Rabu, 31 Desember 2008

Malam Tahun Baru


Malam yang ramai. Jalanan begitu padat oleh beragam kendaraan. Sementara para pejalan kaki beramai-ramai menyusuri jalan sambil bercakap dan bercanda satu sama lain. Beberapa di antara mereka ada yang membawa terompet dan kembang api. Tua muda, besar kecil, kaya miskin, semua berbaur menjadi satu. Menikmati malam tahun baru dengan penuh keceriaan.

Ketika detik-detik pergantian tahun kian menjelang, mereka berhenti. Ada yang di perempatan jalan. Di trotoar. Di taman pembatas jalan. Bahkan banyak pula yang masih duduk di atas sepeda motor yang diam bersandar. Semua serempak mengarahkan pandangan ke langit. Dan ketika nyala kembang api mulai bermunculan dengan suara bising dan cahaya yang berpendaran begitu indah di langit, semua bersorak. Semua tertawa riang. Kemudian banyak pula yang beramai-ramai mengabadikan pemandangan itu dengan kamera hp atau kamera digital yang memang sudah dipersiapkan. Setelah itu mereka saling bersalaman satu dengan yang lain.

Malam tahun baru, malam yang begitu membahagiakan bagi semua orang. Malam saat kita mengenang kembali perjalanan selama satu tahun yang telah ditempuh. Ada kesedihan. Ada kekecewaan. Ada luka hati yang mungkin belum sembuh benar. Namun tidak sedikit pula kegembiraan dan kebahagiaan yang telah dinikmati. Semua itu kini tinggal kenangan. Kenangan yang akan menjadi pengalaman untuk melangkah di kehidupan yang baru di tahun yang baru. Pengalaman yang akan menjadikan kita semakin arif dalam memaknai hidup. Memperbaiki segala kesalahan dan mulai merencanakan kehidupan yang lebih baik. Bagi pribadi, orang lain dan terutama untuk Tuhan.

Malam ini, di saat malam pergantian tahun, semestinya juga mengingatkan kita untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah merelakan hartanya untuk membeli berbagai kembang api yang dinyalakan demi kesenangan orang lain. Selayaknya kita juga patut mengucap terima kasih untuk bapak-bapak polisi yang merelakan waktunya mengatur jalanan agar tidak semrawut dan macet. Dan terutama kita sangat perlu memanjatkan syukur karena masih ada orang-orang yang di saat kita masih terlelap karena kelelahan di pergantian tahun, telah membersihkan sampah-sampah akibat perbuatan kita.

Selamat tahun baru. Semoga semangat baru, niat baru dan harapan baru senantiasa ada di dalam hati dan terwujud dalam tindakan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Amin.

Senin, 29 Desember 2008

Malam Natal di Katedral


“Selamat Hari Raya Natal. Semoga berkat dan damai sejahtera dari Allah melimpah bagi kita,” demikian sapaan bapak Uskup ketika mengawali homili pada Misa Malam Natal, 24 Desember 2008, pkl. 17.30 di Gereja Katedral. “Di tengah berbagai himpitan hidup, hendaknya kita terus berharap dan berseru ‘datanglah Tuhan, datanglah’ dan senantiasa bersyukur karena Allah telah menunjukkan kesetiakawanannya kepada kita dengan kelahiran PuteraNya”, tambah bapak Uskup. Lebih lanjut beliau mengajak seluruh umat untuk berbuat baik. Melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Tentu kebaikan harus diwujudkan dalam tindakan yang kongkrit. Mendorong anak-anak mempersembahkan bingkisan natal untuk kanak-kanak Yesus yang nantinya akan diberikan bagi orang-orang yang membutuhkan merupakan salah satu contohnya. Dengan rajin berbuat baik maka Yesus benar-benar lahir di tengah kita. WajahNya akan semakin tampak nyata dalam kehidupan kita.

Misa malam juga dimeriahkan dengan tarian malaikat yang dibawakan oleh tiga gadis cantik yang menari dengan lemah gemulai. Mereka menyambut prosesi perarakan bayi Yesus menuju ke gua. Sesampai di gua, Bapak Uskup menerima bayi Yesus dan kemudian meletakkannya di atas palungan. Setelah itu dilanjutkan dengan Doa Sembah Sujud yang didoakan oleh perwakilan anak-anak, kaum muda, dan orangtua.

Selamat Natal. Semoga Yesus sungguh hadir dalam kehidupan kita. Semoga damai Natal terus tertanam dalam hati dan berkatnya melimpah untuk hidup kita, kini dan selamanya. Amin.

Selasa, 16 Desember 2008

Studi Banding ke Purwokerto

Malam 13 Desember 2008, cuaca mendung. Bulan sekan-akan malu dan enggan menampakkan cahayanya. Kami pengurus Dewan Paroki Katedral yang terdiri dari Bidang Liturgi beserta seluruh tim kerjanya, PIA-PIR, kaum muda, komsos, koster, petugas sekretariat dan perwakilan pengurus wilayah Sampangan didampingi Rm. Sugiyana, Pr, tengah bersiap-siap melakukan perjalanan ke Purwokerto. Jadwal keberangkatan yang sedianya pk. 21.00 menjadi molor karena ada beberapa dari kami yang belum hadir. Akhirnya pk. 22.00 kami mulai berangkat.

Pk. 02.00 kami tiba di Kaliori. Rintik hujan yang tidak begitu deras menyambut kedatangan kami. Membuat kami enggan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat peristirahatan di Wisma Retret Maria Imakulata karena harus kami tempuh dengan berjalan kaki + 200 m di tengah kegelapan. Namun terdorong oleh rasa kantuk dan hasrat untuk segera memeluk bantal guling di atas kasur yang hangat, membuat beberapa dari kami nekad menerobos hujan.

Tak terasa, baru saja kami memejamkan mata, hari sudah beranjak pagi. Setelah mandi dan sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan ke Gereja Paroki Katedral Kristus Raja Purwokerto. Tempat inilah yang menjadi tujuan kami untuk melaksanakan studi banding.

Setelah mengikuti Perayaan Ekaristi bersama umat Purwokerto, kami disambut hangat oleh Pengurus Dewan Paroki Katedral Purwokerto. Sejenak kami beristirahat sambil menikmati kue srabi dan tempe mendoan dengan laburan sambal kecap beserta teh hangat dan coffe mix. Meski sederhana tapi sungguh terasa nikmat.

Kemudian kami berkumpul bersama untuk saling berkenalan dan bertukar pikiran. Romo. T. Puryatno, Pr selaku romo kepala paroki dan yang mewakili Dewan Paroki Katedral Purwokerto merasa sangat bahagia dengan kunjungan ini. Ia mengumpamakan peristiwa ini sebagai ‘yang besar mengunjungi yang kecil’ yang diharapkan akan membawa peneguhan iman. Lebih lanjut, beliau mengharapkan kita bisa saling belajar bersama dan saling melengkapi.

Rm. Sugiyana, Pr yang mendapat giliran selanjutnya mengutarakan alasan mengapa harus datang ke Paroki Katedral Purwokerto. Selain karena masih sama-sama katedral dan masih dalam lingkup Keuskupan Agung Semarang juga karena jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Selanjutnya romo mengajak rombongan dari Katedral Semarang untuk memperkenalkan diri satu demi satu.

Paroki Kristus Raja Purwokerto merupakan salah satu dari 22 paroki yang berada di bawah Keuskupan Purwokerto. Terdiri dari 19 lingkungan dan 11 stasi dengan 5 romo sebagai gembala umat. Jumlah umat + 4000 orang. Saat ini Paroki Katedral Purwokerto memfokuskan diri untuk menggarap SDM yang ada di dalamnya agar lebih bisa memberikan pelayanan kepada umat. Guna mendukung hal ini sudah dibuat pedoman untuk 10 th ke depan itu mau berbuat apa dengan harapan ke depan sudah mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Selain itu juga sudah dibuat beberapa pedoman untuk karya-karya pelayanan di dalam gereja diantaranya; pedoman untuk karyawan, pedoman visi dan misi paroki, pedoman pendampingan ppa (putra-putri altar), pedoman keuangan paroki, pedoman penggunaan PASCHALIS HALL (gedung serba guna seperti gedung Sukasari), pedoman pelaksanaan dewan paroki dan panduan praktis pelayanan pastoral. Dengan pedoman-pedoman ini diharapkan siapapun dapat membaca, memahami, melaksanakan dan kemudian mengevaluasinya sehingga semuanya akan selalu mengalami pembaharuan (3 th sekali) dan revisi untuk penyempurnaan.

Setelah berkumpul dalam kelompok besar, kemudian kami membagi diri dalam masing-masing tim kerja. Di sini terjadi pembicaraan-pembicaraan yang begitu hidup. Masing-masing saling bertanya jawab, saling mengisi dan saling melengkapi.

Tiada pertemuan yang tak akan berakhir. Tak ada perjumpaan yang tak bergandeng dengan perpisahan. Demikian juga dengan kami. Setelah makan siang, kata penutup dari Bp. Siranto dan pemberian kenangan-kenangan serta doa penutup dan pemberian berkat, berakhir sudah kunjungan studi banding kami siang itu. Sebagai kenang-kenangan kami berfoto bersama di halaman gereja dengan berlatar sebuah lonceng besar.

Terima kasih atas kehangatan dan sambutan yang sudah kami terima. Terima kasih atas berbagai masukan, saran, ilmu serta penyegaran yang juga boleh kami terima. Semoga semua ini semakin membuat kita tekun dalam pelayanan demi kemuliaan namaNya. Selamat berpisah. Selamat berjumpa di lain kesempatan. Tuhan memberkati.

Senin, 15 Desember 2008

Proses

Kang Somad sedang sibuk di pekarangan rumahnya. Tangannya kotor belepotan tanah dan pupuk kandang. Pagi ini ia sedang asyik berkebun, hobi yang sudah agak lama ditinggalkannya. Dengan cekatan ia memindahkan bibit tanaman mangga yang masih kecil-kecil ke dalam polybag yang telah dipersiapkannya. Mula-mula dengan hati-hati, ia mengambil bibit itu, memasukkannya ke dalam polybag, menambahkan tanah, memadatkannya, lalu memberinya sedikit air dan setelah itu disusunnya polybag itu di pojok rumah dengan rapi.

“Wah, lagi ngapain Kang?” Bejo tiba-tiba nongol di belakang Kang Somad.

Kang Somad hanya diam. Ia masih asyik dengan pekerjaannya.

“Lagi pingin alih profesi ya Kang?” ulang Bejo dengan nada sedikit keras.

Kang Somad sejenak menghentikan pekerjaannya. “Eh, kamu Jo. Ada apa, kok tumben pagi-pagi udah ke sini?” katanya sembari mengaduk-aduk campuran tanah dan pupuk kandang yang hendak diisikannya ke dalam polybag.

“Ditanya kok malah nanya, Kang!” sergah Bejo seraya duduk di samping sobatnya.

Kang Somad hanya terkekeh. “Mumpung hari libur jadi aku bisa berkebun lagi kayak dulu.” terangnya kemudian, mengobati rasa penasaran Bejo. “Lagian sayang kalo bibit mangga hasil semaianku ini enggak dipindah. Kan itung-itung investasi untuk masa depan.” lanjut Kang Somad sembari tangannya asyik membersihkan tanah dari bibit mangga yang barusan dicabutnya dari tempat persemaian.

“Investasi gimana maksudnya, Kang?” tanya Bejo penasaran.

“Coba kamu hitung, masih berapa lama lagi bibit mangga ini bisa menjadi pohon mangga yang rimbun yang sarat dengan buah. Masih berapa tahun lagi hingga bisa dirasakan buahnya? Mungkin sekitar 10-15 tahun lagi, kan.” terang Kang Somad.

“Lho, kan ndak harus repot-repot nunggu selama itu Kang. Beli aja di pasar, beres. Masih bisa pilih-pilih lagi.” sanggah Bejo.

“Kayak gitu sih emang gampang. Tapi kan lebih nikmat rasanya kalo bisa menikmati hasil dari kebun sendiri, lebih-lebih jika kita yang menanamnya,” jelas Kang Somad.

“Iya kalo kita masih diberi umur panjang. Lha kalo keburu dipanggil sama yang Di Atas, gimana Kang?”

“Lah, kan masih ada anak cucu kita yang akan memetik hasilnya!” jawab Kang Somad. Kemudian ia menghentikan pekerjaannya dan memandang Bejo dengan mimik serius, “Kebanyakan manusia itu memang kayak kamu, maunya pingin yang serba cepet, serba instan, ndak mau menunggu apalagi menghayati proses. Trus karena alasan-alasan itu mereka jadi menggampangkan segalanya, menghalalkan berbagai cara yang tak jarang merugikan orang lain hanya untuk sekedar mencapai hasil yang instan. Contohnya; pelajar yang karena malas belajar trus membikin catatan-catatan kecil untuk nyontek saat ujian tiba. Kasus lain, maraknya penjualan ijazah palsu dengan gelar yang bisa dipilih sendiri. Dan berbagai kasus korupsi yang sudah merugikan negara trilyunan rupiah.” lanjutnya.

Bejo merasa tertohok. Ia teringat saat masih bersekolah di SMP dulu. Saat Ia harus tinggal kelas hanya karena ketahuan mencontek saat ujian akhir.

“Kalo manusia ndak mau mengikuti proses berarti manusia itu menolak kehendak Tuhan. Coba kamu lihat bukankah manusia itu hidup karena ada proses. Mulai dari pertemuan sel antara pria dan wanita. Bayi yang lahir, menangis, makan, minum, berguling, merangkak, dan kemudian mulai berjalan. Kemudian ia beranjak remaja, muda, tua dan kemudian mati. Juga tumbuhan yang kini rindang dengan daun yang lebat dan batang besar yang begitu kokoh, dahulu berasal dari sebutir biji yang kecil.” Kang Somad mencoba membuka wawasan Bejo sahabatnya. “Dengan mengikuti proses, setiap manusia akan dapat selalu mengucap syukur. Bersyukur atas anugerah hidup, bersyukur atas kesempatan dan bersyukur atas segala karunia yang sudah diberikanNya kepada kita.” pungkasnya.

Bejo hanya diam. Ia semakin mengagumi kearifan sahabatnya.

Kamis, 11 Desember 2008

Kebenaran

Kang Somad terlihat sedang melamun ketika tanpa disadarinya, Bejo sang sobat datang menghampiri.

“Hayo, pagi-pagi kok udah bengong! Lagi ngelamunin apa Kang?” tanya Bejo sembari tangannya menepuk pundak Somad keras-keras.

Kang Somad terkaget-kaget dan tersadar dari lamunannya. “Waduh, kurang ajar kamu Jo, datang-datang nggak pake permisi malah bikin jantung copot...” teriak Kang Somad.

Bejo hanya tersenyum. Ia segera mencari tempat duduk di sebelah Kang Somad sambil tangannya dengan cekatan mengambil pisang goreng di atas meja. “Lagi ngelamunin apa Kang, kok keliatannya serius banget?” ulang Bejo.

“Ngalamun apa, wong aku tadi lagi mikirin film yang diputer kemaren malem itu. Kamu nonton ndak?” sambar Kang Somad.

“Wah, aku ndak hobi nonton film Kang, apalagi kalo muternya di atas jam 9 malem, pasti dech dah aku tinggal tidur.” jawab Bejo. “Film tentang apa sih, Kang?” lanjutnya penasaran.

“Filmnya kalo ndak salah judulnya THE NEGOSIATOR, ceritanya tentang polisi yang bertugas sebagai juru runding sandera. Tiap kali ada penyanderaan, pasti dia yang dipanggil sebab kalo ada dia pasti penyanderaan bisa diatasi dengan baik. Suatu saat, tokoh kita ini dijebak oleh sekelompok orang dalam kesatuannya yang tidak ingin rahasia kotor mereka terbongkar. Mereka dengan keji membunuh sahabat tokoh kita ini dan berusaha menimpakan semua kesalahan kepadanya, “ terang Kang Somad sungguh-sungguh.

“Lalu, gimana kelanjutannya, Kang?” tanya Bejo dengan mimik serius.

“Nah, karena merasa tidak membunuh sahabatnya, tokoh kita ini lalu membela diri. Ia berusaha meyakinkan orang-orang termasuk atasannya tentang hal itu. Namun semua orang ternyata tidak percaya dengan dia apalagi sudah ada bukti-bukti palsu yang memberatkannya. Karena kalut dan terdorong keinginan untuk membuktikan diri bahwa dirinya benar dan mencari siapa dalang sesungguhnya yang ada di balik kematian sahabatnya ini, ia melakukan tindakan ekstrim, menyandera atasannya. Dan, seluruh kota menjadi gempar. Seluruh kesatuan polisi dikerahkan untuk mengepung tokoh kita ini. Terjadi negosiasi yang alot diselingi baku tembak yang cukup menegangkan. Sampai pada akhirnya kebenaran itu tersingkap, terkuaklah dalang di balik peristiwa pembunuhan sahabatnya ini, yang ternyata adalah salah satu sahabatnya yang lain.”

Bejo terlihat manggut-manggut. Dengan tidak sabar ia bertanya, “Trus, apanya yang menarik, Kang?”

“Walah Jo, Jo, apa-apa kok selalu minta dijelaskan!” Kang Somad sejenak menyeruput kopinya yang sudah keburu dingin sebelum meneruskan perkataanya, “Gini: intinya adalah kebenaran. Kebenaran yang harus ditegakkan dan diperjuangkan dengan segala daya upaya, kalo perlu sampai titik darah penghabisan. Tentu kamu masih ingat kasus Munir. Tokoh kita yang satu ini tidak pernah takut untuk mengungkapkan kebenaran. Sampai suatu saat karena dianggap sudah terlalu membahayakan, ia harus dibunuh dengan cara diracun. Sampai kini dalang di balik pembunuhan itu tidak ditemukan (atau memang sengaja disembunyikan agar tidak pernah diketahui). Belum lagi kasus-kasus seperti kasus Tanjung Priok, kasus Trisakti, kasus Semanggi. Kebenaran dari kasus-kasus ini seolah-olah sukar untuk diungkap bagaikan menangkap bayangan di kegelapan malam.” terang Kang Somad.

“Tapi Kang, kita kan ndak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kita hanya orang-orang kecil yang ndak punya apa-apa selain diri kita sendiri. Lebih-lebih kalo kita lihat dunia sekarang ini. Wuih, ngegirisi banget. Dunia kita sudah penuh dengan kekerasan. Sudah diliputi banyak kejahatan yang terus dan terus berulang, “ ujar Bejo pesimis.

“Kalo kita hanya menunggu agar kejahatan dan kekerasan itu hilang dengan sendirinya rasanya memang tidak mungkin tapi kita toh masih bisa melakukan sesuatu agar kejahatan dan kekerasan itu lama-lama semakin berkurang. Semua diawali dan dimulai dari diri kita sendiri. Ndak perlu dari hal-hal yang besar dan spektakuler tapi mulailah dari hal-hal kecil yang ada di kehidupan kita. Satu hal yang perlu diingat adalah kesetiaan untuk menjaga agar kebenaran itu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dunia boleh jahat tapi jangan sampai kita ikut larut di dalamnya.” jelas Kang Somad.

Bejo mengangguk-angguk tanda mengerti.

Selasa, 09 Desember 2008

Kambing dan Serigala

Pada jaman dahulu, kambing berteman dengan serigala. Mereka hidup dalam damai dan saling tolong satu sama lain.

Suatu malam, kambing tengah terjaga. Sudah bolak-balik ia berusaha memejamkam mata tetapi tetap saja tidak bisa tidur. Dalam kepalanya terus saja terpikir sesuatu. Sesuatu yang membuatnya menjadi uring-uringan beberapa hari ini. “Aku harus bisa seperti serigala!” jerit hatinya. “Alangkah senangnya menangkap mangsa. Alangkah enaknya makan daging. Aku sudah bosan dengan makananku sehari-hari. Hanya rumput, rumput dan rumput melulu. Pokoknya, aku harus bisa seperti serigala!” tekad kambing, pasti.

Keesokan harinya, saat matahari baru masih malu-malu memberikan sinarnya, kambing bergegas ke rumah serigala. Di sana, dilihatnya serigala masih asyik bermalas-malasan di atas tempat tidur.

“Serigala, ayo cepat bangun! Aku ingin berburu denganmu,” teriak kambing.

Serigala terkejut. Sesaat ia melihat ke arah asal suara itu. Dilihatnya kambing sudah berada di depan pintu rumahnya. Sejenak ia merasa heran lalu katanya, “Eh, apa aku tidak salah dengar? Bukankah engkau tidak bisa berburu?” tanya serigala dengan wajah keheranan.

“Makanya aku pergi ke sini. Aku ingin kamu mengajari aku bagaimana caranya berburu dan menangkap mangsa. Aku ingin merasakan daging buruanku,” jawab kambing penuh semangat.

Serigala semakin terheran-heran. Namun ia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu terlebih ia sudah paham watak kambing. Jika sudah memiliki keinginan, pasti tidak bisa dicegah.

Mereka segera menuju ke tempat perburuan di balik bukit. Tempat di mana serigala biasa berburu. Dan memang, tempat itu dipenuhi hewan-hewan lain dari beragam jenis. Ada rusa, kelinci, kuda, harimau, burung dan masih banyak lagi.

Serigala mulai bersiap-siap. Pertama-tama ia mencari tempat persembunyian untuk mengintai hewan buruannya. Setelah menetapkan target, segera ia berlari dan mulai mengejar sang buruan. Tak berapa lama seekor kelinci telah berhasil ditangkapnya.

Kambing semakin iri melihat kepandaian sahabatnya. Dengan tidak sabar, ia minta diajari. Dan setelah merasa cukup mengerti, kambing ingin segera mencoba untuk berburu. Pertama-tama setelah mengintai beberapa saat, ia menetapkan seekor anak rusa gemuk yang tengah asyik makan sebagai sasaran. Dengan mengendap-endap kambing mulai mendekati anak rusa itu. Setelah dirasa cukup dekat, kambing segera berlari.

Anak rusa itupun terkejut melihat kedatangan kambing. Dengan reflek ia segera berlari menyelamatkan diri. Terjadi saling kejar. Kambing yang tidak biasa berlari segera saja ‘ngos-ngosan’ dan tertinggal jauh. Akhirnya anak rusa itu menghilang dari pandangan.

Kambing tidak putus asa. Segera ia menetapkan target buruan yang lain. Namun hal yang sama terus saja terulang. Ia gagal mendapatkan hewan buruannya hingga hari beranjak sore.

“Sudahlah kambing, ini memang bukan pekerjaanmu. Ayo kita segera pulang,” ajak serigala.

Kambing yang begitu kelelahan dengan kaki-kaki yang mulai gemetaran karena rasa capai yang tidak terkira hanya bisa menggangguk. Dengan langkah tertatih-tatih ia mengikuti serigala dari belakang.

Sesampai di rumah, serigala segera menghidangkan hasil buruannya di atas meja. Kambing sangat bersukacita atas kemurahan sahabatnya. “Tidak apa hari ini aku gagal, toh aku masih bisa makan daging buruan serigala, “ begitu pikirnya. Segera ia mengambil sepotong daging itu, mengigitmya sebentar dan kemudian menelannya. Aneh rasanya. Tiba-tiba perutnya terasa mual. Tapi kambing tidak mempedulikannya. Ia mengambil potongan-potongan daging yang lain. Mengunyahnya dengan tidak sabar. Terus dan terus. Tiba-tiba: “Aduh, sakit sekali…” teriak kambing sambil memegangi lehernya.

Serigala yang sedang asyik makan terkejut melihat sahabatnya. “Ada apa kambing…” Tergopoh-gopoh serigala mendekati kambing.

“A.. a.. ada tulang nyangkut di tenggorokanku. Tol..tolong aku serigala… Aku tidak bisa bernapas!” Kambing merem melek menahan rasa sakit yang luar biasa. Sementara serigala semakin kebingungan tidak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya kambing tidak sempat tertolong. Ia menemui ajal akibat kebodohannya sendiri.

Minggu, 07 Desember 2008

Cerita Pohon Asam Tua

Aku hanyalah pohon asam tua yang ada di pinggir jalan. Telah hampir seratus tahun aku berada di sini. Tumbuh dan melihat berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarku. Saat ini situasi begitu ramai. Berbeda dengan keadaan 30-40 tahun yang lalu. Ketika itu masih belum banyak keriuhan yang terjadi. Tanah-tanah di samping kiri kananku juga masih luas dan belum berpenghuni. Di depan dan belakangku juga belum banyak berdiri gedung-gedung. Tapi kini semuanya telah berubah. Aku merasa terjepit di antara gedung-gedung tinggi dan mal-mal yang terus saja dibangun.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan. Entah siapa yang dulu telah menanam aku. Mungkin barangkali siapa pun dia berkeinginan agar nantinya aku dapat memberi kegunaan bagi ciptaan Tuhan yang lain. Dan cita-cita itu telah berhasil aku wujudkan di sebagian besar kehidupanku. Rindang daunku telah memberi keteduhan bagi siapa saja yang merasa kepanasan atau di kala hujan tiba. Lebat buahku juga memberi keuntungan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Tiap hari aku juga harus bekerja keras menyaring banyak udara kotor akibat aktifitas manusia.

Aku hanyalah sebuah pohon asam yang telah tua. Aku sangat sedih jika melihat ulah manusia. Selama ini mereka tidak pernah memelihara aku dengan sungguh-sungguh. Mereka jarang sekali menyirami aku disaat aku mengalami kehausan di tengah musim kering yang begitu panas. Mereka hanya ingin manfaat dariku. Dengan tanpa belas kasihan mereka memaku tubuhku. Dengan dalih karena akulah tempat yang paling tepat untuk memasang pengumuman, promosi, dan entah apa lagi. Apalagi jika musim kampanye tiba. Waduh, habis tubuhku dipaku oleh mereka. Seringkali aku juga kesulitan untuk sekedar bernapas ketika leher dan tangan-tanganku diikat oleh tali temali untuk memasang berbagai spanduk. Belum lagi jika ada tangan-tangan jail yang begitu teganya mencoret-coret dan mengelupasi kulit tubuhku.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tengah menanti ajal. Tubuhku yang telah renta kini semakin sakit akibat ulah para manusia itu. Aku ingin berteriak. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis keras-keras. Tetapi mereka tidak pernah mempedulikan aku. Mereka hanya menganggap aku sebagai benda mati yang bisa diperlakukan apa saja. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan, yang ingin dihargai, dirawat dan diperhatikan. Sebab aku juga makhluk hidup yang telah diciptakan oleh Tuhan.

Jumat, 05 Desember 2008

Mulut

Hari ini mulut lagi mengadakan aksi demo. Sepanjang hari ia memlester dirinya dan diam membisu ketika tangan, kaki, telinga dan mata berusaha menyapanya.

Ketika tiba waktunya berdoa di hadapan Tuhan seperti biasa, untuk pertama kalinya mulut mau membuka plester dan bersuara, “Tuhan, aku mau protes kepadaMu!” mulut memandang wajah Tuhan yang nampak terkejut. “Aku protes, mengapa Engkau hanya membuatku satu saja? Aku iri dengan teman-temanku, mata, telinga, kaki dan tangan. Mereka Kau ciptakan dua-dua sehingga selalu punya kawan dan tidak pernah merasa kesepian. Aku iri dengan mereka Tuhan!”

Tuhan terdiam mendengar protes mulut. Sejenak ia memandang mulut dengan seksama sebelum berkata, “Mengapa engkau protes dengan apa yang sudah Aku lakukan? Mengapa engkau iri dengan teman-temanmu?”

“Bukankah aku juga sama dengan teman-temanku itu. Bahkan aku merasa punya keunggulan dibanding mereka. Tanpa aku, mereka tidak akan bisa menyampaikan maksud dan keinginan mereka kepada yang lain juga kepadaMu?” jawab mulut berusaha membela diri.

Tuhan hanya tersenyum, kemudian katanya, “Wahai mulut, engkau memang pandai berkata-kata. Apakah engkau tidak belajar dari Hawa, manusia kedua yang Aku ciptakan di taman firdaus itu? Bukankah ia terjerumus ke dalam dosa karena bujuk rayu mulut ular yang pandai berkata-kata sepertimu?”

Mulut terdiam.

“Dan saat ini lihatlah juga keadaan manusia di sekelilingmu. Apa yang seringkali mereka lakukan dengan mulut mereka? Bukankah kekerasan, kekejian, ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang terus terjadi adalah buah dari mulut mereka. Mulut yang mencaci. Mulut yang menyumpah serapah. Mulut yang saling menghujat. Mulut yang pandai berbohong dan berdalih. Mulut yang berkata-kata kasar. Mulut yang selalu berusaha mencari kesalahan sesama dan menelanjanginya di depan banyak manusia lain. Mulut yang tidak suka akan perdamaian. Mulut yang penuh kedengkian. Mulut yang selalu iri dengan keberhasilan manusia lain. Mulut yang penuh dengan janji-janji palsu. Apakah engkau tidak pernah menyadarinya?” tanya Tuhan. “Jika dengan satu mulut saja semuanya ini bisa terjadi, bagaimana jadinya jika aku membuatnya menjadi dua?” lanjut Tuhan.

Mulut semakin terdiam. Ia kini mulai merasa bersalah.

“Ketika Aku menciptakan engkau hanya satu dan telinga dua, Aku berharap bahwa manusia akan lebih banyak mendengar daripada berkata-kata. Mendengarkan segala kebenaran dan kebaikan sebelum mengatakan sesuatu apapun itu. Saat aku menciptakan dua mata, Aku juga berharap manusia akan lebih banyak melihat segala kejadian sehingga ia dapat mengatakan sesuatu dengan tepat dan benar tanpa diiringi oleh penilaian-penilaian yang keliru. Dan apabila aku menambahkan dua tangan dan dua kaki, aku sangat berharap manusia tidak hanya berhenti pada kata-kata saja tetapi juga mampu mewujudkannya dalam karya dan tindakan yang nyata demi kebaikan dan keluhuran sesama manusia.”

Mulut tertunduk. Kini ia menyadari kebenarannya. Sejurus kemudian ia memandang Tuhan dan berkata, “Tuhan, ampuni aku yang bodoh ini. Aku hanya bisa menyalahkan Engkau tanpa pernah menyadari kebaikan yang selama ini Engkau berikan kepadaku. Bimbinglah aku agar aku bisa menahan diri terhadap kata-kata yang bertentangan dengan kehendakMu. Kuatkan aku agar aku senantiasa mampu menyampaikan kebaikan dan kebenaran dimanapun dan kapanpun. Dan terangi aku agar aku tidak hanya berhenti pada kata-kata kosong dan menipu tetapi dapat mewujud dalam tindakan untuk sesamaku.”

Rabu, 03 Desember 2008

Cermin


Aku memiliki sebuah cermin. Bentuknya bulat dengan lapisan plastik berwarna biru di pinggirnya. Cermin itu dahulu tergantung di dinding kamarku dan sering aku pergunakan untuk mematut diri. Saat kamarku direnovasi, cermin itu aku turunkan dan kemudian aku letakkan di pojok kamar. Hingga saat ini ia masih ada di sana, penuh debu dan kotor.

Setiap orang memiliki cermin. Ada yang bulat seperti punyaku. Ada pula yang persegi. Ada yang besar seukuran badan manusia, sedang atau bahkan hanya cermin yang kecil. Di depannya, kita biasa berlama-lama untuk sekedar menyisir rambut agar kelihatan lebih rapi, mencukur jenggot atau kumis yang mulai panjang atau memencet-mencet jerawat yang mengotori wajah kita. Dengan cermin kita juga terbiasa merias diri. Berdandan agar lebih cantik atau ganteng.

Selain cermin yang biasa kita lihat dan kita pergunakan, sebenarnya kita juga memiliki cermin yang lain. Cermin itu berupa masa lalu, pengalaman hidup, serta pergumulan kita hingga kita menjadi seperti saat ini. Mungkin saat ini kita adalah orang yang berada, banyak duit dan berkelimpahan dari yang dahulu miskin dan tidak punya apa-apa. Saat ini mungkin kita juga sudah menjadi orang yang begitu populer, sukses dan banyak dipuja-puji semua orang dari masa lalu yang bukan apa-apa.

Apakah situasi dan kondisi saat ini telah merubah kita? Karena kita sudah kaya maka sah-sah saja kita menikmati kekayaan dengan berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang, tanpa mempedulikan sesama yang berkekurangan. Mumpung kaya dan banyak uang kok, kenapa ndak dimanfaatin untuk yang enak-enak? Persetan dengan kesusahan orang lain! Juga karena merasa sudah begitu populer, membuat kita ndak mau kenal lagi dengan teman-teman kita, sanak saudara kita. Yang lebih gawat lagi kepopuleran dan kesuksesan ini membuat kita dengan gampangnya mencari selingkuhan sementara istri atau suami dan anak-anak menunggu di rumah dengan penuh harap.

Nah, di sini hendaknya kita mulai bercermin. Kekayaan yang sudah kita miliki dan nikmati saat ini mungkin memang buah dari hasil kerja keras kita selama ini. Namun tanpa kita sadari usaha itu sebenarnya juga karena dukungan dan perhatian orang-orang yang berada di sekitar kita. Begitu juga dengan kepopuleran yang sudah kita raih. Semua terjadi juga berkat perjuangan dan pengorbanan orang-orang di sekeliling kita.

Jika demikian, hendaknya apa yang sudah kita raih saat ini baik kekayaan maupun kepopuleran semakin membuat kita berani untuk mawas diri. Apakah kekayaan dan kepopuleran ini sudah aku pergunakan dengan semestinya? Apakah kekayaan dan kepopuleran ini membuat aku menjadi lupa diri? Membuat aku tidak peduli dengan lingkungan di sekitarku? Apakah kekayaan dan kepopuleranku ini semakin memperkembangkan hidup orang-orang di sekitarku menjadi lebih baik dan semakin manusiawi. Maka, marilah kita bercermin!

Senin, 01 Desember 2008

Matahari dan Pohon Tua


Pagi ini matahari lagi ngambek. Wajahnya ditekuk dan kelihatan jelek sekali. Ia sudah meniatkan diri untuk tidak melakukan apa-apa hari ini. Ia kepingin tidur seharian.

Saat hendak memulai aksi tidurnya, tiba-tiba datang sebuah pohon tua menghampirinya.

“Met Pagi, Mata. Tumben kok belum siap-siap berangkat kerja? Udah siang lho?!” sapa pohon tua ramah.

“Eh, Po Tua. Hari ini aku ndak mau kerja lagi! Aku pingin tidur saja!” jawab Mata sambil beringsut membetulkan letak selimutnya.

“Lho kok ndak kerja, lalu bagaimana jika hari ini dunia menjadi gelap gulita?” Po Tua keheranan mendengar jawaban Mata.

Biarin. Aku ndak peduli! Pokoknya aku ndak mau kerja lagi!!” seru Mata.

“Lagi ada masalah ya dengan pekerjaan yang kamu lakukan?” tanya Po Tua lembut berusaha menenangkan emosi Mata.

Melihat perhatian dari Po Tua, emosi Mata perlahan mereda. Ia segera menegakkan tubuhnya.

“Aku sudah bosan dengan pekerjaanku. Aku merasa apa yang sudah aku lakukan selama ini hanya kesia-siaan belaka...!” urai Mata.

“Maksudmu?” tanya Po Tua tak mengerti.

“Coba lihatlah para manusia itu, apa yang telah mereka lakukan selama ini? Mereka hanya mau menangnya sendiri. Mereka tidak pernah mau belajar untuk setia seperti kesetiaan yang selama ini telah aku tunjukkan. Dengan seenaknya mereka menceraikan istri-suami mereka hanya karena merasa istri-suami sudah ndak menarik lagi. Sudah merasa populer dan banyak uang hingga sah-sah saja kalo mencari wanita atau pria pendamping lain. Berbuat kasar terhadap istri, suami atau anak-anak mereka. Dan ujung-ujungnya mereka saling berebut harta, berebut anak bahkan berebut harga diri. Lalu apa artinya pesta pernikahan megah yang dahulu pernah mereka lakukan hingga menelan biaya miliaran rupiah. Apa artinya menikah di tempat-tempat yang suci kalo ujung-ujungnya hanya untuk bercerai!” Sejenak Mata menghela napas. “Mereka juga tidak pernah mau belajar setia pada kebenaran. Setia dengan hati nurani mereka masing-masing. Orang saat ini begitu mudah tersulut emosinya bahkan saling bunuh hanya karena masalah sepele. Lebih parah lagi, mereka memperlakukan sesamanya seperti hewan yang bisa dimutilasi dan dibuang bak seonggok sampah yang tiada berguna. Belum lagi mereka suka bertikai, tawuran yang tidak jelas, berperang hingga mengorbankan kepentingan sesama yang tidak berdosa. Sebagian lagi lebih suka menghambur-hamburkan uang karena merasa sudah berkelimpahan. Padahal harta yang mereka dapat itu dari hasil merampok dan merampas hak orang lain dengan cara korupsi. Nah, jika demikian bukankah apa yang aku lakukan selama ini tidak ada artinya sama sekali?” Mata terengah-engah dengan penjelasannya yang panjang lebar.

Po Tua hanya terdiam. Beberapa saat ia mencoba memahami kegelisahan yang dirasakan oleh Mata sahabatnya.

“Mata, dulu aku juga pernah merasakan perasaan seperti itu. Perasaan tidak dihargai. Perasaan diabaikan dan tidak dianggap ketika para manusia itu dengan seenaknya menggunakan anggota tubuhku untuk kepentingan mereka. Memaku dengan sadis. Mengikat dengan tali temali sekuat tenaga hingga aku kesulitan untuk bernafas. Dan masih banyak lagi kesengsaraan yang mereka buat untukku. Namun akhirnya aku sadar, aku harus tetap bertahan…” terang Po Tua.

“Apa maksudmu…?” tanya Mata kurang mengerti.

“Coba lihatlah sekelilingmu. Bukankah di hamparan ilalang masih banyak tumbuh bunga indah beraneka warna. Bukankah masih ada keharuman di tengah bau yang tidak sedap sekalipun,” jawab Po Tua.

“Ayolah, Po Tua. Jangan malah memberi perumpamaan yang berbelit-belit seperti itu. Aku semakin tidak mengerti?” bujuk Mata.

“Di tengah ketidaksetiaan istri dan suami masih banyak juga yang tetap setia mempertahankan pilihan mereka. Satu istri atau satu suami hingga maut memisahkan. Diantara manusia yang suka bertikai, masih ada yang selalu mengusahakan perdamaian. Masih banyak pula yang menjunjung tinggi rasa cinta terhadap sesama. Saling menghargai, memberi perhatian dan saling menolong. Dan ada pula yang selalu mengusahakan kebaikan untuk hidup bersama. Bukankah untuk mereka semua itu, cahayamu akan sungguh berguna? Bukan saja akan menjadi penerang bagi langkah mereka tetapi lebih-lebih akan menjadi pelita dan sumber teladan bagi manusia lain yang hidup dalam kegelapan.” jelas Po Tua.

Mata manggut-manggut. Ia berusaha meresapi apa yang barusan dikatakan Po Tua.

“Satu hal yang harus diingat: Kita harus bertahan. Bertahan untuk tindakan yang baik di tengah banyak keburukkan dan kejahatan. Jangan sampai kita hanyut pada arus yang membawa kita pada ketidaksetiaan dan kegelapan. Kita harus berani setia pada kebenaran yang sudah kita pilih dan berani pula untuk mempertanggungjawabkannya!” tambah Po Tua.

Mata semakin mengerti. Sejurus kemudian ia teringat sesuatu dan segera berlari sambil berkata, “Trima kasih Po Tua, kini aku mengerti. Maaf, aku harus segera pergi untuk melaksanakan tugasku…”

Po Tua tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Dalam hati ia bersyukur karena sudah berhasil menyampaikan kebenaran.

Minggu, 30 November 2008

Di Luar...


Sore ini ketika misa tengah berlangsung, Romo yang berada di altar tiba-tiba menghentikan kegiatannya dan berkata, “Mohon bapak-ibu yang masih berada di luar agar segera masuk ke dalam karena di dalam masih banyak tempat duduk yang kosong.” Suasana menjadi hening. “Jika bapak-ibu tidak mau masuk, misa ini tidak akan saya lanjutkan!” tegas Romo. Satu, dua, lima menit berlalu. Sejurus kemudian tampak beberapa umat mulai masuk dan menempati bangku-bangku yang masih kosong, sementara umat lain yang berada di dalam (yang saat itu tengah berdiri) menunggu sambil celingukan melihat orang-orang itu.

Sebenarnya mengapa mengikuti misa di luar? Ada beragam alasan yang dikatakan. Karena tempat duduk di dalam sudah penuh. Datang terlambat sehingga jika masuk ke dalam merasa malu kalau mengganggu umat yang lain. Karena bisa pulang cepat jika nanti misa sudah selesai. Atau karena memang sudah menjadi kebiasaan.

Mengikuti misa minggu di gereja bagi orang Katolik adalah suatu keharusan. Ini adalah bentuk tanggung jawab dan tanda bakti kita kepada Tuhan yang sudah memberi hidup. Dan ketika tiba di gereja pilihan kemudian ada di tangan kita. Memilih mengikuti misa dengan duduk tenang di dalam sambil menyimak dan mendengarkan sabda Tuhan serta homili Romo dengan seksama. Bernyanyi dengan suara lantang dan mendaraskan doa dengan sungguh-sungguh. Atau lebih memilih mengikuti misa di luar. Dengan duduk atau berdiri di dekat motor atau mobil (sambil njagain juga, takut ntar ada apa-apa...), memilih di pos satpam agar tersembunyi dan tidak kelihatan umat lain (kalo lagi ikut misa…), di taman doa atau duduk di depan dan samping gereja dengan menggunakan kursi-kursi plastik persis seperti di warung-warung makan.

Sekali lagi pilihan memang ada di tangan kita. Namun ketika kita meniatkan diri untuk mengikuti misa akan lebih baik ketika kita bisa bersungguh-sungguh. Sungguh-sungguh memberikan satu atau dua jam kita untuk Tuhan tanpa diganggu oleh pikiran-pikiran kemanusiaan kita. Karena itu berarti kita telah bersyukur atas segala karunia yang sudah dilimpahkan-Nya untuk kita.

Jumat, 28 November 2008

Rem

Pernahkah kita membayangkan andai kendaraan atau mobil kita tidak diberi rem? Bagaimana ketika kita ngebut di jalan raya dan tiba-tiba harus berhenti mendadak karena lampu lalu lintas menyala merah? Bagaimana jika berada di jalanan yang menurun?

Rem mungkin hanyalah bagian kecil dalam motor atau mobil kita. Namun berkat jasanya kita bisa mengendalikan motor atau mobil kita yang cukup besar. Dengannya kita bisa lebih menghargai pemakai jalan yang lain. Kapan saatnya berhenti. Kapan harus menahan diri untuk tidak menyalip atau ngebut. Dengan rem kita bisa lebih berhati-hati ketika berada di jalanan.

Manusia juga sudah diberi rem oleh Tuhan. Rem itu adalah hati nurani. Persoalannya adalah apakah rem itu masih kita pakai? Ataukah sudah sejak dahulu kita lepas dan kita buang entah kemana? Melihat situasi dan kecenderungan masyarakat dewasa ini hal itu sudah terjadi. Kekerasan ada di mana-mana. Ketidakadilan bertumbuh semakin besar. Hanya karena persoalan sepele dengan mudahnya manusia saling bertikai, tawuran bahkan saling bunuh dengan cara-cara yang begitu biadab. Manusia mencari hal-hal untuk memuaskan nafsu tanpa mempedulikan sesama dan lingkungannya dengan foya-foya dan korupsi di segala bidang.

Untuk itu, kembali menggunakan rem adalah satu-satunya jalan yang mesti diperjuangkan. Memang sungguh berat apalagi ketika melihat pengaruh lingkungan yang ada di sekitar kita. Materialisme, hedonisme, kesenangan-kesenangan sesaat seakan terus hadir dan berlomba-lomba mempengaruhi kita. Mereka menawarkan sejuta kenikmatan dan kesenangan semu yang pada akhirnya membuat kita menjadi bimbang dan gampang terjatuh.

Tapi disadari atau tidak, itulah tantangan yang harus dihadapi. Rem yang sudah kita miliki hendaknya kembali kita rawat dengan baik. Kita jaga agar tidak cepat aus tergerus oleh keadaan dan lingkungan yang menawarkan banyak keindahan semu. Rem itu senantiasa kita lumasi dengan rajin mendengarkan firman-firman-Nya melalui doa dan ibadah kita sehari-hari serta ketekunan kita dalam melaksanakan kehendak baik. Berat memang, terlebih kita hanya manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Namun kita percaya, di bawah bimbingan-Nya tiada yang mustahil.

Rabu, 26 November 2008

Takut

Ketika aku masih kecil aku adalah seorang yang rendah diri. Karena perasaan itu membuat aku selalu takut jika harus berhadapan dengan orang lain. Bertemu dan berbicara dengan orang lain. Hingga remaja perasaan ini masih terus saja kubawa. Hingga suatu saat aku terpaksa harus bertemu dengan seseorang karena suatu keperluan yang penting dalam hidupku. Ada rasa bimbang dalam hatiku antara keinginan bertemu dan tidak. Satu, dua, tiga hingga beberapa hari aku menunda kepentingan ini. Lebih karena aku takut untuk bertemu. Takut, nanti pas ketemu mau ngomong apa? Gimana nanti kalau aku salah ngomong? Akhirnya aku memaksakan diri. Aku harus berani. Aku harus menghadapi ketakutan ini. Kalau tidak mulai sekarang, pasti semuanya akan terus tertunda. Dan akhirnya, aku menemui orang itu. Ternyata semuanya berjalan dengan lancar. Kekhawatiran yang ada di kepalaku selama ini hilang sudah… Dan sejak saat itu aku menjadi lebih berani.

Gatot, salah seorang teman di gerejaku lain lagi. Ia selalu takut jika berada di tempat yang gelap. Katanya ada yang selalu membayangi langkahnya. Jika terpaksa harus pergi ke suatu tempat di malam hari, ia selalu mengajak teman yang lain. Jika harus sendirian pasti ia tidak akan berani. Hingga ada olok-olok di antara kami: Gatot si gendut penakut. Percuma saja badannya yang gedhe tapi nyalinya ciut.

Rasa takut dimiliki oleh setiap orang. Takut karena merasa tidak mampu. Takut gelap (karena ada setan katanya seperti Gatot teman saya). Takut pada ketinggian. Takut jika mendapat nilai yang jelek. Takut kehilangan orang yang disayangi. Takut jika tidak bisa membahagiakan istri. Takut hidup sengsara. Takut kehilangan pekerjaan. Takut jika pekerjaan tidak selesai tepat waktu. Takut tidak punya uang. Dan banyak jenis ketakutan yang lain.

Rasa takut bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi kita perlu bersyukur karena kita punya rasa takut. Takut dengan nilai jelek membuat kita belajar dengan giat untuk memperoleh hasil yang bagus. Takut jika pekerjaan tidak selesai tepat waktu membuat kita tidak menunda-nunda jika ada suatu pekerjaan yang harus segera diselesaikan. Membuat kita menjadi lebih rajin dan tekun. Takut mengecewakan orang lain membuat kita lebih hati-hati dengan perkataan dan perbuatan kita. Takut akan Tuhan membuat kita selalu sadar akan tindakan yang kita lakukan. Apakah sudah sesuai dengan tuntunan-Nya? Atau tindakan kita justru sudah melanggar perintah-Nya?

Di sisi yang lain, rasa takut juga menimbulkan tindakan yang cenderung negatif. Karena takut jika mendapat nilai jelek membuat orang mengambil jalan pintas dengan membuat catatan-catatan kecil agar bisa mencontek. Takut tidak punya uang membuat orang menjadi gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Mencuri. Menodong bahkan kalau perlu membunuh. Mengambil hak orang lain dengan cara korupsi.

Rasa takut jangan sampai membuat kita lari dari kenyataan. Rasa takut harus dihadapi. Rasa takut akan membuat kita menjadi lebih waspada. Akan membuat kita lebih mempersiapkan diri dan membuat kita lebih bertanggung jawab dalam segala hal. Tentunya jika kita mengambilnya dari sisi yang positif.

Senin, 24 November 2008

Hujan

Pagi ini hujan turun membasahi bumi. Dan hawa dingin datang menyergap kehidupan. Aku masih meringkuk di bawah selimut ketika tiba-tiba bunyi alarm berbunyi. Rrrriiiinngggg…. Aku mencoba membuka mata walau berat dan kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 05.00. Aduh, aku harus bangun! Aku harus segera mandi karena hari ini aku sudah berjanji untuk mulai lagi mengikuti misa harian yang sejak tiga hari ini sudah aku tinggalkan.

Sejenak aku terdiam. Bukankah di luar hujan deras? Apakah aku akan nekat menerobos hujan untuk mengikuti misa? Aku berada dalam kebimbangan. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap berangkat. Kenapa aku harus takut dengan hujan? Bukankah aku bisa memakai payung?

Hujan bagi sebagian orang kadang terasa menakutkan. Menakutkan karena ia bisa saja datang begitu tiba-tiba dan memporak-porandakan pesta ultah atau pesta perkawinan yang sudah dirancang sempurna dengan undangan yang berlimpah. Menakutkan karena mungkin ia juga akan membatalkan janji kita dengan klien penting yang akan mendatangkan keuntungan besar.

Bagi sebagian yang lain hujan memang benar-benar menakutkan karena ia menyebabkan banjir. Banjir yang menenggelamkan apa saja. Banjir yang membuat jalanan jadi macet, semrawut dan penuh ketidaksabaran dimana-mana. Banjir yang kemudian membuat rumah kita menjadi kotor penuh sampah dan lumpur, yang membuat kita harus bersusah payah untuk membersihkannya.

Namun bagi sebagian yang lain, hujan adalah berkah. Hujan menjadi rahmat yang sungguh dinantikan oleh para petani yang sawahnya kering, tanahnya pecah-pecah dan tandus akibat kekeringan selama berbulan-bulan. Hujan adalah anugerah karena ia membawa pertanda dimulainya sebuah pengharapan. Pengharapan akan kehidupan yang lebih baik.

Hujan tetaplah hujan. Tetapi darinya kita bisa belajar tentang artinya sebuah persiapan.

Hujan yang datang hendaknya mengingatkan kita untuk segera membenahi atap rumah yang bocor. Hujan yang datang kiranya juga mengingatkan kita untuk segera memeriksa got depan atau samping rumah. Apakah ia mampet karena sudah terlalu banyak timbunan sampah? Bukankah kita harus segera membersihkannya agar ketika hujan itu datang dengan deras, air dapat segera mengalir dengan lancar sehingga tidak terjadi banjir. Bukankah hujan yang datang juga mengingatkan kita untuk selalu menjaga raga kita agar tetap kuat beraktivitas dan tidak mudah terserang penyakit.

Memang datangnya hujan mengajak kita untuk bersiap-siap. Namun alangkah lebih baik jika persiapan itu bisa kita lakukan jauh hari sebelum ia benar-benar datang seperti halnya para petani yang sawahnya kering, tandus dan pecah-pecah akibat kemarau. Mereka tidak diam berpangku tangan tetapi tetap mencangkuli dan membajak tanahnya dengan penuh kesabaran agar ketika hujan itu benar-benar turun mereka dapat segera memanfaatkan tanah itu untuk menaburkan benih kehidupan. Nah!

Sabtu, 22 November 2008

Kebiasaan (2)

Pagi hari biasanya kita bangun jam berapa? Jam 4,5,6,7 atau malah jam 8. Apa yang kemudian kita lakukan? Leyeh-leyeh sebentar di tempat tidur atau segera beranjak bangun? Berdoa dulu atau tidak? Mandi atau makan terlebih dahulu? Setelah itu biasanya apa? Baca koran, nonton tv sembari nyeruput secangkir kopi. Istirahat sejenak kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor.

Setiba di kantor, biasanya apa yang kita lakukan pertama kali? Memeriksa arsip-arsip, nyantai dan ngobrol dengan rekan-rekan atau langsung bekerja? Kemudian saat jam istirahat, pergi ke warung langganan kita yang ada di depan kantor atau di kantor saja karena sudah membawa bekal sendiri dari rumah agar lebih ngirit? Jam 16.00 atau jam 16.30 pulang dari kantor?

Sampai di rumah, makan, mandi kemudian bercengkerama dengan anak istri sambil nonton acara sinetron dan berita? Jam 22.00 kita kembali beranjak tidur? Begitu seterusnya dari waktu ke waktu.

Hidup manusia memang hanyalah rangkaian kebiasaan. Kebiasaan yang dibentuk melalui faktor dari dalam (intern) maupun faktor dari luar (ekstern). Faktor dari luar biasanya dipengaruhi oleh lingkungan sekitar di mana manusia itu hidup baik melalui orang-orang terdekat (orangtua, istri, suami, anak-anak) maupun pribadi-pribadi lain yang hadir dalam perjumpaan sehari-hari. Sedangkan faktor intern adalah kepribadian, sifat-sifat dasar yang dimiliki manusia yang sudah dikaruniakan oleh Tuhan.

Ada dua jenis kebiasaan yang saling bertolak belakang. Kebiasaan baik dan kebiasaan buruk. Kebiasaan baik akan memberi manfaat dan kebahagiaan bagi orang yang melakukannya sedangkan kebiasaan buruk akan membawa efek negatif, langsung-tidak langsung, kecil-besar, untuk orang yang memilih melakukannya.

Pertanyaannya, bagaimana manusia harus memilah kebiasaan itu? Mana kebiasaan yang baik, yang harus dilakukan dan mana yang buruk, yang harus dijauhi? Dari sononya, manusia sudah dikaruniai akal dan pikiran oleh Tuhan. Akal dan pikiran ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya demi kebahagiaan diri sendiri dan juga orang lain. Dengan akal dan pikiran manusia akan bisa menilai, menimbang baik buruk suatu kebiasaan. Kebiasaan baik akan terus dipupuk, dirawat dan dilakukan serta diusahakan untuk terus ditambah. Sedangkan kebiasaan buruk dihilangkan.

Memang tidak akan mudah. Baik untuk memulai suatu kebiasaan yang baik atau menghilangkan kebiasaan buruk yang sudah bertahun-tahun dilakukan. Banyak godaan yang akan hadir. Tapi percaya deh, asal ada niat, kemauan yang kuat serta kesadaran akan kebiasaan tersebut semuanya pasti akan dapat dilakukan. Dan yang pasti jika hari ini gagal, kali lain kita akan tetap terus berusaha hingga berhasil.

Marilah kita berlomba-lomba melakukan kebiasaan yang baik. Tidak usah mulai dari hal-hal yang spektakuler tapi mulailah dari hal-hal sederhana, kecil dan kelihatannya remeh. Membiasakan diri berpamitan ketika berangkat kantor atau sekolah. Membiasakan diri bersikap ramah, menyapa dan memberi senyum dengan orang-orang yang kita jumpai dalam perjalanan. Itu beberapa contohnya. Nah, segeralah biasakan diri dengan hal-hal yang baik...

Kamis, 20 November 2008

Mengikuti Misa Harian

Sudah hampir dua minggu ini tiap pagi aku selalu mengikuti misa harian. Awalnya sungguh berat untuk melaksanakan kegiatan ini. Aku yang tadinya biasa bangun pukul 6 pagi harus mulai belajar untuk bangun lebih awal. Meski rasa kantuk masih bergelayut di kedua pelupuk mataku, namun aku harus berusaha. Satu dua kali masih malas-malasan. Tapi kini setelah jalan beberapa hari ternyata kegiatan ini memberi kenikmatan bagiku.

Mengikuti misa harian membawa dampak positif bagiku. Sepulang dari Gereja, aku menjadi lebih leluasa mengisi waktuku sebelum berangkat ke kantor. Aku bisa lebih nyantai. Hal lain yang aku rasakan, hatiku menjadi lebih tenteram dan damai sehingga aku lebih bersemangat menjalani hidupku.

Ketika aku merenungkan kegiatan ini lebih dalam, ada beberapa nilai yang bisa aku dapatkan. Nilai-nilai itu diantaranya:
Bersyukur.
Bersyukur karena Tuhan sudah memberikan hidup baru, hari baru dan semangat yang baru. Bersyukur karena Dia memberi kesempatan kepadaku untuk masuk dan bersimpuh di tempat kediaman-Nya.
Mendengarkan firman-Nya
Aku bisa belajar dan menghayati firman Tuhan serta melaksanakannya dalam hidup hari ini sesuai arahan Romo yang diberikan melalui homilinya.
Menerima Tubuh Kristus
Melalui ekaristi suci aku diperkenankan menerima Tubuh Kristus. Dan dengan Tubuh Kristus di dalam diriku, aku dikuatkan untuk melangkah sesuai dengan perintah-Nya.
Memperoleh berkat perutusan
Dengan berkat yang aku terima aku memperoleh rahmat untuk hidup hari ini dan membagikannya kepada sesama.

Bapa,
aku bersyukur atas hari baru, hidup baru dan kesempatan baru yang Engkau berikan hari ini
aku bersyukur karena Engkau memanggilku untuk hadir di hadapan-Mu
aku hanyalah manusia yang lemah
penuh dosa dan ketidakpantasan
namun aku bersyukur Engkau senantiasa mempedulikan aku

Bapa,
aku pasrahkan seluruh hidupku kepada-Mu
aku pasrahkan segala rasa hatiku kepada-Mu
di dalam nama Putera-Mu terkasih
Tuhan kami Yesus Kristus
kini dan sepanjang masa
Amin.

Selasa, 18 November 2008

Kekerasan

Pagi ini di sebuah stasiun televisi swasta ada sebuah berita tentang tawuran yang melibatkan 2 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Bogor. Akibat tawuran itu telah menyebabkan seorang pelajar meninggal dunia dengan beberapa luka bacok di tubuh. Ironisnya, pelajar ini adalah pelajar teladan yang ikut tawuran karena ingin dianggap solider kepada teman. Di Koran Kompas hari ini juga dimuat berita tentang bentrok fisik antara mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Nusa Cendana dan mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Kupang di Kupang, Nusa Tenggara Timur yang menyebabkan satu orang tewas dan sembilan luka-luka. Bentrokan ini terjadi hanya karena saling ejek. Beberapa waktu yang lalu kita juga disuguhi aksi kekerasan yang terjadi di lapangan sepakbola dalam negeri. Pelatih dan official memukul wasit. Pemain mengeroyok wasit hingga babak belur. Dan para pemain yang saling baku hantam karena emosi yang tidak tertahan.

Dalam lingkungan yang paling dekat dengan kita yaitu keluarga, kekerasan juga seringkali terjadi. Suami memukuli istri. Suami istri menganiaya anak atau pembantu. Dan yang terbaru adalah istri yang tega memutilasi suaminya menjadi 14 bagian hanya karena perasaan jengkel yang begitu meluap. Kelewatan!!!

