Senin, 31 Agustus 2009

Award dari (dan untuk) Sahabat


Hari ini terasa begitu indah. Apa pasal? Setelah sekitar dua mingguan absen cerita tentang award… eh hari ini saat blogwalking di pagi hari… aku mendapat pesan dari salah satu sobatku di shoutmix bahwa ada award untukku. Langsung aku meluncur ke tempatnya… saat kulihat dan kubaca… wowww… bener-bener award yang dahsyat… awardnya sangat nasionalis karena berlatar bendera Negara kita tercinta, merah putih. Award ini berasal dari Mas Doyok… sesuai pesannya, si penerima award ‘kudu’ membuat puisi singkat (atau coretan apapun) tentang Indonesia dan membagikan award itu ke-10 sahabat yang lain. Nah, mengingat pesannya itu, aku akan membagikan langsung award ini kepada Sahabat, Cyntia, Deogracias, Anpaki, Koko James, Lover, Giri, Nura, Ichaelmago dan Yudie. Sedangkan untuk puisinya bisa dibaca di bawah ini (maaf kalau agak kepanjangan…)

Indonesia
di tanahmu yang subur
aku dilahirkan
hirup napas kehidupan
menganyam jiwa dan memeras peluh
demi hadirnya jati diri

masih tergurat jelas di sanubari
kisah heroik pahlawanmu
yang rela berjuang berserah nyawa
demi kibar sang merah putih di angkasa biru

kemerdekaan telah diraih
kebebasan itu seakan seluas langitmu
tapi, mengapa masih banyak saudaraku
yang dibelenggu kemiskinan
yang tersingkir karena dianggap berbeda
yang diperangi karena membela kebenaran
sementara beberapa yang lain
teraniaya dan terlantar tanpa perlindungan
di negeri orang
tragisnya,
mereka yang punya kuasa
malah seenaknya mengambil harta
membuat peraturan dan memperalat hukum
demi langgengnya status dan martabat pribadi
tanpa pernah peduli
namamu yang terus dilecehkan oleh bangsa lain

Indonesia
wajahmu sembab oleh air mata
yang terus mengalir
tanah-tanahmu berubah tandus
hutan-hutanmu terus menghilang
kekayaanmu pergi entah kemana

Kuatkan aku yang lahir di tanahmu ini
untuk teguh berdiri membela kehormatanmu
menghapus penindasan, menyingkirkan yang batil
menegakkan kebenaran
demi kemerdekaan dan kesejahteraan bersama

***


Siang harinya, aku dapat sebuah award lagi. Kali ini berasal dari sahabat baikku yang berasal dari Madiun namanya Mbak Reni. Sejujurnya, award ini adalah yang ketiga kalinya aku terima. Namun itu toh tidak mengurangi kebahagiaanku. Dan selanjutnya, award dari Mbak Reni akan aku berikan kepada Yunna, Lafa, Eko, Arif NMA dan MU Fans. Salam kasih penuh cinta dariku untuk sahabat semua.

Minggu, 30 Agustus 2009

I Love You Full

I love you full
Aku mencintaimu sepenuh-penuhnya
tapi, mengapa masih saja kekerasan itu menjelma
iri hati, permusuhan, pertentangan, kebencian,
caci maki, fitnah, balas dendam, menghilangkan nyawa
seakan menjadi menu wajib yang sukar dibinasakan

I love you full
Aku mencintaimu sesungguh-sungguhnya
cinta yang seharusnya bukan hanya ada di bibir
cinta yang semestinya bukan hanya topeng
kedok untuk mencari keuntungan
atau publikasi demi makmurnya diri sendiri

I love you full
Aku mencintaimu sepenuh hati
dari hati yang ikhlas
dari hati yang tulus
dari hati yang suci
mari, kita kobarkan cinta itu
selalu dan setiap waktu
dalam peziarahan hidup kita

I love you full

Sabtu, 29 Agustus 2009

Fireproof

Kebosanan itu seringkali muncul tatkala menyaksikan tayangan infotainment yang marak di berbagai stasiun televisi. Selalu saja masalah perceraian hadir dan menjadi bumbu berita. Si A memutuskan bercerai dengan si X setelah berumahtangga hampir 10 tahun karena hadirnya orang ketiga. Si B terpaksa merelakan pernikahannya kandas karena merasa sudah tidak ada lagi kecocokan. “Mungkin ini sudah menjadi kehendak yang di Atas,” ujar si C dengan muka pasrah ketika diberondong pertanyaan wartawan mengenai kabar perceraiannya dengan dengan si Y.

Apakah benar alasan-alasan semacam itu yang menyebabkan pernikahan bisa berujung pada perceraian? Bukankah pernikahan adalah persatuan antara dua orang yang sama sekali berbeda dan dipenuhi aneka ketidakcocokan untuk menjalin kehidupan bersama yang saling selaras, melengkapi dan mendukung satu sama lain? Benarkah bahwa perceraian adalah kehendak Tuhan? Ah, betapa bodohnya pertanyaan semacam itu sebab Tuhan tidak akan pernah menyetujui perpisahan dari apa yang sudah dipersatukannya karena hal itu berlaku seumur hidup dan hanya bisa diceraikan oleh kematian. Jadi, yang sebenarnya adalah: perceraian timbul karena keegoisan manusia.

Merenung-renung akan hal itu, aku jadi teringat sebuah film yang beberapa hari lalu aku tonton. Judulnya FIREPROOF. Dikisahkan kehidupan rumah tangga Caleb dan Catherine yang tengah goyah. Selalu timbul percekcokan akibat masing-masing pihak ingin menang sendiri, tidak pernah mau mengalah, tidak mau dipersalahkan, ingin lebih dihargai dan merasa lebih berhak mengatur yang lain. Keduanya memang kebetulan sama-sama sibuk. Caleb bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran, sementara Catherine adalah humas di sebuah rumah sakit swasta. Karena pertengkaran yang hampir terjadi tiap hari, Caleb dan Catherine sampai pada sebuah keputusan untuk mengakhiri perkawinan mereka yang sudah berjalan selama 7 tahun.

Sebelum benar-benar memutuskan bercerai, Caleb menelpon ayahnya untuk mendiskusikan hal tersebut. Setelah telpon itu, sang ayah segera berkunjung ke rumah Caleb. Ia datang bersama istrinya, ibu Caleb. Rupanya, kehadiran sang ibu tidak diharapkan oleh Caleb karena menurutnya, ibunya lebih memihak Catherine. Ia lebih memilih mendiskusikan permasalahan perkawinannya dengan sang ayah. Lewat pembicaraan yang intens, sang ayah akhirnya menyetujui apa yang akan diputuskan oleh Caleb dengan syarat ia harus terlebih dahulu melakukan apa yang dinamakan ‘Tantangan Cinta’ selama 40 hari dan tidak boleh memberitahukan hal itu pada siapapun termasuk Catherine. Awalnya, Caleb tidak setuju mendengar usul ini tapi karena hormat baktinya pada sang ayah, ia berjanji akan melakukannya.

40 hari Tantangan Cinta ternyata memang sungguh sebuah tantangan yang berat bagi Caleb karena ia harus mulai merubah segala perilaku dan tindakannya. Mampu menahan emosi saat kemarahan yang meluap-luap, mulai memperhatikan dan menghargai istrinya, tidak bersikap egois dan mau mengalah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang selama ini diacuhkannya, hingga kesempatan untuk mempelajari kembali istrinya sebagai pribadi yang unik. Dan semua itu semakin terasa begitu berat saat Catherine mengacuhkan segala hal yang sudah dilakukannya. Catherine malah termakan omongan teman sekantornya bahwa apa yang dilakukan oleh Caleb hanyalah sebuah usaha untuk mendapatkan bagian harta gono-gini jika mereka jadi bercerai. Lebih-lebih lagi Catherine juga sudah mulai ‘melirik’ pria idaman lain, seorang dokter di kantornya.

Kecewa, jatuh bangun, putus asa, hingga keinginan untuk segera mengakhiri tantangan itu mewarnai hari-hari Caleb. Ia merasa sudah berusaha sekuat daya tetapi semuanya tidak kunjung berubah. Untunglah, disaat-saat kritis, sang ayah senantiasa memberi dukungan dan menyuruh Caleb agar jangan menyerah. Ia mengajak putranya untuk berpasrah dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan.

Pungkas cerita berakhir dengan kebahagiaan. Catherine kembali pada Caleb. Ia terharu atas segala usaha yang sudah dilakukan suaminya. Mereka kemudian saling memaafkan dan berjanji untuk kembali mencintai dengan tulus satu dengan yang lain sambil membuang keegoisan di hati masing-masing.

Jumat, 28 Agustus 2009

Mangkrak

Selalu ada perasaan ‘eman-eman’ saat melintas di depan halte itu. Bagaimana tidak? Halte yang sudah dibuat sedemikian bagus hingga harus mengorbankan tanaman peneduh di pinggir jalan dan mengambil separo trotoar para pejalan kaki, ternyata hingga hari ini belum juga difungsikan. Halte itu malah dibiarkan mangkrak, tidak terurus, kotor dan penuh debu.

Sebenarnya, halte itu dibangun sebagai sarana transit bagi BRT (Bus Rapid Transit) Trans Semarang, sebuah alat transportasi massal yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi atas problem lalu lintas yang mengancam Kota Semarang sebagai kota yang tengah bergerak menjadi metropolitan. Keberadaan bus ini pun sudah dilaunching oleh Walikota Semarang, Sukawi Sutarip, saat peringatan Hari Jadi Kota Semarang ke-462 pada tanggal 2 Mei lalu. Dan waktu itu, bus langsung beroperasi melayani trayek Mangkang-Penggaron yang dapat dinikmati gratis oleh para penumpang tanpa perlu membayar ongkos perjalanan sebesar Rp. 3.500,-

Harapan untuk dapat segera menikmati layanan BRT ternyata tinggal harapan kosong. Sebab setelah hari pertama dilaunching, hari-hari selanjutnya (hingga hari ini) keberadaan bus ini hilang bak ditelan bumi. Selidik punya selidik, ternyata bus ini harus dihentikan operasionalnya karena masih banyak persoalan yang belum terselesaikan. Mulai dari sarana dan prasarana yang belum lengkap hingga ketidakjelasan siapa yang harus bertanggungjawab mengelola fasilitas ini.

Lalu, kalau memang belum siap, mengapa harus ’dipaksakan’ dilaunching pas Hari Jadi Kota Semarang? Apakah itu hanya demi mengejar ’ceremoni’ dan ’prestise’ belaka? Bagaimana dengan keberadaan halte-halte yang sudah terlanjur dibangun terutama masalah perawatannya? Bagaimana dengan perasaan masyarakat yang sudah ’kadung’ senang karena bus sudah beroperasi tetapi kemudian harus kembali menelan kekecewaan?

Pada dasarnya, semua yang sudah terjadi mengindikasikan dua hal yang selama ini kelihatannya memang sudah menjadi budaya yaitu; perencanaan yang kurang/tidak baik dan koordinasi/kerjasama yang buruk. Lebih parah lagi jika kedua hal ini memang disengaja dengan tujuan untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri atau kroninya. Ah, semoga hal ini hanyalah khayalan kosong karena jika yang terjadi memang demikian, betapa nelangsanya nasib masyarakat seperti kita, harus selalu mengalah dan menjadi obyek penderita.

Rabu, 26 Agustus 2009

Memahami

“Ternyata memahami itu lebih sulit daripada mengerti. Orang yang mengerti belum tentu juga memahami. Sebaliknya, orang yang memahami pasti juga mengerti.”

“Wah, aku kok belum begitu ‘dong’ dengan perkataanmu. Maksudnya gimana?”

“Begini, misalkan saya terhadap kamu. Saya ngerti kamu itu siapa; nama kamu, tempat tinggal kamu, orangtua kamu, hobi, dan tentunya masih banyak lagi. Tapi apakah saya paham sifat-sifat kamu yang sesungguhnya?”

“Jadi, memahami itu memiliki arti yang lebih dalam dan pastinya lebih rumit ya?”

“Benar! Memahami tidak sekedar dihadapkan pada wujud fisik belaka, yang tampak, tapi lebih fokus pada hal-hal yang bersifat rohani, yang tidak kelihatan.”

“Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa ‘memahami’ khususnya dalam hubungannya dengan orang lain?”

“Pertama, kita harus kembali kepada diri kita sendiri. Seberapa jauh kita mengenal diri kita, bukan hanya secara fisik tetapi lebih pada perasaan, hati. Mengenal kelebihan dan kelemahan kita.”

“Kalau begitu, kita perlu merefleksi diri kita terlebih dahulu?”

“Benar. Siapa saya? Apa yang saya sukai atau tidak saya sukai? Mengapa saya bertindak demikian atau tidak bertindak demikian? Mengapa saya merasa bahwa tindakan saya salah atau sebaliknya? Apa yang menjadi dasar setiap tindakan yang saya lakukan? Nah, kalau kita bisa menjawab semua pertanyaan itu dengan jujur, kita dapat mulai belajar memahami orang lain. Satu hal yang harus selalu diingat, tiap-tiap pribadi adalah unik. Tidak ada satu pun yang sama bahkan untuk pasangan kembar sekalipun. Semua memiliki perbedaan dalam segala hal. Dan perbedaan diciptakan dengan maksud agar masing-masing pribadi dapat saling melengkapi. Bukankah dengan perbedaan, dunia ini akan semakin indah?”

“Tapi, bukankah ‘memahami’ itu nggak bisa berjalan dalam sekejap. Dibutuhkan proses yang lama dan penghayatan secara terus menerus?”

“Tepat sekali! Pada dasarnya, seluruh perjalanan hidup kita adalah proses untuk memahami. Dan dalam menghayati proses itu, kita harus selalu membuka diri, baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitar. Dengan demikian segala kecemasan, ketakutan, dan praduga yang negatif dapat kita singkirkan dalam hidup kita. Nah, selamat memahami!”

Senin, 24 Agustus 2009

Yang Ter...

Suatu ketika, terjadi perbincangan yang seru antara Jempol, Telunjuk dan Jari Manis. Mereka saling berdebat, siapakah yang paling berguna dan paling tinggi martabatnya di antara mereka. Sementara itu Kelingking dan Jari Tengah hanya berdiam diri.

“Di antara kita, pasti akulah yang paling dibutuhkan,” ujar Jempol dengan jumawa. “Aku sering dipakai untuk menunjukkan hal-hal yang bagus, baik dan benar. Aku juga bisa membuat orang menjadi senang dan merasa dibutuhkan,” terangnya lebih lanjut.

“Eeeeeee… tunggu dulu, Mpol. Jangan salah….. Aku juga bisa kalau hanya membuat orang jadi senang. Coba bayangkan bagaimana jadinya dunia bila tanpa aku, pasti semuanya akan berjalan tanpa arah. Semua bisa dianggap benar atau sebaliknya. Nah, disinilah arti keberadaanku, untuk menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah. “ kata Telunjuk tidak mau kalah.

“Pikiran kalian sungguh keliru… “ ucap Jari Manis. “Lihatlah dirimu Mpol, selain menunjukkan hal yang bagus, engkau seringkali juga dipakai untuk merendahkan atau menghina orang lain. Sedangkan kamu, Njuk. Memang kuakui, tanpamu tidak ada yang bisa memberikan petunjuk secara jelas, tapi coba kau ingat-ingat… bukankah engkau juga sering dipakai untuk ‘menuding’ pihak lain, mempersalahkan mereka dan membuat mereka jadi terluka. Jadi sebenarnya… nilai kalian lebih rendah jika dibandingkan dengan diriku. Aku selalu dipakai sebagai tempat untuk menaruh cincin, lambang ikatan suci pernikahan di hadapan Tuhan. Bukankah itu menandakan bahwa aku sungguh mulia?” terang Jari Manis penuh kesombongan.

“Kenapa kalian ini? Mengapa harus saling berdebat dan menonjolkan diri? Bukankah kita adalah saudara yang mestinya harus saling mendukung?” kata Kelingking mencoba melerai pertikaian itu.

“Ah… si tidak berguna akhirnya buka suara juga,” ejek Jempol pada Kelingking.

“Iya… ngapain sih si Keling ini. Udah bener nggak ikutan. Eh… malah sekarang ngasih nasehat segala. Sudahlah Keling, sebaiknya diam saja… ini perbincangan di antara kami. Kamu cukup menonton dan memberi jawab kalau ditanya. Toh, keberadaanmu juga tidak memberi manfaat bagi siapa pun,” tambah Jari Manis.

“Aku memang tidak seperti kalian. Namun coba kalian pikir, bukankah tanpa kehadiranku, kalian tidak bisa dikatakan sempurna?” tanya Kelingking.

Jari Tengah yang mendengarkan semua percakapan itu berdehem dengan suara keras. Semua serentak melihat ke arahnya. “Mengapa kalian mesti meributkan semua hal ini? Bukankah benar kata Kelingking bahwa kita ini saudara?” ucap Jari Tengah tegas. “Masing-masing dari kita diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Setiap pribadi memiliki ciri khas dan memberi manfaat bagi yang lainnya. Walau tidak tampak dan kelihatan sederhana tetapi setiap pribadi harus dihargai dan diakui keberadaannya. Oleh karena itu, kita mesti saling membantu dan melengkapi satu sama lain. Jangan sombong karena merasa memiliki kemampuan lebih. Itu semua tidak akan ada gunanya bila tidak diamalkan untuk kebaikan pribadi yang lain. Jadi, jika kalian ingin menjadi yang terutama dan yang terbesar, pertama-tama yang mesti kalian lakukan adalah kesediaan untuk melayani yang lainnya.” jelas Jari Tengah panjang lebar.

Jempol, Telunjuk dan Jari Manis saling pandang satu sama lain. Kemudian mereka tertunduk, malu.

Kamis, 20 Agustus 2009

Della

Pagi itu, Anto sedang di belakang rumah. Ia memberi makan Della, kucingnya yang putih berbelang hitam. Telah dua bulan ini, kucing itu mendiami rumahnya. Anto sangat menyayangi kucing itu bahkan sudah dianggapnya sebagai bagian dari anggota keluarga. Maklumlah, Anto adalah anak semata wayang.

“Ayo Della, ini makanan kesukaanmu…,” ucap Anto sambil mengusap kepala kucingnya lembut. Ia teringat bagaimana dulu waktu menemukan Della.

Ketika itu, Anto baru pulang dari sekolah. Ia berjalan kaki sendirian. Jarak rumah dengan sekolahnya memang tidak terlalu jauh, hanya 1 km saja. Pada suatu kelokan, ia melihat sebentuk tubuh mungil. Putih ditingkah warna hitam. Betapa gembiranya Anto saat mengetahui bahwa tubuh mungil itu adalah seekor kucing yang cantik. Diambilnya kucing itu dan dibawanya pulang ke rumah.

“Anto, ayo berangkat sekolah, nanti terlambat kamu!” teriak ibunya memanggil dari dalam rumah.

“Ah, ibu ini, sebentar dong…” balas Anto sambil tak henti-hentinya tertawa melihat ulah Della.

“Sudah hampir jam setengah tujuh, Nak!” Ibunya mengingatkan.

Anto bergegas berdiri, meninggalkan Della yang masih begitu lahap menyantap makanannya. Sebenarnya, ia enggan meninggalkan Della. Ia masih ingin bermain-main dengan kucing kesayangannya itu. Kehadiran kucing itu sudah menjadi penawar rindu bagi dirinya. Rindu akan ayah yang sedang bertugas di Padang.

***

Hari itu, terjadi peristiwa yang tidak terduga. Della menghilang. Sejak pagi, Anto bersama dengan ibunya berusaha mencari kucing itu tapi belum ketemu juga.

“Jangan cemas, Nak,” ujar ibunya. “Della pasti kembali. Kau harus cepat berangkat sekolah.”

“Tapi, Bu, Anto tidak mau sekolah jika belum menemukan Della!” Anto mulai terisak.

“Kamu tidak boleh begitu, Nak. Ibu pasti akan bantu kamu… Dela pasti ketemu… Ibu janji!”

Akhirnya dengan berat hati, Anto berangkat ke sekolah.

Dan siang itu, Anto tidak bisa berkonsentrasi mengikuti pelajaran. Sudah beberapa kali, ia ditegur gurunya karena melamun.

“Anto, kau melamun lagi ya!” bentak gurunya. “Sekali lagi kau begitu, aku keluarkan kau nanti!” serunya lagi sambil memandang Anto tanpa kedip.

“Ti…ti…ti…dak, Bu…” Anto tergagap.

Saat bel tanda pulang berdentang dua belas kali, Anto melonjak kegirangan. Ia segera menghambur dari kelas. Ia ingin segera sampai di rumah untuk mengetahui kabar tentang Della. Tak dihiraukannya teman-temannya yang coba memanggil.

Anto terus berlari. Tak terasa ia sudah jauh meninggalkan sekolah. Karena kelelahan, Anto kemudian beristirahat. Disandarkannya tubuhnya pada sebatang pohon. Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang mencurigakan. Sesuatu yang berlumuran darah, tergeletak di seberang pohon itu.

Perlahan, Anto berjalan mendekati ‘sesuatu’ yang mencurigakan itu. Beberapa saat kemudian, Anto terkejut. Matanya terbelalak. Tangisnya pecah. “Hah…. Della!!” serunya tak percaya. Segera digendongnya tubuh yang berlumuran darah itu. Dengan langkah kesetanan, ia berlari ke rumah.

“Ibu…ibu…!” seru Anto membahana. Ia bagaikan orang kalap. Pintu depan diterjangnya.

Ibunya yang tengah memasak di dapur kaget mendengar teriakan Anto. Segera ia berlari menjumpai anaknya.

“Bu… Della… Della sudah mati…!” teriak Anto di sela-sela suara tangisnya.

“Apa, Nak, astaga!” Ibu Anto melihat kucing itu. Hatinya trenyuh melihat keadaan Della yang mengenaskan.

Tangis Anto semakin menjadi-jadi.

“Sudahlah, Nak. Kau tidak perlu terus menangis. Della sudah mati. Ini semua sudah menjadi kehendak-Nya. Kau harus dapat menerimanya dengan ikhlas,” hibur ibunya.

“Tapi, Bu, Anto sangat menyayangi Della. Anto tidak mau kehilangan Della?”

“Nak, memang sungguh berat meninggalkan sesuatu yang sudah kita cintai. Namun kau harus ingat, hidup itu tidak kekal. Meski kau terus menangis, itu tidak akan membuat Della hidup lagi.”

Anto ingin membantah. Namun dalam hati kecilnya, ia membenarkan kata-kata ibunya barusan. Della dulu sudah diberikan Tuhan kepadanya. Dan dua bulan lebih ia merasakan kebahagiaan bersama Della. Kini, Tuhan telah mengambil Della kembali. Bukankah itu sesuatu yang adil? Bukankah harusnya ia bersyukur?

Untuk kesekian kalinya, Anto memandangi tubuh Della. Tubuh itu kini kaku dan darahnya pun sudah mulai membeku. Sejurus kemudian, ia menyusut air matanya. Anto mencoba tersenyum. Diletakkannya tubuh itu dan dipandangnya ibunya.

“Ibu….!” seru Anto. Mereka saling berpelukan, erat sekali.

Selasa, 18 Agustus 2009

Kisah Seekor Ulat

Seekor ulat terlihat di ranting pohon jambu. Tubuhnya yang kecoklatan diam tak bergerak. Ia merasa lunglai, lemas tak bertenaga. Sudah dua hari ini, si ulat tidak menemukan selembar daun pun yang bisa dimakannya. Masih terbayang di benaknya, kata-kata si daun muda yang ada di bagian bawah beberapa saat yang lalu, "Hai, ulat jelek... kenapa engkau ada di tubuhku! Ayo... pergi sana!!!" bentak daun muda itu.

Ulat hanya bisa terdiam sambil beringsut pergi. Entah sudah yang keberapa kalinya ia menerima perlakuan seperti itu. Semua daun yang dihampirinya berlaku sama, mereka tidak senang, jijik dan akan segera mengusirnya dengan semena-mena. Padahal ia hanya ingin meminta sedikit daun untuk mengganjal perutnya yang kosong. Ia sadar wajahnya jelek, tubuhnya pun penuh bulu-bulu halus yang amat menakutkan. “Ah… mengapa aku mesti terlahir seperti ini,” gumannya pasrah.

Dengan tenaga yang masih tersisa, ulat itu melanjutkan perjalanannya. Meski terasa berat, ia enggan menyerah. Sedikit demi sedikit, digerakkannya tubuhnya yang penuh bulu itu perlahan.

Akhirnya, ia sampai di sebuah daun yang sudah agak tua di ujung ranting. Dengan suara parau sambil menahan perih ia berkata, “Daun yang baik, bolehkah aku meminta sedikit bagian dari tubuhmu?”

Daun itu, yang sedang ‘merem-melek’ karena semilir angin tiba-tiba terlonjak. Dirasakannya ada sesuatu yang merayapi tubuhnya. Ia terbelalak ketika melihat seekor ulat penuh bulu berada di hadapannya. “Wahai ulat, mengapa engkau ada di sini?” tanyanya.

“Daun yang baik, sudah dua hari ini aku mencari daun untuk mengisi perutku, tapi semua daun yang aku temui malah mengusirku. Mereka tidak sudi membagi tubuhnya untuk makananku. Bolehkah aku meminta tubuhmu untuk mengisi perutku yang kosong ini?” harap ulat dengan suara memelas.

Daun itu terdiam. Ia membayangkan, tubuhnya pasti akan berlobang-lobang tidak karuan jika ia mengiyakan permintaan ulat itu. Ia menjadi bimbang. “Mengapa engkau ragu? Mengapa engkau takut jika tubuhmu berlobang? Bukankah itu tidak akan membunuhmu? Bukankah ini kesempatanmu untuk berbuat baik kepada ulat itu? Bagaimana jika ulat itu mati karena engkau tidak mau menolongnya?” ujar nuraninya bertubi-tubi.

Dan daun itupun mengangguk. “Ya, mengapa aku mesti membiarkan ulat itu mati kelaparan padahal aku bisa berbuat sesuatu untuk menolongnya?” gumannya. Akhirnya, dengan sukarela dan ikhlas, ia memberikan tubuhnya untuk dimakan ulat itu.

Beberapa hari berlalu. Ulat itu telah berubah menjadi kepompong. Dan kini, kepompong itu perlahan-lahan membuka. Ada makhluk mungil yang keluar dari dalam kepompong. Awalnya sulit sekali. Namun perlahan, makhluk mungil itu bisa membebaskan seluruh tubuhnya. Kemudian dikepakkannya kedua sayapnya. Wow… ternyata ulat itu telah berubah menjadi kupu-kupu yang sangat indah.

“Daun yang baik hati, terimakasih atas segala pertolonganmu. Aku yang dulu jelek dan tidak dihargai kini telah berubah menjadi ‘pribadi’ yang lebih indah. Semua itu terjadi karena perhatian dan pengorbanan yang engkau berikan untukku. Kini, terimalah salam kasihku untukmu,” Kupu-kupu itu memberi hormat. Sesaat kemudian, ia pergi menuju ke langit.

Daun tersenyum bahagia. Tak dirasakannya semilir angin yang membuat tubuhnya melayang jatuh ke tanah. Ia pasrah karena itu sudah takdirnya.

Minggu, 16 Agustus 2009

KopDar

Dunia blogging itu emang ‘gila’. Eh… tapi jangan buru-buru berpikir yang negatif. Enggak kok… pastinya kata ‘gila’ yang aku maksud, merujuk pada hal-hal positif dan memberi kebahagiaan bagi sesama blogger. Gimana tidak, aktivitas blogging ternyata bisa menyatukan orang-orang yang semula tidak saling kenal dan saling berjauhan menjadi sahabat yang selalu setia untuk berkunjung, saling sapa, memberi komentar dan menguatkan satu sama lain. Terlebih-lebih dengan aktivitas KopDar.

Jujur, semula aku nggak begitu ‘ngeh’ dengan istilah ini. Namun saat bergabung dalam sebuah komunitas blogger Kristen, aku baru paham bahwa KopDar alias Kopi Darat adalah sebuah kegiatan yang dirancang untuk mempertemukan para blogger dalam dunia nyata setelah sebelumnya menjalin keakraban di dunia maya.

Dimulai dari beberapa kali KopDar tingkat lokal (Semarang) akhirnya mulai kemarin (15/8) hingga (17/8) diadakan KopDarNas. Sayangnya, rombongan kami dari Semarang yang berjumlah 4 orang hanya bisa mengikuti kegiatan ini selama 1 hari saja (berangkat Sabtu sore, pulang minggu pagi) karena ada kesibukan dari beberapa rekan yang tidak bisa ditinggalkan.

Ternyata dari kegiatan ini, ada banyak hal positif yang aku rasakan. Selain lebih mengenal sesama blogger dari kota yang lain, KopDar juga memberi satu hal yang patut dimaknai secara lebih mendalam yaitu semangat untuk menghargai perbedaan. Tidak ada yang sama. Semua berbeda baik secara fisik, sikap maupun kemampuan (talenta). Dari berbagai perbedaan ini akhirnya tercipta sebuah komunitas yang sungguh hidup, mengalunkan senandung dengan harmoni yang sangat indah. Tidak merasa sombong ketika kemampuan dirasa lebih. Pun tidak rendah diri ataupun minder karena kemampuan yang tidak seberapa. Semua mau belajar dan memberi pengajaran. Sungguh sebuah kenyataan yang membahagiakan.

Dan bagiku, kebahagiaan itu semakin terasa lengkap ketika hari ini aku menyempatkan diri untuk blogging setelah absen Sabtu kemarin. Ada beberapa rekan yang sudah bermurah hati memberiku award. Untuk itu, aku hanya bisa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dari lubuk hati yang terdalam. Selanjutnya, award-award ini akan aku bagikan kepada beberapa sahabat yang lain yaitu: Lisna, Renungan Senja, Fitri Alifah, Maya Sitorus, Irma, dan Rachel.

Award dari mbak Raini. Award ini dapat dilihat di sini

Award dari mbak Ria

Award dari mbak Fanda

Award dari mas Ichamor

Jumat, 14 Agustus 2009

Namaku...

Namaku Nana Ikhwan Maulana. Tapi orang-orang sering memanggilku dengan Nana saja. Aku adalah pelaku bom bunuh diri di hotel The Ritz Carlton, jumat, 17 Juli lalu. Terus terang, saat melakukan pekerjaan itu, aku merasa amat bangga meski harus merelakan nyawaku lenyap dan tubuhku tercerai-berai tidak karuan. Aku bahagia karena aku berhasil mempraktekkan ajaran jihad yang selama ini telah aku pelajari dengan penuh kesungguhan. Aku senang karena bisa membalas orang-orang asing yang telah terlebih dahulu mencerai-beraikan dan menganiaya kaumku.

Namun entah mengapa, beberapa hari setelah kematianku, aku merasa kosong, hampa dan tumbuh penyesalan yang kian hari semakin menjadi-jadi. Terlebih saat melihat tubuh-tubuh bergelimpangan tanpa nyawa, hancur, terkena bom yang aku ledakkan. Oh… mereka justru orang-orang yang tidak aku harapkan. Saudara-saudaraku yang tidak tahu apa-apa, yang malah menanggung sengsara akibat perbuatanku.

Hatiku pedih. Hatiku seperti tersayat-sayat. Ternyata keyakinanku adalah ajaran sesat. Ajaran yang justru membuatku menjauh dari rasa kemanusiaanku. Aku malah berubah menjadi monster haus darah yang siap membunuh siapapun tanpa kecuali.

Kini, di saat hatiku semakin hancur, aku teringat petuah-petuah kebaikan yang dahulu pernah diucapkan oleh orangtuaku, juga guru agamaku di kampung. Manusia itu sejatinya diciptakan sama dan sederajat. Tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah. Tiap-tiap manusia mesti saling tolong-menolong, hormat-menghormati dan bisa menjaga diri satu sama lain. Agama yang ada hanyalah sarana sebab semuanya mengajarkan kebaikan yang bersumber dariNya. Tidak ada yang lebih sempurna, tidak ada yang harus merasa lebih baik hingga boleh melecehkan atau bertindak sewenang-wenang menindas agama yang lain. Kita mesti menerima perbedaan yang ada dengan ketulusan, keikhlasan dan semangat saling mengasihi. Sebab perbedaan diciptakan dengan maksud untuk saling melengkapi, saling menyempurnakan. Seperti halnya manusia yang hidup dari berbagai macam organ yang berbeda dengan fungsi masing-masing. Seperti indahnya sebuah taman yang terangkai dari banyak tetumbuhan dan ornamen lainnya.

Semakin mengingat semua itu, jiwaku semakin kosong. Benar kata pepatah, penyesalan selalu datang terlambat. Dan aku tahu, semua itu sudah tidak ada gunanya lagi. Kini, aku hanya bisa meminta maaf atas segala perbuatanku. Terhadap para korban yang sudah sama-sama kehilangan nyawa. Terhadap keluarga yang sudah ditinggalkan. Terhadap orangtuaku, sanak-saudara dan sahabat-sahabatku di kampung. Aku tahu, kalian pasti tidak akan menyangka aku bisa melakukan perbuatan sekeji itu, tapi inilah kenyataannya. Aku hanya terus berharap semoga kalian tetap mau menerima jasadku dengan baik untuk dikuburkan di tanah kelahiranku. Terakhir, untuk teman-temanku yang masih belum tertangkap dan terus menebar teror, sadarlah… apa yang kalian lakukan adalah perbuatan yang salah, yang justru akan menyengsarakan banyak orang. Menyerahlah sebelum semuanya terlambat.

Aku, yang terpasung dalam api akibat dosa-dosaku, Nana Ikhwan Maulana atau orang-orang lebih suka memanggilku dengan Nana saja.

(Turut bersimpati untuk Sdr. Nana Ikhwan Maulana, seseorang yang baik di mata orangtua, sanak-saudara dan para sahabatnya di kampung, yang harus menjadi korban akibat ‘keyakinannya’ yang salah. Semoga Tuhan mengampuni segala dosanya)

Kamis, 13 Agustus 2009

Sederhana

ketika kekuasaan
berarti tanggung jawab
untuk memberi cinta
aku menjadi sederhana
ketika kekayaan
menjadi sarana berbagi kebahagiaan
aku menjadi sederhana

pikiran yang ikhlas
tanpa disesaki prasangka,
iri hati, kelicikan,
apalagi niat untuk mencelakai
itu artinya berpikir sederhana

tutur kata penuh kebaikan
menegur jika engkau bertindak salah
maaf apabila aku membuatmu terluka
benar adalah benar
salah adalah salah
maka tutur kata menjadi sederhana

bertindak penuh kasih
hidup bersahabat kebaikan
maka aku berperilaku sederhana

seperti cintaNya kepada kita
seperti harapNya untuk kita
agar bersikap sederhana
membalas cintaNya
dan membagikan cinta itu untuk sesama

Rabu, 12 Agustus 2009

Seonggok Garam

Seonggok garam berkata kepada Tuhan, "Tuhan, mengapa kauciptakan aku jika hidupku selalu sengsara?"

"Apa maksud pertanyaanmu?" tanya Tuhan tidak mengerti.

"Dulu, aku berasal dari air laut yang ditaruh di suatu tempat. Selama beberapa hari, dengan bengisnya, panas matahari menerpa tubuhku hingga membuatku gosong dan menggumpal. Lalu, para petani itu mengaduk-aduk, menginjak, bahkan melukaiku dengan suatu alat untuk mengumpulkan aku. Kukira penderitaanku sudah berakhir ternyata ini barulah awal. Aku mesti menempuh berbagai proses yang amat menyakitkan untuk menjadi seperti sekarang ini," terang garam panjang lebar.

Tuhan hanya terdiam.

“Di mata orang-orang, aku bukan ‘sesuatu’ yang patut dibeli dengan harga mahal. Bahkan bila dibandingkan banyak barang yang lain, aku tidak berarti apa-apa. Aku mesti mengalah dan selalu disingkirkan,” sambung garam. “Anehnya, aku selalu dicari-cari bila mereka membuat segala hal yang berhubungan dengan makanan,” lanjutnya lagi.

Sejenak Tuhan berdehem, “Anakku, tahukah kamu arti semua pengalaman itu?” pandang Tuhan penuh kasih. “Segala penderitaan yang engkau alami, akan membuatmu menjadi kuat. Menjadi pribadi yang tangguh dalam setiap keadaan. Tidak cengeng dan gampang menyerah ketika aneka kesulitan dan penderitaan menerpa. Mungkin memang engkau disingkirkan atau ‘kurang’ dihargai, tapi percayalah… di mataKu, engkau sungguh bernilai.”

“Lalu, mengapa aku mesti merelakan tubuhku hancur untuk kepentingan mereka?”

“Itulah arti hidupmu. Kerelaan dan keikhlasanmu akan membuat segalanya menjadi indah. Yang hambar akan diasinkan hingga terasa nikmat, yang kurang ditambah untuk menjadi lengkap dan yang buruk diperbaiki menjadi baik dan berguna,” jawab Tuhan. “Apakah pernah kaubayangkan bagaimana jadinya bila engkau masih tetap ‘hanya’ seonggok garam? Bukankah keberadaanmu tidak ada artinya bagi siapapun?” tanya Tuhan tiba-tiba.

Seonggok garam itu kini ganti terdiam.

Minggu, 09 Agustus 2009

Award dari Sahabat

Minggu pertama bulan Agustus terasa amat menyenangkan. Bagaimana tidak? Dalam rentang hari-hari pada minggu itu, aku sudah menerima beberapa award dari sahabat-sahabat ‘mayaku’. Bagiku award adalah ‘sesuatu’ yang amat berharga. Karena ini adalah bentuk apresiasi yang diberikan atas segala hal yang aku perbuat dengan blogku. Hal lain yang tidak kalah penting adalah; dengan award, akan terjalin persahabatan yang lebih erat, saling memperhatikan, memberi saran, kritik maupun sapaan. Walaupun semua itu hanya terjadi di dunia maya.

Award pertama bulan ini aku terima tanggal 4 Agustus dari Sang Cerpenis Bercerita. 2 buah award yang sangat manis dan menyegarkan karena menggambarkan kumpulan buah stroberi yang sangat mengundang selera.



Award kedua aku terima tanggal 6 Agustus dari mbak Fanda. Mbak yang satu ini memang sungguh baik hati. Entah ini award yang keberapa karena saking banyaknya award yang sudah diberikan kepadaku. Award kali ini bertema tentang buku seperti hobi mbak Fanda yang suka membaca dan mengulas buku. Harapannya, agar virus suka membaca buku juga bisa tertular kepada banyak sahabat blogger yang lain.



Award ketiga aku terima dari bang Nadja Tirta (juga 6 Agustus). Sebuah award yang sangat unik. Award ber-backlink yang dapat meningkatkan PR serta traffic blog. Untuk aturannya dapat dibaca di sini.


Award keempat aku terima dari sahabat baruku yang bernama mas Harto pada tanggal 8 Agustus. Award yang sangat indah dan penuh makna.


Selanjutnya, semua award ini akan aku bagikan lagi untuk para sahabat yang lain, yaitu: Yunna, Monica, Ichamor, Osi, Yuliana, Siqma, Shasya, Desti, Achi dan Princess. Semoga kalian berkenan menerimanya. Salam kasih penuh cinta dariku.

Sabtu, 08 Agustus 2009

Noordin M Top Tewas

Rasanya sungguh mendebarkan dan menimbulkan keingintahuan yang sangat saat mengikuti perkembangan berita sejak hari Jumat sore (07/08) hingga Sabtu siang (08/08) ini. Diberitakan Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri telah mengepung sebuah rumah yang terletak di Dusun Beji, Kecamatan Kedu, Temanggung, yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian Noordin M Top, gembong teroris yang paling dicari selama ini. Terjadi baku tembak yang seru. Anggota Densus 88 mengerahkan segala daya upaya untuk melumpuhkan kawanan teroris di rumah tersebut. Segala siasat diatur, tak urung harus digunakan beberapa peledak untuk membuka akses masuk ke dalam rumah. Setelah melalui perjuangan yang cukup melelahkan, Noordin M Top dinyatakan tewas dalam peristiwa penggerebekan tersebut.

Gembira sekaligus bangga. Gembira karena Noordin M Top akhirnya dapat dilumpuhkan setelah beberapa tahun menjadi target operasi yang banyak dicari atas berbagai peristiwa peledakan bom yang terjadi di negeri ini. Bangga karena inilah prestasi tertinggi yang telah dicapai oleh aparat kepolisian kita (terutama Tim Detasemen Khususnya). Tugas kepolisian selanjutnya adalah memastikan bahwa jaringan teroris sepeninggal Noordin benar-benar sudah lumpuh sambil terus meningkatkan kewaspadaan terhadap anak buah Noordin yang masih hidup dan belum tertangkap.

Terlepas dari itu semua, sebaiknya kita terus mawas diri karena sejatinya ada ancaman yang lebih serius di tengah-tengah bangsa ini. Sebuah bom waktu yang tidak kasat mata tetapi daya hancurnya juga tidak kalah merusak. Bom itu berwujud tindak korupsi. Sesuatu yang saat ini dirasakan sudah menjadi budaya dan menggurita di mana-mana. Mulai dari tingkat paling kecil, RT-RW, aparat kelurahan, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga pemerintah pusat. Pun dengan kantor-kantor atau perusahaan milik swasta atau pemerintah. Korupsi juga menjadi hal yang sangat biasa dalam perjuangan hidup sehari-hari.

Tentu kita semua sepakat bahwa korupsi harus segera diberantas sampai seakar-akarnya. Bukan esok tetapi hari ini, saat ini. Sebab korupsi hanya akan menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat. Pembangunan di segala sektor yang harusnya selesai dalam tenggat waktu tertentu menjadi molor karena dana yang ‘kurang’, pelayanan kepada masyarakat umum berjalan tidak semestinya sebab tidak ada komisi yang diberikan, dana untuk pendidikan dan pembangunan sarana pendidikan sangat minim, juga aneka program bantuan untuk membantu rakyat miskin yang tidak sampai ke tujuan.

Semoga tewasnya Noordin M Top menjadi tonggak bagi aparat kepolisian untuk memberantas korupsi dengan super serius dan tanpa pandang bulu. Bagi kita sendiri, seyogyanya hal ini juga menjadi awal untuk mulai memperbaiki perilaku kita sambil terus bertanya: Apakah aku sudah melakukan korupsi? Apakah tindakan yang aku lakukan merugikan orang lain?

Jumat, 07 Agustus 2009

Andai...

Malam gelap. Angin berhembus perlahan di sela-sela dedaunan. Di langit, sang bulan begitu mempesona di antara awan putih yang tengah berarak. Sementara di kejauhan, sesekali terdengar lolong anjing saling bersahutan.

Di dalam rumah kayu yang terletak di pinggir kampung, suasana terasa mencekam. Terima Kasih dengan tergesa menata kertas di atas meja kayu yang ada di tengah ruangan. Sedangkan Tolong sedari tadi hilir mudik di depan pintu sambil sesekali matanya melirik jam yang tergantung di dinding rumah. Sesaat kemudian, pintu rumah kayu itu terbuka. Maaf, Peduli dan Hormat, tergopoh-gopoh masuk.

“Maaf, kami terlambat,” ujar Maaf mewakili teman-temannya.

“Tidak mengapa kawan, kami juga sedang bersiap-siap,” jawab Terima Kasih sambil mempersilakan tamu-tamunya duduk. “Mari segera kita mulai saja pertemuan malam ini.” lanjutnya.

Sesaat suasana hening.

“Pertemuan malam ini adalah pertemuan yang sangat penting untuk kelangsungan hidup kita,” kata Terima Kasih membuka pertemuan. “Tentu kalian sepakat, saat ini kita sudah menjadi kelompok minoritas. Kelompok kecil yang sewaktu-waktu bisa disingkirkan begitu saja.”

“Benar, aku juga merasakannya. Orang-orang tidak lagi memiliki kepedulian. Baik dengan lingkungan, sesama bahkan dengan Tuhan. Mereka menguras kekayaan alam tanpa henti, menebangi hutan, membuat polusi udara, seenak hati mengambil kekayaan negara dan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kroninya sementara sesama berkubang dengan kemiskinan, melakukan banyak dosa tanpa memikirkan keberadaan Tuhan. Benar-benar menyedihkan!” sambung Peduli.

“Apalagi dengan aku!” sela Hormat. “Orang saat ini juga sudah kehilangan rasa hormat dengan sesamanya. Maunya membuat segalanya jadi seragam. Kalau ada yang berbeda, segera saja diperangi dengan menggunakan bermacam-macam alasan!”

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berderap-derap.

“Kalian yang di dalam rumah, ayo segera keluar!” teriak sebuah suara.

Segera Terima Kasih membuka pintu diikuti Tolong, Maaf, Peduli dan Hormat yang mengekor di belakangnya.

Di luar rumah banyak orang berdiri dengan muka marah. Beberapa membawa obor. Banyak juga yang membawa pentungan dan senjata tajam. Terlihat di barisan depan Fitnah, Caci-maki, Bunuh dan Bakar.

“Ada apa kalian ke sini?” tanya Terima Kasih berusaha menguasai keadaan.

“Kalian telah melakukan makar. Kalian berusaha menghasut banyak orang untuk mengikuti kehendak kalian. Kalian harus dibinasakan!” tegas Fitnah dan Caci-maki hampir bersamaan.

Dan orang-orang itu pun bergerak. Bunuh memberi komando untuk membunuh semua orang sementara Bakar menyiramkan bensin ke sekitar rumah. Blass! Api segera menyala, membakar rumah kayu itu.

Karena jumlah yang tidak seimbang, Terima Kasih, Maaf, Peduli, Tolong dan Hormat akhirnya mati dengan luka yang sangat mengerikan. Tubuh mereka tercabik-cabik. Darah menetes bagaikan aliran mata air di musim hujan.

Malam beranjak pagi ketika semuanya benar-benar berakhir. Tinggal puing-puing yang masih mengepulkan asap. Bau daging gosong bercampur anyir darah memenuhi udara.

Hening. Sunyi. Dunia berkabung.

Kamis, 06 Agustus 2009

Seperti Bambu

Seorang petani termangu di pinggir ladangnya. Sesaat ia tengadah ke langit. Langit di atas sana begitu cerah. Tak ada mendung yang kelihatan berarak. Mendung yang akan membawa hujan, yang sudah dinantikannya sekian lama. Ladang di hadapannya sudah kering kerontang. Tanahnya mulai retak-retak karena tidak tersentuh air. Aneka jenis tanaman sayur yang baru dua bulan ini ditanamnya terlihat begitu merana. Layu dan tidak berkembang karena kekurangan air. Belum lagi banyak gulma yang kini mulai mengganggu. Setiap hari ia harus rajin menyiangi ladang itu agar setiap gulma yang tumbuh bisa segera dicabut dan tidak membuat tanaman sayurnya bertambah merana.

Hari ini, sang petani berencana akan mencari sumber air. Ia tidak ingin tanaman sayur yang sudah ditanamnya mati sia-sia. Setelah mempersiapkan segala peralatan yang diperlukan, ia segera berangkat.

Perjalanan sang petani ternyata cukup jauh. Ketika hari beranjak malam, ia sampai di pinggir sebuah hutan. Setelah menyalakan obor untuk menerangi jalan, sang petani memasuki hutan dengan sedikit was-was sebab ia belum mengenal daerah itu. Baru beberapa langkah, petani itu terkaget-kaget bercampur gembira. Di hadapannya terbentang sebuah telaga kecil yang airnya sangat jernih. “Puji Tuhan, inilah sumber air yang aku cari-cari!” teriak petani itu dalam hati. Namun, kegembiraan itu berubah menjadi kebingungan. “Bagaimana caranya aku bisa mengalirkan air di telaga ini sampai ke ladangku?” lanjut petani itu.

Karena lelah dan pusing memikirkan hal itu, sang petani akhirnya memutuskan untuk beristirahat di bawah rumpun bambu yang tumbuh lebat di pinggir telaga. Angin malam berhembus perlahan dan membuat sang petani tertidur.

“Wahai petani, mengapa engkau sampai di tempat ini?” ujar sebuah suara.

Sang petani kaget. Ia celingukan mencari asal suara itu. Tapi tidak ada siapa-siapa selain dirinya.

“Aku adalah rumpun bambu yang ada di belakangmu,” terang suara itu kemudian.

Petani itu bertambah kaget. Baru kali ini ia mendengar ada rumpun bambu bisa berbicara. “Maafkan aku sahabat, aku tidak bermaksud mengganggu ketenanganmu. Aku hanya sedang mencari sumber air untuk mengairi ladangku yang kekeringan,” jelas sang petani dengan perasaan takut.

“Bukankah sumber air itu sudah kautemukan. Mengapa engkau masih kelihatan bingung?” jawab rumpun bambu itu.

“Benar, aku memang sudah menemukannya. Tapi, bagaimana caranya aku bisa membawa air di telaga ini untuk sampai ke ladangku?” tanya petani itu dengan wajah diliputi ketidaktahuan.

“Wahai petani yang baik, engkau dapat menggunakan tubuhku untuk mengalirkan air di telaga ini. Potonglah aku, lalu belahlah aku menjadi dua bagian. Kemudian sambungkan masing-masing belahan tubuhku hingga sampai di ladangmu. Pasti air di telaga ini bisa mengalir sampai ke ladangmu,”

“Memotongmu! Bukankah itu sama halnya dengan membunuh dirimu!?”

“Aku ikhlas menerimanya. Bukankah aku dan engkau ditakdirkan hidup di dunia ini untuk saling tolong-menolong?”

Tiba-tiba angin berhembus kencang. Daun-daun bambu berjatuhan menimpa sang petani yang sedang tertidur pulas. Ia segera terbangun. Rupanya apa yang dialaminya barusan hanyalah mimpi. Mimpi yang telah memberinya jalan keluar.

Dengan penuh semangat, petani itu segera mengambil parang dari kantung perbekalannya. Dikerjakannya semua petunjuk yang ada dalam mimpinya. Akhirnya, ketika pagi datang, bambu terakhir sudah sampai di ladangnya.

Segera, air telaga itu membasahi ladang. Aneka tanaman sayur yang semula layu berubah tegak. Mereka menyambut gembira kedatangan air yang sudah lama dinantikan. Sang petani pun berharap akan bisa menuai panen jika saatnya tiba.

(Ada dua pilihan dalam hidup ini. Menjadi seperti bambu yang ikhlas mengalirkan kebaikan atau justru memilih menjadi gulma yang nantinya hanya akan dicabut dan kemudian dibakar)

Rabu, 05 Agustus 2009

Surat Untuk Tuhan

Tuhan,
malam ini, aku menulis surat kepadaMu
aku sudah lelah
bahkan teramat lelah dengan hidupku
siang tadi, rumah reot beratap ijuk
yang aku bangun dari sisa tetesan peluh
porak-poranda oleh mobil besi aparat
“Rumahmu ada di atas lahan pemerintah!”
“Rumahmu mengotori keindahan kota!”
begitu kata mereka
segala teriakan, umpatan bahkan tangis menghiba
tak mereka hiraukan
mereka seakan tuli dan buta

Seringkali aku hanya dijadikan obyek
ketika butuh dukungan dan suara mereka datang
sambil menawarkan aneka bantuan dan kemudahan
lalu, saat keinginan mereka tercapai
dengan sekejap aku dilupakan
tanpa rasa malu
mereka menumpuk kekayaan pribadi
perut semakin membuncit
harta semakin berlimpah
sedangkan aku
hanya bisa menatap bingung
sambil menggeleng tak percaya

Aku juga sudah bosan
dengan aneka rencana, slogan, janji,
bahkan berbagai peraturan
karena semua itu hanyalah dalih
untuk melanggengkan kekuasaan mereka
anehnya, mereka juga tidak segan-segan
saling bersitegang, saling sikut bahkan saling cakar
jika ada orang yang berani mengusik
kekuasaan dan kekayaan mereka

Terkadang aku berpikir
mengapa Engkau tidak adil kepadaku?
mereka begitu terhormat, kaya, berkuasa
sedangkan aku miskin, tersingkir dan harus dilupakan

Tuhan,
malam ini, aku memberanikan diri
menulis surat kepadaMu
karena sudah tidak ada lagi
yang mendengarkanku di dunia ini
aku percaya, Engkau punya rencana indah untukku
aku hanya terus berharap
semoga cinta yang dulu Engkau berikan
tidak akan pernah padam
walau aku hanyalah orang miskin
yang tersingkir dan dilupakan

Selasa, 04 Agustus 2009

Sosok Sederhana


Sosoknya amat mudah dikenali. Rambut gimbal ditutup topi rajutan warna-warni. Kaos dan celana panjang sederhana. Bersepatu. Kemana-mana ia selalu menenteng gitar tua dan tawanya pun sangat khas. Lagu-lagu yang dibawakannya juga teramat sederhana dan gampang dihapal. Toh, kesederhanaan itu tetap mampu menghipnotis banyak orang. Mulai dari anak kecil hingga dewasa suka dengan lagu-lagunya.

