Senin, 29 Juni 2009

Melihat ke Dalam

Beberapa hari sudah berlalu sejak peristiwa itu, tapi hati Karin masih terasa begitu perih. Ada beragam tanya yang masih berkecamuk di kepalanya. Mengapa ‘sesepuh’ itu hanya melihat dari satu sisi? Mengapa ia tidak melihat segala jerih payah yang telah dilakukan oleh Karin dan teman-teman genk Neronya? Bukankah selama ini mereka yang justru banyak terlibat dan ikut ‘bersusah payah’ ketika komunitas mereka punya gawe. Ya jualan parcel-lah, kunjungan ke suatu tempat-lah dll. Apakah semua jerih payah itu sudah tidak berharga lagi? Mengapa ‘orang’ yang berniat menjadi ‘penengah’ malah justru mamanaskan situasi? Mengapa ‘teman’ yang selama ini akrab dan ‘ubyang-ubyung’ dengan Karin and the genk terkesan menjadi ‘musuh dalam selimut’? Mengapa pilihan ketua baru yang ‘tidak sah’ karena memilih orang yang tidak hadir dan terkesan memaksakan kehendak, masih terus dilanjutkan dan diakui sebagai keputusan bersama? Ah, beragam pertanyaan itu membuat Karin bertambah pusing dan tidak tahu mesti berbuat apa. Ada teman yang memberinya usul untuk mencari penengah yang netral agar bisa meluruskan permasalahan itu, tapi hati Karin masih ragu. Pun ketika para ‘sesepuh’ itu berinisiatif untuk menemui dirinya, Karin berusaha menghindar. Bukankah sebenarnya masalah ini adalah masalah ‘kecil’ yang dibesar-besarkan, yang justru berasal dari mereka sendiri?

Melihat ke dalam. Itu yang sebaiknya dilakukan oleh Karin dan teman-teman se’genk’nya. Juga oleh para ‘sesepuh’ dalam komunitas mereka. Karena hakikatnya tidak ada manusia yang sempurna. Di balik kekuatan pasti ada kelemahan. Di antara kejahatan pasti tersembul kebaikan yang memiliki arti. Melihat ke dalam sebaiknya dilakukan setiap waktu, setiap saat. Apakah tutur kata dan perbuatanku telah melukai perasaan dan merugikan orang lain? Apakah ketika berelasi dengan orang lain, aku sudah menerapkan prinsip ‘keseimbangan’ (Aku ingin dihormati maka aku harus menghormati, aku tidak ingin dilukai maka aku juga tidak akan melukai, aku menginginkan hal-hal yang baik bagi diriku maka aku juga akan memberikan hal yang baik untuk orang lain)?

Nah, ketika ‘melihat ke dalam’ sudah dilakukan, hati kita pun pasti akan mencair dari kebekuan. Pusing yang menggerogoti kepala pun akan hilang dengan sendirinya. Kita akan menjadi ‘legowo’ ketika harus meminta maaf karena telah menyebabkan timbulnya masalah. Pun bagi orang yang merasa tersakiti pasti akan berbesar hati untuk membuka pintu maaf. Kaca yang retak memang tidak akan indah lagi seperti awalnya. Namun, kita bisa menjaga agar retakan kaca itu tidak bertambah, yang justru akan membuatnya pecah berkeping-keping. Semoga.

Jumat, 26 Juni 2009

Membalas Kejahatan Dengan Kebaikan

Dalam Injil Matius 5:39-45 tertulis demikian, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar”.

Rangkaian kalimat yang sungguh indah dan menentramkan. Namun, ketika kalimat-kalimat itu coba diterapkan dalam kehidupan ini, betapa sulitnya. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Tentu masih segar di ingatan kita cerita tentang Manohara Odelia Pinot. Seorang gadis asal Indonesia yang menikah dengan Tengku Muhammad Fakhry, putera mahkota Kerajaan Kelantan, Malaysia. Pernikahan megah dan mewah yang diharapkan akan membawa kebahagiaan ternyata hanya memberi penderitaan bagi Manohara. Ia merasa dikurung dalam lingkungan istana, tidak bisa bergaul dengan bebas bahkan untuk bertemu dengan ibunya saja, ia tidak bisa. Manohara juga mengalami perlakuan seks menyimpang yang membuatnya banyak mendapat kekerasan fisik. Hingga akhirnya, ketika ia berhasil keluar dari semua penderitaan itu dan kembali berkumpul dengan ibunya, ia segera menyiapkan segala bukti untuk memenjarakan orang-orang yang telah menganiaya dirinya. “Saya tidak akan pernah memberi maaf atas segala perlakuan mereka kepada saya,” ujar Manohara dalam suatu kesempatan.

Kebencian dengan kasus yang berbeda juga tengah dialami Karin. Gadis berumur 22 tahun yang aktif dalam salah satu kegiatan di gereja. Semua berawal dari hasil pertemuan di suatu siang pada hari Minggu. Pertemuan yang awalnya bertujuan untuk persiapan memilih ketua yang baru ternyata telah diset sedemikian rupa menjadi ajang penghakiman bagi Karin dan teman-temannya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Karin dan teman-temannya yang sering berkumpul, makan, dolan bareng disebut sebagai genk Nero. Rupanya keberadaan genk ini dianggap sebagai duri dalam daging oleh beberapa ‘sesepuh’ dalam komunitas dimana mereka ikut terlibat. Mereka dianggap telah memberi pengaruh yang tidak baik dan membuat tidak nyaman anggota yang lain. Beberapa orang yang berusaha meluruskan permasalahan dan mencoba menjelaskan bahwa keberadaan genk Nero karena ketidakpuasan atas sikap sang ketua yang ‘suka pilih-pilih’, malah dianggap tidak tahu apa-apa dan ikut dipojokkan. Lebih apes lagi Karin dan teman-temannya juga tidak bisa hadir dalam pertemuan sehingga tidak bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.

Bisa diduga, hasil pertemuan itu akhirnya membuat Karin meradang. Ia segera mengontak teman-teman se’genk’nya untuk membahas masalah tersebut. Dan rupanya berdasarkan hasil keputusan rapat Minggu dimana mereka tidak hadir, pemilihan ketua akan dilanjutkan pada Rabu selanjutnya dengan 3 kandidat utama yang semuanya berasal dari genk Nero. “Katanya membuat tidak nyaman, kenapa mereka masih memilih kita!” kata Karin berapi-api.

Benar saja, suasana pemilihan pada Rabu itu berlangsung tegang. Salah satu ‘sesepuh’ tetap memaksakan kehendaknya bahwa hanya ada 3 nama yang wajib dipilih. Di luar itu tidak ada nama-nama lain juga untuk para ‘sesepuh’ yang kebetulan ikut datang. Sang ketua lama pun mengatakan bahwa dirinya tidak ingin dipilih lagi karena ia akan memberi kesempatan kepada orang-orang yang lebih peduli. Dan karena para ‘sesepuh’ sudah berkata demikian, semua yang hadir, yang kebanyakan masih anggota baru hanya bisa mengangguk dengan terpaksa.

Tentu saja, pemilihan ini semakin membuat Karin dan teman-temannya, yang memutuskan tidak hadir pada pemilihan Rabu itu, semakin marah. Bahkan Karin yang sudah tidak bisa membendung lagi amarahnya berkata dengan kasar, “Apa otak mereka itu ditaruh di dengkul! Sudah jelas kita ndak datang, kok masih dipaksakan untuk dipilih. Uhhhh… aku pingin menampar mulut mereka (para sesepuh) satu per satu. Awas, kalau besuk Minggu aku ketemu mereka…!!!!”

Apa yang dirasakan dan dilakukan oleh Manohara dan Karin kiranya adalah hal yang wajar. Dan kewajaran itulah yang selama ini dianut oleh kebanyakan dari kita. Maka tidak heran, di bumi ini muncul berbagai macam pertikaian, konflik, peperangan, kekerasan, hingga pembunuhan sesama manusia.

Membalas kejahatan dengan kebaikan. Mendoakan orang-orang yang telah menganiaya kita. Itulah yang ingin Tuhan ajarkan kepada manusia. Tidak mudah memang, bahkan sangat sulit. Tetapi bukan berarti tidak mungkin selama kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Seperti halnya Tuhan yang selalu mengampuni kita walau sebanyak dan sebesar apapun dosa-dosa kita. Ia tetap menunggu dan menerima kita apa adanya. Ndak kebayang kan, seandainya Tuhan selalu menghukum manusia ketika ia melakukan kejahatan, pasti sudah lama bumi ini tidak dihuni oleh manusia.

Ketika kita bisa memulai semua itu maka hidup ini akan terasa damai. Live is beautiful. Semoga.

Rabu, 24 Juni 2009

Award(2)


Award ini adalah award kesembilan yang aku terima. Memang sih, awardnya sudah pernah aku terima tapi toh itu bukan soal karena tentu ada niat mulia dari si pemberi award ini. Award ini kuterima dari Eq dari Bandvng.


Ada beberapa syarat untuk mendapatkan award ini yaitu:
- membuat postingan yang memuat gambar ini di blog sobat
- sebutkan yang memberikan award ini beserta link blognya
- hadiahkan award ini kepada 10 sahabat
- kunjungi blognya dan beritahukan kalau ada award dari sobat untuknya
- sampaikan kepada sobat yang lain untuk melakukan hal-hal tadi

Nah, karena ada kewajiban membagikan award ini untuk 10 sahabat, maka yang akan mendapatkan award ini dari aku adalah; Seri, Eha, Iik, Fanny, Lisna, Satriyo, Ikhwan, Cah Ndeso, Satriya, dan Japraxxx.

Semoga persahabatan di antara para sobat blogger semakin teguh, berkembang mewangi, dan bersinar bagaikan mentari yang memberi hidup untuk alam semesta. Salam persahabatan.

Award

Suatu ketika aku membaca sebuah tulisan di blognya Reni yang berjudul: ‘Candu Itu Bernama Facebook’. Waktu pertama kali membaca tulisan ini, spontan ada bisikan dalam hati yang mengatakan, “Wah, kalo aku ya jelas ngeblog, bukan facebook!”. Bener… kuakui, aku memang telah kecanduan ngeblog. Bahkan kayak orang minum obat, 3 x sehari, pagi, siang dan malam. Dari ngeblog yang sudah aku akrabi hampir sepuluh bulan ini, ada banyak hal yang aku dapatkan: ide-ide yang terus mengalir, ketrampilan menulis yang semakin terasah, sobat yang semakin banyak dan adanya award yang dari hari ke hari terus bertambah.

Berbicara masalah award, hingga hari ini ada 8 orang yang telah memberiku award. Dan pada postinganku kali ini aku ingin membahas award-award itu tapi sebelumnya aku minta maaf bagi para sobat yang telah memberiku award karena baru kali ini aku membuat postingan tentang award.

Award ini adalah award pertamaku. Dan karena yang pertama, saat aku menerimanya, hatiku jadi berbunga-bunga dan bahagianya nggak ketulungan. Ternyata… akhirnya aku bisa juga dapat award. Makasih ya… Sahabat pena dari Jawa.

Award kedua kuterima dari Irma. Award yang bagus dan sarat makna. Terima kasih sobat… semoga kita dapat saling memberi inspirasi dan menjadi bintang-bintang yang menerangi dunia.

Award ketiga aku terima dari PutyCyute. Award ini cukup sederhana tetapi juga punya makna tersendiri. Dan untuk itu aku hanya bisa berucap, terima kasih.

Tovarossi memberiku award yang keempat. Dari tulisan yang tertera pada award ini aku bisa menyimpulkan bahwa award ini diberikan untuk pengunjung terbaik. Makasih sobat.



Anazkia memberiku award kelima. Tidak hanya 1 tetapi 4 sekaligus. Wah, sobatku yang satu ini memang sungguh baik hati. Terima kasih ya…

Award keenam aku terima dari Nadja Tirta. Award yang sangat indah. Semoga kita terus berkembang dan menyebarkan wangi untuk dunia. Terima kasih sobat.



Reni memberiku award ketujuh. Makasih sobat atas awardnya. Semoga persahabatan di antara kita semakin erat dan terus bertumbuh.

Award kedelapan kuterima dari Fanda. Award yang juga sangat indah. Hanya ucap terima kasih yang bisa kuberikan untuk sobat.

Itulah cerita tentang award-award yang pernah aku terima. Sungguh, semuanya semakin memberi motivasi bagiku untuk terus mengembangkan diri dan memberikan tulisan yang terbaik. Bagi sobat yang ingin mengambil award-award itu, silahkan. Bisa satu, dua, tiga atau semuanya sekaligus. Semoga persahabatan di antara para sobat blogger semakin teguh, berkembang mewangi, dan bersinar bagaikan mentari yang memberi hidup untuk alam semesta. Salam persahabatan.

Selasa, 23 Juni 2009

Tidak...


Kawasan Tugu Muda saat ini sudah menjadi tempat wisata baru bagi sebagian warga kota Semarang. Bagaimana tidak, ketika sore mulai beranjak menjadi malam, orang-orang dari anak-anak, remaja hingga orangtua mulai berduyun-duyun menuju ke tempat ini. Ada yang hanya berjalan kaki tetapi banyak pula yang mengendarai roda dua. Mereka ingin menikmati malam yang cerah sambil duduk-duduk di seputaran taman Tugu Muda menikmati air mancur yang sedang muncrat, indahnya Tugu Muda di waktu malam, gedung Lawang Sewu yang magis tetapi begitu mempesona dibalut kegelapan malam atau hanya menikmati lalu lalang kendaraan yang mengitari kawasan ini. Beberapa di antara mereka juga menyempatkan diri foto bersama atau pribadi dengan berbagai gaya dan beragam latar belakang .

Sementara orang-orang menikmati malam dengan perasaan yang begitu gembira, di ujung taman, ada sebuah papan pengumuman yang dari hari ke hari semakin kelihatan kusam. Di papan yang berukuran kecil dan sudah kelihatan agak miring itu tertulis: “DILARANG MASUK, BERMAIN DI DALAM LINGKUNGAN TAMAN – Sesuai Perda No. 15 th. 1981”. Tulisan yang cukup tegas dan jelas maknanya. Tapi entah mengapa, beberapa orang malah kelihatan duduk-duduk di taman, bermain-main, tiduran, ngobrol mesra di antara rimbun pepohonan, juga jepret sana jepret sini. Mungkin kalau pohon-pohon dan rerumputan di taman itu bisa bicara, mereka pasti langsung protes dan memaki-maki orang-orang tersebut. Apakah karena papan yang kecil dan kurang mencolok sehingga tulisannya tidak terbaca? Ataukah karena orang-orang yang sudah tidak peduli?

Rasanya keadaan seperti ini sudah menjadi hal yang lumrah di antara kita. Orang bisa seenaknya menghentikan kendaraannya lalu parkir di dekat tanda S atau P yang dicoret. Sungai dan kali yang mampet karena banyak sampah di dalamnya padahal sudah ada peringatan untuk tidak membuang sampah di tempat itu. Lingkungan yang kotor karena banyak sampah berceceran di mana-mana padahal sudah disediakan tempat sampah. Tidak boleh merokok malah membikin orang dengan leluasa menghisap rokok dan menyemburkan asapnya ke mana-mana sehingga mengganggu orang lain yang ada di sekitarnya. Lampu lalu lintas masih menyala merah tapi beberapa orang malah terus tancap gas dengan alasan dikejar waktu. Dilarang berjualan di trotor sampai radius tertentu malah membuat orang-orang dengan nyaman mendirikan tenda-tenda untuk mencari nafkah. Dan masih banyak contoh yang lain.

Tidak peduli dan tidak mau disiplin. Itulah yang terjadi. Jika hal ini masih terus saja berlangsung, bisa dipastikan bangsa ini hanya akan berjalan di tempat dan terus-terusan menjadi bangsa yang sedang berkembang. Berkembang ke arah yang lebih baik atau justru sebaliknya, entahlah?

Apakah kita menjadi bagian dari ketidakpedulian dan ketidakdisiplinan itu?

Minggu, 21 Juni 2009

Sepuluh


“Tidak ada manusia yang bernilai sepuluh, tetapi kita bisa berusaha untuk meraihnya,” demikian sebuah dialog dalam film yang berjudul ‘SEPULUH’ yang dibintangi oleh Rachel Maryam, Ari Wibowo dan August Melaz. Sebuah film yang bertutur tentang kehidupan anak-anak jalanan dengan segala dinamikanya di ibukota.

Entah mengapa, kalimat tersebut beberapa hari ini masih terngiang-ngiang di kepalaku. Sepuluh. Ya, sepuluh. Di sekolah, jika ada anak yang sering mendapat nilai 10, bisa dipastikan ia adalah anak yang pandai. Anak yang tekun belajar. Sebab dengan mendapat nilai 10 berarti ia dapat mengerjakan seluruh soal dengan benar. Tidak ada yang salah.

Tidak ada manusia yang bernilai sepuluh. Tidak ada manusia yang sempurna. Dibalik segala kelebihan pasti juga tersimpan kekurangan. Disamping banyak kebaikan pasti juga ada keburukan (kejahatan) yang dilakukan. Namun, manusia bisa berusaha untuk menjadikan dirinya bernilai sepuluh atau paling tidak sepuluh kurang sedikit. Bagaimana caranya?

Dalam pelajaran matematika, pasti kita mengenal deretan angka-angka berikut: 1,2,3,4,5,6,7,8,9 dan 10. Untuk mencapai angka 10, kita harus mulai dari 1 kemudian beranjak ke-2 dan seterusnya. 1 melambangkan diri kita sebagai pribadi. Ketika kita mulai melangkah dalam kehidupan ini dan berinteraksi dengan orang lain (ber-2, ber-3 dst), ada banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita mau melakukan yang baik, yang bermanfaat, tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk orang lain atau justru hal buruk, yang merugikan orang lain, itu semua menjadi tanggung jawab kita. Namun, ketika kita lebih memilih melakukan banyak kebaikan ketimbang keburukan (kejahatan), lebih mempedulikan nasib orang lain, yang tertindas, yang berkekurangan, yang sedang mengalami musibah atau menderita karena sesuatu, daripada mengabaikannya, lebih mengutamakan belas kasih dalam segala tindakan dan tutur kata daripada kesewenang-wenangan dan kesombongan, kita dapat menjadi sempurna.

Nah, maukah kita berusaha menjadi sempurna?

Jumat, 19 Juni 2009

Benalu


Aku ingat, dahulu ketika aku masih duduk di kelas 2 SD, ayahku pernah menanam biji mangga di halaman rumah. Setelah puluhan tahun berlalu, biji yang mati, kini telah berubah menjadi pohon mangga yang tinggi, besar dan berdaun rimbun. Meski berasal dari biji, pohon mangga itu sudah beberapa kali mengeluarkan buah. Tidak banyak memang tapi cukup membahagiakan bagi kami karena kami dapat memetik dan merasakan buah dari kebun sendiri.

Namun, beberapa bulan ini, pohon mangga itu terlihat begitu ‘nelangsa’. Semua karena benalu. Ya, benalu yang awalnya hanya satu, kini telah beranakpinak dan hampir memenuhi setiap percabangan pohon itu. Benalu yang biasa kami sebut ‘kemladeyan’ adalah tumbuhan yang biasa menumpang pada tumbuhan lain. Ia hidup dan berkembang biak dengan cara mencuri zat-zat makanan dari pohon yang ditumpanginya. Akibatnya, pohon mangga kami terlihat kering seperti kurang gizi. Daun-daunnya juga semakin berkurang karena berguguran. Akhirnya, ia enggan kembali berbunga dan mengeluarkan buah.

Kalau sudah begitu hanya ada satu jalan yang bisa dilakukan yaitu dengan memotong cabang-cabang yang ditumbuhi benalu. Tentunya ada resiko yang mesti dihadapi. Pohon mangga kami yang semula tinggi, besar dan rimbun pastinya akan berubah menjadi pendek dan gundul. Sayang memang tapi hal itulah yang mesti kami lakukan karena kalau dibiarkan begitu saja, lama-kelamaan pohon mangga kami akan mati.

Memikirkan soal benalu di pohon mangga ayah, aku jadi teringat dengan para koruptor di negeri ini. Hampir tiap hari, lewat televisi atau beragam media cetak, selalu diberitakan tentang sepak terjang mereka. Kepala pemerintah daeran ini atau daerah itu ditangkap polisi karena kedapatan menggelapkan dana APBD dan proyek-proyek dari pemerintah pusat. Anggota dewan yang terhormat tertangkap tangan ketika menerima komisi hasil penjualan aset-aset negara. Koruptor A hanya dikenai tahanan rumah karena belum ada cukup bukti yang bisa menyeretnya ke penjara. Koruptor B terpaksa urung menjalani persidangan karena mendadak jatuh sakit dan masih banyak lagi.

Kadang aku hanya bisa membatin dalam hati; “Kenapa ya mereka yang sudah kaya, memiliki banyak uang, mendapat beragam fasilitas, masih menginginkan yang lebih banyak hingga menghalalkan segala cara untuk memperolehnya? Sebegitu rakuskah mereka? Apakah mereka tidak pernah berpikir bahwa masih banyak orang lain yang hidupnya tidak seberuntung mereka, yang harus bersusah payah, membanting tulang, memeras peluh, hanya untuk mendapatkan lembar demi lembar uang untuk kehidupan mereka.”

Ah, sejatinya para koruptor itu hanyalah benalu. Mereka sedikit demi sedikit mengambil kekayaan milik negara dan rakyat untuk memenuhi kepentinganya sendiri. Akibatnya, negara tidak berkembang dengan semestinya dan rakyat pun banyak yang tidak bisa hidup sejahtera. Dan seperti benalu, mereka harus segera ditebang agar tidak menular kemana-mana.

Mari kita doakan agar mereka segera bertobat, menyadari segala kesalahan dan mau mengembalikan uang yang sudah mereka ambil berikut dengan bunganya. Dan bagi kita sendiri, biasakan mendengar apa kata nurani dan singkirkan segala bisikan setan sebab uang adalah pelayan yang setia dan tuan yang sangat kejam. Satu hal lagi yang mesti kita ingat; uang, kekayaan, pangkat, jabatan, tidak akan dibawa ketika kita menghadap kepada-Nya.

Rabu, 17 Juni 2009

Semangat!


Kata itulah yang sering ditulis oleh seorang sobat blogger di shoutmixku. Kata yang keliatannya sederhana tetapi punya pengaruh yang cukup luar biasa. Ya… disaat badan ini lelah karena berbagai aktivitas, pikiran demikian suntuk karena beragam persoalan dan saat ‘nyala’ dalam diri mulai meredup karena kebosanan, mandeg dan tidak tau apa yang hendak dilakukan, kata itu seolah menjadi pemantik yang siap membakar semuanya.

Dan semuanya berawal dari blogspot, blog dan ngeblog. Sesuatu yang sudah aku lakukan hampir sepuluh bulan ini. Aktivitas yang mungkin bagi sebagian orang dipandang suatu kesia-siaan tapi tidak bagiku, karena lewat aktivitas ini ada banyak manfaat yang sudah aku dapatkan. Mengenal istilah template, shoutmix, link dan beragam aksesoris lain untuk memperindah blog serta keterampilan menulis yang semakin terasah.

Lewat blog, aku bisa berkenalan dengan banyak orang di seluruh penjuru dunia. Lewat blog pula aku pernah mengikuti acara kopdar yang diselenggarakan sebuah komunitas blogger. Kopdar yang membuat aku bisa bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru dalam kehidupanku. Blog juga memungkinkan aku untuk saling berkunjung ke sesama blogger (blogwalking), bertukar link, bertukar komentar, bertukar award, memberi saran dan kritik yang membangun atau hanya sekedar saling sapa.

Semangat! Itulah kata yang ingin terus aku kobarkan dalam diri. Semangat untuk terus menulis. Semangat untuk terus berkunjung, memberi komentar, menyapa dan berkenalan dengan sahabat baru. Semangat untuk memberikan yang terbaik. Dan semangat untuk terus menjalin persahabatan yang tulus, ikhlas dan saling menghormati. Semoga.

Persahabatan bagai kepompong
Merubah ulat menjadi kupu-kupu……

Senin, 15 Juni 2009

Facing The Giants


Grant Taylor, seorang pelatih kepala Tim Futbol di sebuah sekolah Kristen, begitu sedih saat mendengar penjelasan dokter bahwa kemungkinan dirinya bisa punya anak hanya 10%. Terbayang wajah istrinya yang begitu merindukan kehadiran seorang anak dalam kehidupan keluarga mereka yang sudah berjalan 4 tahun. Ternyata, apa yang ditakutkannya selama ini terbukti, ialah yang menjadi penyebab istrinya sulit hamil. Saat dokter memberi kemungkinan untuk melakukan proses bayi tabung atau mengadopsi anak, Grant hanya bisa menggeleng lemah karena semua itu pasti membutuhkan biaya yang sangat besar padahal penghasilannya sendiri pas-pasan.

Saat Grant kembali ke sekolah, tanpa sengaja, ia mendengar pembicaraan beberapa orangtua murid di sebuah ruangan tentang dirinya. Mereka menuntut pihak sekolah agar segera memecat Grant karena sudah hampir 6 tahun melatih, Grant tidak juga memberi kemajuan yang berarti bagi Tim Futbol sekolah. Mereka berharap ada pelatih baru yang bisa memberi banyak kemenangan.

Grant semakin sedih. Ia pulang ke rumah dengan wajah yang begitu galau. Saat ditemukannya istrinya di ruang tengah, dengan terbata-bata dan berlinang air mata, Grant mengutarakan berbagai masalah yang tengah membelitnya. Akhirnya, ketika semua sudah dikatakan dengan jujur, Grant dan istrinya hanya bisa saling menggenggam tangan. Keduanya larut dalam kesedihan yang sangat.

Kesedihan dan berbagai masalah membawa Grant dan istrinya pasrah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan. Grant pun semakin rajin membaca Kitab Suci. Dari Kitab Suci ini pula Grant memperoleh inspirasi untuk memberikan metode pelatihan yang baru bagi tim asuhannya. Grant mulai menanamkan perlunya selalu bersyukur dan memuliakan Tuhan baik di saat memperoleh kemenangan maupun kekalahan. Kekalahan bukanlah akhir tetapi hanya satu bagian kecil dalam kehidupan. Grant juga mengharapkan anak-anak asuhannya pantang menyerah dan selalu mengusahakan yang terbaik.

Sejak saat itu semuanya berubah. Kemenangan demi kemenangan mulai mengakrabi Tim Futbol asuhan Grant hingga akhirnya mereka berhasil maju ke kejuaraan daerah untuk menantang juara bertahan selama tiga tahun berturut-turut, The Giants. Lewat perjuangan yang begitu dramatis, Tim Futbol Grant akhirnya memperoleh kemenangan.

Bagi Grant Taylor, inilah akhir yang sungguh membahagiakan. Dan kebahagiaan ini semakin terasa lengkap ketika akhirnya ia mengetahui bahwa istrinya tengah hamil.

Itulah sekelumit cerita ‘FACING THE GIANTS’. Sebuah film yang diputar oleh Tim SIKKAT Paroki Katedral, sebuah komunitas yang konsen memutar film-film untuk keluarga, Minggu, 14 Juni, di wilayah Sampangan. Kegiatan ini memang baru pertama kalinya diadakan di wilayah karena sebelumnya, pemutaran film selalu diadakan di kompleks gereja. Dan ternyata, sambutan umat sangat menggembirakan. Mereka yang kebanyakan terdiri dari para remaja dan kaum muda tampak larut dalam jalinan cerita. Kadang tertawa ketika ada adegan yang lucu dan konyol, bersorak-sorai atau bertepuk tangan dengan riuh.

Romo Kris ketika dimintai komentarnya tentang pesan kesan dari film ini hanya menggarisbawahi dua hal; pertama, Kitab Suci dapat menjadi inspirasi untuk mengatasi segala permasalahan dalam hidup dan kedua, tetaplah selalu bersyukur baik disaat menang ataupun kalah, berhasil maupun ketika gagal karena yang utama adalah selalu memberikan yang terbaik demi kemuliaan Tuhan. Sebab, bagi Tuhan tiada yang mustahil!

Seperti Laut


Hampir semua orang menyukai laut. Banyak aktivitas juga dilakukan di laut. Mencari ikan sebagai mata pencaharian, menyelam, berselancar, kapal-kapal yang berpatroli untuk menjaga kedaulatan negara, membuang sesaji sebagai syarat melakukan ritual tertentu, membuang abu jenasah orang terkasih hingga tempat mandi bagi anak-anak kecil untuk mencegah penyakit asma dan menyembuhkan batuk.

Laut juga mengajarkan banyak hal tentang kehidupan. Bagaimana mengisi, memaknai dan bersikap ketika berhubungan dengan orang lain. Hal-hal yang jika dipelajari dan diamalkan sungguh-sungguh akan membuat kehidupan ini menjadi lebih indah. Diantaranya adalah:

Mengayomi
Banyak hewan yang hidup, berkembang biak dan mencari makan di laut. Mulai dari hewan paling lunak sampai paling keras. Paling lemah hingga paling kuat. Semua dibiarkan bebas menjadi dirinya sendiri.
Tidak pilih-pilih
Selain mengayomi, laut juga bukan tipe pemilih. Bukan hanya yang paling kuat dan paling keras yang boleh hidup dan berkembang biak, tapi semua diberi kesempatan yang sama dalam semangat kebersamaan.
Sabar menanggung segala sesuatu
Laut adalah tempat bermuaranya segala aliran air. Mulai dari air yang banyak mengandung sampah, kotoran, air yang tercemar hingga air yang bersih. Semua diterima dengan tangan terbuka dan tanpa keluhan.
Suka memberi
Meski sering mendapatkan hal yang kurang (tidak) baik, laut tetap mau memberi kebaikan. Memberi ikan yang berlimpah untuk burung-burung di udara. Mata pencaharian untuk para nelayan. Juga tempat rekreasi untuk banyak orang.
Tidak suka menonjolkan diri
Laut berasa asin. Asin identik dengan garam. Garam adalah elemen paling utama dalam masakan. Tanpa garam masakan akan terasa hambar dan tidak enak dimakan. Meski demikian, garam tidak ingin menonjolkan diri. Ia rela melebur dan menjadi satu dalam rasa masakan.

Nah, maukah kita seperti laut?

Rabu, 10 Juni 2009

Melayani Dengan Hati

Namanya Timotius Agung Darmawan tetapi orang-orang lebih suka memanggilnya Pak Wawan. Orangnya ramah dan baik hati. Dalam setiap perayaan hari besar seperti Natal dan Paskah, Pak Wawan selalu terlibat dalam kepanitiaan. Biasanya, ia diserahi tugas mengurusi listrik, lampu, lcd serta video. Setiap melaksanakan kewajibannya, Pak Wawan selalu bekerja sungguh-sungguh. Mulai dari sebelum perayaan, selama perayaan hingga selesai perayaan. Saat orang-orang sibuk pergi ke mal membeli baju baru untuk merayakan Natal atau Paskah, Pak Wawan sibuk di gereja mempersiapkan lampu-lampu yang akan di pasang di tenda-tenda di halaman gereja. Ketika orang mengikuti perayaan di gereja, Pak Wawan malah hilir mudik untuk sekedar ‘ngecek’ lampu, lcd dan video yang digunakan mendukung perayaan. Dan saat orang-orang sudah beristirahat di rumah, Pak Wawan masih harus membereskan segala peralatan yang selesai digunakan.

Lain lagi dengan Ndaru, seorang anak yang baru duduk di kelas 4 Sekolah Dasar. Setiap pagi ia rutin mengikuti misa pagi. Hebatnya, ia tidak hanya sekedar ikut tetapi selalu menjadi petugas misdinar yang membantu Romo selama berlangsungnya misa.

Dalam keseharian, kita juga sering berjumpa dengan orang-orang yang berlaku seperti pribadi di atas. Diantaranya adalah para penyapu jalan. Pernahkah kita membayangkan bahwa para penyapu jalan itu harus mulai berangkat pagi-pagi, mempersiapkan peralatan dan melakukan pekerjaannya di saat hampir sebagian orang masih terlelap? Pernahkah kita berpikir bahwa karena apa yang mereka lakukan, jalanan menjadi bersih dan enak dipandang hingga akhirnya membuat kota kita berhasil memperoleh Adipura? Ironisnya, mereka justru memperoleh upah yang kecil, tanpa jaminan kesehatan dan tidak mendapat uang pensiun ketika mereka sudah tidak sanggup lagi bekerja.

Pak Wawan berusaha memberi pelayanan sesuai tugas yang sudah diberikan dengan harapan, umat dapat mengikuti perayaan dengan nyaman dan kusyuk tanpa terganggu oleh lampu yang tiba-tiba mati atau lcd dan video yang tidak berfungsi dengan baik. Ndaru membantu Romo dengan tujuan agar misa berlangsung lancar dan umat terlayani dengan baik. Pun dengan para penyapu jalan. Mereka selain ingin mendapatkan upah dari pekerjaannya, juga berharap lingkungannya menjadi bersih.

Semua orang ingin mendapatkan pelayanan yang baik bahkan kalau bisa yang terbaik. Namun, tidak setiap orang bisa dan mau memberikan pelayanan dengan baik. Maka tidak heran jika kadang pas kita pergi ke mal, pasar, toko-toko kelontong, counter-counter saat ada pameran atau sedang mengurus sesuatu di kantor pemerintah maupun swasta dan tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya, kita menjadi gusar, jengkel, bersungut-sungut dan kadang malah ngomel panjang lebar. Tapi di sisi lain, tanpa sadar kita juga berulangkali melakukan hal yang sama. Ketika melayani istri atau suami, terhadap orangtua atau anak, terhadap tetangga yang lagi butuh bantuan atau saat sedang memberi pelayanan di tempat ibadat.

Ada 3 semangat yang perlu dimiliki untuk bisa melayani dengan baik. Pertama, semangat tanpa pamrih. Ketika melayani, kita harus memberikannya secara tulus. Jangan melayani karena ada motif-motif tertentu. Memperoleh keuntungan materi, biar lebih dikenal orang atau keinginan menonjolkan diri. Jadi, ketika ada orang yang sedang membutuhkan sesuatu, kita berusaha melayani orang tersebut dengan penuh keikhlasan sebisa kita, bukan semau kita. Kedua, semangat tidak pilih-pilih. Pelayanan yang baik diberikan untuk semua orang tanpa memandang tingkat ekonomi, jabatan, suku, agama atau jenis kelamin. Kita juga diharapkan tidak pilih-pilih terhadap pelayanan yang kita lakukan. Meski pelayanan itu bukan yang disukai tetapi kita tetap mengerjakannya dengan senang hati. Ketiga, semangat memberi. Melayani berarti memberikan sesuatu bukan mendapatkan sesuatu. Jangan pernah berpikir, kita akan mendapat apa dari pelayanan yang kita berikan lebih-lebih berharap keuntungan. Sebab jika demikian yang terjadi, kita hanyalah pedagang, yang selalu menghitung untung dan rugi.

Di atas semua itu, kita perlu melayani dengan hati. Dengan kejujuran, ketulusan, keramahan dan selalu menghargai orang lain. Melayani dengan hati merupakan wujud syukur kita kepada Tuhan yang telah memberi kehidupan dan segala anugerah untuk kita.

Selasa, 09 Juni 2009

Mawar Atau Melati?


Mungkin, kalau mau disurvey, ada lebih banyak orang yang menyukai mawar bila dibandingkan dengan melati. Ada beberapa alasan yang mendukung hal tersebut. Salah satunya dan mungkin ini yang utama, karena mawar bunganya lebih indah dan corak warnanya lebih beragam. Sehingga ia lebih banyak dipajang dan diperjualbelikan di toko-toko tanaman.

Namun di balik keindahan mawar, tersimpan bahaya yang cukup menakutkan. Bila tidak hati-hati, tangan kita dapat tertusuk duri-duri mawar yang banyak bermunculan di batang-batangnya.

Kalau coba kita samakan dengan hidup manusia, mawar melambangkan pribadi yang ingin (lebih) menonjol, ingin (lebih) dihormati dan ingin (lebih) dikagumi. Namun karena keinginan tersebut membuat mawar menjadi pribadi yang cenderung sombong dan memandang rendah orang lain. Kalau ia mau memberikan suatu kebaikan, sering kebaikan itu hanyalah topeng, karena ada pamrih dari pemberian tersebut. Pamrih yang celakanya lebih menguntungkan dirinya sendiri.

Berbeda dengan melati. Walau bunga dan warnanya itu-itu saja dan sering hanya ditanam sebagai tanaman pagar, tapi harum baunya membuat orang-orang tertarik untuk memetik bunganya. Ia menyimpan keteduhan dan menawarkan kehangatan. Melati melambangkan pribadi yang sederhana dan jauh dari keinginan untuk menonjolkan diri. Kalau memberi kebaikan, ia tidak pernah ingin diketahui dan tanpa pamrih. Pun, pribadi seperti melati selalu berusaha memberi manfaat untuk orang lain.

Nah, apakah kita seperti mawar atau justru bagai melati yang putih nan suci?

Senin, 08 Juni 2009

Memberi Contoh

Pagi ini, dalam perjalanan ke kantor, saat berhenti di sebuah lampu merah, tiba-tiba ada pengendara motor yang nyelonong dan berhenti di depanku. Ia tidak begitu peduli kalau motornya berhenti jauh di batas garis marka. Mungkin kalau ada polisi yang kebetulan sedang jaga, pengendara itu sudah kena semprit. Tapi mungkin juga polisinya nggak berani karena kalau dilihat dari perawakan dan senjata laras panjang yang tersandang di bahunya, pengendara itu juga seorang aparat, mungkin tentara. Aku hanya bisa membatin dalam hati, “Kok aparat kayak gitu, malah memberi contoh yang nggak baik, harusnya kan…”

Mental seperti ini kadang tanpa disadari begitu akrab dengan keseharian kita. Di rumah, kita sering menyuruh anak-anak kita untuk belajar ketika waktu belajar telah tiba. Kadang karena bandel, kita harus bersuara dengan keras. Namun di sisi lain, kita (mungkin) jarang memberi contoh yang baik. Anak disuruh belajar, eh… kita malah enak-enakan nonton acara tv, volume suaranya dikerasin lagi. Nah, gimana anak mau belajar dengan baik kalau situasinya aja nggak mendukung? Mungkin juga kita sering menganjurkan anak untuk berbuat ini dan itu semisal buang sampah di tempat sampah, tidak bertengkar dengan saudara, tapi ironisnya apa yang kita lakukan justru seringkali berkebalikan dengan hal tersebut.

Jadi, anjuran, peringatan atau apapun namanya jangan hanya sebatas berhenti pada kata-kata. Nggak boleh berbuat ini, nggak boleh ngelakuin itu. Hal ini harus diwujudkan juga dalam tindakan nyata. Ketika kita menyuruh melakukan atau tidak melakukan sesuatu, kita pun harus konsekwen untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan hal tersebut. Satu hal lagi, kita perlu membuang jauh sikap ‘mentang-mentang’. Mentang-mentang aku aparat, aku boleh melanggar peraturan. Mentang-mentang aku jadi orangtua maka aku boleh menyuruh anak untuk melakukan sesuatu yang tidak (pernah) aku lakukan. Mentang-mentang aku punya banyak uang dan kekuasaan, aku boleh berbuat seenaknya. Nah???

Kamis, 04 Juni 2009

Men'semut'kan Manusia


Mungkin terasa agak ganjil judul di atas. Mungkin juga kita akan menerka-nerka apa maksudnya. Nah, biar tidak tambah penasaran, mari kita coba memaknai rangkaian kata tersebut. Men’semut’kan manusia memiliki arti menjadikan manusia seperti semut. Lho, kok? Bukankah manusia dan semut itu berbeda? Kalo hal itu dilakukan bagaimana caranya? Dalam hal apa? Apa alasannya?

Menjadikan manusia seperti semut hanyalah sebuah ungkapan, jadi jangan diartikan secara harafiah, persis plek… karena hal itu tidak akan mungkin, menyalahi kodrat dari Tuhan dan pastinya hanya ada di film-film animasi bikinan Walt Disneys. Ungkapan ini lebih merujuk pada sikap, perilaku dan kebiasaan yang dilakukan oleh semut.

Barangkali, entah sengaja maupun tidak, kita pernah melihat iring-iringan semut yang tengah mencari makan. Biasanya, ketika menemukan makanan, mereka akan segera bahu-membahu, saling tolong dan bekerjasama memindahkan makanan sampai ke sarang. Saat bertemu dengan sesama dalam perjalanan, mereka akan berhenti sejenak, saling sapa dan kemudian melanjutkan perjalanannya kembali.

Bagaimana dengan manusia? Apakah manusia juga saling menyapa ketika bertemu dengan sesamanya? Atau malah bersikap acuh tak acuh karena merasa diri lebih terhormat dan lebih tinggi derajatnya? Bagaimana dengan saling memberi pertolongan? Di sebuah stasiun televisi swasta, ada sebuah program reality show yang berjudul ‘MINTA TOLONG’. Seorang bapak atau ibu kadang juga anak-anak, disiapkan sebagai ‘umpan’. Ia kemudian akan meminta pertolongan kepada orang-orang yang ditemuinya dalam perjalanan. Minta tolong untuk dibelikan sesuatu atau membeli barang yang sudah dibawanya untuk sekedar makan, menebus obat di rumah sakit atau untuk membeli kebutuhan harian. Seringkali reaksi yang muncul adalah sebuah penolakan, jijik dan lari menghindar. Bahkan dalam salah satu episode, seorang ibu marah-marah, ngomel panjang lebar dan sempat berlaku kasar ketika ada seorang anak kecil yang tiba-tiba minta tolong dibelikan seragam sekolah karena ia tidak punya uang.

Memberi pertolongan sering dimaknai sebagai sarana untuk mencari dukungan, memperoleh simpati atau pamrih-pamrih pribadi lainnya. Contoh paling nyata dapat dlilihat pada pemilu legislatief lalu. Para caleg berlomba-lomba memberikan pertolongan kepada orang-orang dan lingkungan di sekitarnya. Membantu pengaspalan jalan desa, membelikan paving, membelikan kerbau atau sapi, membantu dana perbaikan masjid, rumah sampai acara bagi-bagi uang. Nah, ketika mereka akhirnya enggak kepilih karena jumlah suaranya tidak memenuhi syarat, mereka ramai-ramai menarik kembali bantuan yang pernah diberikan. Menggelikan...

Di dunia semut, juga tidak pernah ada pertikaian atau intrik. Meski terdiri dari beberapa kasta (ratu, jantan, prajurit dan pekerja) dengan tugas masing-masing, mereka dapat hidup bersama dan saling memberi dukungan satu sama lain. Coba bandingkan dengan manusia? Dalam kehidupan sebagai makhluk sosial, hubungan antar manusia dipenuhi dengan berbagai konflik kepentingan. Tidak jarang konflik-konflik ini melahirkan aneka kekerasan yang berujung pada hilangnya nyawa, perebutan kekuasaan, hingga keinginan untuk saling menguasai.

Jadi, betapa pentingnya men’semut’kan manusia. Sebab darinya kita bisa belajar tentang artinya ‘nguwongke’, memberi pertolongan dengan tulus untuk mencapai kebaikan bersama dan hidup berdampingan dengan penuh kerukunan, menghormati dan menghargai satu dengan yang lain.

Nah, kalau semut saja bisa, mengapa kita yang sudah diberi akal dan pikiran tidak bisa melakukannya?

Selasa, 02 Juni 2009

Tak Ada Yang Abadi

Cerita tentang Manohara Odelia Pinot berakhir bahagia. Minggu kemarin (31/5), dengan bantuan kepolisian Singapura, Manohara akhirnya dapat berjumpa kembali dengan ibunya dan segera bertolak ke Jakarta. Menyimak kasus ini serasa melihat sebuah cerita di sinetron. Perkawinan megah dan mewah antara Manohara yang dipersunting oleh Tengku Muhammad Fakhry, putera mahkota Kerajaan Kelantan, Malaysia, yang digadang-gadang akan membawa kebahagiaan ternyata hanya menyisakan kepedihan. Siapa sangka, Manohara yang cantik hanya dijadikan sebagai barang pajangan yang harus dijaga dan dilindungi secara berlebihan. Di sisi lain, ia juga mengalami kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Beberapa hari ini, lewat radio dan beragam tayangan musik di televisi, telinga dan mata kita seolah dimanjakan oleh penampilan grup band ‘KUBURAN’ yang cukup unik dengan gaya panggung yang atraktif dan menarik. Membawakan lagu ‘LUPA-LUPA INGAT’ yang easy listening, grup ini dengan segera menyita perhatian publik dan menyihir jutaan orang mulai dari anak-anak, remaja hingga orangtua untuk segera mengandrunginya.

Di dunia olahraga, tentu kita masih ingat final Liga Champions lalu. Manchester United (MU) sang juara bertahan akhirnya harus mengakui keunggulan Barcelona. MU kalah 0-2 dan harus melupakan keinginan menjadi klup pertama yang bisa mempertahankan piala Liga Champions. Di liga Perancis, Olympic Lyon yang sudah tujuh musim berturut-turut menjadi jawara harus merelakan tahtanya tahun ini jatuh ke tangan Bordeaux. Pun di dunia tenis lapangan, Rafael Nadal, juara bertahan dan pemegang rekor di Roland Garros, Prancis terbuka, kalah dari lawannya di babak 16 besar.

Tak ada yang abadi di dunia ini. Tengku Fakhry yang semula amat menguasai Manohara, kini terancam hukuman berat atas kekerasan fisik dan pelecehan seksual yang telah dilakukannya. Juga dengan lagu LUPA-LUPA INGAT. Beberapa hari ke depan pasti akan bermunculan lagu-lagu baru yang lebih unik dan menarik. Dan perhatian orang-orang pun akan segera beralih. LUPA-LUPA INGAT perlahan surut dan hilang dari peredaran.

Pun dengan hidup kita. Awalnya, keberadaan kita tercipta oleh sel sperma dan sel telur yang saling bertemu. Setelah hampir sepuluh bulan, kita pun lahir ke dunia. Telanjang dan tidak membawa apa-apa. Kemudian kita mulai makan, berpakaian, bersekolah, punya teman, kendaraan, pacar, punya pekerjaan, punya istri, punya rumah, mobil dan aneka kekayaan lain yang (mungkin) berlimpah. Lalu kita juga punya anak, menjadi tua dan akhirnya mati. Kembali ke tanah tanpa membawa apa-apa.

Hari ini mungkin hati kita sedang berbunga-bunga karena mendapat kenaikan gaji dari bos di kantor, namun sorenya ketika sudah sampai di rumah, kepala kita kembali nyut-nyutan melihat kebutuhan hidup yang terus merambat naik dan semakin banyak. Mungkin juga kemarin kita masih sehat dan melakukan segala aktivitas dengan penuh semangat tapi siapa tahu, hari ini kita jatuh sakit dan hanya terbaring di tempat tidur tanpa bisa melakukan apa-apa.

Jadi, selagi kehidupan itu masih kita miliki, selagi kesempatan masih ada, kita bagikan kasih yang tulus dan perhatian untuk orang-orang yang ada di sekitar kita. Untuk kedua orangtua yang telah merawat dan mendidik kita selama ini, untuk suami atau istri yang setiap hari mendampingi kita, untuk anak-anak yang sudah dikaruniakan Tuhan. Juga untuk orang-orang lain yang kita temui dalam hidup sehari-hari. Mungkin saja timbul beragam konflik dalam hubungan tersebut. Namun jangan jadikan konflik sebagai alasan untuk menghapus rasa cinta dalam hati. Selagi kita diberi kesehatan, kita kerjakan apa yang menjadi tugas kita dengan segala kerelaan dan sepenuh hati. Selagi kita mempunyai jabatan, kita gunakan itu untuk menyebarkan kebaikan dan mensejahterakan orang lain. Jangan malah bertindak sewenang-wenang dan menindas orang lain, sombong dan angkuh serta suka melakukan korupsi seenak udelnya sendiri.

Satu hal yang mesti selalu kita ingat; Tak ada yang abadi. Dan ketika meninggalkan dunia ini, kita tidak akan membawa apa-apa, hanya amal perbuatan yang sudah kita lakukan di sepanjang hidup kita.

Takkan selamanya tanganku mendekapmu
Takkan selamanya raga ini menjagamu

Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu
Semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang telah memudar

Reff:
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi
Tak ada yang abadi

Biarkan aku bernafas sejenak
Sebelum hilang

Tak kan selamanya tanganku mendekapmu
Tak kan selamanya raga ini menjagamu
Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti


(Lagu Tak Ada Yang Abadi dari Peterpan)