Selasa, 03 Maret 2009

Kisah Tiga Pengembara

Alkisah pada jaman dahulu kala, hiduplah tiga orang pengembara. Hainan, pengembara dari utara, adalah seorang yang berilmu tinggi dan berpengetahuan luas. Di tiap-tiap tempat yang disinggahinya, ia selalu menularkan ilmunya untuk kepentingan masyarakat setempat. Alkiz, pengembara dari selatan, memiliki ilmu agama yang sangat mumpuni. Hingga tak jarang, ia selalu mengajarkan agama dan mengajak orang-orang untuk mengenal dan mengakui keberadaan Tuhan di manapun ia berada. Berbeda dari keduanya, Henas, pengembara dari wilayah barat, adalah pengembara yang berilmu ‘sedang-sedang saja’ tapi soal keahlian, ia jagonya. Ia selalu membawa berbagai peralatan di dalam pengembaraannya.

Dalam perjalanan ke negeri timur yang masih perawan (karena belum pernah didatangi orang), ketiga pengembara ini bertemu. Awalnya mereka tampak cuek dan tidak saling menegur. Namun setelah berhari-hari dalam perjalanan yang sama, melewati berbagai tempat dengan berbagai macam rintangannya, mereka mulai belajar mengenal satu sama lain.

Setelah hampir dua bulan dalam perjalanan yang begitu berat, ketiga pengembara ini sampai di sebuah jurang yang dalam dan membentang luas. Di atas jurang ini terpasang jembatan terbuat dari kayu yang sudah kelihatan rapuh. Ketika ketiga pengembara ini mendekati jembatan tersebut, mereka membaca sebuah tulisan yang sudah mulai tampak kabur. Bunyinya: “Jembatan ini hanya bisa dilalui oleh satu orang saja. Setelah orang pertama lewat, jembatan ini akan runtuh dengan sendirinya”.

Ketiga pengembara itu kaget. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Sesaat situasi menjadi senyap. “Sebaiknya kita membuang undi saja, untuk menentukan siapa yang berhak melewati jembatan itu.” Alkiz mulai buka suara.

“Tidak, aku tidak setuju kalau kita harus membuang undi. Itu artinya sama saja kita cuma main untung-untungan!” timpal Hainan.

“Kalau begitu kita harus melakukan apa?” tanya Henas tidak sabar.

Hainan menatap Henas dan Alkiz bergantian. “Sebaiknya… aku saja yang melewati jembatan itu.” ucapnya dengan penuh keyakinan.

Henas dan Alkiz terbeliak mendengar ucapan Hainan. Mereka dengan tidak sabar serentak bertanya, “Mengapa engkau berkata demikian, bukankah kami juga berhak untuk melewatinya?”

“Kawan… kalau menurut aku, kalian tidak mempunyai hak untuk melewati jembatan itu. Hanya akulah yang berhak!” jawab Hainan dengan nada sombong. “Coba kalian pikir… diantara kita bertiga… hanya akulah yang memiliki ilmu pengetahuan yang paling tinggi. Aku yakin… hanya dengan ilmu yang kumilikilah… bangsa di negeri timur sana dapat berkembang maju.” lanjutnya.

Alkiz tidak terima mendengar kesombongan Hainan, segera ia menjawab dengan ketus, “Buat apa ilmu pengetahuan yang tinggi kalau tidak mengenal Tuhan! Itu sama saja halnya dengan kesia-siaan. Ilmu pengetahuan tanpa ditopang dengan kesadaran akan adanya Tuhan hanya akan menghancurkan…”

“Wah… wah… wah… kalian semua salah besar! Yang paling penting bukanlah ilmu pengetahuan dan pengenalan akan Tuhan, tetapi hanya dengan memiliki berbagai keahlianlah, suatu negeri dapat tumbuh pesat,” ucap Henas tidak mau kalah.

Semua tidak mau mengalah. Semua tergerak untuk menyombongkan dirinya masing-masing. Awalnya hanya saling perang mulut namun lama-kelamaan perang itu berubah menjadi adu fisik. Hainan, Alkiz, dan Henas saling berkelahi untuk memperebutkan title ‘siapa yang sebenarnya paling pantas’. Tiga hari tiga malam mereka terus berduel. Akhirnya karena sudah kepayahan dan semakin sengitnya pertarungan, mereka bertiga mati secara bersamaan. Tidak ada yang menang. Tidak ada yang melewati jembatan itu. Semua sia-sia akibat kebodohan mereka sendiri.

Tidak ada komentar: