlah anak laki-laki. Bimo namanya.

Sementara itu, si Bungsu sudah menjadi pertapa di sebuah dusun yang cukup terpencil. Setiap hari ia setia bertekun dalam doa.

Awalnya, si Sulung menganggap bahwa kekayaan itulah kebahagiaan yang selama ini ia cari. Namun perlahan-lahan setelah sekian tahun bergelimang kekayaan, ia merasakan hidupnya hampa. Di kantor saat bersama-sama dengan para karyawannya, ia seringkali harus memakai wajah palsu. Pura-pura gembira dan tertawa lepas padahal jauh di dalam lubuk hatinya, ia merasa kesepian. Di rumah saat pulang dari kantor, seringkali ia mendapati rumah yang kosong dan sepi. Memang, ia sendiri selalu pulang larut malam dengan badan yang sangat capai. Dan kalau sudah begitu, ia tidak sempat lagi memikirkan istri dan anak semata wayangnya. Pun demikian juga dengan istrinya. Komunikasi di antara mereka berdua pun menjadi mandeg.

Kekayaan yang berlimpah dan curahan kasih sayang yang sangat minim ternyata membawa pengaruh buruk bagi Bimo. Ia yang beranjak remaja mulai mencari hal yang tidak didapatkannya di rumah melalui pergaulan dengan teman-temannya. Sayang, lingkungan pergaulannya adalah lingkungan yang buruk. Lingkungan yang sangat akrab dengan obat-obat terlarang dan minuman keras. Akhirnya, Bimo terjerumus dalam kedua hal itu. Bahkan karena merasa bebas dan punya banyak uang, ia menjadi sangat ketagihan. Bimo merasa bahwa hidupnya tidak akan bahagia bila sehari saja tidak mengkonsumsi obat-obat terlarang.

Akhirnya, malapetaka itupun datang. Istri si Sulung ternyata selama ini diam-diam telah memiliki PIL (Pria Idaman Lain). Pria itu adalah teman sekantornya yang lebih muda, lebih ganteng dan lebih bisa memberikan perhatian. Saat ketahuan selingkuh, istri si Sulung dengan serta merta mengajukan gugatan cerai. Si Sulung tidak bisa mengambil jalan lain selain menerima gugatan itu. Ia kadung sakit hati atas penghianatan dan ketidaksetiaan istrinya.

Bimo shock mendengar keputusan kedua orangtuanya. Ia sangat sedih dan kemudian melampiaskan kesedihan itu dengan mengkonsumsi banyak obat. Akibatnya ia mengalami overdosis yang parah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Sayang seribu sayang, semuanya sudah terlambat. Bimo akhirnya meninggal dunia dalam perjalanan ke rumah sakit.

Dunia seakan runtuh bagi si Sulung. Apa yang diimpikannya selama ini musnah sudah. Hanya dirasakannya gelap yang semakin bertambah pekat. Kesedihan yang begitu dalam membuatnya jatuh terpuruk. Beruntung di saat-saat yang genting ini ia bertemu kembali dengan si Bungsu.

Ternyata, si Bungsu juga tidak bahagia. Ia selalu merasa gundah saat melihat kehidupan orang-orang di sekelilingnya. Mereka hidup dalam kemelaratan. Gubug yang reot, pakaian dan makanan seadanya serta lingkungan yang sudah rusak. Sementara dirinya hanya sibuk memikirkan diri sendiri dan tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya, ia memutuskan untuk pergi mencari saudaranya.

Pertemuan dua saudara yang sudah berpisah sekian lama begitu mengharukan. Air mata seakan tumpah bagaikan aliran sungai di saat banjir bandang. Apalagi kisah keduanya sarat dengan cerita tentang kesedihan dan kegagalan.

Si Sulung dan si Bungsu ingin bangkit dari keterpurukan. Mereka akan mulai menata kembali kehidupan mereka. Keduanya berjanji untuk tidak lagi berpisah.

Mereka kemudian pergi. Tujuannya adalah dusun dimana dahulu si Bungsu pernah tinggal. Di tempat ini, si Sulung akan berusaha melupakan segala kenangan pahit dan membuka lembaran kehidupan baru sembari memberikan bantuan bagi warga dusun sesuai harapan si Bungsu.

Di dusun yang terpencil itu, si Sulung dan si Bungsu mendirikan Pondok Cinta. Ya, Pondok Cinta. Sesuai dengan namanya, si Sulung dan si Bungsu ingin memberikan cinta bagi semua saja yang datang atau yang mereka temui dalam pergumulan hidup mereka yang baru. Si Sulung dengan kekayaan yang dimilikinya mulai membantu warga dusun untuk memperbaiki rumah-rumah mereka, memperbaiki jalan-jalan, mendirikan tempat ibadah dan sekolah, juga menyediakan tempat untuk usaha. Si Sulung dan si Bungsu dengan bantuan seluruh warga dusun berusaha memperbaiki lingkungan mereka yang sudah rusak. Tanah-tanah mulai diolah, diberi pupuk dan ditanami aneka tanaman yang bisa mereka konsumsi. Hutan yang sudah gundul akibat penebangan liar mulai ditanami lagi dengan pohon-pohon yang baru. Sungai-sungai yang kotor dan tercemar kembali dibersihkan.

Sementara itu si Bungsu yang piawai dalam ilmu agama mulai mengajarkan kepada setiap warga dusun pentingnya selalu bersyukur dan berdoa kepada Tuhan sang pencipta hidup dalam situasi apapun.

Beberapa tahun kemudian, wajah dusun itu berubah total. Dusun yang dahulu terpencil kini sudah dikenal oleh banyak orang. Penduduk yang semula miskin kini sudah hidup dengan layak. Lingkungan yang dahulu rusak dan tandus telah berubah menjadi tanah-tanah yang subur dengan aneka tumbuhan yang menghijau sejauh mata memandang. Kehidupan warga dusun dipenuhi dengan hasrat akan cinta. Saling tolong-menolong, menghargai satu sama lain, menghibur yang kesusahan, menggendong yang lemah. Pokoknya semua hidup dalam suasana yang guyub dan rukun.

Si Sulung dan si Bungsu bahagia melihat semua ini. Rupanya inilah kebahagiaan sejati yang selama ini mereka cari. Bahagia ketika melihat orang lain tersenyum dengan penuh kegembiraan dan bisa mengucap syukur atas segala anugerah Tuhan. Rasanya, mereka akan sangat ikhlas jika hari ini Tuhan memanggil mereka.

Sabtu, 18 Juli 2009

Kebiasaan...

Pagi ini ketika sedang tugas jaga perpustakaan paroki seperti biasanya, aku dikejutkan oleh seorang anak kecil, kira-kira baru berusia 3 tahun, yang datang menghampiriku. Dari mulut mungilnya meluncur untaian kata-kata, “Bapak, terima kasih ya.” Setelah mengatakan itu, anak kecil itu bergegas meninggalkan ruangan.

Kata-kata anak kecil itu membuat aku tertegun. Terus terang aku kaget dan tidak menyangka, seorang anak kecil bisa menyampaikan kalimat yang begitu indah. Memikirkan hal itu, terlintas kembali berbagai peristiwa yang pernah terjadi saat aku sedang giliran jaga perpustakaan seperti hari ini. Anak-anak yang asyik mengobrak-abrik buku dan baru berhenti setelah diingatkan oleh ayah ibunya, seorang anak tiba-tiba ngeloyor pergi saat tengah asyik membaca dan ayahnya yang segera mengingatkan, “Peter, bukunya kok ditinggal begitu saja, ayo dikembalikan pada tempatnya!” atau “Adik, bilang apa...?” ujar seorang ibu pada anaknya yang pergi begitu saja setelah menerima buku yang dipinjamnya. Kali yang lain, ada anak perempuan yang beranjak remaja membentak ibunya ketika diingatkan sesuatu.

Semua peristiwa itu merujuk pada satu hal; kebiasaan. Ya, kebiasaan yang berlaku di dalam keluarga. Anak kecil yang baru berusia 3 tahun itu dengan serta merta mengucapkan terima kasih tanpa disuruh karena ia sudah dibiasakan untuk mengucapkan hal itu setelah mendapatkan sesuatu atau menerima pelayanan tertentu. Anak yang beranjak remaja berani membentak ibunya karena ia juga melihat kebiasaan itu terjadi di tengah kehidupannya, antara ayah, ibu, dan dirinya. Ada kebiasaan yang sudah tertanam begitu kuat, ada yang masih harus diingatkan, ada kebiasaan baik dan juga ada kebiasaan buruk, yang tidak patut untuk ditiru.

Kebiasaan (baik) perlu ditanamkan sejak dini, semenjak anak bisa merespon segala sesuatu yang ada di sekelilingnya. Sebab, kebiasaan bisa diibaratkan seperti menancapkan sebuah paku pada papan kayu. Semakin sering kita memukul paku itu (meski dengan tekanan yang tidak begitu keras), paku itu akan masuk semakin dalam. Akibatnya, kita akan mengalami kesulitan jika harus mencabutnya kembali.

Nah, semoga kita (bisa) selalu menanamkan kebiasaan baik untuk putra-putri kita. Bukan hanya lewat kata-kata yang terucap tetapi yang terutama lewat setiap perbuatan yang kita lakukan. Semoga.

Kamis, 16 Juli 2009

Manusia?

Bom kembali meledak
pria wanita berlarian tak tentu arah
dengan muka yang sangat ketakutan
sementara... ada yang sudah menjadi mayat
tubuh tak bertangan, tak berkaki bahkan tanpa kepala
tubuh yang hangus terbakar dan hancur tak berbentuk
sungguh mengenaskan

Apakah ini tindakan manusia?
Dimana hati dan nurani mereka?
Bagaimana jika korban-korban itu…
ibu, ayah, adik, kakak atau sahabat mereka?

Apakah kita layak disebut manusia?
ketika kepedulian tak lagi berarti
ketika nurani hilang entah kemana
ketika hati sudah membatu
entahlah…

Miskin

Malam bertambah larut. Angin berhembus perlahan melalui dinding bambu yang mulai rapuh dan berlobang, meninggalkan hawa dingin yang membungkus tulang. Samijo masih termangu di pinggir ranjang tuanya yang sudah reot. Di hadapannya, dua anak perempuannya yang masih berumur 5 dan 9 tahun tertidur dengan pulas. Perlahan, Samijo menarik napas dalam. Diraihnya fotocopy kuitansi yang tergeletak di sampingnya. Sejenak, kejadian tadi siang melintas kembali di hadapannya.

“Maaf pak, uangnya masih belum cukup. Jadi ibu dan anak bapak belum bisa dibawa pulang,” ujar salah satu petugas administrasi di rumah sakit tempat istrinya dirawat setelah habis melahirkan.

“Tapi bu, darimana saya bisa memperoleh uang sebesar itu? Hanya sejumlah ini uang yang saya punya, itupun berasal dari utang, “jawab Samijo dengan suara bergetar. “Apakah Kartu Identitas Keluarga Miskin yang saya sertakan kemarin masih belum bisa membantu bu?” tanya Samijo.

“Sekali lagi kami mohon maaf pak. Kartu memang sudah kami terima, tapi menurut prosedur di rumah sakit kami, kami hanya bisa memberikan keringanan untuk biaya persalinan sampai anak yang kedua. Jadi, bapak tetap harus melunasi semuanya,” terang petugas itu sekali lagi.

