Kamis, 26 Maret 2009

Orang Ketiga

Selalu saja, kehadiran orang ketiga menjadi kambing hitam. Sebenarnya, siapa sih orang ketiga itu? Orang ketiga itu… ada setelah orang pertama dan orang kedua. Orang pertama dan orang kedua adalah suami dan istri atau istri dan suami. Lalu orang ketiga itu siapa?!?!?!

Eh… jangan teriak-teriak dong kalo nanya? Enggak penting kok nanyain siapa orang ketiga itu. Karena ia bisa siapa aja. Ya adik ipar, temen di kantor, temen di pelayanan gereja, temen ketemu di jalan, tetangga dan masih banyak yang laen. Yang paling penting itu, mengapa orang ketiga bisa hadir dalam hidup perkawinan kita. Apa yang menjadi sebab dan alasannya.

Mungkin, beberapa dari kita menganut faham 'rumput di rumah tetangga itu (selalu) lebih bagus daripada rumput di rumah sendiri'. Apa yang kayak gini emang bener? Pastinya, kalau kita percaya, dijamin kita udah ketipu mentah-mentah. Kita hanya ‘terpesona’ pada permukaannya saja. Pas kita udah tahu lebih dalem… pasti deh, kita akan kecewa berat. Karena walau bagaimanapun, rumput atau apapun itu yang ada di rumah kita, kita sendirilah yang telah menciptakan dan membuatnya tumbuh berkembang. Mau baik atau jelek itu tanggung jawab kita. Jadi sekali lagi, enggak lucu banget kalau apa yang sudah kita bikin sendiri kita tinggalkan gara-gara ada yang ‘lebih’ bagus di luaran.

Dan dalam hidup berumah tangga, masalah pasti akan selalu muncul. Sebab dari awal, rumah tangga dibentuk dari dua pribadi yang dari ‘sononya’ memiliki banyak perbedaan. Dengan perbedaan ini tentunya akan melahirkan ketidakcocokan. Ketidakcocokan pastinya tidak akan dapat dirubah menjadi kecocokan sebab hidup berumah tangga bukan untuk mencari kecocokan tetapi bagaimana meramu dan menyatukan banyak ketidakcocokan itu menjadi sesuatu yang bisa saling mendukung dan melengkapi untuk kebahagiaan bersama.

Jadi, hadirnya orang ketiga, sebenarnya hanyalah menjadi pertanda keegoisan kita sebagai suami atau istri. Egois ketika pas lagi ada masalah, kita menganggap diri kita (apa yang kita lakukan) adalah yang paling benar dan istri (suami) kita menjadi pihak yang paling bersalah.

Untuk itu mestinya kita selalu ingat bahwa “APA YANG TELAH DIPERSATUKAN ALLAH TIDAK BOLEH DICERAIKAN OLEH MANUSIA”.

Tidak ada komentar: