Minggu, 27 Maret 2011

Selamat Ulang Tahun





Adek,
telah satu tahun lebih aku akrab denganmu
kadang, aku heran, darimana rasa sayang ini muncul
rasa yang makin hari makin memerangkapku
rasa yang terus tumbuh dan menggurita dalam jiwaku
aku bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan kita
walau kita bukan saudara karena pertalian darah
tapi apalah artinya itu saat ini

Dan, ketika mentari pagi ini menyembul indah
rona wajahmu nampak begitu ceria
senyum manismu menghangatkan jiwaku

Selamat Ulang Tahun, Adek
panjang umurmu dan makin rajin belajarmu,
makin besar sayangmu untuk papa tercinta,
untuk adek-adek dan mbak yang selama ini menjagamu,
untuk akung, emak, dan saudaramu yang lain,
makin dekat engkau dengan Tuhan,
makin cantik dan tambah dewasa,
dan moga berkatNya
senantiasa melimpah untukmu

Adek,
Selamat Ulang Tahun

pf: 27 Maret 1998 – 27 Maret 2011

Sabtu, 26 Maret 2011

Sebuah Awal


Ya, mungkin hanya itu yang bisa aku katakan. Awal yang baik. Baik dan sungguh indah karena akhirnya pertemuan ini sungguh terjadi hari kamis kemarin (24/03). Pertemuan untuk para pendamping PIA (Pendampingan Iman Anak) yang tidak dilaksanakan di gereja tetapi beralih di rumah para pendamping secara bergilir. Tujuannya selain untuk mengenal keluarga dan tempat tinggal masing-masing juga menjadi sarana untuk lebih saling mengakrabkan diri. Semakin teguh di dalam iman dan bersatu di dalam pelayanan.

Satu komitmen kami, pertemuan ini akan diadakan sebulan sekali dan diharapkan (harus) untuk yang ketempatan tidak meng’ada-adakan’ soal konsumsi. Cukup air minum saja. Untuk acara dibuat fleksibel. Bisa sharing, doa bersama, permainan, dan masih banyak lagi. Intinya agar masing-masing pribadi semakin dikuatkan dan semakin menyayangi satu sama lain sebagai saudara.

Semoga, ini sungguh menjadi awal dan selanjutnya mengalir sesuai kehendak Tuhan. Harapannya, ketika kami tidak lagi mendampingi karena sudah digantikan oleh para penerus kami, kegiatan ini tetap berlangsung, dan akan menjadi kenangan yang paling bermakna dalam kehidupan kami. Tuhan memberkati.

Jumat, 25 Maret 2011

Samsudin

Malam bertambah larut. Bunyi mesin kendaraan semakin berkurang dari jalanan. Hanya tersisa satu dua yang masih setia mendekap kegelapan. Sepi memagut. Angin berhembus perlahan. Membawa dingin yang membekukan tulang. Di sebuah emperan toko, Samsudin merapatkan sarung yang membungkus tubuhnya. Ia berusaha menutup mata. Namun entah mengapa, mata tuanya enggan terpejam. Sejenak dipandangnya Lastri, istrinya, yang tertidur tak jauh darinya. Di pelukan Lastri, Ningrum, putri semata wayangnya yang baru berumur 4 tahun juga nampak terlelap.

Samsudin bergerak perlahan mendekati istri dan anaknya. Beberapa detik kemudian, kecupan bibirnya sudah mendarat di dahi mereka. Tiba-tiba, butiran air bening menetes di kedua sudut matanya. ”Maafkan aku Lastri, selama ini aku belum bisa membahagiakanmu. Aku hanya membuat hidupmu sengsara,” gumannya sambil tak henti memandangi wajah istrinya.

Dan, peristiwa beberapa hari lalu, kembali menari-nari di hadapannya. Waktu itu, seperti biasanya, Samsudin sedang membantu istrinya berjualan di warung sederhana milik mereka. Saat sedang melayani pembeli, tiba-tiba terjadi keributan. Belasan orang berseragam coklat tanpa ba bi bu, berusaha merobohkan warung yang sekaligus menjadi tempat tinggal mereka.

Samsudin tercekat. Ia berusaha melawan. Istri dan anaknya pun menjerit-jerit. Namun apa daya, semuanya sia-sia. Segera saja tempat tinggal mereka roboh dan hanya menyisakan puing.

Samsudin hanya bisa termangu memandangi puing-puing di hadapannya. Apa yang ditakutkannya selama ini terjadi juga. Penggusuran yang seolah-olah menjadi hantu menakutkan, kini menimpa keluarganya. Ah, apakah memang harus begini nasib orang kecil yang tidak memiliki apa-apa?

”Jangan-jangan... jangan-jangan,” igauan Ningrum membuyarkan lamunannya.

”Sssst... sssst... sudah, Nak... sudah.” Samsudin berusaha menenangkan Ningrum. Dan tak berapa lama, putri semata wayangnya kembali terlelap.

Dan malam pun semakin larut. Jalanan kini benar-benar telah lengang. Yang tersisa hanyalah suara gelak tawa dari orang-orang yang sedang bercengkerama di sebuah rumah makan siap saji, beberapa meter dari toko itu.

Kamis, 24 Maret 2011

Mbak Ramah

Sungguh, aku terkesan dengan mbak yang ada di toko komputer itu. Aku belum tahu namanya tapi agar lebih mudah mengingatnya, aku akan menyebutnya mbak Ramah. Ya, karena ia memang benar-benar ramah. Dua kali aku ke sana, dua kali pula aku dilayani oleh orang yang sama.

