Selasa, 29 Mei 2012

Wajah-Wajah Malaikat

Minggu selalu menjadi hari yang menyenangkan. Setelah sepekan tenggelam dalam kesibukan kerja, Minggu menjadi hari yang paling ditunggu untuk rehat sejenak, memulihkan kembali stamina, dan memupuk semangat untuk hari-hari berikutnya. Tak terkecuali bagiku. Mingguku adalah kegembiraan. Mingguku menjadi hari yang dipenuhi kebahagiaan karena inilah waktu untuk bertemu dengan wajah-wajah malaikat. Mungkin ada yang bertanya, siapa mereka? Mereka adalah anak-anak yang seringkali hadir dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak (sekolah minggu). Memang, aku tidak terlibat langsung mendampingi mereka. Aku hanya menjadi pengamat, kadang memberi sedikit bantuan atau sesekali mencatat dan mengabadikan tingkah polah mereka melalui kamera yang aku bawa. Namun itu sudah lebih dari cukup untuk merasakan kegembiraan yang terpancar dari wajah-wajah mereka. Wajah-wajah yang polos, penuh dengan keceriaan. Wajah-wajah tanpa prasangka dan rasa curiga. Wajah-wajah yang dipenuhi kasih. Kadang, mereka saling bersitegang karena menginginkan atau memperebutkan sesuatu. Kadang ada juga yang menangis karena ditinggal orangtuanya mengikuti misa. Ada yang nampak cuek, asyik dengan dirinya sendiri tanpa memperhatikan teman di sekelilingnya. Ada yang aktif bertanya dan ada pula yang hanya diam saja sambil terus memperhatikan yang lain. Mereka berbeda tapi saling menyatu dalam kebersamaan yang begitu indah. Wajah-wajah malaikat… ahh… inilah seharusnya yang terus kita miliki dan tampilkan dalam keseharian. Namun realitas yang ada, wajah-wajah kita seringkali hanyalah wajah-wajah yang suntuk, lelah, penuh beban, memancarkan kesedihan, dan tak jarang pula penuh dengan keputusasaan. Semua disebabkan karena berbagai masalah yang terus menguntit mulai dari soal ekonomi, pekerjaan, karir, masalah keluarga, pendidikan, jodoh, masa depan, dan masih banyak lagi. Bagaimanapun masalah memang akan selalu ada selama kita hidup di dunia ini. Masalah adalah batu ujian bagi kita untuk mencapai kehidupan yang lebih bernilai. Masalah menjadi tanda kasih Tuhan yang tidak berkesudahan. Tuhan tidak akan pernah memberikan masalah yang tidak dapat ditangani umat-Nya. Melalui masalah, Ia hanya ingin menyadarkan kita bahwa Ia ada di samping kita. Ia selalu mengulurkan tangan saat kita jatuh dan tenggelam dalam masalah. Ia akan merengkuh kita, menopang dan menolong, serta memberikan jalan terbaik. Sudahkan kita menyadarinya? Maka, mari kita benahi wajah kita agar kembali menjadi wajah-wajah malaikat. Bukan hanya untuk pura-pura tetapi didasari oleh kesungguhan, ketulusan, dan kemurnian hati yang dipenuhi oleh cinta-Nya. Semoga.

Minggu, 27 Mei 2012

Siapa Mau Peduli?

Di sebuah jalan tanah yang tidak begitu lebar, onggokan sampah berserakan. Sampah plastik, bungkus rokok, limbah rumah tangga, bercampur menjadi satu. Sampah-sampah itu berasal dari tempat sampah bobrok di pinggir jalan. Tak berapa lama seorang pemuda melalui jalan itu. “Waduh, siapa sih yang kurang kerjaan ini. Bikin kotor saja!” guman pemuda itu sambil terus berlalu. Orang kedua yang melewati jalan itu berlaku sama. Ia hanya berhenti sesaat, menutup hidungnya dan berlalu. Orang ketiga apalagi. Dengan cuek, ia terus memacu sepeda motornya. Akhirnya, datanglah seorang nenek tua. Jalannya tertatih-tatih. Meski demikian pandangan matanya masih amat baik. Ia melihat onggokan sampah itu. Beberapa detik kemudian, tangannya dengan cekatan mengumpulkan sampah-sampah itu dan menaruhnya kembali di tempat seharusnya. Barangkali, apa yang dilakukan nenek itu adalah sesuatu yang amat langka saat ini. Kebanyakan orang lebih memilih untuk cuek dan tidak peduli. Itu kan bukan urusan gue… Ah, ngapain repot-repot kan udah ada tukang sampah… Uhh, nggak penting banget ngurusin yang begituan, udah bau, bikin tangan jadi kotor lagi. Semestinya, sampah adalah urusan kita semua karena kitalah yang menjadi penyumbang dan penghasil sampah paling besar di muka bumi ini. Oleh karena itu, mulai saat ini kita harus peduli dengan sampah. Jangan mau enaknya sendiri, setelah makan ini itu, menikmati ini itu, lalu buang sampah seenaknya. Lingkungan yang tadinya bersih, jadi kotor karena ulah kita. Satu hal yang perlu diingat, kalau kita nggak mau peduli dengan lingkungan, pasti lingkungan juga nggak akan peduli dengan kita? Nah, siapa yang mau peduli?

Jumat, 25 Mei 2012

Mati

Desa Sumber Urip geger. Pak Jayus, orang paling kaya di desa itu yang terkenal amat dermawan tiba-tiba mati. Tentu saja berita ini membuat banyak orang kaget, heran, dan tidak percaya. Pasalnya, Pak Jayus juga dikenal sebagai orang yang gemar berolahraga. Tiap pagi, ia selalu jalan kaki berkeliling desa sambil ditemani Molly, anjing herder kesayangannya. “Wah, Kang, sampeyan pasti mengada-ada. La wong tadi pagi saya ketemu dan ngobrol dengan Pak Jayus dan dia kelihatan baik-baik saja kok,” ujar Yu Surti, penjual bubur langganan Pak Jayus, tak percaya. “Hehehe… berita bener kok dibilang bohong. Ceritanya begini, tadi sehabis jalan-jalan Pak Jayus sempat mampir di warung Kang Sarto. Saat asyik ngobrol, ia mengeluhkan dadanya yang tiba-tiba sakit. Tak berapa lama Pak Jayus malah pingsan. Tentu saja orang-orang di warung kebingungan. Untunglah ada Pak Dio yang cepat tanggap. Ia bersama beberapa orang segera menggotong Pak Jayus dan membawanya ke puskesmas. Tapi ternyata semuanya sudah terlambat. Pak Jayus mati tepat saat tiba di puskesmas,” jelas Kang Slamet panjang lebar. Peristiwa kematian memang seringkali tidak terduga. Ia bisa datang kapan saja, di mana saja, kepada siapa saja, dan lewat peristiwa apa saja. Saat Sang Empunya Kehidupan sudah memutuskan maka tidak ada seorang pun yang dapat menolak. Membahas lebih lanjut tentang kematian atau mati, ada fenomena yang bisa dibilang teramat ganjil. Aneh karena sebenarnya hidup tapi ‘mati’, ‘mati’ namun hidup. Mati dalam hal fisik dan mati rohani. Fenomena ini banyak terjadi di sekitar kita. Ngakunya bisa melihat tapi ternyata suka melanggar rambu-rambu lalulintas. Buang sampah bukan di tempatnya. Sudah kaya tapi masih suka melakukan korupsi. Suka main kekerasan tanpa alasan jelas. Bapak perkosa anak. Anak matiin bapak atau ibu. Ibu gorok leher kedua anaknya hingga tewas. Suami bunuh istri dan memutilasi tubuhnya menjadi beberapa bagian. Dan masih banyak lagi. Pendek kata, banyak orang yang sudah berubah menjadi zombie. Hidup tapi tidak benar-benar hidup alias ‘mati’ karena sudah tidak memiliki perasaan dan hati. Apakah kita mau terus berlaku seperti itu? Tentu tidak. Mumpung masih diberi kesempatan, ayo kita segera bangun untuk kembali menajamkan nurani. Agar hidup yang singkat ini menjadi berarti dan mendatangkan banyak berkat. Bagi Tuhan, sesama, dan diri sendiri.

Rabu, 23 Mei 2012

Mendengarkan

Suatu hari, mulut protes kepada Tuhan, “Mengapa Engkau berbuat tidak adil padaku?” Tuhan kaget. Dipandanginya mulut dengan wajah penuh kasih. “Mengapa engkau berkata demikian. Apa yang telah kulakukan padamu?” “Lihatlah aku. Aku kesepian karena aku hanya hidup sendiri. Aku iri dengan telinga. Ia memiliki pasangan yang bisa diajak ‘curhat’ dan bekerja sama!” seru mulut dengan lantang. Tuhan hanya tersenyum. “Anak-Ku, engkau telah salah menilai maksud-Ku. Ketahuilah, Aku menciptakanmu sendiri karena Aku ingin engkau lebih banyak diam daripada berbicara. Aku ingin engkau bisa lebih mendengarkan dengan kedua telingamu daripada memuaskan mulutmu yang penuh ego.”

Senin, 21 Mei 2012

Terima Kasih

Beberapa hari lalu, saat dalam perjalanan menuju ke Wonogiri, aku bersama beberapa rekan pendamping Pendampingan Iman Anak (PIA) Gereja Katedral menyempatkan mampir di sebuah warung makan. Siang yang panas plus perut yang keroncongan, membuat kami begitu lahap menikmati menu yang kami pilih. Usai menyelesaikan santap siang, aku mengedarkan pandangan, menelisik setiap jengkal warung untuk melihat-lihat barangkali ada sejumput inspirasi yang bisa aku gunakan sebagai ide tulisan. Ada satu yang menarik perhatianku. Di halaman, tepatnya di pojok dekat pintu warung, seorang pengamen tua dengan rambut dan kumis yang sudah memutih, sedang beraksi. Jari-jari tangannya begitu lincah memetik senar demi senar pada alat musiknya sambil melantunkan sebuah lagu. Di depannya, sebuah topi lusuh dipasang terbalik, menunggu lembaran rupiah dari para pengunjung yang datang ke warung. Setiap kali ada pengunjung yang memasukkan uang ke dalam topi itu, si pengamen menghentikan sejenak lagunya, lalu dengan sikap penuh hormat, keluar kata-kata dari mulutnya: “matur nuwun” (terima kasih). Tiba-tiba, aku teringat dengan pengalaman yang terjadi setiap Jumat di kantorku. Hari Jumat adalah harinya para pengamen dan pengemis. Di hari itu, kasir harus menyediakan uang receh untuk para pengamen dan pengemis yang datang. Kebanyakan dari mereka mau menerima uang yang diberikan tapi hanya sedikit yang mengucapkan terima kasih. Kiranya hal ini bukan saja dilakukan oleh para pengamen dan pengemis yang datang di kantorku karena kita pun “sami mawon” (sama saja). Lidah kita seringkali kelu saat dipaksa untuk mengucapkan terima kasih. Kita sering lupa mengatakannya padahal kita sudah mendapat begitu banyak kebaikan. Entah dari Tuhan maupun sesama. Maka, seperti pengamen tua di warung itu, marilah kita biasakan diri untuk mengucapkan terima kasih. Terima kasih yang dikatakan dengan sungguh-sungguh dan penuh ketulusan. Terima kasih untuk hidup yang sudah dikaruniakan-Nya. Terima kasih karena kita sudah diberi kesehatan sehingga mampu bekerja dengan baik. Terima kasih kepada istri atau suami yang setia menemani kita. Terima kasih untuk anak-anak yang mencintai kita apa adanya. Terima kasih kepada para tetangga yang memperhatikan kita dan menjadi orang pertama selain keluarga yang rela membantu saat kita dalam kesulitan. Terima kasih kepada bapak-bapak polisi yang mengatur lalu lintas sehingga perjalanan kita menjadi lancar. Terima kasih untuk rekan kerja di kantor yang membantu kita menyelesaikan pekerjaan. Terima kasih untuk pramuniaga toko atas keramahan dan pelayanannya yang begitu baik. Terima kasih kepada tukang sampah yang telah membersihkan lingkungan kita. Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih.

Minggu, 13 Mei 2012

Pensil

Seorang anak sedang menggambar. Dengan pensil di tangannya, ia membuat gunung. Di atas gunung, ia membentuk sebuah bulatan yang tidak begitu besar dengan garis-garis kecil mengelilingi bulatan itu. Rupanya itu adalah gambar matahari. Lalu di bawah gunung, ia menggambar sawah yang membentang luas. Di sawah itu, ia meletakkan hamparan padi dengan para petaninya. Beberapa saat, ia memandangi hasil pekerjaannya yang hampir rampung. Ahh… rupanya masih ada yang kurang di sudut itu, gumannya. Ia segera mengayunkan pensilnya. Tiba-tiba ia berhenti. Pensilnya sudah tumpul. Dengan sigap, diraihnya rautan yang tergeletak di sampingnya. Sret… sret… sret… berkat rautan itu, pensilnya kembali tajam. Kita adalah pensil itu. Pensil yang digunakan Tuhan untuk menggambarkan karya-karya-Nya. Mungkin kita akan heran dan protes karena gerakan tangan-Nya tidak bisa diduga. Kadang ketika kita ingin menggambar matahari, Ia malah membuat gunung. Saat kita ingin membuat coretan yang kita sendiri tidak tahu maknanya, Ia justru membuat goresan yang penuh arti. Mungkin pula kita akan merasa begitu kesakitan karena Ia tidak segan-segan meraut kita dengan kasih-Nya. Semua itu dilakukan-Nya dengan penuh cinta. Cinta yang tidak berkesudahan. Cinta yang tidak pernah kering. Cinta yang begitu meluap-luap. Untuk kita pensil kesayangan-Nya.

Jumat, 11 Mei 2012

Cermin

Tiap orang pasti memiliki cermin. Ada yang bentuknya bulat, persegi panjang, lonjong alias oval. Ada yang besar banget seukuran lemari, ukuran normal, atau kecil hingga bisa dimasukkan dalam dompet. Ada yang bentuknya biasa-biasa saja sampai yang tidak biasa karena penuh dengan ukiran-ukiran indah di pinggir-pinggirnya. Dengan cermin kita biasa mematut diri. Berlenggak-lenggok bak penari untuk melihat apakah busana yang dikenakan sudah berpadu padan dengan serasi, merias wajah biar tambah cantik, menyisir rambut agar tidak awut-awutan atau hanya untuk sekedar memandangi wajah sambil memencet jerawat yang mulai banyak bermunculan. Intinya, dengan cermin membuat kita jadi pedhe karena ‘merasa’ sudah mempersiapkan penampilan sebaik mungkin sebelum bertemu dengan orang lain atau menghadiri acara tertentu. Sebenarnya, kita juga adalah cermin. Tiap langkah laku kita entah itu kata-kata atau perbuatan menjadi contoh dan memberi pengaruh bagi orang lain serta diri sendiri. Hal yang baik akan memberikan efek kebaikan. Pun sebaliknya, keburukan akan menimbulkan akibat buruk. Maka, sepatutnya kita selalu mawas diri. Apakah ucapanku sudah memberi berkat untuk orang lain? Apakah yang aku lakukan tidak merugikan orang lain? Apakah segala tindakanku bisa menjadi contoh kebaikan bagi sesamaku? Semoga saja kita mampu melakukan yang terbaik sehingga cermin dalam diri kita selalu berkilau dan membuat orang lain terpesona sehingga mereka dengan rela hati menjadikan kita sebagai standar yang harus ditiru. Mau?

Rabu, 09 Mei 2012

Si Kaki Seribu

Seekor Kaki Seribu menarik perhatianku. Tubuhnya kecoklatan dengan garis-garis melintang yang tersusun rapi. Kaki-kakinya yang begitu banyak berderet rapi di samping kiri dan kanan tubuhnya. Ahh… indah sekali. Apalagi kalau kaki-kaki itu mulai berjalan. Terlihat seperti gulungan ombak yang tengah berkejaran di pantai. Elok dan sedap dipandang. Terpikir olehku, bagaimana ya seandainya kaki-kaki di belakang tiba-tiba ngambek dan tak mau berjalan gara-gara pengen pindah ke depan tapi ditolak atau kaki-kaki di depan ndak mau melanjutkan perjalanan karena capek sementara kaki di belakang terus menuntut untuk maju? Ah… pertanyaan konyol. Tentu saja Si Kaki Seribu tidak akan bisa berjalan. Ia pasti hanya berputar-putar di tempatnya. Gambaran ini kiranya sangat pas dengan kehidupan di sekitar kita. Ada yang berposisi sebagai pemimpin atau dipercaya untuk memimpin karena kecakapan dan kepandaiannya. Pun ada yang merasa tidak punya kemampuan sehingga hanya ada di belakang dan dipimpin oleh orang lain. Ketika pemimpin punya agenda sendiri tanpa mempedulikan keinginan yang dipimpin atau ketika orang-orang yang dipimpin merasa muak dan tidak lagi sepakat dengan sang pemimpin tentu akibatnya akan runyam. Masing-masing pihak akan mencari jalannya sendiri-sendiri. Dan bisa ditebak, keadaan pasti akan bertambah buruk. Bukan kemajuan yang diperoleh tapi kemunduran. Semestinya, sang pemimpin dan orang yang dipimpin harus selalu menjalin kerjasama yang saling menguntungkan. Saling menghormati dan menghargai posisi masing-masing. Bisa dipercaya dan menjalankan amanat dengan baik. Sang pemimpin tidak akan pernah disebut pemimpin jika tidak ada orang yang dipimpin. Sebaliknya orang-orang yang dipimpin tidak akan pernah ada jika semua menjadi pemimpin. Ahh… Si Kaki Seribu yang kecil dan lemah itu ternyata telah mengajarkan sebuah kebijaksanaan.