Senin, 04 Juni 2012

Memaknai Peristiwa

Kemarin, kotaku diguyur hujan lebat. Selama hampir dua jam, ribuan jarum keperakan terus berjatuhan ke atas bumi. Menyebabkan genangan air dimana-mana. Membuat berbagai kendaraan yang melintas di jalan harus melambatkan kecepatannya dan ekstra waspada akibat pandangan yang mulai terhalang. Di beberapa titik, angin yang melintas bersama hujan juga menumbangkan pepohonan. Salah satu pohon tumbang terjadi beberapa meter dari kantorku. Menimpa sebuah mobil yang sedang berhenti di lampu merah dan sebuah becak yang tengah mangkal menunggu penumpang. Tidak ada korban jiwa tetapi akibat kejadian itu abang tukang becak harus dilarikan ke rumah sakit karena luka yang cukup serius. ”Kasihan Pak Amat!” temanku tiba-tiba nyeletuk. ”Kenapa, Mas?” tanyaku keheranan. ”Pagi hari pas ketemu aku ia sempat mengeluh karena dompetnya hilang... Sudah dicari dan ditanyakan kemana-mana belum juga ketemu. Eeehhhh... siang harinya kok malah kejatuhan pohon. Kasihan kan?” terang temanku. Aku terdiam mendengar penjelasannya. Memang kasihan Pak Amat; sudah jatuh tertimpa tangga pula. Dua kemalangan harus dialaminya dalam satu hari. Memikirkan itu, tiba-tiba sebuah tanya melintas dalam kepalaku: apa maksud Tuhan dengan peristiwa ini? Setiap peristiwa di luar kemampuan manusia yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Tuhan. Ia yang merencanakan dan melakukannya. Tentunya di balik segala peristiwa ada hikmah yang yang bisa diambil, ada pelajaran yang bisa dipetik dan dimaknai untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Namun seringkali, manusia tidak bisa memahaminya. Ketika berbagai peristiwa yang tidak mengenakkan menimpa dirinya, manusia cenderung mengeluh, protes, dan mulai menyalahkan Tuhan. Sebaliknya saat mengalami peristiwa yang menyenangkan, manusia menjadi lupa diri dan bertindak semau gue. Manusia mulai melupakan Tuhan. Sebenarnya hanya dua hal yang diinginkan Tuhan dari manusia; selalu mengingatNya dan terus bersyukur dalam setiap peristiwa. Ingat Tuhan menjadi tanda manusia yang sadar akan hakekatnya. Sadar bahwa keberadaannya di dunia ini adalah semata-mata karena anugerah Tuhan. Tuhanlah yang berkuasa. Tuhan yang menentukan. Setiap yang dilakukanNya adalah yang terbaik untuk kehidupan manusia. Untuk itu manusia hanya perlu bersyukur, bersyukur, bersyukur, dan terus bersyukur. Semoga kita mampu melakukannya.

Jumat, 01 Juni 2012

Mereka Juga Perlu Disayang

“Hai!” Sebuah suara mengagetkanku. Aku celingukan berusaha mencari asal suara itu. Tapi, tidak ada seorangpun di dekatku. “Hai, aku ada di depanmu.” Suara itu terdengar lagi. Aku berusaha menajamkan mata. Di depanku? Bukankah hanya ada hamparan tanaman di hadapanku? Apakah? “Mengapa engkau tidak mengenali suaraku? Aku di sini di hadapanmu. Aku tanaman soka berbunga kuning yang biasa engkau pandangi dan engkau elus tiap pagi,” terang suara itu. Aku terperangah. Heran bercampur tidak percaya. Tanpa kedip aku pandangi tanaman soka berbunga kuning yang ada di hadapanku. Kucubit pipiku. Kukucak-kucak mata. Ahh… ini memang nyata. Aku tidak sedang bermimpi. “Tidak usah heran sobat, aku dan kawan-kawanku di sini memang bisa berkata-kata seperti engkau. Hanya, bahasa kami memang berbeda. Dan karena itu, tidak semua orang bisa memahami kami,” jelasnya. “Mengapa engkau mengajakku bicara. Apakah aku termasuk orang yang bisa memahamimu?” tanyaku masih dengan rasa tidak percaya. Tanaman soka berbunga kuning itu bergoyang-goyang seolah-olah sedang tertawa. “Sobat, aku terkesan denganmu. Dulu, waktu pertama kali bertemu, saat engkau memegang tubuhku, aku sudah sangat ketakutan. Jangan-jangan, engkau akan mencabuti bunga-bungaku. Engkau akan merusak tubuhku. Tapi ternyata, engkau berbeda,” papar tanaman soka berbunga kuning itu sambil melambai-lambaikan rangkaian bunganya yang begitu indah. Mendengar ucapannya, tiba-tiba berkelebat rangkaian kejadian beberapa hari lalu. Waktu itu aku usai jogging memutari taman kota yang yang terletak tidak jauh dari rumahku. Keringat yang bercucuran membuat tubuhku semakin bugar. Hembusan angin pagi pun seolah menambah kesegaran. Setelah mencuci kaki di kolam di tengah taman, aku menyandarkan tubuhku pada sebuah batu di pojok taman. Sambil beristirahat, aku memandang hamparan tanaman yang ada di hadapanku. Sejenak aku tertegun. Tanaman-tanaman itu begitu indah. Ada soka berbunga merah dan kuning, rumput-rumputan, bayam-bayaman dengan bunga warna coklat, dan masih banyak lagi. “Ah, aku pengen memetik bunga soka warna kuning itu. Bunganya sungguh indah dan menarik hati,” kataku dalam hati. Segera kuayunkan tanganku menggapai bunga itu. Saat hendak menarik bunga itu dari tangkainya, tiba-tiba terdengar sebuah suara di sudut hatiku. “Mengapa kau harus memetiknya. Bukankah lebih indah bila ia tetap ada di sana. Lagi pula setelah kaupetik, keindahan bunganya hanya dapat dinikmati sebentar saja dan setelah itu pasti akan terbuang percuma,” terang suara itu. Buru-buru kuurungkan niatku. Tangan yang sudah terulur selanjutnya aku gunakan untuk membelai bunga itu. “Sobat, aku tidak berbeda dengan yang lain. Dulu, aku memang pernah ingin memetikmu,” akuku dengan jujur. Tanaman soka berbunga kuning itu kembali bergoyang-goyang. “Tidak mengapa. Aku suka dengan kejujuranmu,” katanya perlahan. “Ketahuilah, aku dan teman-temanku juga butuh disayang. Meski kami kecil dan tidak pernah protes, rasanya sakit sekali jika melihat ada manusia yang menyia-nyiakan kami begitu saja,” tambahnya. Aku mengangguk-angguk. Ya, mereka juga ciptaan Tuhan sama seperti kita. Kalau kita butuh disayang, mereka juga perlu disayang.