Minggu, 29 Agustus 2010

Asyiknya Memotret

Memotret itu menyenangkan. Apalagi jika ada begitu banyak obyek yang bisa dipilih. Dan itu yang aku alami hari ini. Berbekal pengetahuan dan wawasan yang aku terima dalam Pelatihan Dasar Menulis dan Fotografi Jurnalistik kemaren malam, aku menyusuri pasar tiban di dekat Kalibanteng untuk hunting foto.

Dan rasanya memang benar kata mas Simon, tidak perlu kamera yang bagus tetapi cukup dengan kamera pocket, bisa menghasilkan foto yang bagus. ”Memotret itu harus sabar dan menunggu moment yang tepat, berani mengambil dalam posisi yang tidak seperti biasanya (lain daripada yang lain), sejauh mungkin diusahakan ada nilai humanismenya, memiliki kepekaan yang tinggi (tahu posisi, tahu angle yang baik, tahu komposisi), aktualitas (menyentuh kepentingan umum), perlu ada konsep terlebih dahulu, dan obyek yang difoto (terutama manusia) jangan membelakangi pembaca,” tambahnya.

Berikut adalah beberapa hasil jepretanku pagi ini.














Kamis, 26 Agustus 2010

IBU

Ibu...
sembilan bulan lebih,
kau bawa aku di rahimmu..
dan ketika saatnya tiba
kau antarkan aku ke dunia
dengan bertaruh nyawa
kau selalu menjaga dan merawatku
kau ajarkan segala kebaikan yang kau miliki
kau pun ingin selalu membuatku tersenyum
dan merasakan kebahagiaan
walau kadang hatimu sendiri terluka

Ibu...
sungguh, kasih sayangmu bagaikan udara
yang membuatku terus hidup


Ada video tentang ibu... mohon ditonton di sini ya.. makasih...

Rabu, 25 Agustus 2010

Baik Atau Buruk Adalah Pilihan

Ckckck... ternyata ada juga yang tega berbuat tidak baik di dunia maya ini...
semalam fbku kena... identitasku digunakan orang lain untuk menuliskan kata-kata yang tidak senonoh pada salah satu sobatku... sahabat, aku minta maaf... dan untuk yang telah melakukannya... semoga Tuhan memberkati dan menyadarkanmu...


Rangkaian kalimat di atas adalah status yang aku tulis di fbku kemarin malam. Latar belakang kenapa aku menuliskan hal itu adalah karena sebelumnya aku dapat komplain dari salah satu sobatku yang berasal dari Sibolga. Saat aku sedang asyik berselancar di fb, tiba-tiba saja ia mengajakku chat dan langsung protes karena ’aku’ sudah menuliskan kata-kata yang tidak senonoh waktu chat dengannya sehari sebelumnya. Tentu saja aku kaget bin bingung. Loh... ada apa ini? Selidik punya selidik, ternyata ada yang menggunakan identitasku untuk chat dengan sobatku ini. Parahnya, bukah chat yang positif tetapi penuh dengan kata-kata yang enggak pantas. Aku buru-buru menjelaskan bahwa bukan aku yang telah melakukannya karena pada saat yang bersamaan (waktu itu) fbku error. Aku nggak bisa masuk karena paswordku sudah berubah. Berulangkali kuganti ternyata berubah lagi. Syukurlah, sobatku ini bisa mengerti dan menerima penjelasanku.

Waktu aku share kejadian ini dengan beberapa teman yang lain (di dunia maya maupun dunia nyata) ada beragam tanggapan yang muncul. Kok bisa terjadi? Mengapa ada orang yang tega melakukannya? Apa tujuannya? Sekedar iseng atau ada motif-motif yang lain?

Ahh... rasanya tidak akan pernah berakhir jika harus menjawab semua pertanyaan itu. Apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang penting sekarang adalah mengambil hikmah dari kejadian itu. Lebih berhati-hati, menjaga sikap, dan selalu berpikiran positif. Bukankah di dunia ini, kebaikan dan keburukan (kejahatan) bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan? Berbuat baik atau berbuat buruk adalah sebuah pilihan. Tinggal kita mau memilih yang mana. Satu hal yang pasti, hidup ini tidaklah abadi. Jadi, tidak akan bermakna apa-apa jika yang kita lakukan adalah hal-hal yang jauh dari kebaikan.

Selasa, 24 Agustus 2010

Malu

Sore di kampung Margahayu. Lik Joni sedang asyik baca koran di lincak depan rumahnya. Sesekali ia tampak mengerenyitkan dahi, menggeleng-nggelengkan kepala sambil mengepalkan tangannya. Saking seriusnya, ia tak menyadari kedatangan den baguse Wiryo di sebelahnya.

"Ckckckckck.... yang lagi serius, sampe nggak tau situasi kiri kanan..," celetuk den baguse Wiryo sambil tangannya menepuk pundak lik Joni. "Lagi baca apa to Lik?" sambungnya.

"Oalah... kamu to Yo... ngagetin aja..!" seru lik Joni. "Ini lho... lagi baca berita soal para koruptor yang bebas karena mendapat grasi dan remisi dari Presiden. Kok bisa-bisanya ya... padahal mereka itu kan sudah menyengsarakan rakyat? Uhhh... bikin ati kesel saja!" tambahnya.

"Hehehe... itulah Indonesia, Lik," sambar den baguse Wiryo. "Daripada mikirin itu terus... mending Lik Joni jawab pertanyaanku saja... " tambahnya.

"Pertanyaan apa Yo... kok kayaknya misterius banget?" tanya lik Joni penasaran.

"Lik Joni mau ndak, besok siang, jalan-jalan di pasar tanpa memakai apa pun alias telanjang bulat?"

“Wus… pertanyaan ngawur! Aku ndak bakalan mau walau dibayar berapa pun!” jawab lik Joni dengan nada tinggi.

“Kenapa, Lik?”

“Ya, malulah. Lha wong masih waras kok disuruh jalan sambil telanjang. Ada-ada saja kamu Yo…”

“Jadi karena malu ya Lik? Tapi kok, kita-kita yang berpakaian lengkap ini malah sering tidak punya malu?

“Maksudmu?”

“Coba Lik Joni liat dalam kehidupan sehari-hari, berapa banyak dari kita yang suka membuang sampah sembarangan dan mengotori tempat umum tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Tengok pula di jalanan, banyak juga yang masih suka seenaknya sendiri; kebut-kebutan, nyelonong sembarangan tanpa mengindahkan lampu lalu lintas, parkir tidak pada tempatnya, tidak mau mematuhi peraturan lalu lintas, tidak sabaran, dan sikap tidak mau mengalah. Sering juga kita nggak mau antre dengan tertib. Yang penting aku terlebih dahulu… orang lain mah EGP. Trus orang-orang yang dikaruniai kepandaian, sering malah menggunakan kepandaiannya itu untuk ’ngibulin’ orang lain dan mencari keuntungan untuk diri sendiri. Kita-kita yang jadi wakil rakyat atau pemimpin juga sering tidak menepati janji. Bilangnya (dulu) pengen mensejahterakan rakyat.. eee la kok sekarang malah suka ribut sendiri dan ngurusi hal-hal yang nggak penting. Parahnya lagi banyak di antara mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri. Gilirannya ketangkep, masih bisa senyam-senyum karena merasa punya becking. Ahh… benar-benar enggak punya malu…” jelas den baguse Wiryo.

“Ohhh… gitu to… baru dong aku sekarang…” ujar lik Joni sambil manggut-manggut. ”Tapi, kita bisa apa dengan segala situasi tersebut?” sambungnya.

”Wah... pasti banyak Lik. Tapi kalau mengharapkan mereka berubah itu malah bisa bikin kita stress. Yang bisa kita lakukan adalah merubah diri kita sambil terus mendaraskan doa agar Tuhan memberi jalan terang untuk mereka. Juga, menumbuhkan kembali ’kemaluan’ dalam diri kita masing-masing. Malu kalau tidak bisa buang sampah pada tempatnya. Malu kalau tidak bisa tertib, entah di jalan atau di manapun. Malu kalau tidak menepati janji. Dan, malu jika hidup hanya menjadi batu sandungan untuk orang lain.”

Lik Joni terus manggut-manggut mendengar penjelasan den baguse Wiryo. Dalam hati ia berjanji untuk lebih merasakan rasa malunya agar hidupnya semakin berarti dan berguna bagi sesama dan lingkungan.

Senin, 23 Agustus 2010

SMP

Mengeja ketiga huruf ini, di pikiranku terbayang anak-anak yang ’tidak lagi mau dikatakan sebagai anak-anak tetapi juga belum bisa disebut dewasa’, yang berseragam putih biru, dan kebanyakan masih tampak lugu dan polos.

Mengingat saat-saat di SMP, bagiku bukan perkara yang gampang. Selain karena hal itu sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, juga karena tidak ada hal spesial yang sungguh berkesan di hati. Mungkin hanya beberapa hal ini: aku yang sering berangkat dan pulang sekolah jalan kaki (meski jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh), aku yang rendah diri karena perawakanku yang kurus, dan aku yang mulai menyukai lawan jenis tetapi tidak berani mengungkapkannya.

Ah... SMPku sudah berlalu sekian lama. Meski biasa-biasa saja tetapi masa itu menjadi kesempatan bagiku untuk belajar dan menimba ilmu lebih banyak, mengenal dan bergaul dengan teman-teman, dan belajar ilmu kehidupan: toleransi, tolong-menolong, mau menerima kekurangan. Teman-temanku saat itu pun sudah tidak kutemukan lagi dalam kehidupanku yang sekarang. Entah di mana dan menjadi apa mereka sekarang. Yang pasti, aku selalu bersyukur karena dapat melalui SMPku dengan baik dan menjadi seperti aku yang sekarang.

Sabtu, 21 Agustus 2010

Yang Nampak Itu (Sering) Menipu

Namanya Frenzy. Ia adalah satu-satunya anjing herder yang di ada di gerejaku. Badannya besar dan wajahnya sangar. Siapa pun yang pertama kali melihatnya pasti akan merasa takut. Tapi siapa sangka, Frenzy adalah anjing yang ramah. Ia gampang dekat dengan siapa saja. Gonggongannya pun jarang sekali terdengar. Tak salah kalau akhirnya kami menyebut Frenzy: berwajah seram tetapi berhati malaikat.

Bagaimana dengan kehidupan manusia? Sama saja. Wajah dan penampilan sering tidak mencerminkan pribadi yang sesungguhnya. Siapa nyana orang yang wajahnya garang bin galak ternyata berhati lembut. Dan siapa pula menyangka si dia yang berwajah lembut nan manis dan penampilannya menarik, ternyata gemar sekali berkata-kata kasar, berbohong dan seabreg hal negatif yang lain.

Kadang, kita juga terlalu cepat memberikan penilaian kepada orang lain. Yang galak-lah, angkuh-lah, enggak baik-lah. Tapi, setelah kita makin kenal dan makin dekat, baru kita tahu, ternyata penilaian kita selama ini: SALAH!

Jadi, kita harus selalu bersikap jujur. Tidak berpura-pura atau memoles penampilan sedemikian rupa demi maksud-maksud tertentu (yang hanya menguntungkan diri sendiri). Pun, jangan buru-buru memberikan penilaian (yang tidak baik) kepada orang lain kalau kita belum mengenalnya. Setuju?

Jumat, 20 Agustus 2010

Masihkah?

Melihat acara Kick Andy malam ini, aku jadi malu. Kalau mereka yang notabene adalah orang bule, begitu peduli dengan Indonesia: menjaga dan merawat lingkungan, memunguti sampah yang berserakan, memperhatikan dan memberi pendidikan bagi mereka yang kurang mampu. Bagaimana dengan aku yang orang asli Indonesia? Masihkah aku suka merusak lingkungan? Masihkah aku membuang sampah sembarangan? Masihkah aku abai pada mereka yang kekurangan?

Ah... jika ternyata jawabannya adalah masih, entah bagaimana keadaan negara ini beberapa tahun lagi.

Minggu, 15 Agustus 2010

Andai...

Aku merasa aneh. Gelap ada di mana-mana dan aku tidak bisa melihat apa pun. Aku juga tidak mendengar suara gaduh orang-orang di luar rumah. Semuanya begitu sunyi. Hanya udara yang kurasakan terus mengalir, melalui lubang hidungku, memenuhi paru-paru, membuatku tetap hidup.

Perlahan, dengan kedua tanganku, aku meraba wajahku. Aku terkesiap. Semakin kutelusuri permukaannya, aku semakin kaget. Kedua mataku tidak ada lagi. Telingaku pun hilang. Aku mencoba menjerit sekuat-kuatnya. Aku ingin menangis dan meraung sekencang-kencangnya. Tapi dengan apa? Mulutku juga sudah tidak ada.

“Kringgggggggg….., “ dering alarm hp yang begitu keras tiba-tiba memecah keheningan pagi. Aku terjaga. Spontan aku meraba wajahku. Kembali aku kaget. Tapi kali ini disertai rasa syukur yang begitu luar biasa. Mataku, telingaku, dan mulutku masih ada. Ahhh… rupanya kejadian barusan hanyalah mimpi. Mimpi yang teramat menakutkan.

Tuhan,
Aku beryukur atas kedua mata ini
dengannya, aku bisa melihat banyak keindahan,
melihat karya-karyaMu yang begitu agung
jauhkan mata ini dari segala keinginan
untuk melihat hal-hal yang tidak baik,
hal-hal yang akan menjauhkan aku dariMu

Pun aku bersyukur atas kedua telinga ini
memilikinya berarti aku bisa mendengar apa pun

Aku juga bersyukur untuk mulut ini
mulut yang memampukan aku memuji namaMu
semoga dengan mulut ini…
aku lebih banyak beryukur daripada mengeluh,
lebih banyak memuji daripada mencela,
lebih banyak menyapa dengan senyum
daripada memaki-maki tanpa henti,
dan lebih banyak membicarakan kebaikan sesama
daripada keburukannya

Sampah


Setiap orang menghasilkan sampah, tetapi hanya sebagian kecil saja yang peduli pada sampah. Di antaranya adalah tukang sampah, pemulung, dan penyapu jalan. Pernahkah kita membayangkan seandainya saja mereka tidak pernah ada? Pasti lingkungan kita akan berantakan. Sampah berserakan dan menggunung di mana-mana. Bau tidak sedap terasa menyengat dan mengganggu setiap aktivitas. Belum lagi aneka penyakit yang terus bermunculan.

Pertanyaannya: apakah kita peduli dengan mereka? Ya, aku peduli karena setiap bulan aku membayar mereka. Itu mungkin jawaban yang akan kita berikan. Tapi, apakah hanya dengan memberi upah, itu sudah lebih dari cukup sehingga kita berani mengatakan bahwa kita peduli? Ah, rasanya, itu pikiran yang terlalu sempit. Itu tidak cukup menjadi tanda kepedulian jika kita masih seenaknya saja memperlakukan sampah dengan membuangnya secara sembarangan di tempat yang tidak semestinya.

Kalau kita tidak mau rumah beserta lingkungan kita kotor karena sampah, mengapa kita harus mengotori tempat lain (tempat untuk umum) dengan sampah?

Jumat, 13 Agustus 2010

Berbeda

Menjadi berbeda itu tidak pernah mudah, apalagi jika hal itu menyangkut hal-hal yang baik. Dibutuhkan tekad sekuat baja, hati yang tidak ‘mutungan’, semangat pantang menyerah, dan kerelaan untuk menjadi tidak terkenal, dikucilkan bahkan dicemooh.

Ketika banyak teman di kantor karena alasan puasa lalu menjadi ‘ogah-ogahan’ dalam bekerja, aku tetap menjalankan pekerjaan dengan baik, penuh tanggung jawab, meskipun aku juga berpuasa. Saat banyak tetangga di kampung mengucilkan orang tertentu karena dianggap menjadi sumber masalah, aku justru mau menyapa dan menjadikan orang tersebut sebagai teman ngobrol. Ketika banyak orang bersikap tidak jujur, aku berusaha menjaga kejujuran. Saat orang lain tidak begitu peduli dengan kebersihan lingkungan bahkan sampah yang bertebaran, aku mau mengorbankan diri untuk membersihkan lingkungan. Ketika orang lain tidak mau tertib, aku tetap berusaha menjadi pribadi yang tertib. Saat orang lain lebih suka melanggar janji dan tidak tepat waktu, aku justru ingin menepati setiap janji yang telah kuucapkan dan berusaha tepat waktu.

Ibaratnya: menjadi berbeda itu bagaikan sebongkah batu di tengah arus sungai yang deras. Sementara banyak batu lain ikut hanyut karena arus, batu itu justru tidak bergeming dan tetap tegar menentang arus.

Nah, maukah aku menjadi seperti batu itu?

Kamis, 12 Agustus 2010

Peduli?

Terasa sangat (sangat) menyedihkan ketika melihat kenyataan ini: seorang ibu melakukan aksi bakar diri dengan mengajak kedua anaknya serta sehingga akhirnya dua anaknya tidak terselamatkan karena luka bakar yang mencapai 90%. Juga seorang ibu muda yang tega melindaskan anaknya di jalan raya. Semua karena satu alasan: kesulitan ekonomi, yang menjadikan mereka putus asa dan berani mengambil keputusan yang nekad dan di luar kewajaran.

Pertanyaan yang kemudian muncul: salah siapa jika semua itu akhirnya terjadi? Apakah semata-mata karena kesalahan sang ibu yang tidak mampu menanggung beban kehidupan keluarganya sehingga mencari jalan pintas? Bagaimana, jika sebenarnya ia sudah berusaha ke sana ke mari tetapi tidak ada yang mau peduli dengan kehidupannya? Bukankah sebenarnya kita juga turut andil (secara tidak langsung) terhadap peristiwa itu?

Peduli. Ya, peduli. Kata ini rasanya semakin lama semakin menghilang dalam kehidupan kita. Karena tuntutan zaman yang semakin tidak mau kompromi, menjadikan kita robot-robot bernyawa yang ditelan kesibukan setiap hari. Pelan namun pasti merubah diri kita menjadi makhluk yang egois, yang tidak lagi peduli terhadap kehidupan lain di sekitar kita.

Kadang, kita menjadi peduli karena ada pamrih-pamrih tertentu. Peduli karena ada keuntungan yang akan diperoleh. Entah itu berupa harta benda, nama yang semakin tenar, banjir pujian, dan entah apalagi. Tentu jenis peduli yang seperti ini adalah peduli yang menyesatkan.

Nah sekarang, semua tergantung kepada kita. Maukah kita kembali untuk peduli, bukan peduli yang menyesatkan tetapi peduli yang tulus, yang didasari oleh kerelaan dan rasa syukur karena sudah terlebih dahulu dicintai oleh Tuhan?

Rabu, 11 Agustus 2010

Terima Kasih

Barangkali, ini adalah hal sederhana
yang paling sering kita lupakan begitu saja

Terima kasih kepada istri atau suami
yang setia menemani kehidupan kita hingga saat ini
Terima kasih karena masih ada secangkir teh
dan sepiring nasi dengan lauk, yang selalu tersaji
Terima kasih untuk halaman yang selalu bersih
Terima kasih kepada tukang sampah
yang rutin melakukan tugasnya tiap hari
Terima kasih untuk senyum dan sapaan
yang menemani hari-hari kita
Terima kasih karena ada orang yang mau memberi jalan
saat kita terjebak kemacetan lalu lintas
Terima kasih karena masih ada sahabat
yang selalu mengingatkan kita,
memberi penghiburan di kala sedih,
dan berbagi tawa ketika bahagia
Terima kasih atas segala kritik
yang membuat kita bisa memperbaiki diri
Terima kasih atas tipu daya, kemarahan,
caci-maki, dan berbagai hal buruk
yang mengingatkan kita
untuk tidak melakukan hal yang sama kepada orang lain

Terima kasih dan dan hanya terima kasih
karena masih ada orang yang peduli
dan mempedulikan kita

Selasa, 10 Agustus 2010

Kalau...

Kalau bisa berkata jujur, mengapa harus berbohong?
Kalau bisa memikirkan yang baik,
mengapa memenuhi pikiran dengan hal-hal yang buruk?
Kalau bisa tersenyum, mengapa mesti cemberut?
Kalau bisa bersikap ramah, mengapa mesti angkuh?
Kalau bisa memaafkan, mengapa harus menyimpan dendam?
Kalau bisa berkata-kata dengan lembut,
mengapa lebih memilih kata-kata yang kasar?
Kalau bisa memuji, mengapa harus mencaci?
Kalau bisa memberi jalan, mengapa malah menjadi perintang?
Kalau bisa berjabat tangan, mengapa lebih memilih beradu pukul?
Kalau bisa berbuat baik, mengapa harus melakukan kejahatan?

Kalau... ah... kalau...
ada lebih banyak hal baik yang kita lakukan tiap hari...
alangkah indah dan bahagianya hidup ini

Mari...
kita wujudkan semua itu
hari ini... saat ini...