Itulah Mbah Surip. Sosok fenomenal yang belakangan ini kerap wara-wiri di berbagai stasiun TV. Sikapnya yang ramah dan bersahabat semakin membuat banyak orang tertarik dengan penampilannya.

Dan hari ini, sosok fenomenal yang sederhana itu telah pergi. Tuhan sudah memanggilnya untuk kembali kepangkuan-Nya. Banyak orang kaget. Banyak pula yang merasa kehilangan.

Namun kepergiannya tidaklah sia-sia. Dalam perjalanan hidupnya, Mbah Surip sudah meninggalkan banyak kenangan, juga filosofi hidup yang sungguh bermakna dalam. “Bagi saya, cinta itu dapat memadamkan dendam, mengubur luka, membangkitkan seseorang. Cinta juga membuat orang merasa tentram, bahagia dan senang. Cinta harus ditebarkan. Iya, tho?” ujar Mbah Surip. Dan tentang kesederhanaan yang dia jalani dalam hidup sehari-hari, ia punya jawaban tersendiri, “Dengan menjadi sederhana, kita dapat berpikir sehat. Tak pernah merasa dendam atau marah, tak pernah merasa gelisah. Menjalani hidup dengan gembira. Kudu akeh ngguyu,” katanya sembari tertawa lepas, ha…ha…ha…

Itulah Mbah Surip. Uang berlimpah yang didapat dari hasil penjualan ringbacktone lagu-lagunya, ternyata juga tidak mampu mengubah dirinya. Sosoknya tetap sederhana dan apa adanya. Tetap ramah, banyak senyum dan akrab dengan siapa saja.

Selamat jalan Mbah Surip. Nikmatilah damai di alam sana. Semoga kami yang sempat mengenalmu juga mau untuk selalu bersikap sederhana dan apa adanya. Meninggalkan segala topeng yang biasa kami kenakan untuk mencari keuntungan pribadi. Semoga harta berlimpah, kekuasaan dan jabatan yang kami miliki tidak membuat kami buta tetapi justru memberi kami kesadaran bahwa masih banyak orang lain di luar sana yang hidupnya lebih menderita, tersingkir dan terabaikan.

Tak gendong kemana-mana
Tak gendong kemana-mana
Enak dong…
Mantep dong…
Daripada naik pesawat kedinginan
Mendingan tak gendong tho…


(image diambil dari nanodiary.wordpress.com)

Senin, 03 Agustus 2009

Kematian

Warga RT 02 siang itu geger. Pak Jo, seorang pensiunan tentara yang terkenal baik dan ramah di mata warga dikabarkan meninggal dunia. Sontak berita ini kemudian menyebar dengan cepat bagaikan wabah virus flu babi yang saat ini sedang hangat dibicarakan. Banyak orang kaget. Tak sedikit pula yang tidak percaya dengan kebenaran berita itu. Termasuk Lastri, tetangga depan rumah Pak Jo.

"Apa, Pak Jo meninggal!" ucap Lastri tak percaya. "Ini pasti kabar bohongan. Lha wong tadi, barusan ngobrol denganku di teras rumah. Kamu dapat kabar dari siapa, Jun?" tanya Lastri kepada Juni, pembantu rumah tangganya yang barusan menyusulnya ke warung.

"Bener bu, ini bukan kabar bohong. Pak Jo baru saja meninggal," terang Juni dengan gugup. "Kalau masih tidak percaya, ibu bisa lihat sendiri di rumah Pak Jo," lanjut Juni seraya beranjak pergi.

Benar saja. Di rumah Pak Jo terlihat ramai. Banyak orang yang berkerumun mengelilingi dipan di ruang tengah. Istri Pak Jo nampak terkulai lemah di kursi pojokan. Wajahnya sembab habis menangis. Sementara Dian, cucu kesayangan Pak Jo masih menangis histeris. Di dipan itu, Pak Jo terbaring kaku dengan masih mengenakan kaos oblong putih dan celana pendek hitam. Menurut cerita dari Bu Jo, Pak Jo terjatuh di kamar mandi saat hendak buang air besar. Saat diangkat, ternyata nyawanya sudah tidak tertolong lagi.

Kematian memang selalu datang bagaikan pencuri. Ia tidak pernah memandang waktu, tempat, jabatan, kaya-miskin, bahkan siap atau tidak siap. Jika takdirnya telah tiba, semua orang tidak akan pernah bisa menghindar. Siapa sangka, Pak Jo yang barusan ngobrol dengan Lastri di teras rumah, beberapa menit kemudian meninggal dunia. Sama halnya dengan orang-orang yang berada di restoran JW Marriot pada jumat pagi (17/7) itu. Tiba-tiba saja ledakan bom meluluhlantakkan seluruh ruangan dan tubuh-tubuh mereka. Atau juga bapak, ibu, anak, yang sedang asyik terlelap dibuai mimpi, harus tewas mengenaskan karena rumah mereka hangus dilalap si jago merah. Dan masih banyak jenis dan cara kematian yang lain.

Jadi, sejatinya kita ini hanya sedang antre. Menunggu kematian yang pasti akan datang memeluk kita. Sementara hal itu belum datang, kita patut selalu bersyukur karena masih diberi kesempatan. Syukur yang kemudian kita wujudkan dengan selalu mawas diri. Apakah hidupku sudah sesuai dengan kehendak-Nya? Apakah pikiran, tutur kata dan perbuatanku sudah memberikan kebaikan untuk orang lain? Jika kedua hal ini sudah (selalu) kita lakukan, maka kita akan tersenyum bahagia jika akhirnya kematian itu datang. “Ini aku Tuhan, aku sudah siap.” Semoga.

Minggu, 02 Agustus 2009

Award Zodiak

Akhirnya, tiba saatnya (lagi) untuk membagikan award setelah bulan kemaren aku mendapat banyak kiriman award dari para sahabat blogger. Award kali ini aku beri nama Award Zodiak. Award ini jumlahnya ada 12 buah dan masing-masing menggambarkan zodiak yang selama ini sudah kita kenal. Ada Aquarius, Aries, Cancer, Capricorn, Gemini, Leo, Libra, Pisces, Sagitarius, Scorpio, Taurus, dan Virgo (maaf kalau urutannya kebalik-balik karena memang nggak hapal..)













Ketika melihat berbagai zodiak ini, ingatan kita pasti akan langsung tertuju pada satu hal: tanggal, bulan, dan tahun kelahiran kita. Kapan untuk pertama kalinya, kita mulai bisa menangis, menghirup segarnya udara di dunia ini, dan mendapatkan sentuhan kasih dari orang-orang yang mengharapkan kehadiran kita.

Semua itu adalah anugerah terindah yang kita terima dari Sang Pencipta. Dan sebagai balasannya, hanya ucap syukur yang akan selalu kita panjatkan, sambil terus berusaha memberi makna bagi kehidupan itu sendiri. Apakah hidupku sudah berkenan di hadapan Sang Pencipta? Apakah hidupku sudah berguna bagi sesama?

Dan, ke-12 belas award ini akan aku berikan untuk para sahabat terkasih: Eha, Iik, Lisna, Reni, Fanda, Irma, Henny, Dewi, Dinoe, Desti, Raini Munti, Anazkia, Ateh75, Yunna, Princess, Si Kumbang, Seri, Narti, Eri-communicator, mas Doyok, Achi, Ansgarius, an4k SinGKonG, Kabasaran Soultan, Waluyo, Sang Cerpenis Bercerita, Tisti Rabbani, Nadja Tirta, Newsoul, Buwel, Fauzi Blog, Yanuar Catur Rastafara, Budiawanhutasoit, dan semua saja yang belum sempat aku sebut namanya, yang selalu setia mampir di ‘rumah mayaku’ ini.

Salam kasih penuh cinta untuk kalian semua.