Kenapa kekerasan demi kekerasan senantiasa menghiasi kehidupan sehari-hari kita? Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab timbulnya hal tersebut. Mulai dari perkara yang paling sepele seperti saling ejek, saling pandang, masalah wanita, rasa tidak puas, perbedaan pendapat, jengkel, motif ekonomi atau karena pengaruh dari media. Tidak bisa dipungkiri, pengaruh media sekarang ini memang sedemikian kuat. Televisi lewat beragam tayangannya baik berupa berita, film kartun (animasi), reality show, sinetron hingga film-film luar maupun dalam negeri seringkali menvisualkan kekerasan demi kekerasan secara vulgar mulai dari pagi hingga malam hari. Begitu terus dari waktu ke waktu. Belum lagi lewat berita-berita di media massa.

Apakah kekerasan demi kekerasan ini memberi keuntungan kepada kita? Apakah dengan kekerasan hidup menjadi lebih baik? Tentu semua akan sepakat tidak sama sekali. Kekerasan hanya membawa penderitaan dan kekerasan-kekerasan yang lain. Hidup tidak tentram dan selalu diliputi ketakutan. Kalau begitu apa yang mesti kita lakukan? Jauhi kekerasan, biasakan hidup damai dan bagikanlah kasih kepada semua orang tanpa pandang bulu.

Tentu tidak mudah untuk melakukan hal ini. Kita harus siap dikucilkan dan dimusuhi. Kita harus siap dianggap sok suci, sok alim, sok pahlawan dan sok-sok yang lain. Namun tiada perubahan yang terjadi tanpa ada pengorbanan. Ini adalah tantangan yang harus dimulai dari diri sendiri. Ketika seseorang berkata-kata kasar kepada kita, balaslah dengan kata-kata yang lembut dan menentramkan. Ketika ada orang yang mengajak kita berkelahi, kita balas dengan permintaan maaf yang tulus karena mungkin ia sudah tersinggung dengan perbuatan kita. Ketika orang berusaha menanamkan kebencian, kita bagikan kasih kepada semua orang.

Berat memang, tapi kita percaya Tuhan akan selalu membimbing kita karena di atas segalanya Ia tidak menginginkan manusia hidup dalam kekerasan.

Senin, 17 November 2008

Peduli

Apakah kita peduli pada rambut yang mulai panjang, yang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pergi ke tukang cukur? Pada perut kita yang keroncongan di tengah kesibukan yang begitu padat? Apakah kita peduli pada mata yang sudah lelah akibat lama begadang?

Apakah kita peduli pada istri yang mengajak kita untuk berbicara? Peduli dengan omelan istri saat sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya? Apakah kita peduli pada bayi kecil kita yang menangis karena lapar dan mengompol? Peduli dengan ayah-ibu yang beranjak tua dan mulai sakit-sakitan?

Apakah kita peduli pada kamar tidur kita yang berantakan? Pada tumpukan pakaian di pojok kamar yang menunggu untuk dilipat dan disetrika? Pada pakaian yang mulai sobek? Pada tumpukan piring cucian di sudut dapur? Pada sepatu yang mulai berdebu? Peduli pada halaman rumah yang kotor? Pada got depan rumah yang mulai mampet? Pada sampah yang dibuang tidak pada tempatnya?

Apakah kita masih suka menerobos lampu lalu lintas di perempatan jalan saat warnanya masih merah? Pedulikah kita dengan anak-anak kecil di pinggir jalan yang asyik mengamen dan meminta-minta di saat teman-temannya yang lain bersekolah? Apakah kita peduli dengan situasi masyarakat di sekitar kita? Pada tetangga yang butuh bantuan?

Jika kita seorang perokok, apakah kita peduli dengan asap rokok yang mengganggu orang lain yang ada di sekeliling kita? Peduli bahwa dengan tindakan kita sudah merugikan kesehatan orang lain?

Jika kita seorang pedagang, apakah kita peduli dengan apa yang sudah kita jual? Dengan kualitasnya? Dengan harganya?

Jika kita seorang pemimpin, apakah kita peduli dengan rakyat yang kita pimpin? Dengan kebijakan-kebijakan yang kita ambil? Dengan janji-janji yang pernah diucapkan dahulu? Apakah kita peduli dengan kesejahteraan rakyat?

Dan, mengapa kita peduli semua itu?

Karena kita adalah makhluk Tuhan yang sudah dikaruniai akal dan budi. Karena Tuhan tidak hanya menciptakan AKU, KAMU atau KITA. Karena Ia telah menciptakan dunia seisinya secara lengkap dan sempurna.

Oleh karena itu kita harus peduli. Karena dengan peduli berarti kita sudah menghargai hidup. Dengan peduli kita belajar bersosialisasi dan bertoleransi. Dengan peduli membuat hidup menjadi damai, tenteram dan mutu hidup semakin berkembang. Dengan peduli berarti kita sudah bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena Ia pun sudah peduli pada kehidupan dan kebutuhan kita. Bersyukur atas segala kebaikan yang sudah diberikanNya untuk kita.

Nah, marilah kita peduli!!!

Minggu, 16 November 2008

Perbedaan

Pernahkah kita membayangkan apa jadinya jika Tuhan hanya menciptakan daratan? Apa jadinya pula jika hanya ada lautan? Bagaimana jika di bumi hanya ada manusia saja tanpa ada tumbuh-tumbuhan ataupun binatang? Terlebih lagi jika manusia yang diciptakan hanya laki-laki atau perempuan saja? Bosan, jenuh, atau malahan kita tidak ingin hidup.

Apakah kita juga pernah berlama-lama menatap hamparan padang rumput, hanya rumput? Apa yang kita rasakan? Malas, ah! Bandingkan jika kita menatap sebuah taman yang di dalamnya selain ada hamparan rumput juga ada beraneka tanaman bunga warna-warni, tanaman dengan daun yang indah, kolam kecil dengan beragam ikan, pancuran air lengkap dengan sebuah patung. Indah bukan? Pastinya kita akan betah berlama-lama menikmati taman ini. Mengapa? Karena adanya perbedaan.

Perbedaan adalah hidup. Dan hidup adalah bagaimana menyatukan perbedaan itu menjadi sesuatu yang dapat berjalan seiring sejalan tanpa adanya keinginan untuk saling menonjolkan diri.

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan seringkali tidak pernah mau kompromi dengan adanya perbedaan. Perbedaan harus disamakan. Diseragamkan. Karena yang paling baik adalah AKU. Jika tidak mau atau tidak bisa maka jalan satu-satunya adalah pemaksaan kehendak. Banyak kejadian yang bisa menjadi contoh dalam hal ini. Kasus bom Bali dan kasus bom-bom yang lain. Kasus penyerangan Aliansi Kebangsaan di Lapangan Monas oleh Laskar FPI. Dan masih banyak kasus yang lain.

Perbedaan adalah hukum alam karena sudah diciptakan oleh Tuhan. Perbedaan harus dihormati dan dijunjung tinggi. Dengan adanya perbedaan kita akan semakin berkembang sebagai manusia, bisa lebih menghargai hidup dan mengembangkan sikap toleransi. Dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sudah dikaruniai akal budi hendaknya manusia jangan pernah berpikir untuk menyeragamkan perbedaan karena itu bertentangan dengan kehendak Tuhan. Jadi, tetaplah berbeda!!!

Jumat, 14 November 2008

Akal dan Pikiran

Aku punya rekan sekerja bernama Arman (nama samaran). Dia adalah seorang yang banyak akal, lucu, periang, jahil dan gemar bercerita kepada rekan-rekan yang lain. Jika satu hari saja Arman tidak masuk kerja, kantor rasanya jadi sepi. Tiada celoteh-celotehnya yang begitu spontan dan lucu. Tiada kejahilan-kejahilan yang diperbuatnya. Pokoknya semua jadi terasa hambar.

Suatu ketika Arman bercerita tentang kehidupan keluarganya di rumah. Ia membanggakan diri bahwa di rumahnya sudah mempunyai 2 televisi warna, kulkas, playstation, blender, rice cooker dan sederet peralatan elektronik lainnya. Arman bangga bisa mengusahakan semua itu terlebih daya listrik di rumahnya hanya 450 W. Lho, kok bisa, padahal kan alat-alat elektronik yang dipergunakannya begitu banyak? Selidik punya selidik, ternyata ia sudah mengakali meteran listrik yang ada di rumahnya sehingga daya yang bisa dipakai menjadi tidak terhingga walau ia hanya membayar sesuai standar daya 450 W. Untung bukan, begitu katanya. Dengan biaya sedikit tetapi bisa memakai begitu banyak.

Akhir-akhir ini lewat tayangan di televisi, kita melihat ada begitu banyak penipuan yang sudah dibuat di sekitar kita. Sabun palsu, obat palsu, ikan palsu, buah palsu, telur palsu dan berbagai-bagai pemalsuan yang lain. Orang semakin pandai menggunakan akalnya untuk melakukan banyak pemalsuan. Mencari jalan agar mereka mendapat untung yang sebesar-besarnya. Mereka tidak berpikir bahwa akibat perbuatannya itu sudah merugikan dan membahayakan orang lain.

Lain lagi cerita tentang LAPINDO. Kenapa bencana seperti LAPINDO bisa terjadi. Semula karena orang terlalu membanggakan akalnya. Orang merasa jumawa, keminter dan menggunakan akalnya yang keblasuk untuk mengeruk banyak keuntungan. Akibatnya apa! Alih-alih mendapat keuntungan hasilnya malah menyengsarakan begitu banyak orang. Rumah-rumah kini sudah menghilang akibat banjir lumpur. Anak-anak tidak bisa bersekolah. Orang tua harus bersusah payah mencari sesuap nasi karena lahan pekerjaanya sudah menguap entah dimana. Namun sebagai orang yang banyak akal, mereka tetap berdalih bahwa semua itu adalah bencana alam. Semua itu adalah kehendak yang Di Atas. Ah, betapa pinternya mereka mencari-cari alasan untuk melarikan diri dari tanggung jawab.

Manusia diciptakan Tuhan sebagai mahkluk yang paling sempurna. Ia telah mengaruniakan akal dan pikiran agar dapat dipergunakan sebaik-baiknya. Dipergunakan bukan untuk menipu, mengakali atau mencari jalan untuk merugikan orang lain. Namun sebaliknya, akal dan pikiran hendaknya dapat dipergunakan demi kesejahteraan bersama. Demi kemajuan, kemakmuran dan keselamatan sesama manusia sebagai makhluk Tuhan.

Rabu, 12 November 2008

Sssttt… Ada yang Baru...


Ketika hari ini aku mengikuti misa pagi, ternyata ada sesuatu yang baru di dalam Gereja. Sekilas memang tidak nampak jika tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Apa Itu? Patung Maria dengan bayi Yesus yang semula sendirian, kini sudah ditemani Patung Yusuf. Mereka kini berdiri sejajar saling berdampingan dengan anggun dan berada di tempat yang agak lebih tinggi dari bangku umat. Bila direnungkan lebih dalam, bukankah seharusnya memang demikian. Yusuf, Maria dan Yesus adalah keluarga kudus yang menjadi panutan kita. Namun hal ini tentu mengandung konsekwensi paling tidak bagi calon manten yang hendak menikah di Gereja Katedral. Bila biasanya di akhir misa/pemberkatan nikah selalu ada doa untuk Bunda Maria, kini akan lebih baik lagi jika hal itu diubah menjadi doa untuk Keluarga Kudus dengan harapan keluarga baru yang akan dibangun nanti dapat belajar, menimba pengalaman dan mendapat bimbingan serta kekuatan dari Yusuf, Maria dan Yesus.

Beberapa bulan sebelumnya, ada juga hal yang berubah di lingkungan pastoran. Pintu gerbang sebelah dalam yang biasanya bebas terbuka kini sudah tidak lagi. Pintu itu kini tertutup rapat dengan tulisan: “PERHATIAN, TAMU DIHARAP LEWAT DEPAN SEKRETARIAT, KENDARAAN TAMU/UMAT PARKIR DI LUAR”, “PERHATIAN, KENDARAAN RODA2/RODA4 DILARANG MASUK/PARKIR DI DALAM HALAMAN PASTORAN”, “PERHATIAN, DEMI KENYAMANAN & MEMUDAHKAN KEPERLUAN ANDA, TAMU HARAP LAPOR SATPAM/SEKRETARIAT”. Saat pertama kali melihat keadaan ini, sontak di dalam pikiran timbul hal-hal yang cenderung negatif. “Lho kok ditutup! Ada apa ini? Apa umat sekarang sudah tidak boleh masuk lagi? Romo-romo sudah menutup diri dan membuat dirinya menjadi eklusif dan sukar untuk dicari? Bagaimana nanti jika ada umat yang diburu waktu untuk mendapat sakramen perminyakan sedangkan kalau menemui Romo saja kini dipersulit?” Memang pikiran-pikiran semacam itu sah-sah saja dan memang seharusnya dimunculkan namun tentunya kita harus mengetahui latar belakang keputusan itu. Tentunya ada maksud tertentu dari kebijakan itu. Pertama, umat yang berkepentingan (dengan Romo) bisa berkomunikasi terlebih dahulu dengan sekretariat (atau paling tidak memberitahu satpam jika sekretariat sudah tutup}, siapa, dari mana dan apa tujuannya. Sisi positifnya umat diajak untuk lebih menghargai atau istilahnya ‘nguwongke’ sekretariat dan satpam. Kedua, agar tidak sembarang orang bisa ‘bludas-bludus’ masuk ke dalam pastoran sehingga akan meminimalisasi hal-hal yang tidak diinginkan. Ketiga, agar lebih tertib terutama untuk parkir roda2 dan roda4 di dalam pastoran. Sayang, tidak semua orang bisa memahami hal ini lebih-lebih banyak diantara umat yang merasa karena sudah lama beraktifitas di gereja sehingga sah-sah saja jika mereka melanggar kebijakan yang dibuat oleh Romo. Mereka dengan seenaknya parkir roda2 dan roda4 di dalam atau membuka pintu gerbang tanpa mau menutupnya kembali.

Suatu perubahan memang diperlukan. Lebih-lebih untuk suatu keadaan yang sudah berlangsung terus-menerus selama beberapa tahun. Dengan adanya perubahan akan membawa suasana baru. Perubahan akan menjadi tanda adanya perkembangan. Dan kini memang waktu yang tepat. Adanya Romo-romo baru membawa hal-hal yang baru. Satu hal yang mungkin perlu dicatat bahwa suatu perubahan harus selalu disosialisasikan terlebih dahulu sehingga umat tidak kaget atau bahkan syok menerima suatu perubahan.

Nah, selamat berubah Katedralku. Selamat mengembangkan diri menjadi Paroki yang bisa menjadi panutan dan contoh bagi paroki yang lain. Berkat Tuhan melimpah.

Senin, 10 November 2008

Kebiasaan

Suatu ketika saat aku masih kecil, aku terdorong untuk melakukan sesuatu. Sesuatu yang saat itu begitu merangsang keingintahuanku untuk melakukannya. Satu kali, dua kali, tiga kali… empat kali dan akhirnya aku terus melakukannya. Entah sampai hari berapa kali sesuatu itu aku lakukan. Ratusan atau bahkan ribuan kali, aku sudah tidak dapat menghitungnya bahkan mengingatnya. Ketika saat ini aku memikirkannya lagi, apakah sesuatu ini menguntungkan bagiku? Apakah sesuatu ini memperkembangkan kehidupanku? Ternyata jawabnya tidak sama sekali! Sesuatu ini kini telah menjelma menjadi kebiasaan buruk yang begitu sukar aku hilangkan. Sesuatu ini telah menggerogoti jiwaku, perlahan namun pasti. Enak memang kelihatannya namun ternyata aku tidak mendapatkan apa-apa. Ketika rasa enak itu hilang, nikmat sesaat telah lenyap, timbul penyesalan dan rasa berdosa dalam diriku. Dan ujung-ujungnya, tumbuh keinginan untuk menghapus hal ini. Namun sekali lagi (bahkan berulangkali), ketika niat untuk menghapusnya begitu kuat, di sisi lain ia juga tak kalah kuatnya menarikku untuk melakukannya lagi.

Kadang aku berpikir, apakah niatku hanya ada dalam pikiranku? Apakah di balik niat untuk menghentikannya, justru pikiran bawah sadarku menuntunku untuk terus melakukannya? Apakah aku benar-benar dapat menghapus kebiasaan ini? Tentu semuanya tergantung pada diriku sendiri. Sama halnya ketika pertama kali kebiasaan ini aku lakukan. Aku harus menghentikannya! Dan jika ini memang kebiasaan yang buruk, aku harus bisa menggantikannya dengan kebiasaan yang lebih baik.

Dan ketika aku merenung lebih dalam lagi, ternyata ada beberapa hal yang harus aku lakukan untuk mulai menghapus kebiasaan ini, yaitu:

1. Menyadari bahwa kebiasaan yang aku lakukan ini adalah kebiasaan yang buruk. Kebiasaan yang tidak memberi keuntungan apa-apa bagiku. Kebiasaan yang jika aku terus melakukannya membawa dampak yang tidak baik untuk perkembangan jiwaku.
2. Menumbuhkan niat dan dari hari ke hari semakin memperkuat niat tersebut untuk menghapus kebiasaan ini. Ketika kebiasaan ini mulai menyergap batinku, merasuki pikiranku, mendorong tangan dan kakiku untuk melakukannya, aku harus mengokohkan niat untuk menghentikannya. Stop! Tidak! Berhenti!
3. Menjauhi situasi, kondisi dan keadaan yang memperkembangkan kebiasaan itu. Kadang memang seringkali aku yang menciptakan situasi dimana kebiasaan itu akan berkembang. Aku sendiri yang mencari-cari alasan agar kebiasaan itu dapat terus aku lakukan. Mulai saat ini aku tidak boleh mencoba-coba lagi untuk mengundang situasi ini. Aku harus menghindarinya. Aku harus menghentikannya.
4. Mengganti dengan kebiasaan yang lebih baik. Ketika kebiasaan yang buruk itu muncul dan mulai mengganggu pikiranku, aku harus bisa mengalihkannya dan membawa energi serta semangat untuk melakukan hal yang lebih baik. Hal yang memberi manfaat untuk kehidupanku.
5. Dan di atas semuanya itu aku hanya bisa memasrahkan semuanya kepada Yang Di Atas. Aku hanya bisa berdoa dan mohon kekuatan untuk melaksanakan niat untuk menghapus kebiasaan buruk ini. Karena jika aku hanya bersandar pada kekuatanku sendiri, aku tidak mampu. Aku justru malah sering jatuh dan jatuh lagi.

Tuhan, aku bersyukur karena malam ini aku ada di hadapanMu,
Aku bersyukur karena Engkau masih memberi kesempatan bagiku untuk bersimpuh di bawah kakiMu.
Aku sadar aku manusia yang lemah.
Aku penuh dosa dan selalu menyakiti Engkau dengan kebiasaan burukku.

Tuhan,
Malam ini aku ingin memohon kekuatan, memohon peneguhan untuk niatku,
Agar aku mampu menghapus kebiasaan buruk ini,
Agar aku mampu menggantikannya dengan kebiasaan yang lebih baik

Tuhan,
Aku berserah kepadaMu
Amin.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Semangat!!!!

Terus terang ini adalah pengalaman pertama saya membuat blog dan mengisinya. Saya belum tahu apa-apa, jadi ya seperti ini, masih sangat 'grotal-gratul', bingung, dan ndak tahu apa yang ingin saya tulis. Tapi saya berusaha untuk terus tetap semangat. "Semangat!" persis teriakan seorang gadis dalam film Korea yang pernah saya tonton. Semangat untuk terus belajar dan belajar. Harapannya dari hari ke hari saya semakin bisa dan menjadikan blog ini seperti buku harian saya.