Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati (Yakobus 2:26).
Misa pagi baru saja usai. Orang-orang segera bergegas meninggalkan gereja. Ada yang berjalan kaki namun tidak sedikit pula yang mengendarai motor atau mobil. Tiba-tiba suatu insiden terjadi. Karena saling berebutan pingin segera keluar, sebuah mobil tanpa sengaja menyenggol sebuah motor. Tak ayal motor dan pengendaranya langsung terjatuh. Orang yang berada di dalam mobil segera keluar. Tanpa belas kasihan, segera saja keluar kata-kata makian kepada pengendara motor yang masih tampak meringis kesakitan menahan sakit. Aneh, sudah menyenggol, bukannya meminta maaf, eh… lha kok malah memaki-maki… Lebih aneh lagi ternyata… pemilik mobil ini adalah orang yang sama, yang barusan memberi kotbah di dalam gereja. Walah….
Di lingkunganku, ada seorang pemuka umat bernama Pak Alex. Ia juga penulis terkenal di sebuah majalah rohani. Tulisan-tulisannya seringkali berbicara tentang keimanan sambil tak lupa mencantumkan kutipan-kutipan ayat Kitab Suci. Ketika dahulu memilih Pak Alex sebagai tokoh umat, banyak umat yang berharap, dia dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya untuk seluruh umat. Namun ternyata kenyataan berbicara lain. Pak Alex pilih-pilih dalam memberi pelayanan. Ia sering ogah jika umat yang dilayaninya masuk dalam kategori umat yang ‘biasa-biasa’ saja secara materi. Di lingkungan RT dan RW tempat tinggalnya, Pak Alex juga seorang warga yang pasif. Ia jarang terlibat dalam kegiatan warga semisal arisan, kerja bakti maupun siskamling.
Nah, masihkah kita menjadi orang-orang yang demikian. Orang-orang yang hanya bisa berkotbah atau menulis hal-hal baik (dengan berbagai macam kutipan ayat-ayat yang begitu alkitabiah) untuk orang lain tapi tidak mampu melakukannya untuk diri sendiri. Masihkah kita hanya memiliki iman yang begitu mendalam tetapi nol dalam praktek. Bukankah itu seperti ‘tong kosong berbunyi nyaring’. Bukankah juga Yesus lebih memilih para nelayan, pemungut cukai dan orang-orang yang hidupnya sederhana daripada para ahli taurat dan orang yang berpendidikan tinggi. Jadi sekali lagi, kita perlu mawas diri sambil terus membatin ‘apakah aku sudah melakukan apa yang aku katakan!!!!’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar