Rabu, 31 Desember 2008

Malam Tahun Baru


Malam yang ramai. Jalanan begitu padat oleh beragam kendaraan. Sementara para pejalan kaki beramai-ramai menyusuri jalan sambil bercakap dan bercanda satu sama lain. Beberapa di antara mereka ada yang membawa terompet dan kembang api. Tua muda, besar kecil, kaya miskin, semua berbaur menjadi satu. Menikmati malam tahun baru dengan penuh keceriaan.

Ketika detik-detik pergantian tahun kian menjelang, mereka berhenti. Ada yang di perempatan jalan. Di trotoar. Di taman pembatas jalan. Bahkan banyak pula yang masih duduk di atas sepeda motor yang diam bersandar. Semua serempak mengarahkan pandangan ke langit. Dan ketika nyala kembang api mulai bermunculan dengan suara bising dan cahaya yang berpendaran begitu indah di langit, semua bersorak. Semua tertawa riang. Kemudian banyak pula yang beramai-ramai mengabadikan pemandangan itu dengan kamera hp atau kamera digital yang memang sudah dipersiapkan. Setelah itu mereka saling bersalaman satu dengan yang lain.

Malam tahun baru, malam yang begitu membahagiakan bagi semua orang. Malam saat kita mengenang kembali perjalanan selama satu tahun yang telah ditempuh. Ada kesedihan. Ada kekecewaan. Ada luka hati yang mungkin belum sembuh benar. Namun tidak sedikit pula kegembiraan dan kebahagiaan yang telah dinikmati. Semua itu kini tinggal kenangan. Kenangan yang akan menjadi pengalaman untuk melangkah di kehidupan yang baru di tahun yang baru. Pengalaman yang akan menjadikan kita semakin arif dalam memaknai hidup. Memperbaiki segala kesalahan dan mulai merencanakan kehidupan yang lebih baik. Bagi pribadi, orang lain dan terutama untuk Tuhan.

Malam ini, di saat malam pergantian tahun, semestinya juga mengingatkan kita untuk berterima kasih kepada orang-orang yang telah merelakan hartanya untuk membeli berbagai kembang api yang dinyalakan demi kesenangan orang lain. Selayaknya kita juga patut mengucap terima kasih untuk bapak-bapak polisi yang merelakan waktunya mengatur jalanan agar tidak semrawut dan macet. Dan terutama kita sangat perlu memanjatkan syukur karena masih ada orang-orang yang di saat kita masih terlelap karena kelelahan di pergantian tahun, telah membersihkan sampah-sampah akibat perbuatan kita.

Selamat tahun baru. Semoga semangat baru, niat baru dan harapan baru senantiasa ada di dalam hati dan terwujud dalam tindakan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Amin.

Senin, 29 Desember 2008

Malam Natal di Katedral


“Selamat Hari Raya Natal. Semoga berkat dan damai sejahtera dari Allah melimpah bagi kita,” demikian sapaan bapak Uskup ketika mengawali homili pada Misa Malam Natal, 24 Desember 2008, pkl. 17.30 di Gereja Katedral. “Di tengah berbagai himpitan hidup, hendaknya kita terus berharap dan berseru ‘datanglah Tuhan, datanglah’ dan senantiasa bersyukur karena Allah telah menunjukkan kesetiakawanannya kepada kita dengan kelahiran PuteraNya”, tambah bapak Uskup. Lebih lanjut beliau mengajak seluruh umat untuk berbuat baik. Melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya dan mengalahkan kejahatan dengan kebaikan. Tentu kebaikan harus diwujudkan dalam tindakan yang kongkrit. Mendorong anak-anak mempersembahkan bingkisan natal untuk kanak-kanak Yesus yang nantinya akan diberikan bagi orang-orang yang membutuhkan merupakan salah satu contohnya. Dengan rajin berbuat baik maka Yesus benar-benar lahir di tengah kita. WajahNya akan semakin tampak nyata dalam kehidupan kita.

Misa malam juga dimeriahkan dengan tarian malaikat yang dibawakan oleh tiga gadis cantik yang menari dengan lemah gemulai. Mereka menyambut prosesi perarakan bayi Yesus menuju ke gua. Sesampai di gua, Bapak Uskup menerima bayi Yesus dan kemudian meletakkannya di atas palungan. Setelah itu dilanjutkan dengan Doa Sembah Sujud yang didoakan oleh perwakilan anak-anak, kaum muda, dan orangtua.

Selamat Natal. Semoga Yesus sungguh hadir dalam kehidupan kita. Semoga damai Natal terus tertanam dalam hati dan berkatnya melimpah untuk hidup kita, kini dan selamanya. Amin.

Selasa, 16 Desember 2008

Studi Banding ke Purwokerto

Malam 13 Desember 2008, cuaca mendung. Bulan sekan-akan malu dan enggan menampakkan cahayanya. Kami pengurus Dewan Paroki Katedral yang terdiri dari Bidang Liturgi beserta seluruh tim kerjanya, PIA-PIR, kaum muda, komsos, koster, petugas sekretariat dan perwakilan pengurus wilayah Sampangan didampingi Rm. Sugiyana, Pr, tengah bersiap-siap melakukan perjalanan ke Purwokerto. Jadwal keberangkatan yang sedianya pk. 21.00 menjadi molor karena ada beberapa dari kami yang belum hadir. Akhirnya pk. 22.00 kami mulai berangkat.

Pk. 02.00 kami tiba di Kaliori. Rintik hujan yang tidak begitu deras menyambut kedatangan kami. Membuat kami enggan untuk melanjutkan perjalanan ke tempat peristirahatan di Wisma Retret Maria Imakulata karena harus kami tempuh dengan berjalan kaki + 200 m di tengah kegelapan. Namun terdorong oleh rasa kantuk dan hasrat untuk segera memeluk bantal guling di atas kasur yang hangat, membuat beberapa dari kami nekad menerobos hujan.

Tak terasa, baru saja kami memejamkan mata, hari sudah beranjak pagi. Setelah mandi dan sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan ke Gereja Paroki Katedral Kristus Raja Purwokerto. Tempat inilah yang menjadi tujuan kami untuk melaksanakan studi banding.

Setelah mengikuti Perayaan Ekaristi bersama umat Purwokerto, kami disambut hangat oleh Pengurus Dewan Paroki Katedral Purwokerto. Sejenak kami beristirahat sambil menikmati kue srabi dan tempe mendoan dengan laburan sambal kecap beserta teh hangat dan coffe mix. Meski sederhana tapi sungguh terasa nikmat.

Kemudian kami berkumpul bersama untuk saling berkenalan dan bertukar pikiran. Romo. T. Puryatno, Pr selaku romo kepala paroki dan yang mewakili Dewan Paroki Katedral Purwokerto merasa sangat bahagia dengan kunjungan ini. Ia mengumpamakan peristiwa ini sebagai ‘yang besar mengunjungi yang kecil’ yang diharapkan akan membawa peneguhan iman. Lebih lanjut, beliau mengharapkan kita bisa saling belajar bersama dan saling melengkapi.

Rm. Sugiyana, Pr yang mendapat giliran selanjutnya mengutarakan alasan mengapa harus datang ke Paroki Katedral Purwokerto. Selain karena masih sama-sama katedral dan masih dalam lingkup Keuskupan Agung Semarang juga karena jarak yang ditempuh tidak terlalu jauh. Selanjutnya romo mengajak rombongan dari Katedral Semarang untuk memperkenalkan diri satu demi satu.

Paroki Kristus Raja Purwokerto merupakan salah satu dari 22 paroki yang berada di bawah Keuskupan Purwokerto. Terdiri dari 19 lingkungan dan 11 stasi dengan 5 romo sebagai gembala umat. Jumlah umat + 4000 orang. Saat ini Paroki Katedral Purwokerto memfokuskan diri untuk menggarap SDM yang ada di dalamnya agar lebih bisa memberikan pelayanan kepada umat. Guna mendukung hal ini sudah dibuat pedoman untuk 10 th ke depan itu mau berbuat apa dengan harapan ke depan sudah mempunyai arah dan tujuan yang jelas. Selain itu juga sudah dibuat beberapa pedoman untuk karya-karya pelayanan di dalam gereja diantaranya; pedoman untuk karyawan, pedoman visi dan misi paroki, pedoman pendampingan ppa (putra-putri altar), pedoman keuangan paroki, pedoman penggunaan PASCHALIS HALL (gedung serba guna seperti gedung Sukasari), pedoman pelaksanaan dewan paroki dan panduan praktis pelayanan pastoral. Dengan pedoman-pedoman ini diharapkan siapapun dapat membaca, memahami, melaksanakan dan kemudian mengevaluasinya sehingga semuanya akan selalu mengalami pembaharuan (3 th sekali) dan revisi untuk penyempurnaan.

Setelah berkumpul dalam kelompok besar, kemudian kami membagi diri dalam masing-masing tim kerja. Di sini terjadi pembicaraan-pembicaraan yang begitu hidup. Masing-masing saling bertanya jawab, saling mengisi dan saling melengkapi.

Tiada pertemuan yang tak akan berakhir. Tak ada perjumpaan yang tak bergandeng dengan perpisahan. Demikian juga dengan kami. Setelah makan siang, kata penutup dari Bp. Siranto dan pemberian kenangan-kenangan serta doa penutup dan pemberian berkat, berakhir sudah kunjungan studi banding kami siang itu. Sebagai kenang-kenangan kami berfoto bersama di halaman gereja dengan berlatar sebuah lonceng besar.

Terima kasih atas kehangatan dan sambutan yang sudah kami terima. Terima kasih atas berbagai masukan, saran, ilmu serta penyegaran yang juga boleh kami terima. Semoga semua ini semakin membuat kita tekun dalam pelayanan demi kemuliaan namaNya. Selamat berpisah. Selamat berjumpa di lain kesempatan. Tuhan memberkati.

Senin, 15 Desember 2008

Proses

Kang Somad sedang sibuk di pekarangan rumahnya. Tangannya kotor belepotan tanah dan pupuk kandang. Pagi ini ia sedang asyik berkebun, hobi yang sudah agak lama ditinggalkannya. Dengan cekatan ia memindahkan bibit tanaman mangga yang masih kecil-kecil ke dalam polybag yang telah dipersiapkannya. Mula-mula dengan hati-hati, ia mengambil bibit itu, memasukkannya ke dalam polybag, menambahkan tanah, memadatkannya, lalu memberinya sedikit air dan setelah itu disusunnya polybag itu di pojok rumah dengan rapi.

“Wah, lagi ngapain Kang?” Bejo tiba-tiba nongol di belakang Kang Somad.

Kang Somad hanya diam. Ia masih asyik dengan pekerjaannya.

“Lagi pingin alih profesi ya Kang?” ulang Bejo dengan nada sedikit keras.

Kang Somad sejenak menghentikan pekerjaannya. “Eh, kamu Jo. Ada apa, kok tumben pagi-pagi udah ke sini?” katanya sembari mengaduk-aduk campuran tanah dan pupuk kandang yang hendak diisikannya ke dalam polybag.

“Ditanya kok malah nanya, Kang!” sergah Bejo seraya duduk di samping sobatnya.

Kang Somad hanya terkekeh. “Mumpung hari libur jadi aku bisa berkebun lagi kayak dulu.” terangnya kemudian, mengobati rasa penasaran Bejo. “Lagian sayang kalo bibit mangga hasil semaianku ini enggak dipindah. Kan itung-itung investasi untuk masa depan.” lanjut Kang Somad sembari tangannya asyik membersihkan tanah dari bibit mangga yang barusan dicabutnya dari tempat persemaian.

“Investasi gimana maksudnya, Kang?” tanya Bejo penasaran.

“Coba kamu hitung, masih berapa lama lagi bibit mangga ini bisa menjadi pohon mangga yang rimbun yang sarat dengan buah. Masih berapa tahun lagi hingga bisa dirasakan buahnya? Mungkin sekitar 10-15 tahun lagi, kan.” terang Kang Somad.

“Lho, kan ndak harus repot-repot nunggu selama itu Kang. Beli aja di pasar, beres. Masih bisa pilih-pilih lagi.” sanggah Bejo.

“Kayak gitu sih emang gampang. Tapi kan lebih nikmat rasanya kalo bisa menikmati hasil dari kebun sendiri, lebih-lebih jika kita yang menanamnya,” jelas Kang Somad.

“Iya kalo kita masih diberi umur panjang. Lha kalo keburu dipanggil sama yang Di Atas, gimana Kang?”

“Lah, kan masih ada anak cucu kita yang akan memetik hasilnya!” jawab Kang Somad. Kemudian ia menghentikan pekerjaannya dan memandang Bejo dengan mimik serius, “Kebanyakan manusia itu memang kayak kamu, maunya pingin yang serba cepet, serba instan, ndak mau menunggu apalagi menghayati proses. Trus karena alasan-alasan itu mereka jadi menggampangkan segalanya, menghalalkan berbagai cara yang tak jarang merugikan orang lain hanya untuk sekedar mencapai hasil yang instan. Contohnya; pelajar yang karena malas belajar trus membikin catatan-catatan kecil untuk nyontek saat ujian tiba. Kasus lain, maraknya penjualan ijazah palsu dengan gelar yang bisa dipilih sendiri. Dan berbagai kasus korupsi yang sudah merugikan negara trilyunan rupiah.” lanjutnya.

Bejo merasa tertohok. Ia teringat saat masih bersekolah di SMP dulu. Saat Ia harus tinggal kelas hanya karena ketahuan mencontek saat ujian akhir.

“Kalo manusia ndak mau mengikuti proses berarti manusia itu menolak kehendak Tuhan. Coba kamu lihat bukankah manusia itu hidup karena ada proses. Mulai dari pertemuan sel antara pria dan wanita. Bayi yang lahir, menangis, makan, minum, berguling, merangkak, dan kemudian mulai berjalan. Kemudian ia beranjak remaja, muda, tua dan kemudian mati. Juga tumbuhan yang kini rindang dengan daun yang lebat dan batang besar yang begitu kokoh, dahulu berasal dari sebutir biji yang kecil.” Kang Somad mencoba membuka wawasan Bejo sahabatnya. “Dengan mengikuti proses, setiap manusia akan dapat selalu mengucap syukur. Bersyukur atas anugerah hidup, bersyukur atas kesempatan dan bersyukur atas segala karunia yang sudah diberikanNya kepada kita.” pungkasnya.

Bejo hanya diam. Ia semakin mengagumi kearifan sahabatnya.

Kamis, 11 Desember 2008

Kebenaran

Kang Somad terlihat sedang melamun ketika tanpa disadarinya, Bejo sang sobat datang menghampiri.

“Hayo, pagi-pagi kok udah bengong! Lagi ngelamunin apa Kang?” tanya Bejo sembari tangannya menepuk pundak Somad keras-keras.

Kang Somad terkaget-kaget dan tersadar dari lamunannya. “Waduh, kurang ajar kamu Jo, datang-datang nggak pake permisi malah bikin jantung copot...” teriak Kang Somad.

Bejo hanya tersenyum. Ia segera mencari tempat duduk di sebelah Kang Somad sambil tangannya dengan cekatan mengambil pisang goreng di atas meja. “Lagi ngelamunin apa Kang, kok keliatannya serius banget?” ulang Bejo.

“Ngalamun apa, wong aku tadi lagi mikirin film yang diputer kemaren malem itu. Kamu nonton ndak?” sambar Kang Somad.

“Wah, aku ndak hobi nonton film Kang, apalagi kalo muternya di atas jam 9 malem, pasti dech dah aku tinggal tidur.” jawab Bejo. “Film tentang apa sih, Kang?” lanjutnya penasaran.

“Filmnya kalo ndak salah judulnya THE NEGOSIATOR, ceritanya tentang polisi yang bertugas sebagai juru runding sandera. Tiap kali ada penyanderaan, pasti dia yang dipanggil sebab kalo ada dia pasti penyanderaan bisa diatasi dengan baik. Suatu saat, tokoh kita ini dijebak oleh sekelompok orang dalam kesatuannya yang tidak ingin rahasia kotor mereka terbongkar. Mereka dengan keji membunuh sahabat tokoh kita ini dan berusaha menimpakan semua kesalahan kepadanya, “ terang Kang Somad sungguh-sungguh.

“Lalu, gimana kelanjutannya, Kang?” tanya Bejo dengan mimik serius.

“Nah, karena merasa tidak membunuh sahabatnya, tokoh kita ini lalu membela diri. Ia berusaha meyakinkan orang-orang termasuk atasannya tentang hal itu. Namun semua orang ternyata tidak percaya dengan dia apalagi sudah ada bukti-bukti palsu yang memberatkannya. Karena kalut dan terdorong keinginan untuk membuktikan diri bahwa dirinya benar dan mencari siapa dalang sesungguhnya yang ada di balik kematian sahabatnya ini, ia melakukan tindakan ekstrim, menyandera atasannya. Dan, seluruh kota menjadi gempar. Seluruh kesatuan polisi dikerahkan untuk mengepung tokoh kita ini. Terjadi negosiasi yang alot diselingi baku tembak yang cukup menegangkan. Sampai pada akhirnya kebenaran itu tersingkap, terkuaklah dalang di balik peristiwa pembunuhan sahabatnya ini, yang ternyata adalah salah satu sahabatnya yang lain.”

Bejo terlihat manggut-manggut. Dengan tidak sabar ia bertanya, “Trus, apanya yang menarik, Kang?”

“Walah Jo, Jo, apa-apa kok selalu minta dijelaskan!” Kang Somad sejenak menyeruput kopinya yang sudah keburu dingin sebelum meneruskan perkataanya, “Gini: intinya adalah kebenaran. Kebenaran yang harus ditegakkan dan diperjuangkan dengan segala daya upaya, kalo perlu sampai titik darah penghabisan. Tentu kamu masih ingat kasus Munir. Tokoh kita yang satu ini tidak pernah takut untuk mengungkapkan kebenaran. Sampai suatu saat karena dianggap sudah terlalu membahayakan, ia harus dibunuh dengan cara diracun. Sampai kini dalang di balik pembunuhan itu tidak ditemukan (atau memang sengaja disembunyikan agar tidak pernah diketahui). Belum lagi kasus-kasus seperti kasus Tanjung Priok, kasus Trisakti, kasus Semanggi. Kebenaran dari kasus-kasus ini seolah-olah sukar untuk diungkap bagaikan menangkap bayangan di kegelapan malam.” terang Kang Somad.

“Tapi Kang, kita kan ndak bisa berbuat apa-apa. Apalagi kita hanya orang-orang kecil yang ndak punya apa-apa selain diri kita sendiri. Lebih-lebih kalo kita lihat dunia sekarang ini. Wuih, ngegirisi banget. Dunia kita sudah penuh dengan kekerasan. Sudah diliputi banyak kejahatan yang terus dan terus berulang, “ ujar Bejo pesimis.

“Kalo kita hanya menunggu agar kejahatan dan kekerasan itu hilang dengan sendirinya rasanya memang tidak mungkin tapi kita toh masih bisa melakukan sesuatu agar kejahatan dan kekerasan itu lama-lama semakin berkurang. Semua diawali dan dimulai dari diri kita sendiri. Ndak perlu dari hal-hal yang besar dan spektakuler tapi mulailah dari hal-hal kecil yang ada di kehidupan kita. Satu hal yang perlu diingat adalah kesetiaan untuk menjaga agar kebenaran itu tetap berjalan sebagaimana mestinya. Dunia boleh jahat tapi jangan sampai kita ikut larut di dalamnya.” jelas Kang Somad.

Bejo mengangguk-angguk tanda mengerti.

Selasa, 09 Desember 2008

Kambing dan Serigala

Pada jaman dahulu, kambing berteman dengan serigala. Mereka hidup dalam damai dan saling tolong satu sama lain.

Suatu malam, kambing tengah terjaga. Sudah bolak-balik ia berusaha memejamkam mata tetapi tetap saja tidak bisa tidur. Dalam kepalanya terus saja terpikir sesuatu. Sesuatu yang membuatnya menjadi uring-uringan beberapa hari ini. “Aku harus bisa seperti serigala!” jerit hatinya. “Alangkah senangnya menangkap mangsa. Alangkah enaknya makan daging. Aku sudah bosan dengan makananku sehari-hari. Hanya rumput, rumput dan rumput melulu. Pokoknya, aku harus bisa seperti serigala!” tekad kambing, pasti.

Keesokan harinya, saat matahari baru masih malu-malu memberikan sinarnya, kambing bergegas ke rumah serigala. Di sana, dilihatnya serigala masih asyik bermalas-malasan di atas tempat tidur.

“Serigala, ayo cepat bangun! Aku ingin berburu denganmu,” teriak kambing.

Serigala terkejut. Sesaat ia melihat ke arah asal suara itu. Dilihatnya kambing sudah berada di depan pintu rumahnya. Sejenak ia merasa heran lalu katanya, “Eh, apa aku tidak salah dengar? Bukankah engkau tidak bisa berburu?” tanya serigala dengan wajah keheranan.

“Makanya aku pergi ke sini. Aku ingin kamu mengajari aku bagaimana caranya berburu dan menangkap mangsa. Aku ingin merasakan daging buruanku,” jawab kambing penuh semangat.

Serigala semakin terheran-heran. Namun ia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu terlebih ia sudah paham watak kambing. Jika sudah memiliki keinginan, pasti tidak bisa dicegah.

Mereka segera menuju ke tempat perburuan di balik bukit. Tempat di mana serigala biasa berburu. Dan memang, tempat itu dipenuhi hewan-hewan lain dari beragam jenis. Ada rusa, kelinci, kuda, harimau, burung dan masih banyak lagi.

Serigala mulai bersiap-siap. Pertama-tama ia mencari tempat persembunyian untuk mengintai hewan buruannya. Setelah menetapkan target, segera ia berlari dan mulai mengejar sang buruan. Tak berapa lama seekor kelinci telah berhasil ditangkapnya.

Kambing semakin iri melihat kepandaian sahabatnya. Dengan tidak sabar, ia minta diajari. Dan setelah merasa cukup mengerti, kambing ingin segera mencoba untuk berburu. Pertama-tama setelah mengintai beberapa saat, ia menetapkan seekor anak rusa gemuk yang tengah asyik makan sebagai sasaran. Dengan mengendap-endap kambing mulai mendekati anak rusa itu. Setelah dirasa cukup dekat, kambing segera berlari.

Anak rusa itupun terkejut melihat kedatangan kambing. Dengan reflek ia segera berlari menyelamatkan diri. Terjadi saling kejar. Kambing yang tidak biasa berlari segera saja ‘ngos-ngosan’ dan tertinggal jauh. Akhirnya anak rusa itu menghilang dari pandangan.

Kambing tidak putus asa. Segera ia menetapkan target buruan yang lain. Namun hal yang sama terus saja terulang. Ia gagal mendapatkan hewan buruannya hingga hari beranjak sore.

“Sudahlah kambing, ini memang bukan pekerjaanmu. Ayo kita segera pulang,” ajak serigala.

Kambing yang begitu kelelahan dengan kaki-kaki yang mulai gemetaran karena rasa capai yang tidak terkira hanya bisa menggangguk. Dengan langkah tertatih-tatih ia mengikuti serigala dari belakang.

Sesampai di rumah, serigala segera menghidangkan hasil buruannya di atas meja. Kambing sangat bersukacita atas kemurahan sahabatnya. “Tidak apa hari ini aku gagal, toh aku masih bisa makan daging buruan serigala, “ begitu pikirnya. Segera ia mengambil sepotong daging itu, mengigitmya sebentar dan kemudian menelannya. Aneh rasanya. Tiba-tiba perutnya terasa mual. Tapi kambing tidak mempedulikannya. Ia mengambil potongan-potongan daging yang lain. Mengunyahnya dengan tidak sabar. Terus dan terus. Tiba-tiba: “Aduh, sakit sekali…” teriak kambing sambil memegangi lehernya.

Serigala yang sedang asyik makan terkejut melihat sahabatnya. “Ada apa kambing…” Tergopoh-gopoh serigala mendekati kambing.

“A.. a.. ada tulang nyangkut di tenggorokanku. Tol..tolong aku serigala… Aku tidak bisa bernapas!” Kambing merem melek menahan rasa sakit yang luar biasa. Sementara serigala semakin kebingungan tidak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya kambing tidak sempat tertolong. Ia menemui ajal akibat kebodohannya sendiri.

Minggu, 07 Desember 2008

Cerita Pohon Asam Tua

Aku hanyalah pohon asam tua yang ada di pinggir jalan. Telah hampir seratus tahun aku berada di sini. Tumbuh dan melihat berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarku. Saat ini situasi begitu ramai. Berbeda dengan keadaan 30-40 tahun yang lalu. Ketika itu masih belum banyak keriuhan yang terjadi. Tanah-tanah di samping kiri kananku juga masih luas dan belum berpenghuni. Di depan dan belakangku juga belum banyak berdiri gedung-gedung. Tapi kini semuanya telah berubah. Aku merasa terjepit di antara gedung-gedung tinggi dan mal-mal yang terus saja dibangun.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan. Entah siapa yang dulu telah menanam aku. Mungkin barangkali siapa pun dia berkeinginan agar nantinya aku dapat memberi kegunaan bagi ciptaan Tuhan yang lain. Dan cita-cita itu telah berhasil aku wujudkan di sebagian besar kehidupanku. Rindang daunku telah memberi keteduhan bagi siapa saja yang merasa kepanasan atau di kala hujan tiba. Lebat buahku juga memberi keuntungan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Tiap hari aku juga harus bekerja keras menyaring banyak udara kotor akibat aktifitas manusia.

Aku hanyalah sebuah pohon asam yang telah tua. Aku sangat sedih jika melihat ulah manusia. Selama ini mereka tidak pernah memelihara aku dengan sungguh-sungguh. Mereka jarang sekali menyirami aku disaat aku mengalami kehausan di tengah musim kering yang begitu panas. Mereka hanya ingin manfaat dariku. Dengan tanpa belas kasihan mereka memaku tubuhku. Dengan dalih karena akulah tempat yang paling tepat untuk memasang pengumuman, promosi, dan entah apa lagi. Apalagi jika musim kampanye tiba. Waduh, habis tubuhku dipaku oleh mereka. Seringkali aku juga kesulitan untuk sekedar bernapas ketika leher dan tangan-tanganku diikat oleh tali temali untuk memasang berbagai spanduk. Belum lagi jika ada tangan-tangan jail yang begitu teganya mencoret-coret dan mengelupasi kulit tubuhku.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tengah menanti ajal. Tubuhku yang telah renta kini semakin sakit akibat ulah para manusia itu. Aku ingin berteriak. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis keras-keras. Tetapi mereka tidak pernah mempedulikan aku. Mereka hanya menganggap aku sebagai benda mati yang bisa diperlakukan apa saja. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan, yang ingin dihargai, dirawat dan diperhatikan. Sebab aku juga makhluk hidup yang telah diciptakan oleh Tuhan.

Jumat, 05 Desember 2008

Mulut

Hari ini mulut lagi mengadakan aksi demo. Sepanjang hari ia memlester dirinya dan diam membisu ketika tangan, kaki, telinga dan mata berusaha menyapanya.

Ketika tiba waktunya berdoa di hadapan Tuhan seperti biasa, untuk pertama kalinya mulut mau membuka plester dan bersuara, “Tuhan, aku mau protes kepadaMu!” mulut memandang wajah Tuhan yang nampak terkejut. “Aku protes, mengapa Engkau hanya membuatku satu saja? Aku iri dengan teman-temanku, mata, telinga, kaki dan tangan. Mereka Kau ciptakan dua-dua sehingga selalu punya kawan dan tidak pernah merasa kesepian. Aku iri dengan mereka Tuhan!”

Tuhan terdiam mendengar protes mulut. Sejenak ia memandang mulut dengan seksama sebelum berkata, “Mengapa engkau protes dengan apa yang sudah Aku lakukan? Mengapa engkau iri dengan teman-temanmu?”

“Bukankah aku juga sama dengan teman-temanku itu. Bahkan aku merasa punya keunggulan dibanding mereka. Tanpa aku, mereka tidak akan bisa menyampaikan maksud dan keinginan mereka kepada yang lain juga kepadaMu?” jawab mulut berusaha membela diri.

Tuhan hanya tersenyum, kemudian katanya, “Wahai mulut, engkau memang pandai berkata-kata. Apakah engkau tidak belajar dari Hawa, manusia kedua yang Aku ciptakan di taman firdaus itu? Bukankah ia terjerumus ke dalam dosa karena bujuk rayu mulut ular yang pandai berkata-kata sepertimu?”

Mulut terdiam.

“Dan saat ini lihatlah juga keadaan manusia di sekelilingmu. Apa yang seringkali mereka lakukan dengan mulut mereka? Bukankah kekerasan, kekejian, ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang terus terjadi adalah buah dari mulut mereka. Mulut yang mencaci. Mulut yang menyumpah serapah. Mulut yang saling menghujat. Mulut yang pandai berbohong dan berdalih. Mulut yang berkata-kata kasar. Mulut yang selalu berusaha mencari kesalahan sesama dan menelanjanginya di depan banyak manusia lain. Mulut yang tidak suka akan perdamaian. Mulut yang penuh kedengkian. Mulut yang selalu iri dengan keberhasilan manusia lain. Mulut yang penuh dengan janji-janji palsu. Apakah engkau tidak pernah menyadarinya?” tanya Tuhan. “Jika dengan satu mulut saja semuanya ini bisa terjadi, bagaimana jadinya jika aku membuatnya menjadi dua?” lanjut Tuhan.

Mulut semakin terdiam. Ia kini mulai merasa bersalah.

“Ketika Aku menciptakan engkau hanya satu dan telinga dua, Aku berharap bahwa manusia akan lebih banyak mendengar daripada berkata-kata. Mendengarkan segala kebenaran dan kebaikan sebelum mengatakan sesuatu apapun itu. Saat aku menciptakan dua mata, Aku juga berharap manusia akan lebih banyak melihat segala kejadian sehingga ia dapat mengatakan sesuatu dengan tepat dan benar tanpa diiringi oleh penilaian-penilaian yang keliru. Dan apabila aku menambahkan dua tangan dan dua kaki, aku sangat berharap manusia tidak hanya berhenti pada kata-kata saja tetapi juga mampu mewujudkannya dalam karya dan tindakan yang nyata demi kebaikan dan keluhuran sesama manusia.”

Mulut tertunduk. Kini ia menyadari kebenarannya. Sejurus kemudian ia memandang Tuhan dan berkata, “Tuhan, ampuni aku yang bodoh ini. Aku hanya bisa menyalahkan Engkau tanpa pernah menyadari kebaikan yang selama ini Engkau berikan kepadaku. Bimbinglah aku agar aku bisa menahan diri terhadap kata-kata yang bertentangan dengan kehendakMu. Kuatkan aku agar aku senantiasa mampu menyampaikan kebaikan dan kebenaran dimanapun dan kapanpun. Dan terangi aku agar aku tidak hanya berhenti pada kata-kata kosong dan menipu tetapi dapat mewujud dalam tindakan untuk sesamaku.”

Rabu, 03 Desember 2008

Cermin


Aku memiliki sebuah cermin. Bentuknya bulat dengan lapisan plastik berwarna biru di pinggirnya. Cermin itu dahulu tergantung di dinding kamarku dan sering aku pergunakan untuk mematut diri. Saat kamarku direnovasi, cermin itu aku turunkan dan kemudian aku letakkan di pojok kamar. Hingga saat ini ia masih ada di sana, penuh debu dan kotor.

Setiap orang memiliki cermin. Ada yang bulat seperti punyaku. Ada pula yang persegi. Ada yang besar seukuran badan manusia, sedang atau bahkan hanya cermin yang kecil. Di depannya, kita biasa berlama-lama untuk sekedar menyisir rambut agar kelihatan lebih rapi, mencukur jenggot atau kumis yang mulai panjang atau memencet-mencet jerawat yang mengotori wajah kita. Dengan cermin kita juga terbiasa merias diri. Berdandan agar lebih cantik atau ganteng.

Selain cermin yang biasa kita lihat dan kita pergunakan, sebenarnya kita juga memiliki cermin yang lain. Cermin itu berupa masa lalu, pengalaman hidup, serta pergumulan kita hingga kita menjadi seperti saat ini. Mungkin saat ini kita adalah orang yang berada, banyak duit dan berkelimpahan dari yang dahulu miskin dan tidak punya apa-apa. Saat ini mungkin kita juga sudah menjadi orang yang begitu populer, sukses dan banyak dipuja-puji semua orang dari masa lalu yang bukan apa-apa.

Apakah situasi dan kondisi saat ini telah merubah kita? Karena kita sudah kaya maka sah-sah saja kita menikmati kekayaan dengan berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang, tanpa mempedulikan sesama yang berkekurangan. Mumpung kaya dan banyak uang kok, kenapa ndak dimanfaatin untuk yang enak-enak? Persetan dengan kesusahan orang lain! Juga karena merasa sudah begitu populer, membuat kita ndak mau kenal lagi dengan teman-teman kita, sanak saudara kita. Yang lebih gawat lagi kepopuleran dan kesuksesan ini membuat kita dengan gampangnya mencari selingkuhan sementara istri atau suami dan anak-anak menunggu di rumah dengan penuh harap.

Nah, di sini hendaknya kita mulai bercermin. Kekayaan yang sudah kita miliki dan nikmati saat ini mungkin memang buah dari hasil kerja keras kita selama ini. Namun tanpa kita sadari usaha itu sebenarnya juga karena dukungan dan perhatian orang-orang yang berada di sekitar kita. Begitu juga dengan kepopuleran yang sudah kita raih. Semua terjadi juga berkat perjuangan dan pengorbanan orang-orang di sekeliling kita.

Jika demikian, hendaknya apa yang sudah kita raih saat ini baik kekayaan maupun kepopuleran semakin membuat kita berani untuk mawas diri. Apakah kekayaan dan kepopuleran ini sudah aku pergunakan dengan semestinya? Apakah kekayaan dan kepopuleran ini membuat aku menjadi lupa diri? Membuat aku tidak peduli dengan lingkungan di sekitarku? Apakah kekayaan dan kepopuleranku ini semakin memperkembangkan hidup orang-orang di sekitarku menjadi lebih baik dan semakin manusiawi. Maka, marilah kita bercermin!

Senin, 01 Desember 2008

Matahari dan Pohon Tua


Pagi ini matahari lagi ngambek. Wajahnya ditekuk dan kelihatan jelek sekali. Ia sudah meniatkan diri untuk tidak melakukan apa-apa hari ini. Ia kepingin tidur seharian.

Saat hendak memulai aksi tidurnya, tiba-tiba datang sebuah pohon tua menghampirinya.

“Met Pagi, Mata. Tumben kok belum siap-siap berangkat kerja? Udah siang lho?!” sapa pohon tua ramah.

“Eh, Po Tua. Hari ini aku ndak mau kerja lagi! Aku pingin tidur saja!” jawab Mata sambil beringsut membetulkan letak selimutnya.

“Lho kok ndak kerja, lalu bagaimana jika hari ini dunia menjadi gelap gulita?” Po Tua keheranan mendengar jawaban Mata.

Biarin. Aku ndak peduli! Pokoknya aku ndak mau kerja lagi!!” seru Mata.

“Lagi ada masalah ya dengan pekerjaan yang kamu lakukan?” tanya Po Tua lembut berusaha menenangkan emosi Mata.

Melihat perhatian dari Po Tua, emosi Mata perlahan mereda. Ia segera menegakkan tubuhnya.

“Aku sudah bosan dengan pekerjaanku. Aku merasa apa yang sudah aku lakukan selama ini hanya kesia-siaan belaka...!” urai Mata.

“Maksudmu?” tanya Po Tua tak mengerti.

“Coba lihatlah para manusia itu, apa yang telah mereka lakukan selama ini? Mereka hanya mau menangnya sendiri. Mereka tidak pernah mau belajar untuk setia seperti kesetiaan yang selama ini telah aku tunjukkan. Dengan seenaknya mereka menceraikan istri-suami mereka hanya karena merasa istri-suami sudah ndak menarik lagi. Sudah merasa populer dan banyak uang hingga sah-sah saja kalo mencari wanita atau pria pendamping lain. Berbuat kasar terhadap istri, suami atau anak-anak mereka. Dan ujung-ujungnya mereka saling berebut harta, berebut anak bahkan berebut harga diri. Lalu apa artinya pesta pernikahan megah yang dahulu pernah mereka lakukan hingga menelan biaya miliaran rupiah. Apa artinya menikah di tempat-tempat yang suci kalo ujung-ujungnya hanya untuk bercerai!” Sejenak Mata menghela napas. “Mereka juga tidak pernah mau belajar setia pada kebenaran. Setia dengan hati nurani mereka masing-masing. Orang saat ini begitu mudah tersulut emosinya bahkan saling bunuh hanya karena masalah sepele. Lebih parah lagi, mereka memperlakukan sesamanya seperti hewan yang bisa dimutilasi dan dibuang bak seonggok sampah yang tiada berguna. Belum lagi mereka suka bertikai, tawuran yang tidak jelas, berperang hingga mengorbankan kepentingan sesama yang tidak berdosa. Sebagian lagi lebih suka menghambur-hamburkan uang karena merasa sudah berkelimpahan. Padahal harta yang mereka dapat itu dari hasil merampok dan merampas hak orang lain dengan cara korupsi. Nah, jika demikian bukankah apa yang aku lakukan selama ini tidak ada artinya sama sekali?” Mata terengah-engah dengan penjelasannya yang panjang lebar.

Po Tua hanya terdiam. Beberapa saat ia mencoba memahami kegelisahan yang dirasakan oleh Mata sahabatnya.

“Mata, dulu aku juga pernah merasakan perasaan seperti itu. Perasaan tidak dihargai. Perasaan diabaikan dan tidak dianggap ketika para manusia itu dengan seenaknya menggunakan anggota tubuhku untuk kepentingan mereka. Memaku dengan sadis. Mengikat dengan tali temali sekuat tenaga hingga aku kesulitan untuk bernafas. Dan masih banyak lagi kesengsaraan yang mereka buat untukku. Namun akhirnya aku sadar, aku harus tetap bertahan…” terang Po Tua.

“Apa maksudmu…?” tanya Mata kurang mengerti.

“Coba lihatlah sekelilingmu. Bukankah di hamparan ilalang masih banyak tumbuh bunga indah beraneka warna. Bukankah masih ada keharuman di tengah bau yang tidak sedap sekalipun,” jawab Po Tua.

“Ayolah, Po Tua. Jangan malah memberi perumpamaan yang berbelit-belit seperti itu. Aku semakin tidak mengerti?” bujuk Mata.

“Di tengah ketidaksetiaan istri dan suami masih banyak juga yang tetap setia mempertahankan pilihan mereka. Satu istri atau satu suami hingga maut memisahkan. Diantara manusia yang suka bertikai, masih ada yang selalu mengusahakan perdamaian. Masih banyak pula yang menjunjung tinggi rasa cinta terhadap sesama. Saling menghargai, memberi perhatian dan saling menolong. Dan ada pula yang selalu mengusahakan kebaikan untuk hidup bersama. Bukankah untuk mereka semua itu, cahayamu akan sungguh berguna? Bukan saja akan menjadi penerang bagi langkah mereka tetapi lebih-lebih akan menjadi pelita dan sumber teladan bagi manusia lain yang hidup dalam kegelapan.” jelas Po Tua.

Mata manggut-manggut. Ia berusaha meresapi apa yang barusan dikatakan Po Tua.

“Satu hal yang harus diingat: Kita harus bertahan. Bertahan untuk tindakan yang baik di tengah banyak keburukkan dan kejahatan. Jangan sampai kita hanyut pada arus yang membawa kita pada ketidaksetiaan dan kegelapan. Kita harus berani setia pada kebenaran yang sudah kita pilih dan berani pula untuk mempertanggungjawabkannya!” tambah Po Tua.

Mata semakin mengerti. Sejurus kemudian ia teringat sesuatu dan segera berlari sambil berkata, “Trima kasih Po Tua, kini aku mengerti. Maaf, aku harus segera pergi untuk melaksanakan tugasku…”

Po Tua tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Dalam hati ia bersyukur karena sudah berhasil menyampaikan kebenaran.