Sudah beberapa hari ini, kantor desain interior di depanku tutup. Aneh, begitu pikirku! Apakah kantor itu sudah bangkrut dan tidak bakalan buka lagi? Ataukah ada karyawannya yang keluarganya meninggal? Rasa penasaranku ternyata tidak berlangsung lama. Lewat salah satu karyawannya yang menyempatkan diri datang ke toko tempatku bekerja, untuk membeli sesuatu, terkuaklah alasan mengapa kantor itu tutup. Ternyata, kantor itu tutup untuk menghindari adanya pemeriksaan software yang kini kembali marak. Mereka takut jika ketahuan menggunakan software bajakan.
Pagi harinya ketika aku mencoba mendiskusikan soal pemeriksaan software ini kepada salah seorang teman kantor, tiba-tiba saja ia kelihatan begitu bersemangat. “Nonsen.. hal itu bisa dilaksanakan!” teriaknya.
“Kok nonsen pak. Apa alasannya?” tanyaku kurang mengerti.
“Hal yang mereka lakukan itu tidak ada gunanya. Coba kamu pikir, apakah kantor-kantor pemerintahan sudah menggunakan software-software yang asli? Apakah banyak instansi yang juga sudah memakainya. Pasti kalau mau diteliti hanya beberapa saja. Bukankah hal ini adalah sesuatu yang keliru. Semestinya kalau memang mau ditertibkan, mereka menertibkan diri terlebih dahulu kemudian setelah itu baru menertibkan yang lain. Ini namanya tidak konsekwen!” jelasnya.
Tidak konsekwen. Itu mungkin yang menjadi penyakit paling parah di negeri ini. Banyak peraturan sudah dibuat, tapi ketika tiba pada pelaksanaan… hasilnya kebanyakan nol besar. Banyak anjuran dan keputusan dari pemerintah yang ‘katanya’ musti dilaksanaan dan ditaati, namun ketika diteliti lebih jauh, masih banyak di antara mereka sendiri yang tidak melaksanakan instruksi dan keputusan tersebut. Instruksi tentang penghematan listrik. Instruksi agar menggunakan produk dalam negeri dan masih banyak lagi. Di jalanan, kita juga sering melihat ketidakkonsekwenan ini. Pak polisi dengan semena-mena mencegat dan menghentikan para pengguna jalan yang mereka ‘anggap’ telah melanggar peraturan. Namun di sisi lain, mereka sendiri malah sering melanggar peraturan mentang-mentang tidak ada yang berani menegur mereka. Dan ketika ada yang kemudian ‘melehke’ (mengingatkan) mereka hanya terdiam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Dalam keluarga, ketidakkonsekwenan ini juga tanpa kita sadari sering terjadi. Kita menyuruh agar anak belajar tapi kita sendiri tidak menciptakan suasana yang mendukung hal itu karena kita asyik nonton sinetron. Kita menyuruh anak agar mengasihi saudara dan tidak bertengkar tapi kita sendiri malah mempertontonkan pertengkaran kita di depan anak. Kita menyuruh agar mereka mau membuang sampah di tempat sampah tapi kita sendiri sering buang sampah sembarangan. Kita menyuruh anak agar jangan menggunakan kata-kata yang kasar tapi kita sendiri menyukai kata-kata kotor ketika bertengkar dengan istri atau suami dan masih banyak contoh yang lain.
Jadi, apakah kita sudah konsekwen? Apakah ajakan atau anjuran yang kita berikan kepada orang lain sudah kita terapkan pada diri sendiri? Kalau memang belum… ya jangan salahkan mereka kalau tidak mau mematuhinya… karena kitalah yang menjadi contoh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar