Jumat, 31 Desember 2010

Selamat Tahun Baru


Waktu terus berlalu
tak terasa tahun pun berganti
segala peristiwa kini tinggalah kenangan
suka maupun duka
biarlah semua menjadi cermin
biarlah segala memberi hikmah
untuk menapaki masa depan yang lebih baik
di hari yang baru


Selamat Tahun Baru, Sahabat

Selasa, 21 Desember 2010

Syukurku



Tuhan,
Aku bersyukur karena Engkau selalu menyertai kami
Hingga kami dapat menyelesaikan proyek ini...
Semoga segala jerih lelah kami
Menjadi berkah bagi kami dan sesama...

Kamis, 25 November 2010

Hujan

Pagi ini hujan turun membasahi bumi. Dan hawa dingin datang menyelimuti kehidupan. Aku masih meringkuk di bawah selimut ketika tiba-tiba bunyi alarm berbunyi. Rrrriiiinngggg…. Aku mencoba membuka mata walau berat dan kulihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 05.00. Aduh, aku harus bangun! Aku harus segera mandi karena hari ini aku sudah berjanji untuk mulai lagi mengikuti misa harian yang sejak tiga hari ini sudah aku tinggalkan.

Sejenak aku terdiam. Bukankah di luar hujan deras? Apakah aku akan nekat menerobos hujan untuk mengikuti misa? Aku berada dalam kebimbangan. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap berangkat. Kenapa aku harus takut dengan hujan? Bukankah aku bisa memakai payung?

Hujan bagi sebagian orang kadang terasa menakutkan. Menakutkan karena ia bisa saja datang begitu tiba-tiba dan memporak-porandakan pesta ultah atau pesta perkawinan yang sudah dirancang sempurna dengan undangan yang berlimpah. Menakutkan karena mungkin ia juga akan membatalkan janji kita dengan klien penting yang akan mendatangkan keuntungan besar.

Bagi sebagian yang lain hujan memang benar-benar menakutkan karena ia menyebabkan banjir. Banjir yang menenggelamkan apa saja. Banjir yang membuat jalanan jadi macet, semrawut dan penuh ketidaksabaran dimana-mana. Banjir yang kemudian membuat rumah kita menjadi kotor penuh sampah dan lumpur, yang membuat kita harus bersusah payah untuk membersihkannya.

Namun bagi sebagian yang lain, hujan adalah berkah. Hujan menjadi rahmat yang sungguh dinantikan oleh para petani yang sawahnya kering, tanahnya pecah-pecah dan tandus akibat kekeringan selama berbulan-bulan. Hujan adalah anugerah karena ia membawa pertanda dimulainya sebuah pengharapan. Pengharapan akan kehidupan yang lebih baik.

Hujan tetaplah hujan. Ia akan turun ketika saatnya sudah tiba. Namun darinya kita bisa belajar tentang arti sebuah persiapan.

Hujan yang datang hendaknya mengingatkan kita untuk segera membenahi atap rumah yang bocor. Hujan yang datang kiranya juga mengingatkan kita untuk segera memeriksa got depan atau samping rumah. Apakah ia mampet karena sudah terlalu banyak timbunan sampah akibat perilaku kita? Bukankah kita harus segera membersihkannya agar ketika hujan itu datang dengan deras, air dapat segera mengalir dengan lancar sehingga tidak terjadi banjir. Bukankah hujan yang datang juga mengingatkan kita untuk selalu menjaga raga kita agar tetap kuat beraktivitas dan tidak mudah terserang penyakit.

Memang datangnya hujan mengajak kita untuk bersiap-siap. Namun alangkah lebih baik jika persiapan itu bisa kita lakukan jauh hari sebelum ia benar-benar datang seperti halnya para petani yang sawahnya kering, tandus dan pecah-pecah akibat kemarau. Mereka tidak diam berpangku tangan tetapi tetap mencangkuli dan membajak tanahnya dengan penuh kesabaran agar ketika hujan itu benar-benar turun mereka dapat segera memanfaatkan tanah itu untuk menaburkan benih kehidupan. Nah!

NB: REPOST

Selasa, 23 November 2010

Matahari dan Pohon Tua

Pagi ini matahari lagi ngambek. Wajahnya ditekuk dan kelihatan jelek sekali. Ia sudah meniatkan diri untuk tidak melakukan apa-apa hari ini. Ia kepingin tidur seharian.

Saat hendak memulai aksi tidurnya, tiba-tiba sebuah pohon tua datang menghampirinya.

“Met Pagi, Mata. Tumben kok belum siap-siap berangkat kerja?” sapa pohon tua, ramah.

“Eh, Po Tua. Hari ini aku tidak mau kerja lagi! Aku pingin tidur saja!” jawab Mata sambil beringsut membetulkan letak selimutnya.

“Lho kok ndak kerja, lalu bagaimana jika hari ini dunia menjadi gelap gulita?” Po Tua keheranan mendengar jawaban Mata.

“Ahh… biarin, aku tidak peduli! Pokoknya aku ndak mau kerja lagi!!” seru Mata.

“Lagi ada masalah ya dengan pekerjaan yang kamu lakukan?” tanya Po Tua lembut sambil berusaha menenangkan emosi Mata.

Melihat perhatian dari Po Tua, emosi Mata perlahan mereda. Ia segera menegakkan tubuhnya.

“Aku sudah bosan dengan pekerjaanku. Aku merasa apa yang sudah aku lakukan selama ini hanya kesia-siaan belaka...!” urai Mata.

“Maksudmu?” tanya Po Tua tak mengerti.

“Coba lihatlah para manusia itu, apa yang telah mereka lakukan selama ini? Mereka hanya mau menangnya sendiri. Mereka tidak pernah mau belajar untuk setia seperti kesetiaan yang selama ini telah aku tunjukkan. Dengan seenaknya mereka menceraikan istri-suami mereka hanya karena merasa istri-suami sudah ndak menarik lagi. Sudah merasa populer dan banyak uang hingga sah-sah saja kalo mencari wanita atau pria pendamping lain. Berbuat kasar terhadap istri, suami atau anak-anak mereka. Dan ujung-ujungnya mereka saling berebut harta, berebut anak bahkan berebut harga diri. Lalu apa artinya pesta pernikahan megah yang dahulu pernah mereka lakukan hingga menelan biaya miliaran rupiah. Apa artinya menikah di tempat-tempat yang suci kalo ujung-ujungnya hanya untuk bercerai!” Sejenak Mata menghela napas. “Mereka juga tidak pernah mau belajar setia pada kebenaran. Setia dengan hati nurani mereka masing-masing. Orang saat ini begitu mudah tersulut emosinya bahkan saling bunuh hanya karena masalah sepele. Lebih parah lagi, mereka memperlakukan sesamanya seperti hewan yang bisa dimutilasi dan dibuang bak seonggok sampah yang tiada berguna. Belum lagi mereka suka bertikai, tawuran yang tidak jelas, berperang hingga mengorbankan kepentingan sesama yang tidak berdosa. Sebagian lagi lebih suka menghambur-hamburkan uang karena merasa sudah berkelimpahan. Padahal harta yang mereka dapat itu dari hasil merampok dan merampas hak orang lain dengan cara korupsi. Nah, jika demikian bukankah apa yang aku lakukan selama ini tidak ada artinya sama sekali?” Mata terengah-engah dengan penjelasannya yang panjang lebar.

Po Tua hanya terdiam. Beberapa saat ia mencoba memahami kegelisahan yang dirasakan oleh Mata, sahabatnya.

“Mata, dulu aku juga pernah merasakan perasaan seperti itu. Perasaan tidak dihargai. Perasaan diabaikan dan tidak dianggap ketika para manusia itu dengan seenaknya menggunakan anggota tubuhku untuk kepentingan mereka. Memaku dengan sadis. Mengikat dengan tali temali sekuat tenaga hingga aku kesulitan untuk bernafas. Dan masih banyak lagi kesengsaraan yang mereka buat untukku. Namun akhirnya aku sadar, aku harus tetap bertahan…” terang Po Tua.

“Apa maksudmu…?!” tanya Mata kurang mengerti.

“Coba lihatlah sekelilingmu. Bukankah di hamparan ilalang masih banyak tumbuh bunga indah beraneka warna. Bukankah masih ada keharuman di tengah bau yang tidak sedap sekalipun,” jawab Po Tua.

“Ayolah, Po Tua. Jangan malah memberi perumpamaan yang berbelit-belit seperti itu. Aku semakin tidak mengerti?” bujuk Mata.

“Di tengah ketidaksetiaan istri dan suami masih banyak juga yang tetap setia mempertahankan pilihan mereka. Satu istri atau satu suami hingga maut memisahkan. Di antara manusia yang suka bertikai, masih ada yang selalu mengusahakan perdamaian. Masih banyak pula yang menjunjung tinggi rasa cinta terhadap sesama. Saling menghargai, memberi perhatian dan saling menolong. Dan ada pula yang selalu mengusahakan kebaikan untuk hidup bersama. Bukankah bagi mereka, cahayamu akan sungguh berguna? Bukan saja akan menjadi penerang bagi langkah mereka tetapi lebih-lebih akan menjadi pelita dan sumber teladan bagi manusia lain yang hidup dalam kegelapan.” jelas Po Tua.

Mata manggut-manggut. Ia berusaha meresapi apa yang barusan dikatakan Po Tua.

“Satu hal yang harus diingat: Kita harus bertahan. Bertahan untuk sikap dan tindakan yang baik di tengah banyak keburukkan dan kejahatan. Jangan sampai kita hanyut pada arus yang akan membawa kita pada ketidaksetiaan dan kegelapan. Kita harus berani setia pada kebenaran yang sudah kita pilih dan berani pula untuk mempertanggungjawabkannya!” tambah Po Tua.

Mata semakin mengerti. Sejurus kemudian ia teringat sesuatu dan segera berlari sambil berkata, “Trima kasih Po Tua, kini aku mengerti. Maaf, aku harus segera pergi untuk melaksanakan tugasku…”

Po Tua tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Dalam hati ia bersyukur karena sudah berhasil menyampaikan kebenaran.

NB: REPOST

Sabtu, 20 November 2010

Peduli

Apakah kita peduli pada rambut yang mulai panjang, yang sudah tiba waktunya bagi kita untuk pergi ke tukang cukur? Pada perut kita yang keroncongan di tengah kesibukan yang begitu padat? Apakah kita peduli pada mata yang sudah lelah akibat lama begadang?

Apakah kita peduli pada istri yang mengajak kita untuk berbicara? Peduli dengan omelan istri saat sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya? Apakah kita peduli pada bayi kecil kita yang menangis karena lapar dan mengompol? Peduli dengan ayah-ibu yang beranjak tua dan mulai sakit-sakitan?

Apakah kita peduli pada kamar tidur kita yang berantakan? Pada tumpukan pakaian di pojok kamar yang menunggu untuk dilipat dan disetrika? Pada pakaian yang mulai sobek? Pada tumpukan piring cucian di sudut dapur? Pada sepatu yang mulai berdebu? Peduli pada halaman rumah yang kotor? Pada got depan rumah yang mulai mampet? Pada sampah yang dibuang tidak pada tempatnya?

Apakah kita masih suka menerobos lampu lalu lintas di perempatan jalan saat warnanya masih merah? Pedulikah kita dengan anak-anak kecil di pinggir jalan yang asyik mengamen dan meminta-minta di saat teman-temannya yang lain bersekolah? Apakah kita peduli dengan situasi masyarakat di sekitar kita? Pada tetangga yang butuh bantuan?

Jika kita seorang perokok, apakah kita peduli dengan asap rokok yang mengganggu orang lain yang ada di sekeliling kita? Peduli bahwa dengan tindakan kita sudah merugikan kesehatan orang lain?

Jika kita seorang pedagang, apakah kita peduli dengan apa yang sudah kita jual? Dengan kualitasnya? Dengan harganya?

Jika kita seorang pemimpin, apakah kita peduli dengan rakyat yang kita pimpin? Dengan kebijakan-kebijakan yang kita ambil? Dengan janji-janji yang pernah diucapkan dahulu? Apakah kita peduli dengan kesejahteraan rakyat?

Dan, mengapa kita peduli akan semua hal itu?

Karena kita adalah makhluk Tuhan yang sudah dikaruniai akal dan budi. Karena Tuhan tidak hanya menciptakan AKU, KAMU atau KITA. Karena Ia telah menciptakan dunia seisinya secara lengkap dan sempurna.

Oleh karena itu kita harus peduli. Karena dengan peduli berarti kita sudah menghargai hidup. Dengan peduli kita belajar bersosialisasi dan bertoleransi. Dengan peduli membuat hidup menjadi damai, tenteram dan mutu hidup semakin berkembang. Dengan peduli berarti kita sudah bersyukur pada Tuhan. Bersyukur karena Ia pun sudah peduli pada kehidupan dan kebutuhan kita. Bersyukur atas segala kebaikan yang sudah diberikanNya untuk kita.

Nah, marilah kita peduli!!!


NB: REPOST

Kamis, 18 November 2010

Kambing dan Serigala

Pada jaman dahulu, kambing berteman dengan serigala. Mereka hidup dalam damai dan saling tolong satu sama lain.

Suatu malam, kambing tengah terjaga. Sudah bolak-balik ia berusaha memejamkam mata tetapi tetap saja tidak bisa tidur. Dalam kepalanya terus saja terpikir sesuatu. Sesuatu yang membuatnya menjadi uring-uringan beberapa hari ini. “Aku harus bisa seperti serigala!” jerit hatinya. “Alangkah senangnya menangkap mangsa. Alangkah enaknya makan daging. Aku sudah bosan dengan makananku sehari-hari. Hanya rumput, rumput dan rumput melulu. Pokoknya, aku harus bisa seperti serigala!” tekad kambing, pasti.

Keesokan harinya, saat matahari masih malu-malu memberikan sinarnya, kambing bergegas ke rumah serigala. Di sana, dilihatnya serigala masih asyik bermalas-malasan di atas tempat tidur.

“Serigala, ayo cepat bangun! Aku ingin berburu denganmu,” teriak kambing.

Serigala terkejut. Sesaat ia melihat ke arah asal suara itu. Dilihatnya kambing sudah berada di depan pintu rumahnya. Sejenak ia merasa heran lalu katanya, “Eh, apa aku tidak salah dengar? Bukankah engkau tidak bisa berburu?” tanya serigala dengan wajah keheranan.

“Makanya aku pergi ke sini. Aku ingin kamu mengajari aku bagaimana caranya berburu dan menangkap mangsa. Aku ingin merasakan daging buruanku,” jawab kambing penuh semangat.

Serigala semakin terheran-heran. Namun ia tak ingin mengecewakan sahabatnya itu terlebih ia sudah paham watak kambing. Jika sudah memiliki keinginan, pasti tidak bisa dicegah.

Mereka segera menuju ke tempat perburuan di balik bukit. Tempat di mana serigala biasa berburu. Dan memang, tempat itu dipenuhi hewan-hewan lain dari beragam jenis. Ada rusa, kelinci, kuda, harimau, burung dan masih banyak lagi.

Serigala mulai bersiap-siap. Pertama-tama ia mencari tempat persembunyian untuk mengintai hewan buruannya. Setelah menetapkan target, segera ia berlari dan mulai mengejar sang buruan. Tak berapa lama seekor kelinci telah berhasil ditangkapnya.

Kambing semakin iri melihat kepandaian sahabatnya. Dengan tidak sabar, ia minta diajari. Dan setelah merasa cukup mengerti, kambing ingin segera mencoba untuk berburu. Pertama-tama setelah mengintai beberapa saat, ia menetapkan seekor anak rusa gemuk yang tengah asyik makan sebagai sasaran. Dengan mengendap-endap kambing mulai mendekati anak rusa itu. Setelah dirasa cukup dekat, kambing segera berlari.

Anak rusa itupun terkejut melihat kedatangan kambing. Dengan reflek ia segera berlari menyelamatkan diri. Terjadi saling kejar. Kambing yang tidak biasa berlari segera saja ‘ngos-ngosan’ dan tertinggal jauh. Akhirnya anak rusa itu menghilang dari pandangan.

Kambing tidak putus asa. Segera ia menetapkan target buruan yang lain. Namun hal yang sama terus saja terulang. Ia gagal mendapatkan hewan buruannya hingga hari beranjak sore.

“Sudahlah kambing, ini memang bukan pekerjaanmu. Ayo kita segera pulang,” ajak serigala.

Kambing yang begitu kelelahan dengan kaki-kaki yang mulai gemetaran karena rasa capai yang tidak terkira hanya bisa menggangguk. Dengan langkah tertatih-tatih ia mengikuti serigala dari belakang.

Sesampai di rumah, serigala segera menghidangkan hasil buruannya di atas meja. Kambing sangat bersukacita atas kemurahan sahabatnya. “Tidak apa hari ini aku gagal, toh aku masih bisa makan daging buruan serigala, “ begitu pikirnya. Segera ia mengambil sepotong daging itu, mengigitmya sebentar dan kemudian menelannya. Aneh rasanya. Tiba-tiba perutnya terasa mual. Tapi kambing tidak mempedulikannya. Ia mengambil potongan-potongan daging yang lain. Mengunyahnya dengan tidak sabar. Terus dan terus. Tiba-tiba: “Aduh, sakit sekali…” teriak kambing sambil memegangi lehernya.

Serigala yang sedang asyik makan terkejut melihat sahabatnya. “Ada apa kambing…” Tergopoh-gopoh serigala mendekati kambing.

“A.. a.. ada tulang nyangkut di tenggorokanku. Tol..tolong aku serigala… Aku tidak bisa bernapas!” Kambing merem melek menahan rasa sakit yang luar biasa. Sementara serigala semakin kebingungan tidak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya kambing tidak sempat tertolong. Ia menemui ajal akibat kebodohannya sendiri.

NB: REPOST

Selasa, 16 November 2010

Cerita Pohon Asam Tua

Aku hanyalah pohon asam tua yang ada di pinggir jalan. Telah hampir seratus tahun aku berada di sini. Tumbuh dan melihat berbagai peristiwa yang terjadi di sekitarku. Saat ini situasi begitu ramai. Berbeda dengan keadaan 30-40 tahun yang lalu. Ketika itu masih belum banyak keriuhan yang terjadi. Tanah-tanah di samping kiri kananku juga masih luas dan belum berpenghuni. Di depan dan belakangku juga belum banyak berdiri gedung-gedung. Tapi kini semuanya telah berubah. Aku merasa terjepit di antara gedung-gedung tinggi dan mal-mal yang terus saja dibangun.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan. Entah siapa yang dulu telah menanam aku. Mungkin barangkali siapa pun dia, berkeinginan agar nantinya aku dapat memberi kegunaan bagi ciptaan Tuhan yang lain. Dan cita-cita itu telah berhasil aku wujudkan di sebagian besar kehidupanku. Rindang daunku telah memberi keteduhan bagi siapa saja yang merasa kepanasan atau di kala hujan tiba. Lebat buahku juga memberi keuntungan bagi orang-orang yang membutuhkannya. Tiap hari aku juga harus bekerja keras menyaring banyak udara kotor akibat aktifitas manusia.

Aku hanyalah sebuah pohon asam yang telah tua. Aku sangat sedih jika melihat ulah manusia. Selama ini mereka tidak pernah memelihara aku dengan sungguh-sungguh. Mereka jarang sekali menyirami aku disaat aku mengalami kehausan di tengah musim kering yang begitu panas. Mereka hanya ingin manfaat dariku. Dengan tanpa belas kasihan mereka memaku tubuhku. Dengan dalih karena akulah tempat yang paling tepat untuk memasang pengumuman, promosi, dan entah apa lagi. Apalagi jika musim kampanye tiba. Waduh, habis tubuhku dipaku oleh mereka. Seringkali aku juga kesulitan untuk sekedar bernapas ketika leher dan tangan-tanganku diikat oleh tali temali untuk memasang berbagai spanduk. Belum lagi jika ada tangan-tangan jail yang begitu teganya mencoret-coret dan mengelupasi kulit tubuhku.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tengah menanti ajal. Tubuhku yang telah renta kini semakin sakit akibat ulah para manusia itu. Aku ingin berteriak. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis keras-keras. Tetapi mereka tidak pernah mempedulikan aku. Mereka hanya menganggap aku sebagai benda mati yang bisa diperlakukan apa saja. Entah sampai kapan penderitaan ini akan berakhir.

Aku hanyalah pohon asam tua yang tumbuh di pinggir jalan, yang ingin dihargai, dirawat dan diperhatikan. Sebab aku juga makhluk hidup yang telah diciptakan oleh Tuhan.

NB: REPOST

Sabtu, 13 November 2010

Rem

Pernahkah kita membayangkan andai kendaraan atau mobil kita tidak diberi rem? Bagaimana ketika kita ngebut di jalan raya dan tiba-tiba harus berhenti mendadak karena lampu lalu lintas menyala merah? Bagaimana jika berada di jalanan yang menurun?

Rem mungkin hanyalah bagian kecil dalam motor atau mobil kita. Namun berkat jasanya kita bisa mengendalikan motor atau mobil kita yang cukup besar. Dengannya kita bisa lebih menghargai pemakai jalan yang lain. Kapan saatnya berhenti. Kapan harus menahan diri untuk tidak menyalip atau ngebut. Dengan rem kita bisa lebih berhati-hati ketika berada di jalanan.

Manusia juga sudah diberi rem oleh Tuhan. Rem itu adalah hati nurani. Persoalannya adalah apakah rem itu masih kita pakai? Ataukah sudah sejak dahulu kita lepas dan kita buang entah kemana? Melihat situasi dan kecenderungan masyarakat dewasa ini hal itu sudah terjadi. Kekerasan ada di mana-mana. Ketidakadilan bertumbuh semakin besar. Hanya karena persoalan sepele dengan mudahnya manusia saling bertikai, tawuran bahkan saling bunuh dengan cara-cara yang begitu biadab. Manusia mencari hal-hal untuk memuaskan nafsu tanpa mempedulikan sesama dan lingkungannya dengan foya-foya dan korupsi di segala bidang.

Untuk itu, kembali menggunakan rem adalah satu-satunya jalan yang mesti diperjuangkan. Memang sungguh berat apalagi ketika melihat pengaruh lingkungan yang ada di sekitar kita. Materialisme, hedonisme, kesenangan-kesenangan sesaat seakan terus hadir dan berlomba-lomba mempengaruhi kita. Mereka menawarkan sejuta kenikmatan dan kesenangan semu yang pada akhirnya membuat kita menjadi bimbang dan gampang terjatuh.

Tapi disadari atau tidak, itulah tantangan yang harus dihadapi. Rem yang sudah kita miliki hendaknya kembali kita rawat dengan baik. Kita jaga agar tidak cepat aus tergerus oleh keadaan dan lingkungan yang menawarkan banyak keindahan semu. Rem itu senantiasa kita lumasi dengan rajin mendengarkan firman-firman-Nya melalui doa dan ibadah kita sehari-hari serta ketekunan kita dalam melaksanakan kehendak baik. Berat memang, terlebih kita hanya manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan. Namun kita percaya, di bawah bimbingan-Nya tiada yang mustahil.

NB: REPOST

Minggu, 07 November 2010

Mulut

Hari ini mulut lagi mengadakan aksi demo. Sepanjang hari ia memlester dirinya dan diam membisu ketika tangan, kaki, telinga dan mata berusaha menyapanya.

Ketika tiba waktunya berdoa di hadapan Tuhan seperti biasa, untuk pertama kalinya mulut mau membuka plester dan bersuara, “Tuhan, aku mau protes kepadaMu!” mulut memandang wajah Tuhan yang nampak terkejut. “Aku protes, mengapa Engkau hanya membuatku satu saja? Aku iri dengan teman-temanku, mata, telinga, kaki dan tangan. Mereka Kau ciptakan dua-dua sehingga selalu punya kawan dan tidak pernah merasa kesepian. Aku iri dengan mereka Tuhan!”

Tuhan terdiam mendengar protes mulut. Sejenak ia memandang mulut dengan seksama sebelum berkata, “Mengapa engkau protes dengan apa yang sudah Aku lakukan? Mengapa engkau iri dengan teman-temanmu?”

“Bukankah aku juga sama dengan teman-temanku itu. Bahkan aku merasa punya keunggulan dibanding mereka. Tanpa aku, mereka tidak akan bisa menyampaikan maksud dan keinginan mereka kepada yang lain juga kepadaMu?” jawab mulut berusaha membela diri.

Tuhan hanya tersenyum, kemudian katanya, “Wahai mulut, engkau memang pandai berkata-kata. Apakah engkau tidak belajar dari Hawa, manusia kedua yang Aku ciptakan di taman firdaus itu? Bukankah ia terjerumus ke dalam dosa karena bujuk rayu mulut ular yang pandai berkata-kata sepertimu?”

Mulut terdiam.

“Dan saat ini lihatlah juga keadaan manusia di sekelilingmu. Apa yang seringkali mereka lakukan dengan mulut mereka? Bukankah kekerasan, kekejian, ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang terus terjadi adalah buah dari mulut mereka. Mulut yang mencaci. Mulut yang menyumpah serapah. Mulut yang saling menghujat. Mulut yang pandai berbohong dan berdalih. Mulut yang berkata-kata kasar. Mulut yang selalu berusaha mencari kesalahan sesama dan menelanjanginya di depan banyak manusia lain. Mulut yang tidak suka akan perdamaian. Mulut yang penuh kedengkian. Mulut yang selalu iri dengan keberhasilan manusia lain. Mulut yang penuh dengan janji-janji palsu. Apakah engkau tidak pernah menyadarinya?” tanya Tuhan. “Jika dengan satu mulut saja semuanya ini bisa terjadi, bagaimana jadinya jika aku membuatnya menjadi dua?” lanjut Tuhan.

Mulut semakin terdiam. Ia kini mulai merasa bersalah.

“Ketika Aku menciptakan engkau hanya satu dan telinga dua, Aku berharap bahwa manusia akan lebih banyak mendengar daripada berkata-kata. Mendengarkan segala kebenaran dan kebaikan sebelum mengatakan sesuatu apa pun itu. Saat aku menciptakan dua mata, Aku juga berharap manusia akan lebih banyak melihat segala kejadian sehingga ia dapat mengatakan sesuatu dengan tepat dan benar tanpa diiringi oleh penilaian-penilaian yang keliru. Dan apabila aku menambahkan dua tangan dan dua kaki, aku sangat berharap manusia tidak hanya berhenti pada kata-kata saja tetapi juga mampu mewujudkannya dalam karya dan tindakan yang nyata demi kebaikan dan keluhuran sesama manusia.”

Mulut tertunduk. Kini ia menyadari kebenarannya. Sejurus kemudian ia memandang Tuhan dan berkata, “Tuhan, ampuni aku yang bodoh ini. Aku hanya bisa menyalahkan Engkau tanpa pernah menyadari kebaikan yang selama ini Engkau berikan kepadaku. Bimbinglah aku agar aku bisa menahan diri terhadap kata-kata yang bertentangan dengan kehendakMu. Kuatkan aku agar aku senantiasa mampu menyampaikan kebaikan dan kebenaran di mana pun dan kapan pun. Dan terangi aku agar aku tidak hanya berhenti pada kata-kata kosong dan menipu tetapi dapat mewujud dalam tindakan untuk sesamaku.”

NB: REPOST

Kamis, 28 Oktober 2010

Sadarkah?

Entah, apa yang terjadi dengan negeri ini
bencana terus datang, silih berganti
akankah kita makin mengerti,
atau justru memilih tidak peduli?

Rabu, 27 Oktober 2010

Mbah Marijan


Sosokmu tua namun tak renta
teguh dalam janji tanpa hiraukan nyawa
“Ini adalah tugasku menjaga amanat,” ujarmu
dan karena kesetiaan itu, engkau pun tiada
disapu awan panas yang datang tanpa berita

Selamat jalan, Mbah
tenanglah engkau di sana
moga lakumu memberi makna bagi kami
untuk setia pada janji
untuk setia pada nurani

Rabu, 20 Oktober 2010

Dari Satu Menjadi...


Satu, ia tidaklah berguna. Hanya teronggok di tempat sampah setelah kita menghabiskan isinya. Namun, saat yang satu itu dikumpulkan hingga menjadi banyak, dibersihkan, dirangkai satu sama lain, akhirnya, ia akan menjadi sesuatu yang menakjubkan. Sesuatu yang indah.

Itulah yang akan kami lakukan mulai minggu ini hingga 2 bulan ke depan. Merangkai gelas-gelas bekas air mineral yang sudah dibersihkan menjadi sebuah pohon natal. Pekerjaan yang bisa dikatakan berat tapi juga bisa disebut ringan. Berat, jika hanya dilakukan oleh satu orang, namun akan terasa ringan bila semua yang berkepentingan mau terlibat dan bekerjasama.

Ah… semoga semuanya berjalan sesuai rencana. Semoga jerih payah yang sudah kami lakukan sejak awal tahun, kerelaan dan ketulusan dari rekan-rekan, sungguh menjadi ‘bara’ yang akan selalu menyemangati kami 2 bulan ini, hingga akhirnya, terciptalah sebuah pohon natal yang akan kami pandang dengan penuh keharuan.

Satu, memang tidak berguna, tetapi ketika saling bersatu dan bekerjasama, akan tercipta harmoni yang sangat indah dan saling meneguhkan. Semoga, kami pun mampu melakukannya.

Selasa, 19 Oktober 2010

50 tahun

Apa yang terpikir di benak kita saat membaca tulisan di atas? Waktu yang teramat panjang? Usia yang sarat dengan aneka pengalaman dan peristiwa? Bagaimana jika hal itu berkait erat dengan sebuah pernikahan? Tentu pertama-tama kita akan berdecak kagum, salut, dan takjub.

Dan Sabtu kemarin (16/10), aku berkesempatan menghadiri Misa Syukur perayaan 50 tahun pernikahan sebuah keluarga di lingkunganku. Dari deretan umat yang hadir, tampak adik, anak-anak, menantu, hingga cucu-cucu. Semua diliputi kegembiraan. Semua berbahagia karena melihat kakak, ayah-ibu, eyang kakung dan eyang putri yang akan meneguhkan kembali janji perkawinan, sama seperti pengalaman 50 tahun lalu.

50 tahun yang indah. 50 tahun yang penuh dengan perjuangan. Hal itu kiranya yang terungkap dari keluarga ini. Meski ada berbagai onak dan duri, kegembiraan dan kesedihan, keluarga ini tetap bersatu dan bersama mengarungi samudra kehidupan. Dan ketika semua itu dapat diatasi, hanya kebahagiaanlah yang terus mengalir. Bahagia melihat anak-anak yang berhasil dengan kehidupannya, juga karena cucu-cucu yang tumbuh dengan sehat.

Semua itu dapat terwujud karena kasih. Kasih yang telah dianugerahkanNya. ”Kasih itu sabar, kasih itu murah hati. Ia tidak cemburu, ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, percaya segala sesuatu”.

Minggu, 17 Oktober 2010

Dalamnya Laut Dapat Diduga, Dalamnya Hati Siapa Tau

Kalimat di atas adalah peribahasa yang sudah amat familiar di telinga kita. Tentu, setiap dari kita juga sudah memahami maknanya. Yah, benar.. kita dapat menduga dalamnya laut.. entah 100, 500, atau bahkan 1000 meter tapi tentang hati, kadang (sering?), kita menjadi salah tafsir. Mungkin saja di luar tampak baik, bermanis muka, memasang senyum yang super uenakkk... tapi ternyata di dalam hatinya, berbalik 180 derajat.

Maka karena itu, dalam setiap kebersamaan, saat kita berjumpa dan bergaul dengan orang lain, baik yang sudah lama dikenal akrab bagai saudara atau dengan orang yang barusan kita kenal, kita harus selalu menjaga sikap, tutur kata, dan perbuatan. Jangan karena beranggapan sudah biasa, kita bisa berlaku seenaknya. Ingat: apa yang tampak di permukaan itu sering tidak sama dengan apa yang dirasakan di dalam hati!

Jumat, 15 Oktober 2010

Mari Melakukan Kebaikan

Setiap hari, lewat beragam media baik cetak maupun elektronik, kita selalu disuguhi berbagai peristiwa yang bercitarasa kekerasan dan anti kebaikan. Mulai dari tingkatan yang paling ringan sampai yang paling brutal dan di luar nalar kemanusiaan. Entah itu berupa fitnah, caci maki, saling menghujat, saling pukul, hingga saling bunuh.

Kadang (mungkin juga sering) kita bertanya, mengapa hal-hal semacam itu terus saja terjadi? Mengapa Tuhan tidak menghentikan semua itu dengan kuasaNya? Bukan perkara sulit jika Ia ingin mengenyahkannya. Ibaratnya tinggal menjentikkan jari maka segala hal yang jahat akan hilang dan musnah dari muka bumi ini.

Itu semua terjadi karena Ia begitu mengasihi kita. Ia ingin agar manusia bisa berubah karena sejatinya sedari awal, manusia itu diciptakan baik adanya. Oleh karena itu Ia selalu memberi kesempatan. Lagi dan lagi.

Maka, mari melakukan kebaikan. Bukan esok, nanti, entar, nunggu kalo udah jadi orang berduit... jadi pemimpin, tapi hari ini... saat ini. Bukan pertama-tama agar dapat pahala atau masuk surga karena semua itu adalah wewenangNya, tapi yang paling utama karena kita sudah terlebih dahulu menerima berjuta kebaikan dariNya.

Nah, tunggu apa lagi... selagi kesempatan itu masih ada... selagi kita masih hidup... MARI MELAKUKAN KEBAIKAN!

Kamis, 14 Oktober 2010

Hidup

Saat aku terbangun pagi ini
dan merasakan udara menghangatkan ragaku
ketika seluruh panca indraku berfungsi dengan baik
ketika aku merasa begitu sehat,
penuh semangat untuk seluruh aktifitas
saat aku bisa menyapa dan tersenyum
kepada orang-orang terkasih
pun dengan mereka di mana pun aku berjumpa
itu menjadi anugerah terindah yang dilimpahkanNya
itu menjadi kehidupan untukku

hidup yang berarti
hidup yang berguna untuk orang lain

Rabu, 13 Oktober 2010

Harapan


Hari ini aku melihat sebuah peristiwa yang sangat luar biasa, menakjubkan, indah, sekaligus mengharukan. Peristiwa yang terjadi nun jauh di sana, di sebuah negara yang bernama Cile. Sebanyak 33 penambang yang telah terjebak selama 68 hari di perut bumi, di kedalaman 700 meter dari permukaan tanah, mulai diselamatkan satu per satu, hari ini.

Sungguh luar biasa perjuangan 33 penambang itu. Meski hidup jauh di kedalaman, mereka tidak putus harapan. Mereka tetap bertahan hidup demi bertemu dan berkumpul kembali dengan orang-orang yang mereka cintai. Istri, anak, juga kerabat.

Harapan. Benar, itulah hal yang harus dimiliki. Ketika jalan terasa begitu terjal, gelap dan tidak berujung. Saat raga terasa begitu lelah dan keputus-asaan membayang di pelupuk mata. Rasanya hanya sejumput harapan yang akan membuat hidup ini kembali bergairah. Harapan yang dibungkus kepasrahan akan penyelenggaraan Tuhan bahwa rencanaNya adalah yang terbaik.

Dan, ketika harapan itu menemukan wujudnya, kebahagiaanlah yang tiada henti-hentinya mengalir. Sama seperti situasi saat para penambang itu berjumpa kembali dengan orang-orang yang dicintai setelah sekian lama berpisah. Pelukan erat, tangis kebahagian, serta ucapan selamat dari banyak orang, menjadi bukti yang tidak terbantahkan.

Mari, memelihara harapan!

Selasa, 12 Oktober 2010

Jujurlah

Tuan,
mengapa engkau tidak jujur?
kami sudah terlalu muak
dengan aneka kebohongan
yang engkau ciptakan selama ini

jangan salahkan kami jika terus berontak
itu hanyalah bukti bahwa kami kecewa
amat kecewa

ternyata,
engkau tak ubahnya seperti buah jambu
di luar tampak ranum dan menggiurkan
namun di dalam
dipenuhi ulat yang teramat menjijikkan

Minggu, 10 Oktober 2010

10.10.10


Ibu, saatku belum tiba
tapi mengapa engkau paksa aku?
aku belum siap
hadapi dunia yang makin renta ini
mengapa engkau tidak mau bersabar?
mengapa hanya egomu yang engkau turuti?

Ibu,
aku sungguh belum siap
karena, bukan kehendakmu
melainkan kehendakNyalah yang terbaik

Minggu, 03 Oktober 2010

Semarang Kaline Banjir...

Kalimat di atas adalah lirik sebuah lagu bernuansa Jawa yang amat dikenal di kota Semarang. Apakah hanya sekedar lirik? Ternyata tidak. Kalimat itu menggambarkan hal yang sebenarnya. Kenyataan yang aku lihat pagi ini saat aku mengantarkan istriku berbelanja keperluan untuk membuat kue di pasar Johar.

Di saat menunggu, pandanganku terarah pada kali yang berada di tempat itu. Miris! Itulah yang pertama kali aku rasakan. Kali yang kotor dengan air berwarna hitam pekat, berbau, dan beberapa bagiannya dipenuhi dengan sampah. Celakanya lagi, ketinggian air sudah hampir mencapai bibir pembatas yang menjadi batas jalan dengan kali itu. Mungkin jika terjadi hujan yang sangat lebat, air kali yang kotor dan berbau itu akan memenuhi jalan dan tentunya juga pasar.

Ah... Semarang (memang) kaline banjir... Banjir sampah. Juga banjir ketidakpedulian. Bagaimana dengan kali di tempat sahabat?


Jumat, 01 Oktober 2010

Mengapa?

Lihatlah langit di ujung sana
terus digelayuti mendung yang semakin menghitam
mentari yang dulu rajin menyapa
kini seolah tak berdaya dikepung kegelapan

ah... betapa nelangsa negeri ini
raganya terus dicincang rupa-rupa kekerasan
hatinya yang dulu ramah
kini dipenuhi oleh amarah
mengapa?
hati semakin tumpul,
rasa semakin beku,
hingga kita bak mayat-mayat hidup haus darah
terus berkelebatan meneror dan mencari mangsa
tak peduli
pada anak yang kehilangan bapak
pada istri yang kehilangan suami
pada mereka yang kehilangan saudara

Mengapa?

Selasa, 28 September 2010

Jika Bisa...

Sudah beberapa hari ini, aku merasa berbeda ketika melewati jalan itu. Arus kendaraan yang biasanya lancar-lancar saja kini menjadi sedikit tersendat dan agak semrawut. Selidik punya selidik, ternyata ada bagian jalan yang rusak dan berlobang. Dan untuk menghindari kecelakaan, dipasanglah papan-papan peringatan untuk menutupi bagian jalan yang rusak tersebut. Akibatnya, jalan semakin sempit sedangkan arus kendaraan tetap dan cenderung bertambah.

Mengapa jalan itu tidak segera diperbaiki? Mengapa ketika jalan itu rusak dan berlobang, tidak ada lagi polisi yang (mau) berjaga di pos polisi, di ujung jalan itu?

Ah… sepertinya aku harus menyetujui apa yang pernah dikatakan oleh teman sekantorku beberapa waktu lalu: “Jika bisa diperlama, mengapa harus dipercepat? Jika bisa bisa diabaikan mengapa harus diperhatikan? Jika bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?”

Ckckckckckck… ternyata, memang inilah budaya yang terjadi di negeri ini.

Senin, 27 September 2010

Damai di hatiku, damailah negeriku

Tulisan itu aku baca beberapa hari yang lalu. Waktu itu aku baru saja pulang dari gereja setelah mengikuti misa pagi. Di perjalanan menuju ke rumah, aku melihat beberapa becak yang sedang 'parkir' di pinggir jalan. Pada salah satu becak, tepatnya di dekat sandaran tempat duduk, aku menemukan tulisan tersebut. Terpampang secara sederhana, diam, sambil berharap ada orang-orang yang akan membacanya.

Damai di hati. Hidup yang penuh kedamaian. Semua orang pasti menginginkannya. Bukan hanya sekedar keinginan tetapi sudah menjadi kebutuhan yang selalu dicari. Bagaimana hal itu bisa diperoleh? Apakah ketika kita memiliki jabatan yang tinggi, yang membuat banyak orang jadi segan dan menunduk-nunduk, ketika kekuasaan tak terbatas ada di genggaman, saat harta kekayaan melimpah ruah, kita bisa memilikinya? Jawabannya adalah tidak. Jabatan yang tinggi, kekuasaan yang tanpa batas, serta harta kekayaan yang melimpah, membuat banyak orang cenderung selalu berpikir untuk mempertahankannya. Dan karena hal itu, mereka sanggup menggunakan segala cara mulai dari yang baik hingga yang paling jahat sekali pun demi mencapai tujuan tersebut.

Lalu, bagaimana agar damai itu bisa diperoleh? Damai (yang sejati) hanya bisa dirasakan ketika kita mampu bersyukur. Bersyukur dalam segala situasi kehidupan kita. Susah-senang, baik-buruk, mendapat berkat atau musibah. Kebaikan, kesenangan serta berkat yang diperoleh akan selalu menyadarkan kita betapa Allah itu teramat baik dan selalu mencintai kita. Oleh karena itu, kita perlu melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Mampu menjadi saluran berkat dan kebaikan bagi orang lain. Sebaliknya, kesusahan, keburukan, dan musibah, akan mengingatkan kita bahwa kita ini hanyalah manusia yang lemah, yang tidak berdaya. Untuk itu, kita harus selalu ingat dan bersandar kepadaNya. Dia yang sudah memberi hidup, Dia pula yang berkuasa atas kehidupan kita.

Nah, ketika damai itu sudah ada di hati, maka kehidupan kita pun akan menjadi damai. Kita dapat menyelaraskan kehidupan kita dengan orang lain. Membuang segala sifat yang egois, menerima keberadaan orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dan mampu bekerja sama dengan orang lain demi kebaikan bersama.

“Damai di hatiku, damailah negeriku”. Semoga kita mampu mewujudkannya.

Sabtu, 25 September 2010

Kasno

Pagi baru saja berganti dengan siang. Di dekat pos polisi sebelah lampu merah itu, Kasno beristirahat. Di sampingnya tergeletak sapu lidi bertangkai panjang yang menjadi alat kerjanya sehari-hari. Sesaat, ia mengusap peluh yang menetes di dahinya. Pekerjaan sebagai penyapu jalan memang cukup melelahkan. Apalagi, tiap hari ia harus berangkat pagi-pagi. Membersihkan jalanan yang masih lengang agar terlihat bersih sebelum orang-orang beraktifitas.

Meski lelah dan tiap hari berkawan dengan debu, ia tidak pernah mengeluh. Ia justru selalu bersyukur pada Tuhan. Bersyukur atas hidup yang telah diterimanya selama ini. Bersyukur untuk pekerjaan yang sudah 'dilakoninya' hampir 5 tahun ini. Memang hanya sebagai penyapu jalan. Tapi baginya, itu sudah cukup berharga mengingat pendidikannya yang hanya tamatan SMP.

Ia juga sangat bersyukur karena Tuhan sudah memberikan Murti untuknya. Murti, istrinya, perempuan berperawakan kecil dengan wajah yang cantik. Istri yang baik dan setia. Istri yang mau menerima apa adanya dan tidak banyak menuntut.

Dari perkawinannya dengan Murti yang sudah berjalan 6 tahun, lahirlah Redo, putra semata wayangnya yang kini berusia 4 tahun. Buah hati yang amat disayanginya dan menjadi sumber penghiburan di kala penat merasakan beban hidup.

Beban hidup memang dirasakannya semakin berat dari hari ke hari. Semakin menghimpit dan membuatnya harus terus memeras otak, mencari berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Maka, ia tidak pernah malu melakukan pekerjaan apa pun selepas pekerjaan utamanya. Yang penting tidak merugikan orang lain dan selalu dilandasi dengan kejujuran, begitu prinsip yang selalu dipegangnya.

Kamis, 23 September 2010

Jayus

Jayus Surya Pradana. Itulah namaku. Aku, anak bungsu dari keluarga Prawiro. Aku dan keluargaku tinggal di sebuah desa kecil di Jawa Tengah. Ayahku seorang petani sedangkan ibuku hanya ibu rumah tangga biasa. Kakakku, laki-laki, sering aku panggil dengan sebutan Bagong karena tubuhnya gendut tapi pendek. Umurnya selisih dua tahun denganku.

Semenjak kecil, aku dan kakakku dididik untuk hidup sederhana. Maklumlah, keluarga kami bukan keluarga berada tapi tergolong keluarga yang pas-pasan. Maksudnya, pas ada makanan ya di makan, pas tidak ada ya mesti harus berpuasa. Meski demikian, ayahku selalu berusaha memberikan pendidikan yang terbaik untuk aku dan kakakku. Menurutnya, pendidikan itu penting untuk masa depan dan bisa meningkatkan harkat kehidupan. Lagipula ia tidak ingin anak-anaknya hanya seperti dirinya yang SD saja tidak tamat.

Karena prinsip itulah, ayahku bekerja keras setiap hari. Di sela-sela waktu senggangnya ia mengerjakan pekerjaan apa pun. Asal halal dan menghasilkan uang, pasti akan dilakukannya. Ia juga mewajibkan aku dan kakakku untuk mulai belajar mencari uang sendiri.

Setelah lulus SMA, aku memberanikan diri untuk pergi ke kota. Selain karena alasan mencari pekerjaan yang lebih layak juga karena aku ingin mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Awalnya, ibuku sangat keberatan dan sempat menangis tersedu-sedu. Namun setelah mendapat ’penghiburan’ dari ayah, akhirnya ia luluh dan mengijinkanku pergi.

Ternyata, kehidupan di kota tak seindah bayanganku. Aku harus siap ditolak, berani hidup menggelandang, dan makan seadanya. Tak jarang, aku juga mesti puasa sekian hari karena tidak memiliki uang sepeser pun. Namun, semua itu tidak menghalangi tekadku. Aku ingin mencari kehidupan yang lebih baik.

Rupanya, Tuhan mengabulkan keinginanku. Aku mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik. Karena hasil kerjaku yang cukup baik, aku mulai mendapatkan kepercayaan dari bos dan diangkat sebagai tangan kanannya.

Dua tahun kemudian, aku memutuskan untuk meneruskan pendidikan. Aku mengambil kuliah sore hingga malam hari di sebuah akademi akuntansi.

Meski capek setelah seharian bekerja, aku berusaha tetap fokus dalam kuliahku. Aku selalu belajar dengan sungguh-sungguh. Tak jarang, aku juga mengerjakan tugas-tugas kuliah hingga larut malam. Berkat kerja kerasku itu, aku selesai kuliah tepat waktu bahkan menjadi lulusan terbaik.

Setelah mendapat bekal pendidikan yang cukup baik, aku berusaha mencari pekerjaan baru. Tidak seperti masa sebelumnya, kali ini terasa lebih mudah. Segera saja, aku mendapatkan pekerjaan di lembaga keuangan terkemuka dengan gaji yang tinggi.

Satu setengah tahun bekerja, aku mulai dapat membeli rumah. Aku juga sudah memiliki mobil pribadi. Tabunganku di salah satu bank pemerintah pun mulai menggembung.

Akhirnya, aku dapat mewujudkan impian masa kecilku. Menjadi orang kaya dan memiliki banyak uang. Namun, kekayaan yang terus bertambah mengubah kepribadianku. Aku menjadi orang yang pelit dan egois. Aku terus merasa kurang dan tidak puas. Aku ingin terus menambah kekayaan dan harta bendaku. Aku tidak peduli walau cara yang aku lakukan merugikan orang lain. Yah, aku tidak peduli!

Rabu, 22 September 2010

Kepada Manusia

Bumi sedang meratap
tubuhnya yang dulu indah kini tampak layu
digerus dan digerogoti keegoisan manusia
hutan-hutannya perlahan menghilang
laut dan sungainya semakin kotor akibat sampah
langitnya pun terus dicemari beragam polusi
sementara, aneka sumber daya alam
diambil tanpa perhitungan yang matang

akankah kita terus seperti itu?
berpikir hanya untuk saat ini
tanpa memperhitungkan masa depan?

Ingatlah,
bumi ini hanya satu

Selasa, 21 September 2010

Karena Tidak Peduli

Sejak tiga hari lalu, jalan di dekat pelabuhan itu bertambah ramai. Bukan saja oleh lalu lalang kendaraan yang semakin padat merayap, tapi juga karena kerumunan orang yang ingin menonton. Menonton? Ya, mereka ingin menonton jalan itu yang separuh permukaannya sepanjang hampir 50 meter telah amblas dan tenggelam ke dalam laut. Meski sudah ada tanda peringatan untuk tidak boleh mendekat dan berada di lokasi jalan yang amblas, mereka seolah tidak peduli. Mereka bahkan menjadikan jalan itu sebagai tempat wisata baru.

Hal itu pula yang mendorong Pak Tarno berjualan di tempat itu. Kerumunan orang ditambah siang yang panas menyengat merupakan kombinasi yang pas, yang teramat sayang untuk disia-siakan, apalagi oleh penjual es keliling seperti dirinya. Dan memang, keuntungan yang didapatnya selama dua hari berjualan di tempat ’wisata baru’ itu terhitung cukup memuaskan.

Tapi, manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Saat tengah asyik menjajakan es jualannya di antara orang-orang yang sedang melihat-lihat, jalan itu tiba-tiba kembali amblas. Orang-orang kaget. Mereka menjerit-jerit tak karuan. Namun, semuanya sudah terlambat. Beberapa berhasil menyelamatkan diri sementara yang lain tenggelam, hilang, ditelan air laut yang berwarna kecoklatan. Termasuk Pak Tarno.

Senin, 20 September 2010

Ternyata...

“Yeahhh… akhirnya!” teriakku saat turun dari angkutan. Lelah dan rasa kantuk yang begitu mendera, seketika lenyap tak berbekas. Berganti dengan kegembiraan yang meluap-luap. Aku kembali merogoh saku kemejaku. Mengambil kartu undangan berwarna biru tua yang sudah mulai lecek. Kubaca lagi rangkaian huruf keemasan yang tertera pada undangan itu. “Mohon kehadiran para sahabat blogger dalam acara KOPDARNAS pada tanggal sekian pukul sekian di ruang A, Gedung X, Jalan Y, Kota Z.”

Gedung X. Yah, tidak salah lagi, pasti gedung yang ada di depan itu. Bergegas aku melangkahkan kaki. Kurasakan detak jantungku semakin tidak karuan. Antara perasaan cemas dan gembira. Cemas karena pasti di tempat itu tidak ada yang aku kenal. Gembira karena meski tidak kenal secara fisik, bayangan pribadi, pemikiran dan perasaan dari orang-orang yang akan kutemui sudah begitu aku akrabi melalui persahabatan di dunia maya.

Benar saja, awalnya memang terasa kaku. Namun setelah saling memperkenalkan diri, semua mencair begitu saja, lumer digerus hangatnya persahabatan. Kami saling berbaur dan segera tenggelam dalam percakapan yang begitu akrab mengenai banyak hal. Tentang tempat tinggal, keluarga, hobi, juga tentang pekerjaan masing-masing. Keakraban kami semakin diteguhkan dan dipersatukan melalui beragam acara dan permainan yang sudah dirancang sedemikian rupa. Tuhan… rasanya aku ingin waktu berhenti saat itu… aku ingin lebih lama lagi menikmati hangatnya persahabatan yang dilandasi oleh kasih. Kasih yang mampu menerima perbedaan. Kasih yang mau memberi dan menerima apa adanya.

Tiba-tiba, tit tit tit… tit tit tit… tit tit tit…, dering alarm hp berbunyi nyaring, memecah kesunyian pagi. Aku tergeragap bangun. Kukucak-kucak mata. Jarum pendek jam yang tergantung di dinding sana masih menunjuk ke angka 4. Huahhh….. aku menguap lebar-lebar. Ternyata… semua hanyalah mimpi. Mimpi yang begitu indah.

nb: postingan ini merupakan posting ulang yang sudah mengalami revisi, sebagai bentuk partisipasi dalam lomba yang diselenggarakan oleh bang Munir

Minggu, 19 September 2010

Terima Kasih Tuhan

Tuhan,
hari ini aku jatuh lagi
entah untuk yang keberapa kali
aku tak mampu lagi menghitungnya
yang aku tahu,
aku kembali melukaiMu
dan membuatMu kecewa

aku tidak pantas
aku begitu hitam
tapi tanganMu masih saja terulur untukku
kasihMu yang tiada batas
terus memeluk raga dan jiwaku

terima kasih Tuhan
syukur atas hidup yang masih Engkau beri
kuatkan aku agar mampu bangkit,
memperbaiki hidupku,
demi membalas kasihMu

Sabtu, 18 September 2010

Jadikan Aku Rendah Hati


Tuhan,
jadikan aku rendah hati
jangan biarkan semua kebaikan yang aku lakukan
menjadi alasan bagiku
untuk lebih dihormati,
untuk lebih dihargai,
untuk lebih dipuji,
untuk lebih diperhatikan
namun, biarlah semua itu
menjadi bukti syukurku kepadaMu
karena Engkau begitu mencintai aku

Tuhan,
jadikan aku selalu rendah hati


gambar diambil dari andreas29.wordpress.com

Jumat, 17 September 2010

Mau Menulis Apa Ya?

Ini adalah pertanyaan ‘klasik’ yang sering hinggap di kepalaku. Kadang kalo pas lagi penuh dengan ide, pertanyaan ini bisa langsung kujawab tanpa berlama-lama. Tinggal duduk di depan komputer, jari-jemari menari di atas keyboard, dan jadilah sebuah tulisan. Namun tak jarang, justru terjadi sebaliknya. Sudah puluhan menit berpikir, ide tak kunjung muncul. Nah, di saat-saat seperti ini, pertanyaan itu begitu menyiksaku.

Mengapa ide bisa muncul begitu mudah bahkan saling susul menyusul tapi di lain waktu terasa seret, hilang, bahkan tidak ada sama sekali? Mungkin jawabannya adalah karena aku kurang fokus. Bukankah sebenarnya ide itu sudah terserak di sekelilingku? Berbagai pengalaman yang aku alami, perjumpaan yang terjadi dengan sesama ciptaan, aneka perasaan yang muncul saat melihat suatu peristiwa, buku-buku, majalah, film, sinetron. Semua itu adalah sumber ide yang tidak pernah kering.

Selain kurang fokus, ada satu hal lagi yang sering menggangguku. Hal itu bernama rasa malas. Ya, malas. Malas berpikir untuk mendapatkan ide. Malas duduk di depan komputer dan mulai mengetik karena suatu ‘alasan’ yang kadang dibuat-buat. Juga, malas jika harus mendisiplinkan diri.

Semua itu menjadi tantangan yang harus aku hadapi. Tantangan yang mesti aku kalahkan karena aku ingin terus menulis. Menulis setiap hari. Mungkin, satu dua kali aku akan terjatuh dan gagal, tapi setelah itu aku harus bangkit, berusaha lagi dengan lebih sungguh-sungguh. Hingga pada akhirnya ketika pertanyaan ‘klasik’ itu kembali muncul, dengan senyum kemenangan aku akan duduk di depan komputer dan mulai menulis. Ada atau tidak ada ide.

Rabu, 15 September 2010

Katanya...

Katanya, negeri ini adalah negeri yang makmur, yang gemah ripah loh jinawi. Kekayaan alamnya melimpah-limpah tak terbatas. Namun, mengapa masih banyak kemiskinan di negeri ini. Masih banyak mereka yang tidak memiliki tempat tinggal yang layak, mereka yang harus putus sekolah dan tidak bisa bersekolah, mereka yang tidak memiliki pekerjaan yang pantas, mereka yang lebih memilih menanggung penderitaan akibat sakit karena ketiadaan biaya untuk berobat.

Katanya, orang-orang di negeri ini ramah tamah dan murah senyum. Namun anehnya, kekerasan terus saja meningkat dan menjadi konsumsi sehari-hari di televisi. Sedikit saja salah paham, langsung menyulut pertikaian yang tidak jarang menyebabkan nyawa melayang.

Katanya, bhineka tunggal ika dijunjung tinggi di negeri ini. Namun, mengapa masih saja ada orang-orang yang mempermasalahkan dan membesar-besarkan perbedaan. Menganggap dirinya yang terbaik sedangkan orang lain harus diperangi karena dianggap menjadi duri.

Katanya, para wakil rakyat itu berjanji akan memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Namun, ternyata semua itu hanyalah kebohongan semata. Mereka hanya berjuang untuk kepentingannya sendiri.

Katanya, ah... katanya... Ternyata di negeri ini memang terlalu banyak katanya. Terlalu banyak orang yang pintar ngomong dan memberi komentar. Terlalu banyak katanya... sehingga kita menjadi lupa untuk mewujudkannya di dalam tindakan. Andaikata teringat... kita hanya mampu bertindak atas nama diri sendiri, bukan untuk orang lain.

Senin, 13 September 2010

Selamat Ulang Tahun


Adek,
baru beberapa bulan aku dekat denganmu
namun, rasa sayang kian melekat kuat
kita memang bukan saudara akibat pertalian darah
tapi apalah artinya itu
saat rasa ini terus mekar

dan, ketika pagi ini menyembul indah
rona wajahmu begitu ceria bagaikan mentari
senyum manismu menghangatkan jiwaku

Selamat Ulang Tahun, Adek
panjang umurmu dan makin rajin belajarmu,
makin besar sayangmu untuk papa tercinta,
untuk kakak, adek, mbak yang selama ini menjagamu,
untuk akung, untuk emak, dan saudaramu yang lain,
makin dekat engkau dengan Tuhan,
tidak boleh cengeng dan penakut,
dan moga berkatNya
senantiasa melimpah untukmu

Adek,
Selamat Ulang Tahun

pf: 13 September 2000 – 13 September 2010

Minggu, 12 September 2010

Para Jiner


Merasa aneh dengan judul di atas, atau malah bingung? Pastinya itu bukan nama salah satu jenis makanan yang disajikan di hari lebaran ini. Itu juga bukan nama tempat pariwisata yang ada di kota Semarang. Para Jiner adalah sebutan akrab yang aku sematkan pada sekelompok orang, semuanya cewek, yang sering bersama-sama di gereja. Sebutan itu muncul begitu saja. Penyebabnya adalah karena mereka sering kelihatan ngobrol dan online (memanfaatkan hotspot milik gereja) di pojok pastoran gereja yang ada gentongnya. Loh, lalu apa hubungannya? Hehehe... secara guyon... aku menyamakan mereka dengan para jin yang akan keluar saat gentong itu digosok oleh seseorang.

Jadi, Para Jiner itu maksudnya para jin? Eh... tenang... tenang... itu hanya sekedar istilah. Lagi pula mereka adalah orang yang baik. Persahabatan dan kebersamaan di antara mereka juga patut diacungi jempol. Dan kebersamaan itu kian terbukti dua hari ini. Mereka dengan bersemangat saling membantu mengisi koor untuk menyemarakkan misa. Tercatat sebanyak 3 kali hal itu dilakukan. Sabtu misa pk. 17.30 dan Minggu pada misa ke-2 pk. 07.00 dan misa ke-5 pk. 18.15. ”Ini adalah bentuk keterlibatan dari Jiner Choir,” demikian salah satu di antara mereka menyebut.

Kebersamaan yang indah. Kebersamaan yang menghidupkan. Kebersamaan di dalam pelayanan. Mereka dengan mudah akan saling menolong ketika ada salah satu di antara mereka membutuhkan bantuan. Mereka juga akan saling menghibur saat salah satunya mengalami kesedihan.

Semoga kebersamaan ini terus langgeng. Semoga persahabatan di antara mereka juga kian kokoh. Tidak tergerus oleh egoisme, kemarahan, kebencian, dan prasangka negatif yang menjadi arus besar jaman ini. Dan semoga, mereka semakin dekat dengan Tuhan dan aktif memberi pelayanan untuk siapa pun dan kapan pun.

Ayo Para Jiner, tetaplah satu untuk semua dan semua untuk satu!

Sabtu, 11 September 2010

Salib


“Mengapa kamu berseru kepadaKu: Tuhan, Tuhan, padahal kamu tidak melakukan apa yang Aku katakan?”

Sabda di atas aku dengar saat mengikuti misa pagi hari ini. Sabda itu mengingatkan aku akan salib. Yah benar, salib! Salib selalu mempunyai empat arah. Ke atas, ke bawah, ke kanan dan kiri. Ke atas sebagai perlambang bahwa kita harus selalu mengingat dan menyembahNya. Dia yang telah memberikan hidup, menjaga, dan merawat kehidupan kita di dunia ini. Ke kanan dan ke kiri menjadi tanda bahwa setelah mendapatkan karunia kehidupan dariNya dengan segala kelebihan dan kekurangan, kita perlu berbagi dengan sesama. Saling menolong, memberi kasih, dan menjadi saluran berkat untuk orang lain. Dan yang terakhir adalah ke bawah untuk mengingatkan kita bahwa kehidupan di dunia ini tidaklah abadi. Semua akan lenyap dalam sekejap jika itu atas perkenanNya.

Keempat arah itu harus berjalan secara seimbang. Yang satu tidak boleh melebihi yang lain atau mengurangi yang lain.

Maka, tidak ada gunanya kita melakukan kewajiban agama kita dengan tekun jika tutur kata, perbuatan, dan tindakan kita menjadi ’batu sandungan’ bagi orang lain.

Jumat, 10 September 2010

Dunia Pasti Berputar

Dunia pasti berputar
Ada saatnya semua harus berubah
Ingat pasti bertukar
Kita harus siap hadapi semua
Ikhlaskan segalanya
Jalani semua yang ada di dunia

Pertama kali mendengar lagu di atas, aku langsung suka. Liriknya sederhana tetapi sarat makna. Apalagi Charlie, vokalis grup band ST 12, menyanyikannya dengan penuh penghayatan. Suara seraknya yang mendayu-dayu terasa sungguh menyentuh kalbu.

Dunia memang pasti akan berputar. Terus dan terus. Kadang kita ada di atas tetapi bukan tak mungkin suatu saat akan berada di bawah. Saat di atas, jangan membuat kita menjadi sombong, jumawa, bahkan tidak mau kenal lagi dengan sesama. Justru saat seperti itu, menjadi kesempatan bagi kita untuk lebih berbagi, lebih memperhatikan yang lain, mereka yang kekurangan. Sebaliknya ketika ada di bawah, tidak membuat kita nglokro, menyerah, apalagi putus asa dan menyalahkan Tuhan karena membuat hidup kita menderita. Ini menjadi saat bagi kita untuk lebih bertekun dalam usaha dan doa.

Intinya adalah selalu bersyukur dalam keadaan apa pun. Entah di atas maupun di bawah. Bersyukur atas kelebihan (harta yang melimpah) dan kekurangan (hidup yang pas-pasan). Bersyukur karena Ia masih berkenan melimpahkan nafas hidup untuk kita. Semoga kesempatan ini dapat kita pergunakan sebaik-baiknya untuk menjadikan hidup kita semakin bermakna dan berguna bagi orang lain. Saat di atas maupun di bawah.

Kamis, 09 September 2010

Selamat Idul Fitri

Sahabat,
ketika adzan mahgrib bergema sore ini
itu pertanda ramadhan kita tlah usai
segala amalan dan laku yang baik di bulan ini
semoga menjadi berkat melimpah tuk kita
menjadikan kita putih
demi menyambut hari kemenangan

Dan,
pada saat yang begitu indah ini
aku hanya bisa berucap
SELAMAT IDUL FITRI
MOHON MAAF LAHIR dan BATIN


Rabu, 08 September 2010

Sebuah Teladan

Malam ini, aku menonton sebuah video pendek. Durasinya hanya 5 menit lebih 32 detik. Meski singkat, tetapi ternyata ceritanya sungguh luar biasa. Mengisahkan tentang seorang pemuda yang sejak lahir sudah tidak memiliki tangan dan kaki. Walau cacad dan tidak sempurna, ia tidak pernah putus asa dan menjadikan semua itu sebagai alasan untuk tidak berusaha dan mengasihani diri sendiri. Justru ketidaksempurnaan itu menjadikannya sebagai pemuda yang tegar. Pemuda yang mandiri, yang tidak menggantungkan kehidupannya dari belas kasihan orang lain. Bahkan, ia mampu menjadi seorang motivator yang handal bagi banyak orang.

Sungguh, cerita ini menohok kesadaranku. Bukankah Tuhan sudah mengaruniakan tangan dan kaki yang sempurna untukku? Apa yang sudah aku lakukan dengannya? Apakah ada lebih banyak kebaikan yang terjadi melalui tangan dan kakiku? Atau justru tangan dan kakiku menjadi ’alat’ yang merugikan orang lain?

Tuhan,
aku bersyukur atas tangan dan kaki ini
yang Engkau berikan secara sempurna

semoga lewat tangan dan kaki ini,
ada lebih banyak kebaikan yang aku lakukan,
ada lebih banyak kasih yang aku berikan,
untuk sesamaku


Selasa, 07 September 2010

Proyek

Malam ini, aku dan beberapa teman yang tergabung dalam Tim Kerja PIA (Pendampingan Iman Anak) mengadakan pertemuan untuk membahas sebuah proyek. Proyek? Eh... jangan keburu menduga yang tidak-tidak. Jangan pula langsung berpikir negatif mendengar kata proyek. Pastinya, ini bukan proyek seperti milik para anggota DPR yang terkesan dipaksakan dan menghambur-hamburkan uang rakyat. Proyek ini legal dan nggak akan merugikan siapa pun. Proyek ini berkait erat dengan Natal. Yap, benar! Kami memang sedang merencanakan untuk membuat pohon natal. Bukan pohon natal sembarangan tetapi yang sungguh spesial. Kami sebut begitu karena rencananya pohon natal ini akan dibuat dari gelas-gelas air mineral (berbagai merk) yang dirangkai menjadi satu dengan lebar 2 meter dan tinggi 5 meter.

Tentu saja ini bukan proyek dadakan. Ide awal sudah tercetus sejak akhir tahun lalu. Setelah berembug, semuanya menyatakan setuju dan mencanangkan hal ini sebagai proyek bersama yang harus direalisasikan. Dan guna mendukung maksud tersebut, sejak awal tahun ini, kami mulai mengumpulkan gelas-gelas air mineral yang sudah tidak terpakai dari berbagai tempat dan acara/kegiatan. Awalnya, banyak orang yang heran melihat apa yang kami lakukan. Namun lambat laun, mereka bisa mengerti dan ikut mendukung kegiatan kami.

Sungguh, ini memang bukan kerja yang main-main. Apalagi seperti kebiasaan yang sudah-sudah, mendekati akhir tahun, adalah saat-saat yang cukup sibuk bagi kami. Ada banyak hal yang harus kami pikirkan. Persiapan kurikulum pengajaran PIA untuk satu tahun mendatang, mempersiapkan Misa Natal Keluarga dengan segala pernak-perniknya, juga membuat parcel natal untuk mengisi uang kas.

Namun, kami tidak boleh menyerah. Meski harus membagi konsentrasi, kami yakin bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. Syaratnya hanyalah terus menjaga kebersamaan di antara kami. Kebersamaan yang begitu indah. Kebersamaan yang selama ini terus menghidupkan dan menjadi pelita dalam karya pelayanan kami.

Senin, 06 September 2010

Musuh Atau Sahabat

Musuh atau sahabat
mana yang engkau pilih?
yang satu begitu mudah
yang lain terasa sulit

seribu musuh teramat sedikit
namun seorang sahabat
begitu berharga

musuh membuat hati dicekam gelisah,
dikurung prasangka, dan hasrat melukai
tetapi sahabat akan menghangatkan jiwa
dan membuat hidup semakin bermakna

Jika bisa mendapatkan sahabat,
mengapa lebih memilih mencari musuh?

Minggu, 05 September 2010

IMB

Chun, Uya, dan Ongen yang tergabung dalam FUNGKY PAPUA, tak kuasa menahan air mata yang jatuh. Terlihat mereka sangat syok, kaget, dan sedih, bahkan salah satu diantaranya pingsan ketika akhirnya diumumkan bahwa merekalah yang harus meninggalkan panggung IMB (Indonesia Mencari Bakat) malam ini. Perjuangan yang sudah berlangsung hampir tujuh bulan usai sudah. Kebersamaan yang sudah terjalin erat bagaikan saudara harus segera diakhiri.

Yah, panggung IMB yang digelar tiap Sabtu dan Minggu di sebuah stasiun televisi swasta ini memang sangat spesial. Selain menampilkan bakat-bakat menarik dan spektakuler dari para pesertanya, tersaji juga sebuah drama tentang kehidupan. Tentang kerja keras, kemauan untuk terus belajar, mau berkompromi dengan siapapun, tidak egois, berani menerima tantangan, mengerjakan segala sesuatu dengan serius, optimis, selalu semangat, dan memelihara kebersamaan di dalam persaudaraan yang tulus meski di atas panggung harus bersaing satu sama lain.

Maka, tidak mengherankan, ketika salah satu peserta harus keluar, peserta yang lain pun merasa kehilangan. Mereka kemudian saling bertangisan, memberi penghiburan, dan saling memeluk untuk berbagi peneguhan.

Bagi kita, selain menikmati sajian demi sajian yang selalu menarik, tidak ada salahnya untuk mengambil pelajaran-pelajaran berharga baik yang tersurat maupun tersirat. Pun juga kebanggaan bahwa ternyata di negeri ini, negeri yang kita cintai ini, masih ada banyak bakat terpendam yang menunggu kesempatan untuk diasah dan ditampilkan.

Sabtu, 04 September 2010

Maaf, Anda Tidak Hidup Sendiri!

Jangan keliru menafsirkan kalimat di atas. Kalimat itu hanyalah sekedar uneg-uneg yang keluar begitu saja dari dasar hati. Penyebabnya adalah karena semakin banyak ketidakpedulian dan arogansi yang berkembang di sekitar kita.

Terhadap hal ini, jujur, saya sering merasa jengkel, mangkel, marah, dan sedih. Mulai dari pengguna jalan yang seenaknya sendiri main klakson dan salib sana-sini tanpa perhitungan yang matang hingga membuat pengguna jalan yang lain kelabakan. Mereka yang suka menerobos lampu lalu lintas, nekad melaju meskipun menyala merah, dan membuat lalu lintas menjadi semrawut. Mereka yang suka parkir sembarangan dan membuat orang lain tidak memiliki akses untuk parkir atau menggunakan jalan. Mereka yang hobi banget membuang sampah sembarangan. Membuat tempat-tempat umum menjadi kotor dan tidak sedap dipandang mata. Dan masih banyak contoh yang lain lagi.

Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan terus-terusan melakukan hal itu? Terus saja beranggapan bahwa hanya aku yang berhak, aku yang harus didahulukan, aku yang harus dihormati, aku yang paling berkuasa, aku yang... ?

Maaf, Anda tidak hidup sendiri di dunia ini! Masih ada orang lain yang harus dihargai, dihormati, dan diakui hak-haknya. Anda tidak lebih tinggi daripada orang lain hanya karena Anda lebih kaya, lebih berkuasa, lebih pintar, dan lebih memiliki kesempatan. Anda dan orang lain adalah sederajat karena sama-sama ciptaan Tuhan.

Jumat, 03 September 2010

Ketergantungan

Bu Iin sedang asyik nonton sinetron kegemarannya di televisi. Malam ini adalah episode terakhir dan ia tidak ingin melewatkan sedetikpun pandangan dari depan televisi. ”Sinetronnya bener-bener bagus, ceritanya sangat menyentuh dan menguras air mata. Apalagi para pemerannya ganteng-ganteng dan cantik-cantik. Pokoknya, bakal nyesel deh kalo sampai tidak nonton,” jelasnya memberi alasan. Sayangnya, karena ketergantungan itu, membuatnya jadi lupa dengan keadaan sekelilingnya. Lupa dengan warungnya yang didatangi oleh tetangga yang butuh membeli sesuatu. Lupa dengan anak semata wayangnya yang minta ditemani saat belajar. Juga lupa dengan suami yang ada di sampingnya.

Pak Ros setali tiga uang dengan Bu Iin. Dia amat tergantung dengan harta kekayaannya. Akibat ketergantungan itu ia tidak rela jika hartanya berkurang. Berkurang No, Bertambah Yes! Itu prinsipnya. Dan akibat keyakinan itu membuatnya melakukan segala cara untuk mengumpulkan harta kekayaan walau itu dengan jalan yang tidak baik dan merugikan orang lain.

Sama seperti Bu Iin dan Pak Ros, kita pun juga memiliki ketergantungan masing-masing. Dan akibat ketergantungan itu sering membuat kita menjadi mandeg, diam, dan tidak mampu (dan mau) melakukan sesuatu tanpanya.

Tentu semua itu tidak benar. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua bisa datang dan pergi secepat kedipan mata. Satu hal yang harus selalu ditanamkan dalam hati: kita datang ke dunia ini tidak membawa apa-apa dan akan kembali kepadaNya juga dengan tangan kosong. Mengapa kita tidak mau melepaskan ketergantungan kita?

Kamis, 02 September 2010

Cinta


Ia adalah bahasan paling menarik di seantero dunia ini. Ia juga menjadi sumber inspirasi berbagai hal dalam kehidupan manusia. Pun, ada begitu banyak definisi yang dikaitkan dengannya. Cinta begitu indah. Cinta yang memberi. Cinta yang tulus. Cinta tidak menyakiti. Cinta itu buta. Dan masih banyak lagi.

Seperti halnya dunia ini, cinta juga memiliki dua sisi yang sulit untuk dipisahkan. Cinta akan kehidupan membuat manusia selalu menghargai ciptaanNya. Entah itu sesama, ciptaan yang lain, juga alam dan lingkungan sekitarnya. Cinta akan kebaikan menjadikan manusia menjauhkan diri dari sikap-sikap yang merugikan sesamanya. Menjunjung tinggi kebenaran dan setia pada perintah-perintahNya. Sebaliknya, cinta akan diri yang terlalu berlebihan, membuat manusia menjadi pribadi yang sombong, egois, dan tidak memiliki penghargaan akan manusia yang lain. Cinta akan uang dan harta membuat manusia gelap mata dan menghalalkan segala cara untuk memperolehnya. Menjambret, mencuri, merampok, melakukan korupsi, membunuh, adalah beberapa hal yang sering terjadi.

Manusia ada karena cinta. Cinta sesama manusia, dan terlebih karena cinta Tuhan sang Mahacinta. CintaNya tidak akan pernah luntur dan hilang walau manusia yang begitu dicintaiNya sering lupa dan meninggalkanNya.

Nah, masihkan kita membalas cintaNya dengan cinta yang tidak benar?

Rabu, 01 September 2010

Sebuah Refleksi

Hari demi hari terus berkejaran. Sang waktu pun enggan berhenti walau hanya untuk sedetik. Tak terasa, hari ini September sudah tiba. Itu berarti tinggal empat bulan lagi sang tahun akan berganti. Itu juga berarti, dua bulan lagi rumah mayaku akan genap berusia 2 tahun.

Ah... saatnya untuk memulai refleksi. Apa yang sudah aku lakukan selama ini? Apakah aku sudah melakukan perubahan di dalam hidupku sesuai dengan berbagai harapan yang aku panjatkan di awal tahun? Apakah segala rencana yang sudah aku susun dapat berjalan dengan baik? Apakah targetku tercapai?

Menanggapi aneka pertanyaan itu, aku hanya bisa diam sambil menggelengkan kepala. Ternyata, aku belum banyak berubah. Aku masih ’sama’ seperti tahun sebelumnya. Aku masih terpuruk dalam ’kebiasaan burukku’. Aku masih sering dicengkeram kemalasan. Aku masih suka menunda-nunda pekerjaan. Aku masih... ah... kiranya ada banyak hal lagi yang bisa kupaparkan...

Lalu, apakah aku harus terus diam dan tidak bereaksi apa-apa saat menyadari kenyataan itu? Tidak! Aku harus berusaha lebih gigih lagi. Aku harus punya semangat dan motivasi yang benar untuk melakukan perubahan. Niat saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan kesadaran. Kesadaran bahwa baik-buruk, berhasil-gagal, lebih ditentukan oleh diri sendiri. Kesadaran bahwa jika aku memilih untuk diam atau pun bekerja, sang waktu tidak akan pernah menunggu. Dan, akulah yang akan menanggung akibatnya.

Minggu, 29 Agustus 2010

Asyiknya Memotret

Memotret itu menyenangkan. Apalagi jika ada begitu banyak obyek yang bisa dipilih. Dan itu yang aku alami hari ini. Berbekal pengetahuan dan wawasan yang aku terima dalam Pelatihan Dasar Menulis dan Fotografi Jurnalistik kemaren malam, aku menyusuri pasar tiban di dekat Kalibanteng untuk hunting foto.

Dan rasanya memang benar kata mas Simon, tidak perlu kamera yang bagus tetapi cukup dengan kamera pocket, bisa menghasilkan foto yang bagus. ”Memotret itu harus sabar dan menunggu moment yang tepat, berani mengambil dalam posisi yang tidak seperti biasanya (lain daripada yang lain), sejauh mungkin diusahakan ada nilai humanismenya, memiliki kepekaan yang tinggi (tahu posisi, tahu angle yang baik, tahu komposisi), aktualitas (menyentuh kepentingan umum), perlu ada konsep terlebih dahulu, dan obyek yang difoto (terutama manusia) jangan membelakangi pembaca,” tambahnya.

Berikut adalah beberapa hasil jepretanku pagi ini.














Kamis, 26 Agustus 2010

IBU

Ibu...
sembilan bulan lebih,
kau bawa aku di rahimmu..
dan ketika saatnya tiba
kau antarkan aku ke dunia
dengan bertaruh nyawa
kau selalu menjaga dan merawatku
kau ajarkan segala kebaikan yang kau miliki
kau pun ingin selalu membuatku tersenyum
dan merasakan kebahagiaan
walau kadang hatimu sendiri terluka

Ibu...
sungguh, kasih sayangmu bagaikan udara
yang membuatku terus hidup


Ada video tentang ibu... mohon ditonton di sini ya.. makasih...

Rabu, 25 Agustus 2010

Baik Atau Buruk Adalah Pilihan

Ckckck... ternyata ada juga yang tega berbuat tidak baik di dunia maya ini...
semalam fbku kena... identitasku digunakan orang lain untuk menuliskan kata-kata yang tidak senonoh pada salah satu sobatku... sahabat, aku minta maaf... dan untuk yang telah melakukannya... semoga Tuhan memberkati dan menyadarkanmu...


Rangkaian kalimat di atas adalah status yang aku tulis di fbku kemarin malam. Latar belakang kenapa aku menuliskan hal itu adalah karena sebelumnya aku dapat komplain dari salah satu sobatku yang berasal dari Sibolga. Saat aku sedang asyik berselancar di fb, tiba-tiba saja ia mengajakku chat dan langsung protes karena ’aku’ sudah menuliskan kata-kata yang tidak senonoh waktu chat dengannya sehari sebelumnya. Tentu saja aku kaget bin bingung. Loh... ada apa ini? Selidik punya selidik, ternyata ada yang menggunakan identitasku untuk chat dengan sobatku ini. Parahnya, bukah chat yang positif tetapi penuh dengan kata-kata yang enggak pantas. Aku buru-buru menjelaskan bahwa bukan aku yang telah melakukannya karena pada saat yang bersamaan (waktu itu) fbku error. Aku nggak bisa masuk karena paswordku sudah berubah. Berulangkali kuganti ternyata berubah lagi. Syukurlah, sobatku ini bisa mengerti dan menerima penjelasanku.

Waktu aku share kejadian ini dengan beberapa teman yang lain (di dunia maya maupun dunia nyata) ada beragam tanggapan yang muncul. Kok bisa terjadi? Mengapa ada orang yang tega melakukannya? Apa tujuannya? Sekedar iseng atau ada motif-motif yang lain?

Ahh... rasanya tidak akan pernah berakhir jika harus menjawab semua pertanyaan itu. Apa yang sudah terjadi biarlah terjadi. Yang penting sekarang adalah mengambil hikmah dari kejadian itu. Lebih berhati-hati, menjaga sikap, dan selalu berpikiran positif. Bukankah di dunia ini, kebaikan dan keburukan (kejahatan) bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan? Berbuat baik atau berbuat buruk adalah sebuah pilihan. Tinggal kita mau memilih yang mana. Satu hal yang pasti, hidup ini tidaklah abadi. Jadi, tidak akan bermakna apa-apa jika yang kita lakukan adalah hal-hal yang jauh dari kebaikan.

Selasa, 24 Agustus 2010

Malu

Sore di kampung Margahayu. Lik Joni sedang asyik baca koran di lincak depan rumahnya. Sesekali ia tampak mengerenyitkan dahi, menggeleng-nggelengkan kepala sambil mengepalkan tangannya. Saking seriusnya, ia tak menyadari kedatangan den baguse Wiryo di sebelahnya.

"Ckckckckck.... yang lagi serius, sampe nggak tau situasi kiri kanan..," celetuk den baguse Wiryo sambil tangannya menepuk pundak lik Joni. "Lagi baca apa to Lik?" sambungnya.

"Oalah... kamu to Yo... ngagetin aja..!" seru lik Joni. "Ini lho... lagi baca berita soal para koruptor yang bebas karena mendapat grasi dan remisi dari Presiden. Kok bisa-bisanya ya... padahal mereka itu kan sudah menyengsarakan rakyat? Uhhh... bikin ati kesel saja!" tambahnya.

"Hehehe... itulah Indonesia, Lik," sambar den baguse Wiryo. "Daripada mikirin itu terus... mending Lik Joni jawab pertanyaanku saja... " tambahnya.

"Pertanyaan apa Yo... kok kayaknya misterius banget?" tanya lik Joni penasaran.

"Lik Joni mau ndak, besok siang, jalan-jalan di pasar tanpa memakai apa pun alias telanjang bulat?"

“Wus… pertanyaan ngawur! Aku ndak bakalan mau walau dibayar berapa pun!” jawab lik Joni dengan nada tinggi.

“Kenapa, Lik?”

“Ya, malulah. Lha wong masih waras kok disuruh jalan sambil telanjang. Ada-ada saja kamu Yo…”

“Jadi karena malu ya Lik? Tapi kok, kita-kita yang berpakaian lengkap ini malah sering tidak punya malu?

“Maksudmu?”

“Coba Lik Joni liat dalam kehidupan sehari-hari, berapa banyak dari kita yang suka membuang sampah sembarangan dan mengotori tempat umum tanpa perasaan bersalah sedikit pun. Tengok pula di jalanan, banyak juga yang masih suka seenaknya sendiri; kebut-kebutan, nyelonong sembarangan tanpa mengindahkan lampu lalu lintas, parkir tidak pada tempatnya, tidak mau mematuhi peraturan lalu lintas, tidak sabaran, dan sikap tidak mau mengalah. Sering juga kita nggak mau antre dengan tertib. Yang penting aku terlebih dahulu… orang lain mah EGP. Trus orang-orang yang dikaruniai kepandaian, sering malah menggunakan kepandaiannya itu untuk ’ngibulin’ orang lain dan mencari keuntungan untuk diri sendiri. Kita-kita yang jadi wakil rakyat atau pemimpin juga sering tidak menepati janji. Bilangnya (dulu) pengen mensejahterakan rakyat.. eee la kok sekarang malah suka ribut sendiri dan ngurusi hal-hal yang nggak penting. Parahnya lagi banyak di antara mereka yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri. Gilirannya ketangkep, masih bisa senyam-senyum karena merasa punya becking. Ahh… benar-benar enggak punya malu…” jelas den baguse Wiryo.

“Ohhh… gitu to… baru dong aku sekarang…” ujar lik Joni sambil manggut-manggut. ”Tapi, kita bisa apa dengan segala situasi tersebut?” sambungnya.

”Wah... pasti banyak Lik. Tapi kalau mengharapkan mereka berubah itu malah bisa bikin kita stress. Yang bisa kita lakukan adalah merubah diri kita sambil terus mendaraskan doa agar Tuhan memberi jalan terang untuk mereka. Juga, menumbuhkan kembali ’kemaluan’ dalam diri kita masing-masing. Malu kalau tidak bisa buang sampah pada tempatnya. Malu kalau tidak bisa tertib, entah di jalan atau di manapun. Malu kalau tidak menepati janji. Dan, malu jika hidup hanya menjadi batu sandungan untuk orang lain.”

Lik Joni terus manggut-manggut mendengar penjelasan den baguse Wiryo. Dalam hati ia berjanji untuk lebih merasakan rasa malunya agar hidupnya semakin berarti dan berguna bagi sesama dan lingkungan.