Selasa, 03 Februari 2009

Mengalah

Suatu siang di sebuah perempatan jalan lampu lalu lintas mendadak mati. Mobil serta kendaraan yang barusan berhenti serentak bergerak maju. Sementara di bagian jalan yang lain, mobil dan kendaraan juga sedang melaju. Semua kemudian bertemu di tengah. Tidak ada yang mau mengalah. Tidak ada yang mau memberi jalan. Semua saling berebut ingin jalan terlebih dahulu. Akhirnya, semuanya terhenti. Macet. Hanya terdengar bunyi klakson yang silih berganti memekakkan telinga.

Malam harinya, ketika tengah mengikuti rapat pisah sambut seorang romo lama dengan romo baru, ada peristiwa yang hampir mirip. Saat itu bapak Wakil Dewan Paroki sedang mengusulkan suatu hal yang berkaitan dengan pemberian kenang-kenangan. Salah seorang Ketua Wilayah menganggap bahwa hal tersebut bukanlah hal yang penting sehingga tidak perlu dibahas. Bapak Wakil Dewan bersikukuh dengan usulannya sementara sang Ketua Wilayah juga tetap pada pendapatnya. Semua tidak mau mengalah. Dan akhirnya rapat pun jadi molor dan beberapa hal yang penting malah tidak sempat dibahas.

Mengalah barangkali memang hal yang seringkali dijauhi oleh semua orang. Mengalah berarti kalah, begitu pendapat umum yang sering terdengar. Apakah memang demikian? Jawabannya bisa ya dan bisa pula tidak.

Ketika kita mengalah kepada kebiasaan-kebiasaan buruk yang ada dalam diri kita; kita menjadi semakin terjerumus dan lebih memilih menuruti bujukan setan dan berbuat dosa; ketika kita mengalah pada situasi atau kondisi di sekitar kita yang lebih menjunjung tinggi ’ketidakadilan’ di atas segalanya; pada saat itulah berarti kita telah kalah. Mengalah untuk kalah. Padahal dalam Roma 12:21 ditegaskan: ”Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”

Lain halnya, ketika kita bisa memberikan tempat duduk kita dalam sebuah bis yang penuh sesak kepada seorang kakek/nenek tua atau kepada ibu yang sedang menggendong anaknya; saat di jalanan, kita bisa dengan ’legowo’ memberikan kesempatan kepada kendaraan lain (yang ukurannya lebih kecil dari kendaraan kita) atau para pejalan kaki untuk lewat terlebih dahulu (bukannya mentang-mentang pake mobil mewah terus bisa seenaknya sendiri salip sana-salip sini); lebih bisa mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain ketimbang bersikukuh dengan pendapat kita sendiri; mau menerima kalo jatah BLT kita dicabut (karena sebenarnya memang kita dalam kategori mampu) dan memberikannya kepada orang lain yang benar-benar membutuhkan; lebih mengutamakan kepentingan umum (bersama) daripada kepentingan pribadi; maka dengan demikian kita tidak bisa disebut kalah. Justru dengan tindakan yang kita lakukan, kita telah menang. Menang terhadap sifat egois, serakah dan keinginan mementingkan diri sendiri. Maukah kita bertindak demikian?

Tidak ada komentar: