Kamis, 28 Oktober 2010

Sadarkah?

Entah, apa yang terjadi dengan negeri ini
bencana terus datang, silih berganti
akankah kita makin mengerti,
atau justru memilih tidak peduli?

Rabu, 27 Oktober 2010

Mbah Marijan


Sosokmu tua namun tak renta
teguh dalam janji tanpa hiraukan nyawa
“Ini adalah tugasku menjaga amanat,” ujarmu
dan karena kesetiaan itu, engkau pun tiada
disapu awan panas yang datang tanpa berita

Selamat jalan, Mbah
tenanglah engkau di sana
moga lakumu memberi makna bagi kami
untuk setia pada janji
untuk setia pada nurani

Rabu, 20 Oktober 2010

Dari Satu Menjadi...


Satu, ia tidaklah berguna. Hanya teronggok di tempat sampah setelah kita menghabiskan isinya. Namun, saat yang satu itu dikumpulkan hingga menjadi banyak, dibersihkan, dirangkai satu sama lain, akhirnya, ia akan menjadi sesuatu yang menakjubkan. Sesuatu yang indah.

Itulah yang akan kami lakukan mulai minggu ini hingga 2 bulan ke depan. Merangkai gelas-gelas bekas air mineral yang sudah dibersihkan menjadi sebuah pohon natal. Pekerjaan yang bisa dikatakan berat tapi juga bisa disebut ringan. Berat, jika hanya dilakukan oleh satu orang, namun akan terasa ringan bila semua yang berkepentingan mau terlibat dan bekerjasama.

Ah… semoga semuanya berjalan sesuai rencana. Semoga jerih payah yang sudah kami lakukan sejak awal tahun, kerelaan dan ketulusan dari rekan-rekan, sungguh menjadi ‘bara’ yang akan selalu menyemangati kami 2 bulan ini, hingga akhirnya, terciptalah sebuah pohon natal yang akan kami pandang dengan penuh keharuan.

Satu, memang tidak berguna, tetapi ketika saling bersatu dan bekerjasama, akan tercipta harmoni yang sangat indah dan saling meneguhkan. Semoga, kami pun mampu melakukannya.

Selasa, 19 Oktober 2010

50 tahun

Apa yang terpikir di benak kita saat membaca tulisan di atas? Waktu yang teramat panjang? Usia yang sarat dengan aneka pengalaman dan peristiwa? Bagaimana jika hal itu berkait erat dengan sebuah pernikahan? Tentu pertama-tama kita akan berdecak kagum, salut, dan takjub.

Dan Sabtu kemarin (16/10), aku berkesempatan menghadiri Misa Syukur perayaan 50 tahun pernikahan sebuah keluarga di lingkunganku. Dari deretan umat yang hadir, tampak adik, anak-anak, menantu, hingga cucu-cucu. Semua diliputi kegembiraan. Semua berbahagia karena melihat kakak, ayah-ibu, eyang kakung dan eyang putri yang akan meneguhkan kembali janji perkawinan, sama seperti pengalaman 50 tahun lalu.

50 tahun yang indah. 50 tahun yang penuh dengan perjuangan. Hal itu kiranya yang terungkap dari keluarga ini. Meski ada berbagai onak dan duri, kegembiraan dan kesedihan, keluarga ini tetap bersatu dan bersama mengarungi samudra kehidupan. Dan ketika semua itu dapat diatasi, hanya kebahagiaanlah yang terus mengalir. Bahagia melihat anak-anak yang berhasil dengan kehidupannya, juga karena cucu-cucu yang tumbuh dengan sehat.

Semua itu dapat terwujud karena kasih. Kasih yang telah dianugerahkanNya. ”Kasih itu sabar, kasih itu murah hati. Ia tidak cemburu, ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, percaya segala sesuatu”.

Minggu, 17 Oktober 2010

Dalamnya Laut Dapat Diduga, Dalamnya Hati Siapa Tau

Kalimat di atas adalah peribahasa yang sudah amat familiar di telinga kita. Tentu, setiap dari kita juga sudah memahami maknanya. Yah, benar.. kita dapat menduga dalamnya laut.. entah 100, 500, atau bahkan 1000 meter tapi tentang hati, kadang (sering?), kita menjadi salah tafsir. Mungkin saja di luar tampak baik, bermanis muka, memasang senyum yang super uenakkk... tapi ternyata di dalam hatinya, berbalik 180 derajat.

Maka karena itu, dalam setiap kebersamaan, saat kita berjumpa dan bergaul dengan orang lain, baik yang sudah lama dikenal akrab bagai saudara atau dengan orang yang barusan kita kenal, kita harus selalu menjaga sikap, tutur kata, dan perbuatan. Jangan karena beranggapan sudah biasa, kita bisa berlaku seenaknya. Ingat: apa yang tampak di permukaan itu sering tidak sama dengan apa yang dirasakan di dalam hati!

Jumat, 15 Oktober 2010

Mari Melakukan Kebaikan

Setiap hari, lewat beragam media baik cetak maupun elektronik, kita selalu disuguhi berbagai peristiwa yang bercitarasa kekerasan dan anti kebaikan. Mulai dari tingkatan yang paling ringan sampai yang paling brutal dan di luar nalar kemanusiaan. Entah itu berupa fitnah, caci maki, saling menghujat, saling pukul, hingga saling bunuh.

Kadang (mungkin juga sering) kita bertanya, mengapa hal-hal semacam itu terus saja terjadi? Mengapa Tuhan tidak menghentikan semua itu dengan kuasaNya? Bukan perkara sulit jika Ia ingin mengenyahkannya. Ibaratnya tinggal menjentikkan jari maka segala hal yang jahat akan hilang dan musnah dari muka bumi ini.

Itu semua terjadi karena Ia begitu mengasihi kita. Ia ingin agar manusia bisa berubah karena sejatinya sedari awal, manusia itu diciptakan baik adanya. Oleh karena itu Ia selalu memberi kesempatan. Lagi dan lagi.

Maka, mari melakukan kebaikan. Bukan esok, nanti, entar, nunggu kalo udah jadi orang berduit... jadi pemimpin, tapi hari ini... saat ini. Bukan pertama-tama agar dapat pahala atau masuk surga karena semua itu adalah wewenangNya, tapi yang paling utama karena kita sudah terlebih dahulu menerima berjuta kebaikan dariNya.

Nah, tunggu apa lagi... selagi kesempatan itu masih ada... selagi kita masih hidup... MARI MELAKUKAN KEBAIKAN!

Kamis, 14 Oktober 2010

Hidup

Saat aku terbangun pagi ini
dan merasakan udara menghangatkan ragaku
ketika seluruh panca indraku berfungsi dengan baik
ketika aku merasa begitu sehat,
penuh semangat untuk seluruh aktifitas
saat aku bisa menyapa dan tersenyum
kepada orang-orang terkasih
pun dengan mereka di mana pun aku berjumpa
itu menjadi anugerah terindah yang dilimpahkanNya
itu menjadi kehidupan untukku

hidup yang berarti
hidup yang berguna untuk orang lain

Rabu, 13 Oktober 2010

Harapan


Hari ini aku melihat sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, menakjubkan, indah, sekaligus mengharukan. Peristiwa yang terjadi nun jauh di sana, di sebuah negara yang bernama Cile. Sebanyak 33 penambang yang telah terjebak selama 68 hari di perut bumi, di kedalaman 700 meter dari permukaan tanah, mulai diselamatkan satu per satu, hari ini.

Sungguh luar biasa perjuangan 33 penambang itu. Meski hidup jauh di kedalaman, mereka tidak putus harapan. Mereka tetap bertahan hidup demi bertemu dan berkumpul kembali dengan orang-orang yang mereka cintai. Istri, anak, juga kerabat.

Harapan. Benar, itulah hal yang harus dimiliki. Ketika jalan terasa begitu terjal, gelap dan tidak berujung. Saat raga terasa begitu lelah dan keputus-asaan membayang di pelupuk mata. Rasanya hanya sejumput harapan yang akan membuat hidup ini kembali bergairah. Harapan yang dibungkus kepasrahan akan penyelenggaraan Tuhan bahwa rencanaNya adalah yang terbaik.

Dan, ketika harapan itu menemukan wujudnya, kebahagiaanlah yang tiada henti-hentinya mengalir. Sama seperti situasi saat para penambang itu berjumpa kembali dengan orang-orang yang dicintai setelah sekian lama berpisah. Pelukan erat, tangis kebahagian, serta ucapan selamat dari banyak orang, menjadi bukti yang tidak terbantahkan.

Mari, memelihara harapan!

Selasa, 12 Oktober 2010

Jujurlah

Tuan,
mengapa engkau tidak jujur?
kami sudah terlalu muak
dengan aneka kebohongan
yang engkau ciptakan selama ini

jangan salahkan kami jika terus berontak
itu hanyalah bukti bahwa kami kecewa
amat kecewa

ternyata,
engkau tak ubahnya seperti buah jambu
di luar tampak ranum dan menggiurkan
namun di dalam
dipenuhi ulat yang teramat menjijikkan

Minggu, 10 Oktober 2010

10.10.10


Ibu, saatku belum tiba
tapi mengapa engkau paksa aku?
aku belum siap
hadapi dunia yang makin renta ini
mengapa engkau tidak mau bersabar?
mengapa hanya egomu yang engkau turuti?

Ibu,
aku sungguh belum siap
karena, bukan kehendakmu
melainkan kehendakNyalah yang terbaik

Minggu, 03 Oktober 2010

Semarang Kaline Banjir...

Kalimat di atas adalah lirik sebuah lagu bernuansa Jawa yang amat dikenal di kota Semarang. Apakah hanya sekedar lirik? Ternyata tidak. Kalimat itu menggambarkan hal yang sebenarnya. Kenyataan yang aku lihat pagi ini saat aku mengantarkan istriku berbelanja keperluan untuk membuat kue di pasar Johar.

Di saat menunggu, pandanganku terarah pada kali yang berada di tempat itu. Miris! Itulah yang pertama kali aku rasakan. Kali yang kotor dengan air berwarna hitam pekat, berbau, dan beberapa bagiannya dipenuhi dengan sampah. Celakanya lagi, ketinggian air sudah hampir mencapai bibir pembatas yang menjadi batas jalan dengan kali itu. Mungkin jika terjadi hujan yang sangat lebat, air kali yang kotor dan berbau itu akan memenuhi jalan dan tentunya juga pasar.

Ah... Semarang (memang) kaline banjir... Banjir sampah. Juga banjir ketidakpedulian. Bagaimana dengan kali di tempat sahabat?


Jumat, 01 Oktober 2010

Mengapa?

Lihatlah langit di ujung sana
terus digelayuti mendung yang semakin menghitam
mentari yang dulu rajin menyapa
kini seolah tak berdaya dikepung kegelapan

ah... betapa nelangsa negeri ini
raganya terus dicincang rupa-rupa kekerasan
hatinya yang dulu ramah
kini dipenuhi oleh amarah
mengapa?
hati semakin tumpul,
rasa semakin beku,
hingga kita bak mayat-mayat hidup haus darah
terus berkelebatan meneror dan mencari mangsa
tak peduli
pada anak yang kehilangan bapak
pada istri yang kehilangan suami
pada mereka yang kehilangan saudara

Mengapa?