Selasa, 31 Maret 2009

6 S

Suatu ketika saat mampir di sebuah pompa bensin, ada sebuah tulisan yang begitu menarik perhatianku. Tulisan itu tertempel di sebuah tiang dekat alat pengisian bensin. Tulisan itu berbunyi: ’Dengan 3 S (Senyum, Salam, dan Sapa) mari kita berikan pelayanan yang terbaik untuk para pelanggan’.

Saat aku mensharekan tulisan ini di facebook dengan sedikit variasi, ada seorang friend yang memberikan usulan agar S nya bisa ditambah lagi dengan Sopan dan Santun. Dan ketika memikirkannya lebih lanjut, tercetus sebuah ide untuk sekali lagi menambahkan satu S yaitu Sederhana. Maka tersusunlah 6 S yang kemudian dibaca Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun, dan Sederhana.

Meski terlihat sebagai rentetan kata yang sederhana, tapi bila dimaknai dan bisa dilakukan secara konsisten, kiranya sungguh akan memberi hasil yang menakjubkan. Senyum hangat penuh ketulusan. Salam dan sapa penuh keakraban serta persaudaraan untuk siapapun yang ditemui. Bersikap sopan dan santun di manapun berada. Menunjukkan kesederhanaan baik dalam tutur kata maupun sikap hidup sehari-hari. Tidak ’neko-neko’ dan ingin ’neko-neko’. Dan inti dari semua itu adalah sikap hormat dan menghargai orang lain sebagai sesama makhluk ciptaan Tuhan. Bila semua ini dapat diwujudkan, alangkah indah dan damainya hidup ini. Life is Beautiful. Semoga...

Kamis, 26 Maret 2009

Orang Ketiga

Selalu saja, kehadiran orang ketiga menjadi kambing hitam. Sebenarnya, siapa sih orang ketiga itu? Orang ketiga itu… ada setelah orang pertama dan orang kedua. Orang pertama dan orang kedua adalah suami dan istri atau istri dan suami. Lalu orang ketiga itu siapa?!?!?!

Eh… jangan teriak-teriak dong kalo nanya? Enggak penting kok nanyain siapa orang ketiga itu. Karena ia bisa siapa aja. Ya adik ipar, temen di kantor, temen di pelayanan gereja, temen ketemu di jalan, tetangga dan masih banyak yang laen. Yang paling penting itu, mengapa orang ketiga bisa hadir dalam hidup perkawinan kita. Apa yang menjadi sebab dan alasannya.

Mungkin, beberapa dari kita menganut faham 'rumput di rumah tetangga itu (selalu) lebih bagus daripada rumput di rumah sendiri'. Apa yang kayak gini emang bener? Pastinya, kalau kita percaya, dijamin kita udah ketipu mentah-mentah. Kita hanya ‘terpesona’ pada permukaannya saja. Pas kita udah tahu lebih dalem… pasti deh, kita akan kecewa berat. Karena walau bagaimanapun, rumput atau apapun itu yang ada di rumah kita, kita sendirilah yang telah menciptakan dan membuatnya tumbuh berkembang. Mau baik atau jelek itu tanggung jawab kita. Jadi sekali lagi, enggak lucu banget kalau apa yang sudah kita bikin sendiri kita tinggalkan gara-gara ada yang ‘lebih’ bagus di luaran.

Dan dalam hidup berumah tangga, masalah pasti akan selalu muncul. Sebab dari awal, rumah tangga dibentuk dari dua pribadi yang dari ‘sononya’ memiliki banyak perbedaan. Dengan perbedaan ini tentunya akan melahirkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan pastinya tidak akan dapat dirubah menjadi kecocokan sebab hidup berumah tangga bukan untuk mencari kecocokan tetapi bagaimana meramu dan menyatukan banyak ketidakcocokan itu menjadi sesuatu yang bisa saling mendukung dan melengkapi untuk kebahagiaan bersama.

Jadi, hadirnya orang ketiga, sebenarnya hanyalah menjadi pertanda keegoisan kita sebagai suami atau istri. Egois ketika pas lagi ada masalah, kita menganggap diri kita (apa yang kita lakukan) adalah yang paling benar dan istri (suami) kita menjadi pihak yang paling bersalah.

Untuk itu mestinya kita selalu ingat bahwa “APA YANG TELAH DIPERSATUKAN ALLAH TIDAK BOLEH DICERAIKAN OLEH MANUSIA”.

Rabu, 25 Maret 2009

Sakit

Tiba-tiba saja aku terbangun. Perutku sakit sekali. Seperti ada yang meremas-remasnya kencang sekali. Kupikir penderitaan ini hanya terjadi sebentar saja tetapi ternyata perkiraaku salah. Perutku malah semakin terasa melilit-lilit. Apa tadi malam aku salah makan ya? Begitu pikirku. Segera aku ke belakang untuk buang air besar. Wuih… ternyata cuma air yang keluar… tapi lumayan… sakit di perutku sudah agak berkurang. Baru beberapa saat kembali ke kamar… eee… la kok… sakit perut itu kembali lagi. Karena enggak kuat… aku segera membangunkan istriku.

Pagi-pagi buta, aku dan istriku bergegas pergi ke sebuah apotik 24 jam untuk membeli Imodium. Obat yang kata istriku, dapat meredakan sakit di perutku. Aku hanya mengiyakan saja dan berharap agar rasa sakit itu segera menghilang.

Dan rupanya, obat itu memang manjur. Tak berapa lama setelah meminumnya, sakit di perutku segera lenyap. Tapi tetap saja aku merasa enggak fit dan akhirnya, hari ini aku memutuskan tidak masuk kerja.

Setelah mengantar istriku ke kantornya. Aku segera pulang ke rumah untuk beristirahat.

Satu jam tiduran di kamar, bukannya bertambah segar malahan sekarang badanku jadi panas tidak karuan. Saat istriku ngebel untuk nanyain keadaanku, segera aku melaporkan situasi terkini. Atas bantuan ibu mertuaku, aku dibelikan obat untuk penurun panas dan antibiotik agar aku segera sembuh.

Ternyata, sakitku malah menjadi-jadi. Dan kalo sudah begitu, biasanya aku jadi enggak doyan makan. Mencium bau-bau yang menyengat atau sekadar gosok gigi saat mandi (cuci muka) bisa membuat aku muntah. Dan saat muntah ini…. uh… aku begitu menderita.

Betapa sakit itu tidak enak dan sehat begitu berharga. Ini yang sudah aku pahami sejak bertahun-tahun lalu. Tetapi tetap saja aku teledor. Saat sehat, aku enggak pernah pilih-pilih makanan. Yang pedes, setengah pedes atau enggak pedes… pasti aku lalap habis. Yang kata orang bisa bikin kolesterol atau sayur-sayuran pasti juga aku embat. Yang penting enak dan bisa bikin kenyang.

Pas sehat, aku juga bekerja dengan giat. Siang kerja di kantor. Trus malem harinya pergi ke gereja. Ikut rapat-rapat atau kegiatan pelayanan ini dan itu. Begitu tiap hari. Kadang-kadang aku suka memforsir diri kalo pas ada kegiatan pelayanan yang enggak bisa aku tinggalkan.

Betapa sakit itu tidak enak. Dan rupanya sakit ini kembali menyadarkan aku… Aku enggak boleh makan sembarang makanan. Aku enggak boleh nyampur-nyampur makanan. Aku harus bisa jaga kondisiku dan enggak boleh memforsir diriku. Karena ketika sakit… aku sendiri yang kemudian rugi… pekerjaan kantor jadi terbengkalai dan pelayananku juga enggak jalan…

Tuhan, terima kasih karena telah engkau kirimkan sakit ini…

Senin, 23 Maret 2009

Dilayani dan Melayani

Pagi ini, saat tengah antre di kantor pos karena hendak mengirim majalah kepada seorang teman di Purwokerto, ada satu kejadian yang menarik perhatianku. Kejadian ini berawal ketika petugas pos menimbang sekotak barang yang hendak dikirimkan ke suatu tempat. Ketika petugas pos menyebutkan biaya yang harus dibayarkan, si empunya barang (yang kebetulan cewek) nyeletuk, “Kok, lebih mahalan di sini ya daripada kalau kirim lewat TIKI?” Si petugas yang sedang mempersiapkan nota sejenak terdiam dan memandang cewek itu, “Lha, gimana mbak?” tanyanya. Petugas lain yang berada di sebelahnya berkata, “Yo, wis mbak, kalo ndak jadi ya ndak pa pa. Lebih baik dikirim lewat TIKI saja!” Si cewek sepertinya kurang terima dengan perkataan petugas ini. “Loh mbak, saya kan sudah sampai di sini?” kata cewek itu. “Kalau memberi pelayanan itu mbok yang baik tho mbak, yang ramah, jangan seperti itu. Saya laporkan nanti!” lanjutnya. Si petugas hanya terdiam sambil terus melayani yang lainnya. Sebelum pergi, si cewek masih sempat berkata, “Lain kali pelayanannya jangan seperti itu, mbak! Nanti bisa saya laporkan… “ ujarnya sambil melangkah pergi. “Ya, silahkan… “ jawab si petugas itu dengan sikap acuh tak acuh.

Kejadian ini mengingatkanku akan pengalaman yang terjadi beberapa waktu lalu. Saat itu aku dan istriku meluangkan waktu jalan-jalan ke sebuah mal yang tengah menggelar pameran komputer. “Wah kebetulan nih, aku lagi butuh box external untuk tempat hardiskku, “ begitu pikirku. Sesampai di salah satu counter aku segera menanyakan barang yang hendak kubeli. Petugas counter yang lagi sibuk mainan hp, segera menghampiriku, “Nggak ada mas, barangnya lagi kosong,” jawabnya dengan ogah-ogahan. Istriku yang berada di sampingku segera menarikku, “Nggak usah beli di sini mas, ditanya kok jawabnya seperti itu…” katanya memendam rasa jengkel.

Di kantorku, Toko Sarana Pertanian P, tiap hari selalu dikunjungi pembeli dari beragam latar belakang, tingkat ekonomi, budaya dan kebiasaan yang sungguh-sungguh berbeda. Ada yang dengan ramah dan sopan menanyakan ini dan itu. Namun tidak jarang pula ada pembeli yang begitu ‘cerewet’, selalu tidak sabaran bahkan ada pula yang selalu minta didahulukan meski sebenarnya ia datang paling belakangan. Tidak jarang pula, ada yang suka memotong pembicaraan ketika kami tengah menerangkan sesuatu kepada pembeli yang lain. Tentunya sebagai karyawan, kami dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang terbaik. Pembeli itu raja, kata pepatah. Namun tak jarang karena keterbatasan kami, kadang kami juga jengkel dengan tingkah polah pembeli yang seperti itu. Dan akibatnya pelayanan kami menjadi kurang (tidak) memuaskan.

Kiranya, mendapatkan pelayanan yang terbaik adalah hak semua orang. Namun karena tuntutan itu kadang kita kurang (tidak) mempedulikan orang yang memberikan pelayanan kepada kita. Bagaimana kondisinya, situasinya? Kita sering menganggap, karena kita adalah ‘raja’ maka kita bisa berbuat seenaknya, minta ini dan itu… Dan ketika tidak mendapatkan pelayanan yang baik maka kita boleh marah, jengkel, memaki-maki dll.

Semestinya, sebagai sesama manusia, kita dituntut untuk bisa saling menghargai. Bisa ‘tepo seliro’ dan saling nguwongke. Kalau toh kita sebagai orang yang dilayani, kita harus bisa bersikap sabar ketika situasi lagi ramai atau ada banyak orang lain yang punya keinginan sama dengan kita (minta dilayani). Sebaliknya, sebagai orang yang melayani, hendaknya selalu kita kembangkan sikap ramah, sopan dan kesungguhan hati dalam memberikan pelayanan.

Rabu, 18 Maret 2009

Beruntung?

Seorang teman yang aktif dalam pelayanan di gereja pernah mendapat hadiah mobil dari sebuah perusahaan telekomunikasi. Hadiah ini didapat karena pada saat acara pengundian doorprize hadiah utama yang diselenggarakan perusahaan tersebut, nama teman kamilah yang muncul. Waktu itu istriku bilang, “Wah betapa beruntungnya Mas Edi itu ya mas, udah punya mobil… eh.. tau-tau sekarang dapet hadiah mobil baru, gratis lagi…” Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya.

Beda dengan aku dan istriku. Dalam berbagai acara pengundian doorprize, kami selalu tidak pernah beruntung. Boro-boro dapat hadiah utama, hadiah hiburan yang paling minim pun jarang kami dapat. Entah kenapa, mungkin kami memang ndak punya hoki.

Acapkali, masalah beruntung dan tidak beruntung timbul karena pikiran manusia. Dan karena berasal dari pikiran manusia maka penilaian ini selalu berkaitan dengan sesuatu yang terlihat (nyata) dan yang bisa dirasakan. Seorang gadis dengan paras rupawan dan tubuh yang indah selalu dikatakan lebih beruntung bila dibandingkan dengan gadis gembrot atau kurus yang berwajah pas-pasan. Demikian pula dengan pria ganteng yang bertubuh atletis. Orang dengan jabatan tinggi, punya banyak mobil berharga ‘wah’ dan rumah mewah di banyak tempat juga dikatakan lebih beruntung bila dibandingkan dengan orang-orang miskin yang hanya tinggal di gubuk-gubuk reot.

Benarkah demikian? Mungkin ya kalau hanya sebatas secara lahiriah saja, yang hanya keliatan kulit luarnya. Tapi coba kalo ditengok lebih ke dalam lagi. Dalam kasus teman saya, mungkin kita nggak tau kesulitannya saat harus mengumpulkan uang (dalam waktu singkat) untuk membayar pajak undian. Trus juga uang yang nantinya harus dikeluarkan untuk BBM dan biaya perawatan mobil tersebut. Kemudian untuk yang punya wajah cantik dan ganteng, mungkin saja mereka enggak ngerasa beruntung. Sebab karena semua itu, hidupnya jadi lebih boros. Pikirannya jadi pingin macem-macem yang berujung pada tindakan negatif. Dan mungkin juga kebiasaan yang enggak baik justru lebih banyak dimiliki oleh mereka. Sikap sombong, meremehkan orang lain, suka berkata-kata kasar, demen gossip. Enggak enak di kuping kan kalo ada orang yang kemudian nyeletuk, “Ih… cantik-cantik kok ngomongnya kasar kayak gitu…” Wah… wah… wah…

Pun setali tiga uang dengan orang-orang yang punya jabatan tinggi n’ kekayaannya bejibun. Kalo yang dimilikinya itu dari hasil keringat sendiri sih bolehlah kalo kita sebut tu orang beruntung banget. Tapi coba kalo ternyata kekayaannya dari hasil koprupsi trus jabatan tinggi yang dimiliki digunain untuk hal-hal yang enggak baek. Ih… amit-amit!!! Boro-boro beruntung… bisa-bisa malah ditangkap ama KPK untuk dijeblosin ke dalam bui. Nah!

Makanya, gak usah ngeliat orang dari luarnya saja sebab yang terlihat baik belum tentu juga baik di dalamnya (begitu sebaliknya dengan yang keliatan enggak baek). Kayak kalo kita makan jambu air. Mungkin aja keliatannya mulus dan menggairahkan. Pas dibuka… ih… ternyata banyak ulet di dalamnya. Serem kan…!!!

Selasa, 17 Maret 2009

Gagal dan Kalah

Aku adalah penggemar berat Manchester United (MU). Setiap kali klub kesayanganku ini main dan kebetulan tayang di televisi, pasti aku bela-belain untuk nonton walau itu dinihari sekalipun. Aku selalu kagum dengan aksi Cristiano Ronaldo yang begitu lincah, dengan driblle menawan, meliuk-liuk mengelabui bek-bek lawan untuk kemudian menceploskan si kulit bundar ke gawang lawan atau memberi umpan kepada si Wayne atau si Carlos agar menembak bola. Wuih… pokoknya dahsyat, bo…!

Saat MU bisa mengalahkan lawan-lawannya, hati ini jadi seneng banget. Bangga karena ternyata kecintaanku enggak salah. Harapanku… dengan kemenangan-kemenangan yang diraihnya, MU bisa mendapatkan banyak tropi. Tapi ternyata harapan ini enggak selalu dapat terwujud. Kemenangan selalu bersanding dengan kekalahan. Pun juga dengan kegembiraan dan kesedihan. Batasnya teramat tipis.

Dan Sabtu kemaren, MU kalah dari Liverpool yang notabene adalah rival bebuyutannya. Nggak tanggung-tanggung, gawang si Edwin kemasukan 4 gol dan Ronaldo hanya bisa membalas dengan sebiji gol, itupun dari titik pinalti. Andai saja MU enggak kalah dan bisa menang melawan Liverpool pasti selisih angka di antara mereka jadi melebar dan MU akan bisa segera memastikan gelar juara Liga Inggris. Andai saja… Ah, kenapa mesti berandai-andai. Kekalahan toh tetep mesti diterima dengan lapang dada dan harus disikapi dengan bijak.

Pun dengan hidup. Kadang setelah begitu banyak keberhasilan yang kita raih, suatu saat kita terjerembab. Kita gagal, jatuh dan kalah. Reaksi pertama kita jadi sedih dan teramat kecewa. Ini adalah hal yang wajar. Yang kemudian jadi enggak wajar bila kita terus meratapi kegagalan tersebut. Bukankah dengan kegagalan membuat kita menjadi rendah hati. Bukankah dengan kegagalan, kita diingatkan untuk tidak sombong dan jumawa dengan segala keberhasilan kita. Dan satu hal lagi, kegagalan akan membuat kita mampu merefleksi diri untuk kemudian mengambil langkah-langkah terbaik guna meraih keberhasilan selanjutnya. Kuncinya tetep, jangan sombong dan selalu rendah hati. Maka berterimakasihlah pada kegagalan. Pada kekalahan.

Sabtu, 14 Maret 2009

Mubazir Lah Youuuu…!!!

Di sekitar kita ada banyak tanda dan tulisan yang dibuat dengan maksud dan tujuan yang baik. Namun akibat ‘kebodohan’ kita, segala sesuatu yang sudah dibuat itu menjadi mubazir. Ndak ada gunanya sama sekali!!!

Pertama, tanda S atau P digaris miring dengan tambahan tulisan dibawahnya ‘Sampai Rambu Berikut’. Maksud dari tulisan ini kiranya cukup jelas bahwa apapun itu baik becak, sepeda, motor, mobil dan sejenisnya, enggak boleh berhenti di area yang sudah diberi tanda. Tapi anehnya, masih banyak saja yang nekat parkir dan berhenti sembarangan. Parahnya lagi, polisi kayaknya juga kurang peduli dengan kejadian ini. Sekali dua kali mungkin coba ditertibkan tapi karena pada bandel, polisinya yang gantian jadi males.

Kedua, di kantor-kantor polisi yang biasa mengurus SIM, STNK atau BPKB, juga di stasiun-stasiun bis dan kereta api selalu ada tulisan ‘Awas Calo’, ‘Jangan mengurus lewat Calo’ atau tulisan lain yang intinya menghimbau kepada siapa saja agar bisa menyelesaikan urusannya sendiri tanpa harus melalui jasa calo. Tapi apa yang terjadi? Praktek percaloan justru masih saja berlangsung. Malah seolah-olah menjadi hal yang dilegalkan karena ada beberapa ‘oknum’ polisi atau petugas di stasiun yang merangkap sebagai calo. Nah, lho?!!!

Ketiga, tulisan ‘Dilarang Buang Sampah Sembarangan’ dan ‘Jangan Merokok di Sembarang Tempat’. Tapi kedua tulisan ini juga sama aja nasibnya. Masih banyak yang nekat buang sampah di sembarang tempat. Nggak peduli kalau kemudian jalanan jadi kotor. Taman-taman jadi kurang indah. Selokan-selokan dan sungai jadi mampet. Terus kalau terkena banjir, semua pada rame-rame mengeluh dan protes. Sama halnya dengan merokok. Banyak orang (pecandu rokok) yang enggak peduli dengan lingkungannya. Berada di tempat umum malah dianggep kayak di rumah sendiri. Tetep aja enak-enakan ngrokok… kebal-kebul tanpa henti… nggak sadar kalau akibat tindakannya itu sudah merugikan orang lain. Ah… cuek aja…, begitu katanya.

Nah, kalo yang kayak gini aja nggak bisa dijalanin, gimana negara ini mau maju? Kalau tetep aja enggak pernah mau belajar disiplin, gimana negara ini bisa bersaing dengan negara lain? Percuma aja semua himbauan, peraturan dan tetek bengek lainnya kalau enggak pernah bisa dilaksanakan dengan baik. Kata orang muda sekarang, mubazir lah yaouuu…!!!

Jumat, 13 Maret 2009

Yang Nampak Itu...

Basir, seorang penjaga sebuah klenteng di Gang Baru, Semarang Tengah, diamankan petugas Koramil dan Polsek Kalibanteng Kamis (12/3) siang. Sudah lima bulan belakangan ini, ia berlagak laiknya tentara dengan mengenakan seragam dan celana doreng, serta sepatu lars agar mempunyai daya tarik saat berkenalan dengan seorang gadis. Dan ia berhasil memperdayai bahkan mencabuli seorang gadis kenalannya sebut saja, Friska (18) warga Tawangsari, Semarang (Suara Merdeka, 13 Maret 2009).

Bagi kebanyakan orang, pakaian memang bisa memberi pengaruh yang begitu besar. Di tempat pesta atau tempat-tempat pertemuan, kita akan lebih menghormati orang-orang yang berpakaian mewah daripada orang yang berpakaian seadanya dan kelihatan kusam. Apalagi jika yang memakai orang yang punya jabatan tinggi. Bisa dipastikan kita akan segera tergopoh-gopoh menyambutnya dan segera menyilakannya untuk menempati tempat duduk yang paling depan (terhormat). Begitu pula jika berada di mal-mal atau saat berbelanja di department store. Orang dengan kemeja lengan panjang dengan wangi parfum yang menyengat serta sepatu hitam mengkilat, akan cepat mendapatkan pelayanan. Berbeda kalau yang lagi belanja orang yang pakaiannya sederhana, hanya pakai sandal jepit sambil mengepit buntelan sarung. Pasti dech… pramuniaga toko akan terus melototin tuh orang… sambil berpikir… wah jangan-jangan… Padahal di dalam buntelan sarungnya itu tersimpan uang receh yang jumlahnya jutaan. Ketipu, kan? Lagi, ketika di jalanan… orang pasti akan lebih menghormati orang-orang berseragam. Contoh paling nyata, polisi lalu lintas. Saat di perempatan jalan, kalo pas lagi enggak ada polisi… kadang (atau sering ya???) kita nggak peduli dengan lampu lalu lintas. Meski nyalanya merah, tetep aja jalan. Mumpung gak ada petugas, begitu dalih kita. Tapi pas ada polisi yang jaga dengan wajah galak, kita jadi mengkeret. Yang semula brani nglanggar jadi alim kayak anak mama. Juga, mumpung lagi berseragam, ada beberapa oknum polisi yang terus bikin tugas akal-akalan, prit sana.. prit sini… mbrentiin mobil dan sepeda motor yang lagi jalan. Periksa sana periksa sini, lalu bikin tuduhan ngawur (karena tanpa bukti dan hanya dibuat-buat)… trus main tilang… yang ujung-ujungnya… biar dapet ‘uang damai’.

Pakaian mungkin memang penting. Tapi yang paling utama tetep… adalah hatinya, perbuatannya, tingkah lakunya. Percuma aja ngakunya pejabat tinggi, yang selalu berganti-ganti jas mahal, tetapi sukanya nyalahgunain wewenang. Bikin peraturan yang menyengsarakan rakyat. Trus juga ‘biasa’ main tilep sana sini… biar kekayaannya makin menumpuk. Percuma aja berpakaian modis dan selalu wangi kalau masih demen omong kasar sama orang lain…, suka bikin orang lain tersinggung. Percuma aja penampilannya selalu mutakhir tapi enggak pernah peduli dengan lingkungan sekitar. Untuk yang satu ini, ada satu reality show di sebuah televisi swasta yang bisa jadi rujukan. Nama acaranya MINTA TOLONG. Dalam banyak episode, selalu dan hampir selalu… orang-orang yang kelihatannya berpendidikan tinggi, dengan pakaian rapi dan bagus, tidak pernah tergerak hatinya untuk memberikan pertolongan bagi mereka yang sedang membutuhkan… orang-orang ini justru terlihat jijik dan merasakannya sebagai gangguan. Pertolongan justru diberikan oleh orang-orang kecil dari kelompok yang hidupnya cukup sederhana dan pas-pasan. Aneh, bukan?

Jadi, sekali lagi, jangan hanya suka liat luarnya aja, dari pakaiannya, penampilannya. Liat juga apa yang dikatakannya, bagaimana tutur katanya, bagaimana tingkah lakunya, perbuatannya, juga apakah ia peduli dengan lingkungan sekitarnya? Kalau semuanya oke (sepanjang bukan rekayasa lho!!!) berarti memang ia orang yang patut kita hormati dan kita teladani.

Kamis, 12 Maret 2009

Cukupkah???

Malem ini kayaknya suntuk banget, mau nulis… gak tau apa yang mesti ditulis. Jadinya aku hanya buka-buka FBku dan blogwalking sepuasnya. Eh… pas lagi enak-enaknya blogwalking… aku nemuin sebuah blog yang bagus banget… nyeritain soal almarhum Taufik Savalas. Bagi penulis blog ini, ia adalah orang baek. Orang yang nggak pernah milih-milih temen dan nggak ngelupain temen di masa lalu meski hidupnya udah sukses. Saat paling berkesan adalah ketika Taufik Savalas mengutarakan keinginannya untuk menjadi seorang pemandi jenasah. Sang teman terbelalak kaget, spontan ia bertanya, berapa tarip sekali memandikan jenasah. Gratis, begitu jawaban Taufik. Saat ditanya mengapa kok gratis, Taufik hanya menjawab, “Ini bukan bisnis. Tapi tabungan gue bagi yang di atas. Kita ga bole mikirin dunia melulu. Takutnya pas dipanggil Tuhan, tabungan kite belom cukup. Makanya jasa gue ini gratis.” Dan beberapa hari kemudian, Taufik meninggal karena kecelakaan mobil.

Uhh… baca blog ini aku jadi merenung. Apa yang sudah aku lakukan selama ini? Apakah seperti halnya Taufik, aku sudah mempersiapkan tabunganku? Memberi kebaikan untuk orang lain atau justru malah menabur kejahatan di mana-mana? Dan semakin merenungkannya, tiba-tiba tubuhku menggigil karena ternyata tabunganku belum seberapa… Tuhan ampuni aku…

Rabu, 11 Maret 2009

Mencari NURANI

NURANI, kemanakah engkau pergi?
telah kudatangi gereja tempatku biasa berdoa
juga kubuka Alkitabku yang penuh debu
pun kubaca lagi buku-buku tentang ajaran kebaikan
yang biasa menumpuk dalam kebisuan di sudut kamarku
namun, tetap tak kutemukan engkau…

Begitu marahkah engkau padaku?
Aku yang tak pernah mendengar jeritanmu…
Aku yang anggap omong kosong semua kata-katamu…
Aku yang tak pernah peduli padamu…
dalam pikiran, kata maupun perbuatanku

NURANI, kemanakah engkau pergi?
sudah begitu lelah aku mencarimu
kembalilah… kembalilah… untukku
karena tanpamu
Aku hanyalah DEBU

Senin, 09 Maret 2009

Kalau Aku...

Kalau Aku tidak ingin dimarahi…
Mengapa Aku mesti membuat orang lain marah?
Kalau Aku tidak ingin dimaki-maki…
Mengapa Aku memaki-maki orang lain dengan seenak hati?
Kalau Aku tidak ingin dipermalukan…
Mengapa Aku suka mempermalukan orang lain di muka umum?
Kalau Aku tidak ingin disakiti…
Mengapa Aku justru terbiasa menyakiti orang lain?
Kalau Aku tidak ingin dihakimi…
Mengapa Aku sering menghakimi orang lain tanpa sebab?
Kalau Aku tidak ingin ‘dirasani’…
Mengapa Aku malah menjadikan ‘ngrasani’ sebagai salah satu hobi kesukaanku?
Kalau Aku ingin ditolong…
Mengapa Aku tidak membiasakan diri menolong orang lain?
Kalau Aku ingin dihormati…
Mengapa Aku tidak terlebih dahulu menghormati orang lain?

Minggu, 08 Maret 2009

Hal-Hal Kecil Itu...

Beberapa waktu yang lalu, di Gerejaku diadakan Misa Imlek. Diluar perhitungan panitia, ternyata umat yang hadir begitu banyak sehingga tempat yang sudah disediakan tidak mencukupi. Banyak umat yang akhirnya tidak kebagian tempat duduk. Namun beberapa umat tampaknya tidak kekurangan akal. Mereka berusaha mencari kursi-kursi di tempat lain. Kebetulan di ruang sebelah sekretariat gereja tersedia kursi-kursi plastik yang biasanya digunakan untuk acara rapat. Segera mereka mengambil kursi-kursi tersebut dan membawanya ke halaman gereja untuk dipakai mengikuti misa. Dua jam kemudian Misa Imlek berakhir. Umat berbondong-bondong meninggalkan gereja. Beberapa saat gereja kembali sepi. Dan kursi-kursi itu ternyata masih tergeletak di halaman...

Sari berjalan mondar-mandir sambil menggerutu. Sejenak kemudian ia melihat jam tangan yang melingkar di tangannya. Entah sudah berapa kali ia melakukan hal ini. Terngiang kembali apa yang dikatakan Antok beberapa hari yang lalu. “Sar, besok Senin kita rapat persiapan Paskah ya. Jam 7 tepat, lho.” Jam 7 tepat? Uuhhh, yang bener aja, ini udah jam 7.30 tapi belum ada seorangpun yang nongol, batin Sari. Ketika kebosanan yang meluap mengajaknya untuk bergegas meninggalkan tempat itu, Antok datang dengan terburu-buru. “Maaf Sar…. terlambat.”

Jam istirahat siang. Heru baru saja sampai di rumah. Ia sedang memarkirkan motornya ketika matanya melihat sebuah pot berisi tanaman adenium di rumah tetangga depan rumahnya terjatuh. Tanah dalam pot itu terburai dan berserakan di mana-mana sementara sang tanaman yang baru saja mulai belajar berbunga terkulai tanpa daya, layu. “Apakah aku perlu membereskan pot itu dan mengembalikannya seperti semula atau kubiarkan saja, toh pot itu bukan milikku… dan rasa-rasanya nggak ada untungnya bagiku,” begitu perang di batin Heru. Dan akhirnya, setelah beberapa saat dalam kebimbangan, Heru segera bergegas masuk ke dalam rumah tanpa mempedulikan pot itu.

Misa baru saja mulai. Carmen tengah bersiap menyanyikan lagu pujian ketika ia melihat seorang ibu yang duduk di sebelahnya. Ibu itu tidak membawa apa-apa. Tanpa berpikir panjang, Carmen segera mengansurkan buku panduan misa yang sedang dipegangnya ke hadapan ibu itu, dengan harapan agar ibu itu juga dapat mengikuti misa dengan baik. “Trimakasih, nak,” ucap ibu itu, lirih.

“Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Sabtu, 07 Maret 2009

DPR(D), dengan P = Penipu

Harian Suara Merdeka, beberapa hari yang lalu: ‘KPK (kembali) menangkap anggota Komisi V DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN) Abdul Hadi Djamal karena dugaan menerima sejumlah uang terkait proyek pembangunan lanjutan fasilitas pelabuhan laut dan bandara di wilayah Indonesia Timur. Penangkapan ini adalah untuk kesekian kalinya setelah pada 9 April 2008 lalu, KPK menangkap tangan anggota Komisi IV Al Amin Nur Nasution yang terbukti menerima uang dari Sekda Kabupaten Bintan Azirwan dalam alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan. Kemudian pada 30 Juli 2008, anggota Komisi V dari Fraksi PBR, Bulyan Royan, tertangkap tangan tim penyidik dari KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dengan dugaan menerima suap senilai 60 ribu dolar AS (setara Rp. 550 juta) dan 10 ribu Euro (setara Rp. 145 juta) yang terkait pengadaan kapal patroli di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Kedua kasus ini akhirnya menyeret beberapa anggota DPR yang lain’.

Ketika membaca berita itu tiba-tiba hati ini jadi ‘mangkel’ bener-bener ‘mangkel’. Mereka itu kan wakil rakyat, anggota dewan yang terhormat, lha kok malah melakukan tindakan yang demikian! Apa mereka itu sudah ‘ndak punya urat kemaluan’ sehingga bisa cuek aja ngambil sana-sini, bikin kebijakan sana sini yang akhirnya hanya untuk mengeruk keuntungan buat diri sendiri. Oalah… jan ‘wis pada keblinger kabeh’. Sementara beberapa wakil rakyat yang lain sering mangkir dari sidang. Kalo toh mereka hadir hanya untuk sekedar pindah tidur, mainan HP atau ngobrol ngalor ngidul dengan teman lain. Trus juga sering bikin kebijakan yang enggak pro rakyat. Pokoknya yang penting hanya demi kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Kalo itu sudah ya yang laen… peduli amat… lha wong amat aja enggak peduli!!! Apa yang seperti itu yang dinamakan sebagai wakil rakyat, anggota dewan yang terhormat!?!?!?

Coba bandingkan ketika mereka sedang berkampanye. Pastinya semua pada rame-rame bikin hal-hal yang baek untuk diri sendiri yang tujuannya agar rakyat bisa milih ‘aku’ dan bukan orang laen karena aku itu pinter, mau ndengerin dan berjuang untuk rakyat, anti korupsi dan laen-laen yang super baek sementara yang laen itu kebalikan dari ‘aku’. Nah, lho!?!?!?

Lalu, benarkah yang mereka tulis sudah mencerminkan diri pribadi mereka? Kalau memang iya… mengapa spanduk-spanduk atau pamplet ditempatkan di sembarang tempat hingga mengganggu keindahan kota? Mengapa mereka malah mengotori berbagai tempat dengan atribut-atribut kampanye yang terpasang secara serampangan dan semrawut. Mengapa mereka begitu tega melukai pohon-pohon hanya untuk sekadar memasang berbagai spanduk atau pamplet? Kalau selagi kampanye saja mereka bisa bertindak demikian, bagaimana nanti kalau mereka sudah benar-benar menjadi wakil rakyat? Mungkinkah mereka akan bertindak lebih jauh, yang merugikan rakyat yang telah memilihnya? Wuiih… pastinya sangat mungkin sekali.

Maka kalau benar-benar ingin menjadi wakil rakyat, setiap pribadi harus bisa mawas diri. Pantaskah aku? Kalau memang pantas, apakah yang aku ucapkan bisa aku laksanakan? Kalau bisa, apakah aku bisa mengatasi segala godaan yang akan datang menghampiriku? Kalau juga bisa, apakah dalam mengambil keputusan aku lebih mementingkan kepentingan rakyat yang telah memilihku daripada kepentingan diri sendiri maupun kepentingan kelompokku? Kalau jawabannya iya berarti selamat karena ‘AKU’ memang wakil rakyat yang pantas untuk dipilih. Tetapi kalau jawabannya hanya ‘ngambang’ alias ‘ragu-ragu’ dan kebalikan dari jawaban sebelumnya ya sebaiknya ‘AKU’ mundur saja karena ini adalah pilihan yang terbaik. Jangan sampai nantinya ‘AKU’ sebagai anggota DPR(D) yang bukan menjadi Perwakilan Rakyat tetapi justru menjadi Penipu Rakyat. Gawat kan!!!!!

Jumat, 06 Maret 2009

Antara Kejujuran dan Ketidakjujuran

Suatu siang, toko tempatku bekerja begitu ramai oleh pembeli. Saat itu aku tengah menggantikan tugas kasir karena temanku yang biasanya ada di sana sedang beristirahat. Kebetulan hanya ada dua orang yang menemani. Kami cukup kewalahan karena disamping harus melayani, kami juga harus menjawab ketika ada pembeli yang bertanya ini dan itu. Sementara aku sendiri harus memasukkan beberapa nota ke dalam mesin cash register sesuai kode, kemudian memilah nota dan memberikan kembalian untuk pembayaran yang masih sisa. Tiba-tiba ada seorang ibu paruh baya mendekatiku. “Mas, kembaliannya kelebihan,” katanya sambil mengangsurkan lembaran uang duapuluh ribuan kepadaku.

“Ohhh…” Aku terkejut mendengar kata-kata ibu itu. Segera kuterima uang itu sambil memeriksa nota yang disertakannya.

“Tadi uang saya 100ribu dan belanjaan saya habis 20ribu tapi kembalian yang diberikan kepada saya 40ribu, mas… “ terang ibu itu.

Ah, betapa tololnya aku. Karena tergesa-gesa aku jadi salah memberikannya kembalian. “Trimakasih bu…” ucapku tulus pada ibu itu. Entah siapa namanya.

Pada hari yang lain, Antok salah seorang teman di kantor yang baru saja pulang dari istirahat siangnya bercerita, “Wah… aku benar-benar beruntung hari ini.”

Kami yang mendengar perkataannya menjadi bingung. Beruntung karena apa?

Melihat kebingungan kami, Antok lalu bercerita, “Tadi aku beli voucher pulsa 10ribu… eh… barusan waktu aku mau ngisikan pulsa itu ke hp… ternyata voucher yang diberikan bukan 10ribu tetapi 50ribu. Apa itu namanya kalau nggak beruntung?” terangnya sambil menunjukkan voucher itu kepada kami.

“Tapi mas, bukankah seharusnya mas mengembalikan voucher itu dan minta ganti yang sesuai?” kata Andi, temanku yang lain.

“Weleh…weleh… kok dikembalikan… Yang salah kan bukan aku,” jawab Antok, cuek.

****

Kejujuran dan ketidakjujuran hadir sebagai pilihan dalam kehidupan manusia. Dan berdasarkan pengalaman banyak orang, seringkali ‘tidak jujur’ menjadi pilihan yang lebih mudah untuk dilakukan. Sebab pilihan ini lebih enak dan menguntungkan. Sebaliknya untuk bersikap jujur tidak jarang seseorang harus berhadapan dengan berbagai macam resiko. Tidak disukai ‘lingkungan’ karena dianggap sebagai orang yang ‘aneh’. Dikucilkan dari pergaulan. Bahkan ada yang harus berkorban nyawa seperti pada kasus Marsinah dan Munir. Maka benarlah ungkapan ini, ‘jujur itu ajur’.

Nah, untuk kita sendiri, manakah yang akan kita pilih? Apakah kejujuran sudah sedemikian merasuk dan mewujud dalam setiap kata, sikap hidup dan tindakan kita atau justru ketidakjujuranlah yang biasa kita lakukan? Sekali lagi pilihan ada di tangan kita.

Kamis, 05 Maret 2009

MLM KEBAIKAN

Temen-temen, sohib-sohib, fren2 n’ Bapak Ibu sekalian di seantero bumi…
Ada kabar baek yang perlu didengerin nih…
Mulai hari ini ada MLM baru yang layak n’ sebaiknya diikuti…
Nggak perlu pake mikir ntar dapet untung berapa karena ada jaminan… siapa aja yang mo ikutan pasti dapet ganjaran berlipat-lipat. Penasaran??? Coba deh baca baek-baek keterangan di bawah ini…

Namanya MLM KEBAIKAN… dieja K-E-B-A-I-K-A-N… yupp… KEBAIKAN
Nggak perlu syarat-syarat khusus, ato harus jual produk apalagi kasih uang segala… no way…
Yang penting niat, kesungguhan dan setia melaksanakannya…
Yang harus dilaksanakan cuman 2 hal…
1. Melakukan kebaikan minimal satu kali dalam sehari
2. Mengajak orang lain (bisa bapak, ibu, adik, kakak, temen, sohib, fren, tetangga ato orang yang belum dikenal sekalipun) untuk melakukan kebaikan minimal satu kali dalam sehari

Keuntungan dihitung berdasarkan sistem poin
Setiap kebaikan yang sudah dilakukan (1) akan mendapat 4 poin sedangkan bila berhasil mengajak orang lain untuk ikut melakukan kebaikan (2) akan mendapatkan 8 poin. Untuk lebih jelasnya bisa diliat pada ilustrasi berikut:
• Perhitungan dalam 1 hari
ANDA melakukan 1 kebaikan 4 poin
ANDA berhasil mengajak orang lain melakukan 1 kebaikan 8 poin
Total poin dalam 1 hari 12 poin
• Dalam 1 minggu = 7 hari x 12 poin 84 poin
• Dalam 1 bulan (rata-rata) = 30 hari x 12 poin 360 poin
• Dalam 1 tahun = 365 hari x 12 poin 4380 poin

NB: Itungan di atas adalah itungan paling minimal, karena semakin banyak ANDA melakukan kebaikan maka poin ANDA pun akan semakin tinggi.

Hal yang pasti akan didapatkan bila berhasil melaksanakan MLM ini adalah:
1.Semakin mengenal dan menyayangi TUHAN. Karena dari Dialah sumber inspirasi MLM ini. Nah, jika ANDA menyayangi TUHAN maka ANDA pun akan mengikuti dan melaksanakan setiap hal yang dikatakanNya (difirmankanNya).
2.ANDA semakin dekat dengan pintu surga. Dengan demikian ANDA pun mendapat jaminan untuk memasukinya.
3.ANDA akan mendapatkan rasa damai, kebahagiaan batin dan tentunya relasi, sahabat dan teman seperjuangan yang semakin hari semakin bertambah banyak.

Nah, tunggu apalagi. Ayo buruan ngedaftar. Nggak perlu pake perantara ato harus ditraining segala. Pokoknya begitu selesai ngebaca penjelasan ini segera laksanakan.

Oke, selamat mengembangkan MLM KEBAIKAN ini. Semoga sukses. Berkat TUHAN melimpah.

Rabu, 04 Maret 2009

Sepatu dan Topi

“Topi, aku sangat iri denganmu,” ujar Sepatu kepada Topi di saat mereka tengah beristirahat di pojokan rumah.

“Iri bagaimana maksudmu?” tanya Topi kurang mengerti.

“Iya, iri. Aku sangat iri karena selama ini engkau sangat dipuja-puja oleh Ndoro Tuan. Engkau selalu mendapat tempat terhormat dan diangkat-angkat di atas kepalanya. Apalagi kalau Ndoro Tuan mau pergi pesta, pasti ia akan betah berlama-lama di depan cermin hanya untuk mematut diri denganmu,” jelas Sepatu dengan perasaan gusar.

Topi hanya diam. Ia tidak berusaha membantah perkataan Sepatu.

“Coba bandingkan dengan diriku ini. Aku hanya bisa pasrah diinjak-injak tiap hari. Kadang aku dibawa Ndoro Tuan ke tempat-tempat kotor hingga badanku berbau tidak sedap. Belum lagi kalau ada benda-benda tajam yang tidak sengaja diinjak. Wuiih, badanku jadi terasa sakit sekali. Aku merasa hidupku sungguh-sungguh malang.” lanjut Sepatu.

Topi tersenyum. Sejenak ia memandang Sepatu dengan perasaan iba, katanya, “Sepatu, sebenarnya apa yang engkau katakan itu tidak benar. Aku ada di atas kepala Ndoro Tuan karena memang tempatku di sana. Dan karena itu seringkali aku harus menahan sengatan matahari yang begitu panas menerpa tubuhku. Belum lagi kalau turun hujan. Pasti aku kedinginan setengah mati karena tubuhku basah kuyup. Jadi tidak benar kalau engkau menganggap hidupmu sungguh malang. Bukankah kita sudah diberi kelebihan dan tugas masing-masing? Bukankah seharusnya engkau bersyukur karena berkat pengorbananmu itu kaki Ndoro Tuan selalu terlindung dari hal-hal yang membahayakan?”

Sepatu mencoba merenungkan apa yang dikatakan Topi. Dan ketika ia menyadarinya, ia pun tersenyum bahagia.

******

Seperti halnya Sepatu, kita pun sering merasa bahwa hidup kita hanya berisi kemalangan ketika ada begitu banyak cobaan dan penderitaan yang mesti kita lalui. Situasi ini kemudian mendorong kita untuk selalu mengeluh. Dan saat melihat di sekitar kita ada banyak orang yang (menurut pandangan kita) hidupnya lebih tenang, lebih bahagia, lebih sukses, lebih berkecukupan tidak jarang kemudian membuat kita menjadi iri.

Sebenarnya, pangkal dari semuanya ini adalah karena kita kurang bersyukur. Kurang bersyukur atas semua hal yang telah dianugerahkan Tuhan untuk kehidupan kita baik itu berupa keberhasilan, kegagalan, kebahagiaan, cobaan maupun penderitaan. Selayaknya rasa iri yang ada di dalam hati kita buang jauh-jauh karena sama halnya dengan kita, setiap orang juga mengalami cobaan dan penderitaannya masing-masing.

Selasa, 03 Maret 2009

Kisah Tiga Pengembara

Alkisah pada jaman dahulu kala, hiduplah tiga orang pengembara. Hainan, pengembara dari utara, adalah seorang yang berilmu tinggi dan berpengetahuan luas. Di tiap-tiap tempat yang disinggahinya, ia selalu menularkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat setempat. Alkiz, pengembara dari selatan, memiliki ilmu agama yang sangat mumpuni. Hingga tak jarang, ia selalu mengajarkan agama dan mengajak orang-orang untuk mengenal dan mengakui keberadaan Tuhan di manapun ia berada. Berbeda dari keduanya, Henas, pengembara dari wilayah barat, adalah pengembara yang berilmu ‘sedang-sedang saja’ tapi soal keahlian, ia jagonya. Ia selalu membawa berbagai peralatan di dalam pengembaraannya.

Dalam perjalanan ke negeri timur yang masih perawan (karena belum pernah didatangi orang), ketiga pengembara ini bertemu. Awalnya mereka tampak cuek dan tidak saling menegur. Namun setelah berhari-hari dalam perjalanan yang sama, melewati berbagai tempat dengan berbagai macam rintangannya, mereka mulai belajar mengenal satu sama lain.

Setelah hampir dua bulan dalam perjalanan yang begitu berat, ketiga pengembara ini sampai di sebuah jurang yang dalam dan membentang luas. Di atas jurang ini terpasang jembatan terbuat dari kayu yang sudah kelihatan rapuh. Ketika ketiga pengembara ini mendekati jembatan tersebut, mereka membaca sebuah tulisan yang sudah mulai tampak kabur. Bunyinya: “Jembatan ini hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Setelah orang pertama lewat, jembatan ini akan runtuh dengan sendirinya”.

Ketiga pengembara itu kaget. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Sesaat situasi menjadi senyap. “Sebaiknya kita membuang undi saja, untuk menentukan siapa yang berhak melewati jembatan itu.” Alkiz mulai buka suara.

“Tidak, aku tidak setuju kalau kita harus membuang undi. Itu artinya sama saja kita cuma main untung-untungan!” timpal Hainan.

“Kalau begitu kita harus melakukan apa?” tanya Henas tidak sabar.

Hainan menatap Henas dan Alkiz bergantian. “Sebaiknya… aku saja yang melewati jembatan itu.” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Henas dan Alkiz terbeliak mendengar ucapan Hainan. Mereka dengan tidak sabar serentak bertanya, “Mengapa engkau berkata demikian, bukankah kami juga berhak untuk melewatinya?”

“Kawan… kalau menurut aku, kalian tidak mempunyai hak untuk melewati jembatan itu. Hanya akulah yang berhak!” jawab Hainan dengan nada sombong. “Coba kalian pikir… diantara kita bertiga… hanya akulah yang memiliki ilmu pengetahuan yang paling tinggi. Aku yakin… hanya dengan ilmu yang kumilikilah… bangsa di negeri timur sana dapat berkembang maju.” lanjutnya.

Alkiz tidak terima mendengar kesombongan Hainan, segera ia menjawab dengan ketus, “Buat apa ilmu pengetahuan yang tinggi kalau tidak mengenal Tuhan! Itu sama saja halnya dengan kesia-siaan. Ilmu pengetahuan tanpa ditopang dengan kesadaran akan adanya Tuhan hanya akan menghancurkan…”

“Wah… wah… wah… kalian semua salah besar! Yang paling penting bukanlah ilmu pengetahuan dan pengenalan akan Tuhan, tetapi hanya dengan memiliki berbagai keahlianlah, suatu negeri dapat tumbuh pesat,” ucap Henas tidak mau kalah.

Semua tidak mau mengalah. Semua tergerak untuk menyombongkan dirinya masing-masing. Awalnya hanya saling perang mulut namun lama-kelamaan perang itu berubah menjadi adu fisik. Hainan, Alkiz, dan Henas saling berkelahi untuk memperebutkan title ‘siapa yang sebenarnya paling pantas’. Tiga hari tiga malam mereka terus berduel. Akhirnya karena sudah kepayahan dan semakin sengitnya pertarungan, mereka bertiga mati secara bersamaan. Tidak ada yang menang. Tidak ada yang melewati jembatan itu. Semua sia-sia akibat kebodohan mereka sendiri.

Senin, 02 Maret 2009

Pilih yang Mana?

Sekarang ini segala sesuatu yang mengandung kekerasan selalu laku keras. Beberapa hari lalu datang roti isi kekerasan lima ratus kotak. Eh, dalam waktu tidak lebih dari satu jam saja roti isi itu sudah diborong oleh massa anarkis yang berencana mengirimkannya ke gedung DPR. Kemaren datang lagi beratus-ratus krat minuman dingin dengan label ‘kekerasan itu menyenangkan’. Cuma dalam 2 jam saja… bener, dalam 2 jam… krat-krat itu sudah berpindah tangan ke para pengepul yang antre berdesak-desakan. Kata mereka minuman dingin dalam krat-krat itu mau dijual lagi kepada para pengecer di segala tempat. Rumah-rumah penduduk baik di pelosok maupun perkotaan, di sekolah-sekolah mulai dari SMP hingga perguruan tinggi, di instansi-instansi pemerintahan bahkan dijual secara asongan kepada para wakil rakyat yang ada di DPRD dan DPR. Dan hari ini, rencananya akan dilaunching lagi permen puedes dengan aroma kekerasan. Sekali kunyah dijamin pasti langsung ketagihan dan lagi… lagi…, begitu bunyi iklan yang digembar-gemborkan lewat berbagai media massa. Tentu saja hal ini membuat penasaran warga masyarakat. Mereka rela antre sejak pagi-pagi buta bahkan banyak yang sudah indent melalui toko online. Wah… wah… wah… kok bisa sebegitunya ya?

Ketika mencoba mencari tau penyebab segala fenomena ini, aku mendapat beragam jawaban. “Wah, roti isinya memang bener-bener nikmat, Mas. Ketika memakannya tubuh ini jadi kuat hingga bisa membanting meja, memecah kaca dan mengobrak-abrik segala benda dengan perasaan bangga. Hati jadi terbebas dari rasa bersalah.””Rugi mas klo nggak beli minumannya… suegerrr lho. Hati ini bener-bener merasa plong, jadi lupa segala masalah, segala bentuk pertemanan dan hubungan keluarga. Pokoknya siapa saja yang berani nyinggung… ajak duel!” “Ayo mas… cepetan ikut pesen permen PUEKRESnya (singkatan dari puedess aroma kekerasan), nyesel lho kalo sampe enggak dapet!” Karena tergiur bujukan itu, aku mencoba membeli beberapa permen PUEKRES. Waduh, emang bener-bener susah dan harus berebut tapi untunglah bisa dapet dua. Langsung saja aku mengunyah salah satu permen itu. Terasa amat manis dengan sedikit pedas di lidah. Kemudian aku merasakan sensasi yang sungguh nikmat. Badan serasa ringan dan pikiran melayang-layang.

Tiba-tiba… makbruk… aku terjatuh karena terantuk sesuatu. Permen di dalam mulutku meloncat keluar dan aku pun sadar. Ketika kuamati ‘sesuatu’ itu, ternyata sekaleng makanan ringan dengan merk KEBENARAN. Kalengnya sudah berkarat dan berdebu. Mungkin karena sudah terlalu lama tidak pernah disentuh orang. Ketika mencoba membaca tulisan yang tertera di badan kaleng itu, aku membaca: “mengandung benih-benih cinta kasih, membuat perasaan menjadi lega dan menyebabkan hati menjadi damai. Memang rasanya tidak enak dan harganya lebih mahal tetapi percayalah dengan memakannya secara teratur ANDA akan menjadi lebih dekat dan bisa mengenal pembuatnya”.

Pilih yang mana?

Minggu, 01 Maret 2009

Memberi Kebaikan

Dalam satu hari yang sudah atau tengah kita jalani, berapa banyak kebaikan yang sudah kita berikan untuk orang lain? Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus atau malah tidak ada sama sekali. Ketika jemuran di rumah tetangga yang sedang ditinggal pergi jatuh ke tanah, apakah kita mau mengambilnya dan meletakkannya kembali di tempat jemuran? Ketika seorang nenek ada dalam antrean yang panjang, apakah kita tergerak untuk memberikan tempat kita yang lebih baik untuk sang nenek? Ketika penjaga toko swalayan memberikan wadah untuk tempat belanjaan kita, apakah kita segera mengucapkan terima kasih? Ketika bertemu dengan seseorang yang kita kenal di perjalanan, apakah kita mau memberikan senyum dan menyapa dengan tulus? Ketika istri meminta kita untuk menemaninya belanja dan mencari kebutuhan sehari-hari di pasar, apakah kita dengan sukahati menemaninya dan menunggunya dengan sabar? Ketika melihat orang tua hendak menyeberang jalan tetapi mengalami kesulitan karena padatnya arus lalu lintas, apakah kita mau serta merta membantunya menyeberang jalan? Ketika melihat teman sekantor kita sedang mengalami kesusahan, apakah kita mau memberikan penghiburan.

Tuhan saja begitu baik kepada kita dengan secara cuma-cuma memberi nafas untuk seluruh hidup kita, memberi kesehatan hingga kita bisa beraktifitas dan memberi panca indra untuk kebahagiaan kita, mengapa kita merasa berat bila harus memberikan kebaikan untuk orang lain?