Jumat, 27 Februari 2009

Godaan

“Tit tit tit tit tit… tit tit tit tit tit… tit tit tit tit tit… “ dering alarm HP memecah kesunyian pagi. Aku tergeragap bangun. Sambil mengucak-ucak mata dan mulut menguap panjang, aku melirik jam di dinding kamar, “Ah… masih jam 4 pagi. Mending aku tidur lagi sebentar…” Segera aku menyetel alarm HP agar berbunyi lagi pukul 04.30. Dan aku pun kembali tidur. Tak berapa lama alarm itu pun berbunyi. Namun lagi-lagi bisikan itu muncul dan mendorong aku untuk melakukan tindakan yang sama. Alarm HP kusetel lagi pukul 04.45. Namun kali ini perkiraanku meleset. Alarm memang tetap berbunyi pada jam tersebut tapi alih-alih bangun, aku malah asyik masyuk memeluk bantal guling. Saat aku benar-benar terbangun, jarum jam di dinding sana sudah menunjuk ke angka 06.00. “Wah, telat! Hari ini aku nggak bisa ikut misa pagi lagi… !” ucapku dengan nada menyesal.

Hari yang lain saat aku tengah mengetik di depan komputer. Tiba-tiba keinginan itu muncul lagi. “Ayolah, tidak apa-apa… toh hanya satu kali lagi,” bisik keinginan itu. Semakin aku menahannya, keinginan itu semakin menyerangku. “Ayolah cepat… enak lho!” perintah keinginan itu semakin kuat. Dan akhirnya pertahananku goyah. Aku kembali jatuh pada kebiasaan itu. Kebiasaan yang aku tahu adalah kebiasaan buruk yang sungguh tidak berguna.

Godaan, yah godaan. Ia akan selalu datang selama manusia hidup. Mulai dari pagi hari saat mata mulai membuka melihat indahnya pagi hingga malam hari saat mata mulai terkatup rapat karena rasa kantuk. Dari godaan yang paling ringan hingga godaan yang super berat. Godaan tidak suka pilih-pilih. Semua diterjangnya tanpa mempertimbangkan suku, agama, ras, jenis kelamin, tingkat ekonomi hingga perbedaan budaya. Yang kaya diberi godaan untuk menggunakan kekayaannya secara serampangan. Main cewek, minum-minuman keras, nyabu hingga kebiasaan dolan ke night club setiap malam. Yang punya jabatan digoda untuk menggunakan jabatan seenak udelnya. Mumpung lagi punya wewenang trus bisa ambil uang sana sini, korupsi dengan seenak-enaknya. Yang lagi punya kekuasaan digoda untuk terus melanggengkan kekuasaannya meski dengan cara-cara yang tidak baik. Kasak kusuk sana sini trus sebar intel untuk memata-matai siapa saja yang enggak suka. Bila ada yang berani komentar miring langsung ditangkap tanpa pandang dulu. Juga sering bikin janji-janji surga yang entah bisa dilaksanakan atau tidak. Yang sudah punya istri atau suami digoda untuk memiliki WIL atau PIL ketika melihat gadis cantik atau lelaki yang lebih ganteng bila dibandingkan dengan istri atau suami saat ini. Yang lagi tidak punya uang dan terjerat hutang, digoda untuk mencuri, menjambret hingga menghilangkan nyawa orang lain hanya karena keinginan untuk memiliki harta benda. Yang lagi pacaran digoda untuk cepat-cepat melakukan hubungan suami istri mumpung ada kesempatan. Yang lagi jadi artis digoda untuk selalu menebar sensasi. Bikin keributan sesama artis, jual berita keretakan rumah tangga, isu kawin cerai hingga menyebar kebohongan di sana sini. Yang dikaruniai kepandaian digoda untuk bersikap sombong dan menggunakan kepandaiannya untuk ‘minteri’ orang-orang yang tidak tahu.

Lalu, jika godaan itu begitu banyak, apa yang musti dilakukan? Dalam berbagai agama tentu sudah ditulis panjang lebar tentang hal ini. Pasrah kepada Tuhan. Intim denganNya dengan banyak mendaraskan doa. Membaca firman-firmanNya dan setia mempraktekkannya dalam hidup sehari-hari. Dan juga diperlukan satu kesadaran dalam diri. Sadar dan sungguh-sungguh memahami bahwa setiap godaan tidak ada gunanya untuk dituruti. Ia justru akan membuat kita jatuh dalam dosa sehingga jauh dari Tuhan. Namun ketika kita benar-benar jatuh dalam godaan, hal pertama yang perlu dilakukan adalah mohon ampun kepada-Nya dan mohon bimbingannya agar bisa bangkit kembali untuk mengalahkan segala godaan yang akan datang. Nah, selamat menghadapi dan mengalahkan godaan!

Kamis, 26 Februari 2009

Maaf

Saat ini artis Andi Soraya tengah berseteru dengan model cantik Catherine Wilson. Pangkal permasalahannya karena Andi Soraya merasa dilecehkan oleh kata-kata Keked (panggilan sayang Catherine Wilson) pada saat mereka berdua menghadiri sebuah acara di Pecatu, Bali. Andi meminta Keked untuk segera meminta maaf atas kata-kata tersebut. Karena merasa tidak ditanggapi, Andi Soraya kemudian membawa permasalahan ini ke jalur hukum dengan tuduhan bahwa Keked telah melakukan penghinaan dan mencemarkan nama baiknya di muka umum.

Maaf, barangkali kata ini tidak begitu asing dalam keseharian kita. Namun sejauhmanakah kata ini dapat mewujud dalam tindakan? Ketika tanpa sengaja, baik lewat perkataan maupun perbuatan, kita telah membuat orang lain terluka (tersinggung), apakah dengan segera kita mau meminta maaf? Atau justru malah keengganan yang tumbuh karena merasa gengsi atau (yang lebih parah) merasa bahwa tindakan kita tidak ada yang salah?

Meminta maaf dengan tulus memang membutuhkan keberanian. Terlebih, ia menuntut seseorang untuk mau berbesar hati dan melakukannya dengan penuh keikhlasan. Ikhlas dan sungguh-sungguh. Bukan ucap maaf yang hanya ada di bibir saja, yang dibuat sekedar untuk menyenangkan orang lain. Karena jika yang demikian terjadi berarti kita telah membohongi diri sendiri.

Pun dengan memberi maaf. Seandainya orang yang membuat kesalahan sudah meminta maaf, maka kewajiban kita adalah memberi maaf. Memberi maaf dengan tulus dan membiarkan segala sesuatu yang sudah terjadi hilang bersama sang waktu. Sambil terus berharap bahwa hubungan yang sempat terkoyak pulih kembali seperti semula. Karena percayalah bahwa tidak memberi maaf dan menyimpan segala sesuatu yang telah terjadi sebagai dendam justru akan menyakiti diri sendiri.

Jadi, mengapa tidak saling meminta maaf dan memberi maaf jika telah terjadi kesalahpahaman dan ketersinggungan di antara kita?

Sabtu, 21 Februari 2009

Apakah Kita Konsekwen?

Sudah beberapa hari ini, kantor desain interior di depanku tutup. Aneh, begitu pikirku! Apakah kantor itu sudah bangkrut dan tidak bakalan buka lagi? Ataukah ada karyawannya yang keluarganya meninggal? Rasa penasaranku ternyata tidak berlangsung lama. Lewat salah satu karyawannya yang menyempatkan diri datang ke toko tempatku bekerja, untuk membeli sesuatu, terkuaklah alasan mengapa kantor itu tutup. Ternyata, kantor itu tutup untuk menghindari adanya pemeriksaan software yang kini kembali marak. Mereka takut jika ketahuan menggunakan software bajakan.

Pagi harinya ketika aku mencoba mendiskusikan soal pemeriksaan software ini kepada salah seorang teman kantor, tiba-tiba saja ia kelihatan begitu bersemangat. “Nonsen.. hal itu bisa dilaksanakan!” teriaknya.

“Kok nonsen pak. Apa alasannya?” tanyaku kurang mengerti.

“Hal yang mereka lakukan itu tidak ada gunanya. Coba kamu pikir, apakah kantor-kantor pemerintahan sudah menggunakan software-software yang asli? Apakah banyak instansi yang juga sudah memakainya. Pasti kalau mau diteliti hanya beberapa saja. Bukankah hal ini adalah sesuatu yang keliru. Semestinya kalau memang mau ditertibkan, mereka menertibkan diri terlebih dahulu kemudian setelah itu baru menertibkan yang lain. Ini namanya tidak konsekwen!” jelasnya.

Tidak konsekwen. Itu mungkin yang menjadi penyakit paling parah di negeri ini. Banyak peraturan sudah dibuat, tapi ketika tiba pada pelaksanaan… hasilnya kebanyakan nol besar. Banyak anjuran dan keputusan dari pemerintah yang ‘katanya’ musti dilaksanaan dan ditaati, namun ketika diteliti lebih jauh, masih banyak di antara mereka sendiri yang tidak melaksanakan instruksi dan keputusan tersebut. Instruksi tentang penghematan listrik. Instruksi agar menggunakan produk dalam negeri dan masih banyak lagi. Di jalanan, kita juga sering melihat ketidakkonsekwenan ini. Pak polisi dengan semena-mena mencegat dan menghentikan para pengguna jalan yang mereka ‘anggap’ telah melanggar peraturan. Namun di sisi lain, mereka sendiri malah sering melanggar peraturan mentang-mentang tidak ada yang berani menegur mereka. Dan ketika ada yang kemudian ‘melehke’ (mengingatkan) mereka hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam keluarga, ketidakkonsekwenan ini juga tanpa kita sadari sering terjadi. Kita menyuruh agar anak belajar tapi kita sendiri tidak menciptakan suasana yang mendukung hal itu karena kita asyik nonton sinetron. Kita menyuruh anak agar mengasihi saudara dan tidak bertengkar tapi kita sendiri malah mempertontonkan pertengkaran kita di depan anak. Kita menyuruh agar mereka mau membuang sampah di tempat sampah tapi kita sendiri sering buang sampah sembarangan. Kita menyuruh anak agar jangan menggunakan kata-kata yang kasar tapi kita sendiri menyukai kata-kata kotor ketika bertengkar dengan istri atau suami dan masih banyak contoh yang lain.

Jadi, apakah kita sudah konsekwen? Apakah ajakan atau anjuran yang kita berikan kepada orang lain sudah kita terapkan pada diri sendiri? Kalau memang belum… ya jangan salahkan mereka kalau tidak mau mematuhinya… karena kitalah yang menjadi contoh.

Kamis, 19 Februari 2009

Ojo Dumeh

Dumeh kowe kuwasa trus biso ‘ngidek-idek’ sedulurmu sakepenake?
Dumeh kowe sugih trus biso sia-sia marang sedulurmu kang ora duwe?
Dumeh kowe pinter trus biso sakepenake nggunakake kapinteranmu kuwi
kanggo ‘minteri’ wong-wong sing ora ngerti apa-apa?
Dumeh kowe luwih ngerti trus biso ‘petantang-petenteng’
lan nganggep wong liya ora ana ajine opo-opo?
Dumeh kowe luwih ‘cedhak karo gusti’ trus ngganggep wong liya murtad?
Ojo Dumeh…
Ojo sok Dumeh…
Ojo kepengen Dumeh…
Amergo opo sing kokduweni saiki kuwi kabeh asale soko Gusti


terjemahan……
Mentang-mentang kamu berkuasa terus bisa
‘menginjak-injak’
saudaramu dengan seenaknya?
Mentang-mentang kamu kaya terus bisa menyia-nyiakan saudaramu yang tidak berpunya?
Mentang-mentang kamu pandai terus bisa menggunakan kepandaianmu itu
untuk membodohi orang lain yang tidak mengerti apa-apa?
Mentang-mentang kamu lebih mengerti terus bisa ‘petantang-petenteng’
dan mengganggap orang lain tidak ada harganya di depanmu?
Mentang-mentang kamu lebih dekat dengan Tuhan terus menganggap orang lain murtad?
Jangan mentang-mentang…
Jangan sok mentang-mentang…
Jangan punya keinginan mentang-mentang…

Karena apa yang kamu punyai saat ini semua berasal dari Tuhan

Selasa, 17 Februari 2009

Minta Tolong

Seorang gadis kecil berpakaian kumal menenteng sebuah lukisan bergambar bunga. Ia berjalan ke sana ke mari menawarkan lukisan itu kepada orang-orang yang kebetulan lewat. Harga lukisannya (hanya) Rp. 20.000,-. Namun hingga sore menjelang, lukisan itu belum juga laku terjual. Kebanyakan orang yang ditawari lukisan itu hanya menggeleng sambil berusaha cepat-cepat menghindar. Padahal ayahnya yang lumpuh, yang berada di pojok jalan tengah menanti uang hasil penjualan lukisan itu. Uang yang akan dipergunakan untuk mencari sesuap nasi bersama sang anak.

Ketika malam hendak datang, dengan sisa-sisa kegigihannya yang hampir lenyap, gadis itu menemui seorang ibu penjual gorengan di pinggir jalan. Kembali ia menawarkan lukisannya. Segera ibu itu merasa terenyuh. Tanpa berpikir panjang, ibu itu segera mengulurkan uang untuk membeli lukisan tersebut. Sesaat setelah gadis kecil itu pergi, datanglah gadis lain yang hendak membeli gorengan. Setelah gorengan diterima, gadis itu mengambil segepok uang lalu memberikan uang tersebut kepada si ibu. Dan gadis itu pun pergi. Si Ibu yang tidak menyangka akan menerima uang dalam jumlah yang besar hanya bisa melongo keheranan… uang apa ini? Lalu, ibu itu pun menangis sesenggukan sambil bersujud penuh syukur.

Cerita di atas hanyalah sepenggal episode reality show yang tayang di sebuah stasiun televisi swasta. Nama reality show itu MINTA TOLONG. Gadis kecil dan kakek yang lumpuh adalah ‘umpan’ yang sengaja dipasang untuk mengetahui reaksi orang-orang ketika melihat mereka minta tolong. Apakah orang-orang terbuka hatinya dan memberi pertolongan kepada mereka?

Kiranya reaksi orang-orang yang terjadi dalam reality show tersebut adalah wajah keseharian kita. Kita sering tanpa sadar (dengan sadar?) menolak memberikan bantuan ketika ada orang lain yang datang kepada kita untuk meminta tolong. Dalam pikiran kita sering dibayangi hal-hal yang cenderung negatif. Apakah orang ini memang benar membutuhkan pertolongan? Apakah dia tidak hanya berpura-pura saja? Atau jika kita bersedia memberi pertolongan, kadang kita suka pilih-pilih. Yang berpakaian bagus dan secara fisik bagus, cepat kita tolong tetapi yang berpakaian kumal dan lusuh seperti dalam cerita di atas cenderung kita jauhi dan kita anggap sebagai pengganggu. Semestinya kita merasa malu dengan ibu penjual gorengan itu. Meski hidupnya serba kekurangan hingga untuk membeli susu buat anaknya saja ia harus menjual HP, namun ketika ada orang yang datang minta tolong, nuraninya terusik. Sementara orang-orang yang lebih berada daripada dirinya hanya berpangku tangan dan memilih menolak memberi pertolongan.

Nah, masihkah kita akan terus bersikap demikian? Masihkah kita menolak orang-orang yang datang untuk minta tolong kepada kita? Bukankah hal itu adalah kesempatan bagi kita untuk melakukan kebaikan? Percayalah, pada saatnya nanti setiap kebaikan yang sudah kita tanam, pasti akan kita tuai hasilnya!

Minggu, 15 Februari 2009

Termehek-mehek

Sore ini aku menyempatkan waktu untuk menonton sebuah reality show yang ‘kata orang’ popularitasnya sudah menyaingi sinetron yaitu TERMEHEK-MEHEK. Saking populernya acara ini sampai pernah dibahas panjang lebar dalam sebuah surat kabar. Ini yang membuat aku begitu penasaran.

Episode kali ini berdasarkan pengaduan seorang ‘klien’ yang ingin mencari seseorang bernama AHMAD, yang menghilang entah kemana. AHMAD adalah pacar anaknya yang tuli. Setelah mendapatkan pengaduan ini segera tim TERMEHEK-MEHEK (TM) mencari keberadaan AHMAD berdasarkan informasi yang sudah diterima. Penelusuran pertama mendapatkan fakta bahwa ternyata AHMAD hanyalah seorang SATPAM padahal menurut cerita ‘klien’ AHMAD itu seorang arsitek. Penelusuran selanjutnya mempertemukan Tim TM dengan teman AHMAD yang diduga tahu keberadaan AHMAD. Selanjutnya cerita bergulir kepada keluarga-keluarga yang anaknya pernah dipacari AHMAD. Ada satu kesamaan. Gadis-gadis yang dipacari AHMAD adalah anak orang kaya yang memiliki ‘kekurangan’. Dari sini kemudian terkuak beragam kebohongan yang telah dilakukan AHMAD. Pada akhir cerita ketika ‘klien’ sudah berhasil dipertemukan dengan AHMAD (yang ternyata sudah memiliki istri), kemarahan tidak terbendung lagi. Lisa, anaknya yang tuli sampai-sampai tidak dapat menahan diri dan terus memukuli AHMAD. Dan akhirnya, AHMAD (juga) harus termehek-mehek di hadapan istrinya karena kebohongannya selama ini telah terbongkar hingga ia harus bersujud-sujud meminta maaf. Namun apa daya, nasi telah menjadi bubur…

Sungguh sebuah reality show yang cukup menarik. Di sana tidak ada kepura-puraan. Yang terpampang adalah cerita dan perilaku yang begitu jujur dari para ‘pelakonnya’. Dan karena begitu jujurnya, ketika kebenaran itu akhirnya terkuak, kita dapat melihat beragam ekspresi dan tindakan yang kemudian terjadi.

Kembali kepada kisah AHMAD. Barangkali apa yang dilakukan AHMAD juga (seringkali) kita lakukan. Membohongi orang lain demi keuntungan diri sendiri. Saat kebohongan itu kemudian terbongkar, kita begitu mudah meminta maaf tanpa pernah mau melihat fakta bahwa akibat kebohongan kita selama ini telah melukai/menghancurkan orang lain.

Jumat, 13 Februari 2009

Kebiasaan Orang Jawa

Menurut kebiasaan orang Jawa (terutama Jawa Tengah), ketika orang memiliki sesuatu baik rumah, mobil maupun kendaraan hendaknya diadakan selamatan terlebih dahulu (istilahnya: DIBANCAKI). Apabila hal ini tidak dilaksanakan, biasanya sang empunya rumah, mobil atau kendaraan akan mendapatkan suatu cobaan (halangan).

Semula aku tidak begitu percaya dengan kebiasaan ini, namun karena berbagai hal yang aku alami, akhirnya aku harus percaya. Paling tidak hal ini terbukti pada saat aku mempunyai sepeda motor baru beberapa tahun lalu.

Saat itu karena begitu bahagianya mendapatkan mainan baru, aku melupakan kebiasaan tersebut (toh aku juga tidak begitu percaya). Kendaraan baru langsung saja kupakai ke sana kemari baik untuk bekerja, bermain ke rumah teman, ke gereja, mengantar istri dan berbagai kesibukan lain. Namun baru sebulan jalan, aku sudah mengalami kecelakaan. Kendaraan baruku diseruduk mobil dari belakang. Akibat kejadian tersebut, stang kendaraanku jadi bengkok, knalpot lecet dan kaca lampu depan sedikit tergores. Beberapa bulan setelah kejadian ini, aku kembali mengalami kecelakaan. Kali ini bukan salah siapa-siapa tapi akibat kebodohanku sendiri. Ketika itu aku hendak mencucikan kendaraan yang sudah kelihatan begitu kotor. Tempat cuci kendaraan berada di sebuah lereng yang tidak begitu tinggi dengan jalan sedikit mendaki. Karena ragu-ragu (mungkin juga belum terbiasa) aku tidak bisa menguasai kendaraanku ketika naik. Akibat lebih lanjut, aku jatuh ke selokan yang berada di bawah lereng dengan posisi tertindih kendaraan. Ketika berhasil berdiri (dengan bantuan orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian) kulihat kaca spion kendaraanku dua-duanya sudah hancur. Satu bulan kemudian, lagi-lagi kecelakaan menimpaku. Saat itu aku dan istriku dalam perjalanan pulang ke Semarang setelah menengok adik di Ambarawa. Entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba saja kami diserempet bis malam yang berkecepatan tinggi. Untung saja, aku bisa menguasai kendaraan hingga kami tidak terjatuh. Setelah kejadian yang cukup membuat syok ini, aku berusaha hati-hati dengan harapan tidak terjadi kecelakaan lagi. Namun harapan tidak seindah kenyataan. Aku kembali mengalami kecelakaan. Ketika itu aku sedang mengantar istriku berangkat ke kantornya. Baru beberapa meter meninggalkan rumah, kendaraanku diserempet sebuah mobil. Akibat serempetan ini kami terjatuh. Untung saja situasi jalanan saat itu tidak begitu ramai sehingga kami terhindar dari kemungkinan yang lebih buruk. Walau begitu, istriku sempat dilarikan ke rumah sakit dan mendapatkan beberapa jahitan.

Akhirnya, setelah empat peristiwa kecelakaan ini, aku meminta ibu mertuaku membuat selamatan kecil-kecilan. Dan entah ini suatu kebetulan atau tidak, setelah ‘dibancaki’, hingga hari ini aku tidak pernah lagi mengalami kecelakaan.

Ketika merenungkan lebih dalam tentang kebiasaan ini, ternyata memang ada hal positif yang bisa diambil. Bahwa ketika kita mendapatkan suatu rejeki entah itu berupa rumah baru, mobil baru, motor baru dan entah apalagi, yang baru pertama kali kita miliki, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengucapkan syukur. Syukur karena Tuhan sudah memberikan anugerah, memberikan rejeki kepada kita. Dan ketika ucap syukur ini diabaikan, Tuhan masih begitu mencintai kita dengan selalu mengingatkan kita melalui berbagai macam cobaan (halangan) yang kemudian terjadi.

Kamis, 12 Februari 2009

Mukjijat Tuhan (2)

Bagi Tuhan semua hal bisa terjadi.

Ini adalah kisah yang diceritakan oleh temanku. Kisah yang disebutnya sebagai sebuah mukjijat Tuhan.

Beberapa hari lalu, ada peristiwa kebakaran yang terjadi di kotaku. Peristiwa ini akibat konsleting listrik yang mengakibatkan empat rumah ludes terbakar. Salah satu pemilik rumah adalah orang yang baru saja mengenal Yesus. Sesaat setelah peristiwa ini terjadi, ia menceracau dan menghujat Tuhan, mengapa peristiwa ini menimpa dirinya, padahal ia sudah bersusah payah mengenal Yesus. Ia merasa apa yang dilakukannya selama ini sia -sia belaka. Kemudian ia teringat surat-surat penting yang disimpannya di dalam kamar. Bagaimana nasib surat-surat itu? Bagaimana dengan masa depan anak-anaknya nanti jika semua surat penting sudah ludes terbakar? Ia menjadi semakin gundah. Sesaat ia masuk ke kamar yang kini sudah berubah menjadi puing-puing dan abu. Dan tampaklah mukjijat itu. Ternyata surat-surat penting itu semuanya selamat. Padahal barang-barang yang ada di sekelilingnya semuanya habis terbakar. Surat-surat itu tertumpuk dan berada di bawah Kitab Suci. Beberapa, hanya pinggirnya saja yang tampak gosong, bekas terbakar, tetapi semuanya masih jelas terbaca.

Ternyata mukjijat tidak hanya terjadi di masa lampau tetapi jika Ia berkenan, mukjijat itu bisa terjadi saat ini, hari ini. Dan bagi kita yang mengalaminya, semoga terjadinya sebuah mukjijat sungguh semakin mendekatkan kita dengan Tuhan.

Mukjijat Tuhan

Kisah ini aku alami beberapa tahun yang lalu. Ketika mengingatnya kembali, aku sungguh merasakan betapa Tuhan begitu mencintai aku. Aku bersyukur karena Ia sudah berkenan membuat satu mukjijat untuk keluargaku.

Saat itu adalah hari Minggu. Aku dan istriku berniat hendak mengunjungi adik yang tinggal di kota lain. Rasanya sudah kangen sekali dengan Yudha, keponakan kami yang sedang nakal-nakalnya. Pagi-pagi sekali, kami sudah meninggalkan rumah, mengendarai motor menuju ke desa Jambu di wilayah Ambarawa. Ini adalah pengalaman pertamaku pergi ke luar kota naik sepeda motor.

Setelah hampir dua jam perjalanan melewati Ungaran, Karangjati, Bawen, Ambarawa dan kemudian merasakan jalanan desa Jambu yang berkelok-kelok dan mendaki (bahkan kami sempat terjatuh dua kali dari sepeda motor), kami tiba di rumah adik kami dengan selamat. Segera kami berkangen-kangenan dengan keluarga adik, bercanda dengan keponakan dan beristirahat untuk melepas lelah.

Tak terasa sore sudah menjelang. Istriku mengingatkanku agar jangan pulang terlalu sore karena jalanan pasti sangat ramai. Aku hanya mengiyakan. Setelah berpamitan, kami segera meninggalkan rumah adik untuk kembali ke Semarang. Awalnya perjalanan kami terasa lancar. Namun ketika hampir memasuki kota Semarang terjadi sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan. Entah bagaimana kejadiannya, aku tidak tahu karena saat itu aku sedang asyik-asyiknya mengendara dengan kecepatan yang cukup tinggi di tengah jalanan yang ramai (padahal istriku sudah mengingatkan agar jalan di pinggir saja dan ndak usah ‘kenceng-kenceng’ tapi dasar akunya yang ‘ndableg’…), tiba-tiba saja ada bis malam yang memepet dan menyerempet kami. Namun berkat kekuatan-Nya, aku berhasil mengendalikan kendaraanku hingga kami tidak terjatuh. Segera kami menepi. Kendaraanku hanya sedikit lecet dengan kaca spion sebelah kanan yang sudah hilang (tinggal gagangnya saja). Sementara kulihat istriku sangat syok hingga tubuhnya gemetaran. Ada bulir-bulir bening di matanya. Aku yang juga syok, tidak tega melihat keadaan istriku. Segera kudekap dia. Kukecup keningnya sambil berulangkali meminta maaf. Setelah beberapa saat dan ketegangan mereda, kami melanjutkan perjalanan.

Sungguh, kejadian ini adalah mukjijat Tuhan. Entah apa yang terjadi jika saja kami terjatuh? Entah apa yang akan menimpa kami? Saat membayangkannya, aku bergidik ngeri.

Tuhan, kami berterimakasih atas penyertaan-Mu
Kami bersyukur karena Engkau melindungi kami dari marabahaya
Ampuni kami karena kami sering melupakan-Mu
Kini, kami serahkan seluruh hidup kepada-Mu
Sang Maha Cinta dan Maha Penyelenggara

Selasa, 10 Februari 2009

Iman Tanpa Perbuatan Adalah Mati

Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26).

Misa pagi baru saja usai. Orang-orang segera bergegas meninggalkan gereja. Ada yang berjalan kaki namun tidak sedikit pula yang mengendarai motor atau mobil. Tiba-tiba suatu insiden terjadi. Karena saling berebutan pingin segera keluar, sebuah mobil tanpa sengaja menyenggol sebuah motor. Tak ayal motor dan pengendaranya langsung terjatuh. Orang yang berada di dalam mobil segera keluar. Tanpa belas kasihan, segera saja keluar kata-kata makian kepada pengendara motor yang masih tampak meringis kesakitan menahan sakit. Aneh, sudah menyenggol, bukannya meminta maaf, eh… lha kok malah memaki-maki… Lebih aneh lagi ternyata… pemilik mobil ini adalah orang yang sama, yang barusan memberi kotbah di dalam gereja. Walah….

Di lingkunganku, ada seorang pemuka umat bernama Pak Alex. Ia juga penulis terkenal di sebuah majalah rohani. Tulisan-tulisannya seringkali berbicara tentang keimanan sambil tak lupa mencantumkan kutipan-kutipan ayat Kitab Suci. Ketika dahulu memilih Pak Alex sebagai tokoh umat, banyak umat yang berharap, dia dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk seluruh umat. Namun ternyata kenyataan berbicara lain. Pak Alex pilih-pilih dalam memberi pelayanan. Ia sering ogah jika umat yang dilayaninya masuk dalam kategori umat yang ‘biasa-biasa’ saja secara materi. Di lingkungan RT dan RW tempat tinggalnya, Pak Alex juga seorang warga yang pasif. Ia jarang terlibat dalam kegiatan warga semisal arisan, kerja bakti maupun siskamling.

Nah, masihkah kita menjadi orang-orang yang demikian. Orang-orang yang hanya bisa berkotbah atau menulis hal-hal baik (dengan berbagai macam kutipan ayat-ayat yang begitu alkitabiah) untuk orang lain tapi tidak mampu melakukannya untuk diri sendiri. Masihkah kita hanya memiliki iman yang begitu mendalam tetapi nol dalam praktek. Bukankah itu seperti ‘tong kosong berbunyi nyaring’. Bukankah juga Yesus lebih memilih para nelayan, pemungut cukai dan orang-orang yang hidupnya sederhana daripada para ahli taurat dan orang yang berpendidikan tinggi. Jadi sekali lagi, kita perlu mawas diri sambil terus membatin ‘apakah aku sudah melakukan apa yang aku katakan!!!!’.

Minggu, 08 Februari 2009

Di Atas Langit Masih Ada Langit

Ungkapan ini sering aku temui ketika membaca cerita-cerita dalam dunia persilatan. Sebuah ungkapan yang muncul ketika ada seorang pendekar yang begitu jumawa karena merasa mempunyai ilmu yang tinggi dan telah berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Ia kemudian menjadi sombong dan takabur serta meremehkan orang-orang yang berani beradu ilmu dengan dirinya. Ketika mendapati pendekar yang nyata-nyata lebih tangguh, ia kena batunya.

Di lingkunganku, aku mempunyai seorang teman yang pandai menyanyi. Suaranya begitu merdu dan sungguh enak untuk didengarkan. Karena suaranya itu ia sering dijadikan solis ketika lingkungan kami bertugas di gereja. Ketika diadakan lomba menyanyi tingkat paroki yang diikuti oleh beberapa lingkungan, teman saya ini tidak berhasil menjadi juara karena ternyata ada orang lain (dari lingkungan lain) yang suaranya lebih bagus dan lebih merdu. Seorang teman lain yang pandai dalam editing video pernah memamerkan hasil karyanya kepadaku. Menurutku, hasil karyanya sudah cukup bagus. Namun ketika berkumpul dengan rekan-rekan dari paroki lain dalam suatu kegiatan pemutaran film, penilaianku jadi berubah. Ternyata masih ada orang lain (lagi) yang hasil editannya lebih bagus dan lebih menarik… Aku sendiri pernah mengalami situasi yang sama. Saat baru beberapa bulan kenal dengan blog dan udah bikin beberapa di antaranya (sebelum gabung dengan Sabda Space), aku merasa berbangga hati karena udah bisa bikin blog yang menurutku cukup menarik… tapi pas udah selancar di internet … wuih… ternyata apa yang aku bikin itu belum ada apa-apanya… masih sederhana banget. Di luaran sana masih banyak blog yang lebih keren dan lebih menarik (format maupun isinya) daripada blogku.

Di atas langit masih ada langit. Ungkapan ini memang ‘kudu’ kita jadikan pegangan. Ungkapan yang akan bikin kita jadi ‘ati-ati’ dan mawas diri. Ungkapan yang ‘cegah’ kita untuk jadi orang yang sombong, takabur, trus ujung-ujungnya menyepelekan orang lain (memandang rendah orang lain). Ungkapan yang juga mengingatkan kita untuk selalu bersyukur, bahwa apa yang kita miliki sekarang (materi, talenta, kepandaian dll) adalah anugerah (pemberian) Tuhan yang harus kita pergunakan sebaik-baiknya untuk kebahagiaan diri juga terutama untuk kesejahteraan sesama.

Lahir Baru

Suatu ketika seorang teman pernah bertanya begini kepadaku, “Di, seandainya Tuhan memberi kesempatan kepadamu untuk terlahir kembali, apa yang paling engkau inginkan dengan kelahiran tersebut?” Sejenak aku terkesiap mendengar pertanyaan ini. Lahir kembali? Bukankah itu tidak mungkin, ujar batinku.

Beberapa saat aku terdiam. Kulihat ia tampak sungguh-sungguh dengan pertanyaan tersebut. Karena masih bingung hendak menjawab apa, lontaran pertanyaan itu kukembalikan lagi kepadanya, “Kalau engkau sendiri yang diberi kesempatan itu, apa yang akan kamu lakukan?”

“Wah, ditanya kok malah balik tanya!” jawab temanku sedikit kesal. Sejenak ia menarik nafas panjang. Ditatapnya aku dengan mimik wajah yang teramat serius. “Kalau aku diberi kesempatan itu, aku ingin lahir kembali menjadi diriku yang baru.”

Aku masih bingung mendengar jawabannya.

“Kamu adalah sahabat karibku semenjak kecil. Tentu kamu tahu apa yang sudah aku lakukan hampir di sepanjang hidupku. Berbagai perbuatan jahat sudah pernah aku lakukan. Mulai dari menjambret, mencuri, menodong, memperkosa hingga membunuh orang. Puluhan kali pula aku merasakan pahitnya hidup di penjara.” katanya.

“Bukankah saat ini engkau sudah bertobat?” tanyaku.

“Aku memang sudah bertobat dan berjanji tidak akan pernah melakukan hal seperti dulu lagi. Tapi rasanya semua itu masih kurang. Seringkali aku melihat orang-orang memandang jijik kepadaku. Aku sadar, aku ini memang bekas maling, bekas rampok, bekas pembunuh dan entah bekas-bekas apalagi.” ujarnya.

“Apalah artinya bekas. Yang terpenting kan apa yang kau lakukan saat ini. Semua orang pasti mempunyai masa lalu. Kadang masa lalu itu tidak seperti harapan kita dan ingin sekali kita buang jauh. Tapi toh itu tidak mungkin karena masa lalu adalah bagian dari kehidupan kita. Boleh kita menyesal tapi yang utama bukankah kita bisa belajar dari masa lalu tersebut untuk menata kehidupan yang lebih baik?” tegasku.

Seperti halnya Yesus yang datang ke dunia untuk memanggil orang-orang berdosa, Ia tidak pernah melihat masa lalu kita. Ia akan selalu menerima (walau kita begitu hitam dan berkarat) jika kita sungguh-sungguh bertobat dan mau merubah diri sesuai dengan kehendak-Nya. Seperti juga hari baru yang selalu dianugerahkan-Nya untuk kita. Hari yang baru. Kelahiran baru. Juga kesempatan untuk kehidupan baru yang lebih baik.

Tuhan,
Syukur atas kehidupan yang selalu Engkau berikan kepada kami lewat hari yang baru
Terangi kami, agar kami mampu semakin dekat denganmu
Kuatkan dan teguhkan kami dalam menghadapi segala godaan
Hingga dari hari ke hari
Kami semakin pantas dan layak di hadapan-Mu

Kamis, 05 Februari 2009

???????????????

Ini adalah sekelumit pengalamanku ketika bergabung dalam sebuah blogger kristiani:

Raissa selalu menulis -anak kecil berbicara, didengarkah?-
Anak kecil? Tanda tanya besar mengelayuti pikiranku ketika pertamakali singgah di blognya Raissa. Ketika kemudian membaca profilnya, ooo… ternyata… memang benar adek kita ini masih kecil.. (paling tidak bila dibandingkan dengan usiaku… ). Tapi sungguh, aku dibuat kagum dengan caranya ketika menulis blog dan komentar-komentarnya. Pemikirannya jauh di atas usia sebenarnya. Jadi, mengapa tidak mendengarkan Raissa ketika ia berbicara (menulis)? Bukankah ia seorang gadis kecil yang telah dewasa (gadis dewasa yang masih kecil?)?

Hai-hai, Karena Di Surga, Yang Terbesar Adalah Anak-anak
Ketika membaca tulisan ini, aku jadi teringat sebuah perikop pada Injil Markus 10:13-14 :
Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang itu. Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.”

King heart, Apakah dengan mengatakan kebenaran kepadamu aku telah menjadi musuhmu?
Kebenaran kadang teramat sulit untuk dikatakan. Sebab tidak jarang sebuah kebenaran bisa melukai orang-orang yang dekat dengan kita (bahkan yang paling dekat sekalipun). Ia juga bisa mengubah seorang sahabat menjadi musuh kita. Namun, kebenaran haruslah diungkap walau apapun resikonya.

Ken, >>>=GOD=LOVE=YOU=>>
Tuhan begitu mencintai aku hari ini. Dan aku sangat bersyukur karenanya. Pagi-pagi, Ia sudah membangunkan aku dengan kehidupan baru, nafas baru dan kesegaran baru. Ia memberi kesempatan kepadaku untuk sejenak mencium kening istriku yang tengah lelap tertidur. Ia juga kemudian memberi kehidupan baru untuk istriku. Ia memampukan tangan serta kakiku untuk beraktifitas sepanjang hari. Ia memperkenankan aku berjumpa dengan tetangga, rekan-rekan sekantor, juga orang-orang lain dalam segala aktifitasku. Ia telah memberi pikiran dan kemampuan menulis untukku (hingga kemampuan ini kini terasa bagaikan candu yang membuat aku ketagihan). Sungguh, Tuhan benar-benar mencintai aku.

Jesus Freaks, "Live X4J, Die As A Martyr"
-SEMBAHLAH BAPA DALAM ROH KUDUS & DALAM YESUS KRISTUS-
Untuk kalimat kedua aku sudah faham, tapi untuk yang pertama mungkin artinya hidup bersama Kristus dan mati sebagai martir (betulkah?).

Phrack, (+) berdoalah agar supaya jangan penggoda merugikan jiwamu (+)
Doa memang sumber kekuatan. Ketika berdoa aku merasakan damai dan ketentraman. Namun saat aku lupa berdoa, aku begitu mudah jatuh dalam bujukan setan.

Desfortin
[*LET'S B' HUMBLE, KEEP ON LEARNING AND BE TEACHABLE ABOUT THE TRUTH*]
Anak El-Shadday
but the one who endure to the end, he shall be saved...
Iik J
For to me to live is Christ, and to die is gain.

Untuk yang tiga ini terus terang aku belum begitu mengerti, mungkin ada yang mau menolong? Maklum, dahulu bahasa Inggrisku ‘grotal-gratul’ (he… he… he…)

Ari_Thok
*yuk comment jangan hanya ngeblog* *yuk ngeblog jangan hanya comment*
Untuk ngeblog mungkin saat ini aku tidak begitu kesulitan tapi kalau untuk comment rasa-rasanya aku perlu belajar banyak pada Pak Purnawan, Purnomo, Dennis Santoso, Pwijayanto, Kardi, Joli, Raissa, Hai-hai, Hiskia, Jesus Freaks dan temen-temen lain yang belum aku sebut namanya(maklum lupa…)

Kalau aku sendiri, hanya punya sebuah kalimat: *** Ikut Yesus, Siapa Takut!!! ***

GBU All.

Rabu, 04 Februari 2009

Antara Menulis dan Melakukan Apa yang Ditulis

Menulis dan melakukan apa yang ditulis adalah dua hal yang berbeda. Paling tidak hal ini yang kadang tercermin dalam tindakanku sehari-hari. Beberapa waktu lalu aku menulis tentang perlunya selalu mengucap terima kasih kepada orang yang telah memberikan kebaikan namun kadang aku sendiri lupa mengucap terima kasih. Aku juga pernah menulis tentang pentingnya untuk bertindak tertib, tapi ternyata aku juga masih suka melanggar hal itu baik sengaja maupun tidak. Dan kemarin, aku menulis tentang apa artinya mengalah, tapi hari ini aku sudah bertindak semaunya sendiri sampai-sampai istriku bilang, “Mbok ndak usah nyalip tho mas, sama becak aja kok ndak mau ngalah!”

Ternyata memang lebih mudah memberi nasehat daripada melakukannya sendiri. Lebih mudah menulis untuk orang lain agar bertindak baik daripada mempraktekkannya. Manusiawi? Mungkin? Tapi rasanya akan lebih baik jika apa yang aku tulis adalah apa yang aku lakukan. Karena jika demikian berarti aku sudah bertindak jujur. Jangan sampai orang kemudian berkata: bagaikan GAJAH DIBLANGKONI, iso kotbah ora iso nglakoni (bisa mengatakan tetapi tidak bisa melakukan). Nah!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Kebablasan...

Melihat tayangan televisi kemarin sore, hati ini mendadak terenyuh. Pada tayangan tersebut, terlihat massa yang begitu beringas hendak menyerbu masuk gedung DPRD sementara sang Ketua Dewan yang keluar sidang malah menjadi tahanan massa. Ia diarak, ditarik-tarik (dan mungkin juga dipukuli), terjepit diantara massa yang begitu marah. Karena sudah kepayahan (juga kesakitan) sang Ketua Dewan akhirnya pingsan. Segera ia dilarikan ke rumah sakit terdekat (massa masih sempat-sempatnya melempari kendaraan yang membawa korban ke rumah sakit…) namun akhirnya nyawanya tidak tertolong. Tragis!!!

Setan apakah yang membuat massa begitu beringas. Iblis macam mana yang membuat mereka dengan tanpa dosa memporakporandakan ruangan sidang. Membanting kursi, membalik meja dan memecah semua kaca. Jika semua itu berhasil mereka lakukan, semuanya tertawa gembira. Terbahak-bahak dan bersorak-sorak karena merasa menang. Kejadian apa ini? Apakah mereka sudah menjelma menjadi manusia jaman purba yang tidak berakal. Bukankah mereka itu sebenarnya para mahasiswa dan orang-orang pintar yang berpendidikan tinggi!

Entah mau dibawa kemana bangsa ini jika hal yang demikian masih terus saja terjadi. Sedikit saja timbul perbedaan maunya langsung diselesaikan dengan kekerasan. Ada yang tidak setuju atau tidak disukai, tangan dan kaki langsung bergerak. Tidak hanya di masyarakat bawah tetapi hal demikian juga sering terlihat di kalangan pendidikan bahkan hingga di gedung wakil rakyat. Tidak ada lagi rasa saling menghormati dan menghargai adanya perbedaan. Tidak ada lagi rasa kasih dalam kebersamaan. Semuanya sudah hilang ditikam egoisme dan keinginan menindas sesama.

Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita punya kecenderungan untuk melakukan hal yang sama? Jika memang demikian, baiklah kita mawas diri. Melihat kembali ke dalam hati dan mulai memperbaiki sikap dan perbuatan kita. Sebab apa yang kita lakukan untuk orang lain pada akhirnya akan kembali lagi kepada kita. Apa yang kita tanam itulah yang nanti akan kita petik.

Selasa, 03 Februari 2009

Mengalah

Suatu siang di sebuah perempatan jalan lampu lalu lintas mendadak mati. Mobil serta kendaraan yang barusan berhenti serentak bergerak maju. Sementara di bagian jalan yang lain, mobil dan kendaraan juga sedang melaju. Semua kemudian bertemu di tengah. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau memberi jalan. Semua saling berebut ingin jalan terlebih dahulu. Akhirnya, semuanya terhenti. Macet. Hanya terdengar bunyi klakson yang silih berganti memekakkan telinga.

Malam harinya, ketika tengah mengikuti rapat pisah sambut seorang romo lama dengan romo baru, ada peristiwa yang hampir mirip. Saat itu bapak Wakil Dewan Paroki sedang mengusulkan suatu hal yang berkaitan dengan pemberian kenang-kenangan. Salah seorang Ketua Wilayah menganggap bahwa hal tersebut bukanlah hal yang penting sehingga tidak perlu dibahas. Bapak Wakil Dewan bersikukuh dengan usulannya sementara sang Ketua Wilayah juga tetap pada pendapatnya. Semua tidak mau mengalah. Dan akhirnya rapat pun jadi molor dan beberapa hal yang penting malah tidak sempat dibahas.

Mengalah barangkali memang hal yang seringkali dijauhi oleh semua orang. Mengalah berarti kalah, begitu pendapat umum yang sering terdengar. Apakah memang demikian? Jawabannya bisa ya dan bisa pula tidak.

Ketika kita mengalah kepada kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada dalam diri kita; kita menjadi semakin terjerumus dan lebih memilih menuruti bujukan setan dan berbuat dosa; ketika kita mengalah pada situasi atau kondisi di sekitar kita yang lebih menjunjung tinggi ’ketidakadilan’ di atas segalanya; pada saat itulah berarti kita telah kalah. Mengalah untuk kalah. Padahal dalam Roma 12:21 ditegaskan: ”Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”

Lain halnya, ketika kita bisa memberikan tempat duduk kita dalam sebuah bis yang penuh sesak kepada seorang kakek/nenek tua atau kepada ibu yang sedang menggendong anaknya; saat di jalanan, kita bisa dengan ’legowo’ memberikan kesempatan kepada kendaraan lain (yang ukurannya lebih kecil dari kendaraan kita) atau para pejalan kaki untuk lewat terlebih dahulu (bukannya mentang-mentang pake mobil mewah terus bisa seenaknya sendiri salip sana-salip sini); lebih bisa mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain ketimbang bersikukuh dengan pendapat kita sendiri; mau menerima kalo jatah BLT kita dicabut (karena sebenarnya memang kita dalam kategori mampu) dan memberikannya kepada orang lain yang benar-benar membutuhkan; lebih mengutamakan kepentingan umum (bersama) daripada kepentingan pribadi; maka dengan demikian kita tidak bisa disebut kalah. Justru dengan tindakan yang kita lakukan, kita telah menang. Menang terhadap sifat egois, serakah dan keinginan mementingkan diri sendiri. Maukah kita bertindak demikian?

Senin, 02 Februari 2009

Berbagi Lima Roti dan Dua Ikan

Beberapa hari yang lalu, di parokiku diadakan kegiatan pisah sambut romo lama dengan romo yang baru. Karena sifatnya mendadak dan belum adanya kepanitiaan khusus yang dirancang oleh Dewan Paroki, maka ditunjuklah kaum muda untuk menangani kegiatan ini. Segera setelah penunjukkan, kami cepat bergerak, menghubungi beberapa rekan dan kelompok-kelompok paguyuban yang pernah didampingi oleh romo lama untuk melengkapi kepanitiaan dan merencanakan acara yang akan dilaksanakan.

Semula, karena sudah menjadi kebiasaan, kami menyusun acara beserta pendanaannnya sesuai dengan kegiatan sejenis yang dahulu pernah dilaksanakan. Namun rupanya, Romo Kepala Paroki kami tidak puas. Beliau ingin menawarkan sesuatu yang baru dan mengajak kami untuk mulai belajar mengembangkan semangat berbagi lima roti dan dua ikan. Beliau mengajak agar semua wilayah bisa ikut berperan serta dengan memberikan sumbangan konsumsi untuk kegiatan ini sehingga anggaran dari paroki tidak terlalu banyak (terutama untuk konsumsi). “Sebab romo bukan hanya milik paroki tetapi milik semua umat,” tegas beliau.

Karena merupakan sesuatu yang baru, awalnya, kami merasa kesulitan terutama ketika harus menjelaskan kepada para Ketua Wilayah. Namun berkat dukungan, penjelasan dan pengertian Romo Kepala Paroki kami, akhirnya semua dapat menerima dengan baik.

Hal ini tergambar jelas ketika kegiatan pisah sambut berlangsung. Sesuai kesepakatan, masing-masing wilayah memberikan konsumsi yang berbeda. Ada nasi uduk, nasi ayam, sate ayam dengan lontong, mie jowo, snack dengan segala macamnya juga teh dan wedang ronde. Semua terlibat. Semua ikut berperan serta menyukseskan acara. Dan ketika seluruh acara benar-benar berakhir, semua merasa puas. Semua larut dalam kegembiraan dan kebahagiaan. Bahkan Romo Kepala Paroki kami juga turut terlibat membereskan kursi-kursi yang berserakan seusai acara. Sungguh sesuatu yang benar-benar baru.

Berbagi lima roti dan dua ikan adalah teladan yang pernah dilakukan Yesus ketika melihat orang banyak berkerumun mengikuti Dia seperti terlihat pada kutipan pada Injil Yohanes 6:5-13 berikut ini: “Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya dan melihat, bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya, berkatalah Ia kepada Filipus: "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?" Hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia, sebab Ia sendiri tahu, apa yang hendak dilakukan-Nya. Jawab Filipus kepada-Nya: "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini, sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja." Seorang dari murid-murid-Nya, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata kepada-Nya: "Di sini ada seorang anak, yang mempunyai lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?" Kata Yesus: "Suruhlah orang-orang itu duduk." Adapun di tempat itu banyak rumput. Maka duduklah orang-orang itu, kira-kira lima ribu laki-laki banyaknya. Lalu Yesus mengambil roti itu, mengucap syukur dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ, demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu, sebanyak yang mereka kehendaki. Dan setelah mereka kenyang Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih supaya tidak ada yang terbuang." Maka merekapun mengumpulkannya, dan mengisi dua belas bakul penuh dengan potongan-potongan dari kelima roti jelai yang lebih setelah orang makan.”

Ketika ada seseorang yang mau berbagi maka semua masalah dapat diatasi. Dan ketika semakin banyak orang terlibat dan tergerak hatinya untuk saling berbagi (berbagi materi, berbagi ilmu, berbagi waktu, berbagi tenaga, berbagi kesempatan, berbagi kemampuan, berbagi kekurangan), kehidupan akan menjadi lebih baik. Kehidupan menjadi begitu indah dan membuat orang merasa bahagia. Mungkin inilah solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi berbagai krisis yang tengah dihadapi bangsa ini. Sekali lagi, hanya ketika orang mau berbagi. Berbagi dengan landasan hati yang tulus dan keinginan untuk menjunjung tinggi martabat manusia. Bukan ingin berbagi karena ada pamrih-pamrih tertentu. Nah, selamat berbagi!

Minggu, 01 Februari 2009

Syetaannnn....

Suatu saat, ada seorang teman yang menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan setan kepadaku. Saat itu, ia sedang dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya di sebuah gang sempit, pada suatu malam yang telah larut. Suasana begitu sepi dan tidak ada seorang pun yang kelihatan di jalanan. Pada suatu kelokan yang gelap, ia melihat sesosok bayangan putih yang sedang duduk di bawah sebatang pohon. Ia kaget dan mengerjap-ngerjapkan mata agar bisa melihat dengan lebih jelas. Bayangan putih itu masih ada di sana. Sejenak dirasakannya bulu kuduk yang tegak berdiri dan tubuh gemetaran. Tanpa pikir panjang, ia segera angkat kaki sekencang-kencangnya meninggalkan tempat itu.

Pengalaman seperti ini mungkin juga pernah kita alami. Bertemu dengan pocong, genderuwo, kuntil anak, sundel bolong dan entah apalagi namanya. Kita kemudian menjadi takut, gemetaran, endak tau apa yang harus diperbuat atau malah lari terbirit-birit seperti teman saya itu. Dan rasa-rasanya hal ini adalah sesuatu yang wajar dan bisa dimengerti.

Setan itu memang ada. Dan ia sudah ada semenjak manusia pertama diciptakan. Setan yang menggoda Hawa untuk mengambil buah kehidupan. Setan yang menyebabkan Adam dan Hawa diusir dari Taman Firdaus. Setan yang membuat manusia tidak menuruti apa yang diperintahkan oleh Tuhan.

Saat ini, setan sudah berwujud seorang manusia. Dan inilah hal yang paling menakutkan. Sebab ia tidak peduli dengan orang lain. Ia selalu mencari keuntungan diri sendiri di atas penderitaan orang lain. Ia egois dan serakah. Ia juga seorang yang sombong dan tinggi hati. Ia selalu ingin dilayani. Ia ingin dipuja-puja dan dianggap yang paling berjasa. Ia pemarah dan tidak pernah mau memaafkan orang lain.

Apakah setan itu aku? Jika memang demikian, segera ambil sebuah cermin, pandangi lalu katakan dengan suara keras… syetaannnn...!!!!!!

Ternyata (2)...


Hari ini di gerejaku diadain misa Imlek. Sungguh di luar dugaan ternyata umat yang hadir bener-bener banyak banget. Sampe-sampe kursi-kursi yang udah disediain di depan gereja (di halaman) endak muat. Masih banyak umat yang harus rela berdiri karena ndak kebagian tempat duduk. Sementara di dalam gereja, bangku-bangku juga terisi penuh.

Misa diawali dengan perarakan yang dipandu oleh empat gadis cantik berpakaian kuning berselempangkan selendang warna merah yang menari dengan lemah gemulai. Mereka mengantar perarakan hingga di depan altar. Setelah itu misa berjalan seperti biasa.

Karena misa khusus (yang hanya setahun sekali diadakan) maka ada yang bener-bener spesial yaitu pemberian angpao untuk anak-anak kecil dan pembagian bingkisan. Anak-anak dengan tertib maju berdua-dua dalam deretan yang panjang, dengan sabar menerima berkat dari romo juga pembagian angpao oleh panitia. Sementara seluruh umat mendapatkan bingkisan berupa satu buah jeruk, kue kranjang dan sebungkus jamu.

Setelah menerima bingkisan, banyak umat yang kemudian bergegas pulang (apalagi yang berada di luar gereja) padahal misa belum berakhir. Ternyata mereka betah berlama-lama mengikuti misa (yang hampir dua setengah jam) karena ada iming-iming pembagian bingkisan. Jika bingkisan udah didapat, ya udah trus pulang. Lebih-lebih jika ada umat yang dengan begitu gembiranya menenteng bingkisan, satu di tangan kiri, satu di tangan kanan. Mereka bangga karena bisa mendapat dua, sementara yang lain harus gigit jari karena endak kebagian. Ternyata banyak juga dari kita yang masih bisa bersikap seperti itu. Serakah dan ndak peduli dengan orang lain. Tenyata banyak diantara kita yang bener-bener mengharapkan mendapat bingkisan. Entah apapun bentuknya.

Memang, mengharapkan mendapat bingkisan itu adalah hal yang wajar. Manusiawi. Tapi kalo terus karena hal itu membuat kita jadi egois dan serakah, hal ini yang harus dibuang jauh-jauh. Sebab masih banyak orang lain yang punya keinginan sama dengan kita. Masih banyak yang punya harapan seperti kita. Oleh karena itu, jika memang mampu sebaiknya kitalah yang menjadi pihak pemberi. Karena walau bagaimanapun memberi (apalagi dengan penuh ketulusan hati) akan terasa lebih bermakna jika dibandingkan dengan hanya menerima saja.