Samijo masih berusaha memaksa tetapi petugas itu tetap bersikukuh dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh atasannya. Akhirnya, Samijo pulang dengan tangan hampa. Harapan bisa segera berkumpul dengan istri dan bayi yang sudah sangat dirindukannya pupus sudah.

Semilir angin yang semakin dingin membuyarkan lamunan Samijo. Entah esok ia harus mencari uang kemana lagi. Penghasilannya sebagai penarik becak tidak seberapa. Apalagi hutangnya kini semakin menumpuk. Bayangan masa depan keluarganya bertambah suram ketika memikirkan tempat tinggalnya yang kemungkinan seminggu lagi akan kena gusur. Ah… kemana ia mesti membawa istri dan anak-anaknya bertempat tinggal? Samijo semakin tenggelam dalam kekalutan yang tidak berujung.

Samijo atau entah siapa lagi, barangkali adalah potret dari sebagian (besar?) saudara kita. Mereka hidup miskin di tengah kemajuan dan kemewahan dunia yang banyak gemerlapan di sekitarnya. Mereka adalah sosok yang kerap terpinggirkan dan mendapat perlakuan yang tidak semestinya hanya karena mereka tidak berpunya.

Sejatinya, tanpa disadari, kitapun sama seperti Samijo. Kalau Samijo miskin karena tidak memiliki harta dan penghasilan yang cukup, kita miskin karena berbagai hal yang ada dalam kehidupan kita. Ketika petugas di rumah sakit itu ‘tidak mau tahu’ kesulitan yang dialami oleh Samijo, petugas itu mengalami miskin kepedulian. Pun ketika petugas Satpol PP dengan semena-mena melakukan razia pada para PKL yang berjualan di pinggir-pinggir jalan tanpa menghiraukan ibu-ibu yang menangis histeris sambil menggendong anak-anak mereka yang masih balita. Sama halnya dengan kita yang dengan seenaknya membuang sampah di sembarang tempat, atau melintas dengan seenaknya tanpa menghiraukan rambu-rambu ketika berada di jalanan.

Di dunia ini dari hari ke hari juga mengalami miskin kebaikan, miskin belas kasih, dan miskin cinta. Terbukti dengan beraneka tindak kekerasan yang semakin membudaya. Menodong, menipu, mencuri, berkelahi bahkan membunuh sudah menjadi menu sehari-hari.

Di tingkat pemerintahan dan para pejabat tinggi yang ‘sedang’ menikmati kekuasaan dilanda miskin moral dan miskin malu. Sudah punya kekayaan yang berlimpah, mereka masih saja melakukan tindak korupsi, mengambil yang bukan haknya, demi semakin memperkaya diri. Ketika pada gilirannya mereka tertangkap, mereka dengan segera menyusun berbagai dalih untuk merekayasa tindakannya itu.

Minggu, 12 Juli 2009

Award Kasih



















Ups… lega rasanya. Akhirnya ‘proyek besarku’ kelar juga. Proyek yang selama ini kuimpi-impikan dan ingin segera aku wujudkan. Mungkin ada yang bertanya, proyek apaan sih, kok kelihatanya serius banget? Pastinya… ini bukan proyek bikin jembatan untuk menandingi Suramadu atau bikin mercu suar kayak Petronas yang di Malaysia itu. Ini cuma proyek bikin award kok. Walah, bikin award sampai segitunya… Iya, kelihatannya sederhana tetapi ternyata bikin award itu (paling tidak bagiku) harus bener-bener serius mulai dari pemilihan gambar, tulisan hingga tema yang akan diusung. Harapanku, dengan award ini bisa semakin mempererat persahabatan dan memberi makna bagi persahabatan itu.

Award yang aku buat ada 4 buah dengan rancangan yang berbeda. Namun keempatnya memajang gambar hati. Hati yang murni. Hati yang suci. Hati yang memancarkan kasih untuk persahabatan. Kata kasih mengingatkanku pada surat Paulus yang pertama kepada jemaat di Korintus (1Kor 13:1-7) yang berbunyi: “Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku. Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.”

Award Kasih. Itulah award yang aku bikin. Dan keempat award ini akan aku berikan untuk para sahabatku yang sudah terlebih dahulu memberikan award, yang setia memberikan komentar untuk tulisan-tulisanku atau yang hanya singgah dan menyapaku melalui shoutmix. Mereka adalah: Sahabat Pena, Irma, PutyCyute, Tovarossy, Anazkia, Nadja Tirta, Reni, Fanda, Iik, King, Nana, Ateh75, Kokoda, Eha, Lisna, Purnawan, Tuan Malam, Mohalink, Irfan Melodic, Suara Petualang, Nura, Seti@wan Dirgant@ra, Penikmat Buku, Si Kumb@ng, Iwan Setiawan, Pinkflower, Dewi, Curly_t@urus, Raini Munti, Fanny, Renungan Senja, Blog Bisnis Muklis, Wiyono, Ronaldo Rozalino, Seri, Fia al Kurosawa, Henny, Karumbu, Eden, KangBoed, Arkasala, Stop Dreaming, Fandhie, Ammadis, dan semua sahabat yang belum sempat aku sebut namanya. Moga persahabatan di antara kita semakin dikobarkan oleh semangat kasih. Kasih untuk persahabatan dan persahabatan untuk kasih. Salam terkasih untuk para sahabat.

Rabu, 08 Juli 2009

Keseimbangan

Di dunia ini berlaku hukum keseimbangan. Siang berganti malam dan malam pun berubah menjadi siang. Ada berat ada ringan, naik-turun, daratan-lautan, baik-buruk, cantik-jelek, gemuk-kurus, pemangsa-dimangsa, kanan-kiri, tinggi-pendek, dan masih banyak lagi.

Saat manusia dapat merawat dan menjaga alam dengan baik maka alam akan memberi secara berlimpah. Sebaliknya, jika manusia hanya ingin mengeruk kekayaan alam dengan semena-mena seperti pembabatan hutan yang terus-menerus, mencari ikan dengan bahan peledak, mengebor sumber alam dan mengambilnya secara serampangan tanpa memikirkan sumber-sumber alternatif, maka alam pun akan membalas dengan banjir, lonsor, ikan-ikan yang mulai sulit dicari dan sumber-sumber alam yang semakin menipis.

Dalam berelasi dengan sesama, ada beragam keseimbangan yang perlu selalu kita lakukan. Kita nggak akan pernah bisa dihargai jika tidak terlebih dahulu memberi penghargaan kepada orang lain. Kalau kita enggak ingin dikatai-katai dengan kasar, dengan aneka bahasa ‘kebun binatang’, mengapa kita harus melakukannya kepada orang lain? Kalau kita selalu ingin mendapat kebaikan, mengapa kita tidak melakukannya juga untuk orang lain? Kita tidak ingin disakiti, maka jangan menyakiti. Kita ingin diberi maka terbiasalah juga untuk memberi.

Jadi, prinsip keseimbangan pada dasarnya akan membuat kita mawas diri. Selalu menjaga tutur kata dan perbuatan kita demi kebaikan diri sendiri juga untuk sesama.

Award Keren


Awalnya aku agak kaget juga... tiba-tiba aja aku bisa dapat award lagi setelah sekian lama lowong. Awardnya cukup keren dan mengingatkanku pada serial detektif terkenal dari Jepang yaitu Detektif Conan. Award ini kuterima dari Nana. Selain untuk menjalin persahabatan, ternyata award ini punya tujuan lain yaitu untuk meningkatkan backlink dan berhubungan juga dengan traffik blog kita. Untuk mendapatkan award ini ada PR yang mesti dikerjakan, yaitu:

Letakkan link-link berikut di blog atau artikel sobat: 1)Google, 2)Robby Hakim, 3)AeArc, 4)Surya Tips, 5)Antaresa Mayuda, 6)Henny, 7)Malezzbanget[dot]com, 8)azarre zarre, 9)Ceritaku tulisanku, 10)RuM@h_G03n

Tapi ingat, sebelum sobat meletakkan link diatas, sobat harus menghapus peserta nomor 1 dari daftar. Sehingga semua peserta naik 1 level. Yang tadi nomor 2 jadi nomor 1, nomor 3 jadi 2, dst. Kemudian masukkan link sobat sendiri di bagian paling bawah (nomor 10). Tapi ingat ya, kalian semua harus fair dalam menjalankannya. Jika tiap penerima award mampu memberikan award ini kepada 5 orang saja dan mereka semua mengerjakannya, maka jumlah backlink yang akan didapat adalah :

Ketika posisi sobat 10, jumlah backlink = 1
Posisi 9, jml backlink = 5
Posisi 8, jml backlink = 25
Posisi 7, jml backlink = 125
Posisi 6, jml backlink = 625
Posisi 5, jml backlink = 3,125
Posisi 4, jml backlink = 15,625
Posisi 3, jml backlink = 78,125
Posisi 2, jml backlink = 390,625
Posisi 1, jml backlink = 1,953,125

Dan semuanya menggunakan kata kunci yang sobat inginkan. Dari sisi SEO sobat sudah mendapatkan 1,953,125 backlink dan efek sampingnya jika pengunjung web para downline sobat mengklik link itu, sobat juga mendapatkan traffik tambahan.

Nah, silahkan copy paste saja PR ini, dan hilangkan peserta nomor 1 lalu tambahkan link blog/website sobat di posisi 10. Ingat, sobat harus mulai dari posisi 10 agar hasilnya maksimal. Karena jika sobat tiba2 di posisi 1, maka link sobat akan hilang begitu ada yang masuk ke posisi 10.

Untuk selanjutnya award ini akan kuteruskan untuk para sahabat baruku yaitu: Budiawanhutasoit, Desti, Bejo, Poetra, dan Gozi. Semoga kalian berkenan menerimanya.
Salam terkasih dalam persahabatan.

Senin, 06 Juli 2009

Merawat?

Aku selalu terpana setiap kali melihat pemandangan di tempat itu. Taman yang begitu asri dan indah. Rumputnya menghijau seluas mata memandang. Tanaman besar kecil tumbuh menghiasi taman. Ada yang daunnya hijau, merah, bersemu kecoklatan atau malah tidak berdaun. Ada yang berbunga indah. Pun juga ada yang hanya sebagai peneduh. Semakin terasa lengkap karena taman itu juga dihiasi dengan batu-batu besar yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat digunakan sebagai tempat duduk, kolam dengan ikan warna-warni yang hidup di dalamnya, gua buatan yang dibuat semirip aslinya, dan rangka kapal yang diletakkan di pojok taman. Semua menyatu menciptakan harmoni yang begitu padu.

Sayang, keindahan taman itu kini telah ternoda. Tanaman kaktus yang berada di pinggiran taman telah terkena tangan-tangan jahil. Tubuhnya kini dihiasi beraneka nama dari pengunjung yang sempat singgah. Guratan halus, kasar dan tidak beraturan tampak begitu jelas. Mungkin bila kaktus itu bisa bersuara, pasti akan kita dengar tangisnya yang meraung-raung menyayat hati, merasakan tubuhnya yang terluka begitu parah.

Perilaku yang hampir sama tapi dengan cara yang berbeda, juga kerap kita jumpai dalam keseharian. Pot-pot di pinggir jalan yang semula tertata indah, beberapa hari kemudian sudah jatuh tunggang-langgang, pecah dan berserakan. Kali yang dalam dan airnya yang mengalir lancar menjadi tersumbat dan mengeluarkan bau tidak sedap karena banyaknya sampah yang berada di dalamnya. Dulu, saat telepon umum koin sedang booming, di berbagai sudut jalan atau di tempat-tempat umum pasti tersedia tempat khusus yang menyediakan telepon tersebut. Namun anehnya, banyak telepon itu yang kemudian rusak. Entah kabelnya putus, gagang yang sudah hilang atau aneka coretan yang menghiasi. Di kotaku, nasib serupa juga pernah dialami oleh Lawang Sewu, sebuah gedung peninggalan Belanda yang menyimpan sejuta kisah. Lawang Sewu bertahun-tahun dibiarkan mangkrak dan tidak terawat. Dindingnya semakin kusam, lumutan dan beberapa bagian mulai rusak. Bahkan, beberapa kayunya juga sudah hilang dicuri orang. Contoh yang paling gres barangkali adalah jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Beberapa hari setelah jembatan itu diresmikan oleh presiden, diketahui bahwa ada baut-baut penyangga jembatan yang sudah hilang digondol maling. Wah!

Merawat itu memang lebih berat daripada membangun. Merawat juga lebih berat ketimbang menaruh sesuatu atau menyediakan sesuatu. Namun seberapapun beratnya, merawat harus tetap menjadi prioritas utama. Karena ketika kita sudah membangun, menaruh, menyediakan sesuatu dan kemudian kita membiarkannya begitu saja atau bahkan merusaknya, kita menjadi orang yang egois dan tidak bertanggung jawab. Egois dan tidak bertanggung jawab karena kita hanya memikirkan diri sendiri tanpa pernah mau memikirkan kelangsungan hidup anak cucu kita di kemudian hari. Apakah hal seperti ini yang kita inginkan?

Sabtu, 04 Juli 2009

Bukankah Kita Sama?

Katamu, aku belum layak jadi presiden
karena asalku dari suku yang lain
Katamu, agamaku tidak lebih baik dari agamamu
Katamu, kepercayaanku adalah sesat
karena tidak sesuai dengan kepercayaanmu
Katamu, aku hanya menjadi warga kelas dua karena kulitku hitam
Katamu, aku hanya bisa mengotori pandangan
karena pakaianku yang kumal, badanku yang tidak terawat
dan rumahku yang hanya beratap langit dan berdinding kardus
Katamu, aku harus disingkirkan hanya karena aku berbeda darimu

Bukankah, taman akan menjadi lebih indah
karena ada beraneka tanaman yang tumbuh di dalamnya?
Bukankah, kita manusia, disebut sempurna
jika memiliki rambut, telinga, hidung, mata, mulut, tangan dan kaki?
Bukankah, kita diciptakan dari bahan dan sumber yang sama?

Jadi, mengapa kita mesti saling memerangi?
Mengapa kita saling meninggikan hati?
Mengapa kita mengatakan yang lain buruk dan jahat?
Mengapa kita tidak memberi hak kepada yang lain
untuk hidup dan berkembang?

Kita adalah sama
berasal
dan akan kembali pada tempat yang sama

Rabu, 01 Juli 2009

8 Tahun

Hari terasa begitu indah
Seperti indahnya mentari yang menyembul perlahan di ufuk timur
Seperti cerianya burung-burung yang bernyanyi riang
menyambut pagi
Seperti bahagianya hati kami…
Hari ini tepat 8 tahun usia pernikahan kami

Perahu yang dulu tertambat kini perlahan lalu…
Rumah tangga yang kami bangun
dengan cucuran peluh,
aneka tawa dan tangis,
serta sakitnya tertusuk onak duri,
kini perlahan menemukan bentuknya
walau masih kasar… tapi kami percaya… dengan selangit kasih,
rumah itu akan menjadi istana emas yang berkilauan

Tuhan, syukur atas semua ini
KaryaMu sungguh agung
Takdirmu terasa menakjubkan
Meski belum ada tangis bocah dalam keluarga kami
tapi, kami percaya
RencanaMu tetaplah yang terbaik
RancanganMu adalah yang terindah

Tuhan, syukur atas segala karuniaMu