Malam bertambah larut. Angin berhembus perlahan melalui dinding bambu yang mulai rapuh dan berlobang, meninggalkan hawa dingin yang membungkus tulang. Samijo masih termangu di pinggir ranjang tuanya yang sudah reot. Di hadapannya, dua anak perempuannya yang masih berumur 5 dan 9 tahun tertidur dengan pulas. Perlahan, Samijo menarik napas dalam. Diraihnya fotocopy kuitansi yang tergeletak di sampingnya. Sejenak, kejadian tadi siang melintas kembali di hadapannya.
“Maaf pak, uangnya masih belum cukup. Jadi ibu dan anak bapak belum bisa dibawa pulang,” ujar salah satu petugas administrasi di rumah sakit tempat istrinya dirawat setelah habis melahirkan.
“Tapi bu, darimana saya bisa memperoleh uang sebesar itu? Hanya sejumlah ini uang yang saya punya, itupun berasal dari utang, “jawab Samijo dengan suara bergetar. “Apakah Kartu Identitas Keluarga Miskin yang saya sertakan kemarin masih belum bisa membantu bu?” tanya Samijo.
“Sekali lagi kami mohon maaf pak. Kartu memang sudah kami terima, tapi menurut prosedur di rumah sakit kami, kami hanya bisa memberikan keringanan untuk biaya persalinan sampai anak yang kedua. Jadi, bapak tetap harus melunasi semuanya,” terang petugas itu sekali lagi.
Samijo masih berusaha memaksa tetapi petugas itu tetap bersikukuh dengan prosedur yang sudah ditetapkan oleh atasannya. Akhirnya, Samijo pulang dengan tangan hampa. Harapan bisa segera berkumpul dengan istri dan bayi yang sudah sangat dirindukannya pupus sudah.
Semilir angin yang semakin dingin membuyarkan lamunan Samijo. Entah esok ia harus mencari uang kemana lagi. Penghasilannya sebagai penarik becak tidak seberapa. Apalagi hutangnya kini semakin menumpuk. Bayangan masa depan keluarganya bertambah suram ketika memikirkan tempat tinggalnya yang kemungkinan seminggu lagi akan kena gusur. Ah… kemana ia mesti membawa istri dan anak-anaknya bertempat tinggal? Samijo semakin tenggelam dalam kekalutan yang tidak berujung.
Samijo atau entah siapa lagi, barangkali adalah potret dari sebagian (besar?) saudara kita. Mereka hidup miskin di tengah kemajuan dan kemewahan dunia yang banyak gemerlapan di sekitarnya. Mereka adalah sosok yang kerap terpinggirkan dan mendapat perlakuan yang tidak semestinya hanya karena mereka tidak berpunya.
Sejatinya, tanpa disadari, kitapun sama seperti Samijo. Kalau Samijo miskin karena tidak memiliki harta dan penghasilan yang cukup, kita miskin karena berbagai hal yang ada dalam kehidupan kita. Ketika petugas di rumah sakit itu ‘tidak mau tahu’ kesulitan yang dialami oleh Samijo, petugas itu mengalami miskin kepedulian. Pun ketika petugas Satpol PP dengan semena-mena melakukan razia pada para PKL yang berjualan di pinggir-pinggir jalan tanpa menghiraukan ibu-ibu yang menangis histeris sambil menggendong anak-anak mereka yang masih balita. Sama halnya dengan kita yang dengan seenaknya membuang sampah di sembarang tempat, atau melintas dengan seenaknya tanpa menghiraukan rambu-rambu ketika berada di jalanan.
Di dunia ini dari hari ke hari juga mengalami miskin kebaikan, miskin belas kasih, dan miskin cinta. Terbukti dengan beraneka tindak kekerasan yang semakin membudaya. Menodong, menipu, mencuri, berkelahi bahkan membunuh sudah menjadi menu sehari-hari.
Di tingkat pemerintahan dan para pejabat tinggi yang ‘sedang’ menikmati kekuasaan dilanda miskin moral dan miskin malu. Sudah punya kekayaan yang berlimpah, mereka masih saja melakukan tindak korupsi, mengambil yang bukan haknya, demi semakin memperkaya diri. Ketika pada gilirannya mereka tertangkap, mereka dengan segera menyusun berbagai dalih untuk merekayasa tindakannya itu.
3 komentar:
Kemiskinan dalam bentuk apapun dan konsep apapun harus dibasmi, jika kita saling peduli terhadap sesama kita niscaya kemiskinan itu bisa diberantas... GBU mas...
Ternyata kemiskinan berarti tidak berhak mendapatkan pelayanan yang semestinya, tidak diperlakukan secara selayaknya dan tidak pantas mendapatkan keramahan. OMG... tragis sekali nasib mereka...
Padahal... siapa sih yang mau menjadi miskin ? Kalau boleh memilih, siapapun pasti ingin menjadi orang kaya dan sukses bukan?
tambah satu istilah lagi ... miskin perikemanusiaan
Posting Komentar