“Ada yang bisa saya bantu pak?” demikian sapanya kepadaku. Dan aku pun segera menjelaskan keperluanku panjang lebar.

Pada kunjungan pertama, aku mencari sebuah alat perekam yang akan aku pergunakan untuk keperluan wawancara. Mbak Ramah dengan sigap menunjukkan beberapa pilihan kepadaku. Satu MP3 dan satunya lagi MP 4.

“Bisa dicoba mbak?” tanyaku segera.

“Bisa pak,” jawabnya. Lalu dengan cekatan ia mengutak-utik alat yang tadi ditunjukkannya. Pun dengan sabar, ia menjawab segala pertanyaanku.

Beberapa menit berlalu. Ternyata, alat-alat yang ditunjukkannya tidak ada yang memuaskan keinginanku. “Ehm… kayaknya tidak jadi mbak… alatnya nggak bisa dipake ngrekam jarak jauh dan waktunya ngrekamnya juga pendek,” ujarku kemudian.

“Tidak apa-apa pak,” sahutnya dengan senyum mengembang. Dan ia pun segera membereskan semuanya dan mengembalikan alat-alat itu ke tempat semula.

Saat berkunjung untuk kedua kalinya, aku sedang mencari charger baru untuk mengganti charger laptopku yang rusak. Mbak Ramah kembali melayaniku dengan ramah dan sabar. Ia mengambilkan barang yang kuminta dan mencobakannya pada laptopku. “Ada lagi pak?” tanyanya setelah charger baruku beres. Aku hanya menggeleng. Dan setelah membayar chargernya, aku segera meninggalkan toko komputer itu dengan hati yang diliputi kegembiraan.

Keramahan, kesabaran, dan senyum yang menghiasi wajah mbak Ramah sejenak membuatku termenung. Alangkah bahagianya bila kita dilayani dengan baik. Alangkah senangnya jika perkataan kita didengarkan dan lalu diberi tanggapan sebagaimana mestinya.

Sebaliknya, saat kita mendapatkan pelayanan yang kurang/tidak baik dan perkataan kita tidak mendapatkan respon atau hanya dianggap angin lalu, dengan serta merta kita akan marah. Dan sangat mungkin, kata-kata ‘ajaib’ akan segera berhamburan dari mulut kita.

Nah, agar hal tersebut tidak terjadi, marilah kita saling melayani dengan baik. Penuh keramahan, kesabaran, dan senyum yang tulus. Yang keluar dari hati. Tanpa kepura-puraan untuk tujuan tertentu. Semoga.

Rabu, 23 Maret 2011

Mati Untuk Berbuah

Cabi sedang gundah. Berkali-kali ia berusaha memejamkan mata tetapi belum juga berhasil. Terngiang kembali ucapan pak petani yang didengarnya beberapa saat lalu. “Ayo, Le… kita segera tidur malam ini. Besok kita harus bangun pagi-pagi untuk menyemai benih cabe yang masih kita simpan.” Menyemai? Ah… tiba-tiba bayangan kematian hadir di hadapan Cabi. “Bukankah itu berarti memasukkan tubuhku ke dalam tanah… lalu… lalu…. Tidak, aku tidak mau mati. Aku tidak mau seperti Loli, Luna, dan banyak sahabatku yang lain. Mereka dulu juga disemai oleh pak petani itu. Bagaimana nasib mereka sekarang? Mengapa tidak ada kabarnya? Bukankah itu berarti bahwa mereka sudah mati? Tidak.. pokoknya aku tidak ingin bernasib sama seperti mereka!” jeritnya dalam hati.

Morbi yang tidur tidak jauh dari Cabi terbangun. Dipandangnya sahabatnya itu beberapa saat. Dan, ia pun segera beringsut mendekati Cabi. “Ada apa Cabi?” tanyanya.

“Oh… Morbi, maaf, aku membuatmu terbangun,” tukas Cabi saat melihat Morbi yang sudah berada di hadapannya. “Pak petani akan menyemai kita besok. Dan itu membuatku takut…,” lanjutnya.

“Mengapa takut? Bukankah itu memang tugas mereka?” jawab Morbi dengan mimik keheranan.

“Aku takut… aku takut... kalo akhirnya aku harus ma... mati…,” jawab Cabi terbata-bata.

Morbi tersenyum. Dipegangnya tangan sahabatnya erat-erat. Bergegas ia melangkahkan kaki, menembus kegelapan malam. Dan tak berapa lama, mereka sudah sampai di ladang kepunyaan pak petani.

“Lihatlah ladang itu,” kata Morbi kepada sahabatnya.

Meski masih bingung, Cabi menuruti apa yang dikatakan Morbi. Dipandangnya ladang yang terhampar di hadapannya. Di sana, berjejer dengan rapi, tanaman cabe yang tumbuh dengan subur. Beberapa di antaranya nampak sedang mengeluarkan bunga. Indah sekali.

”Indah bukan?” tanya Morbi sambil melirik sahabatnya.

Cabi mengangguk perlahan. ”Ya... indah sekali. Tapi terus terang aku belum mengerti apa maksudmu membawaku ke sini,” balasnya.

”Di ladang itu ditanam teman-teman dan sahabat kita. Mereka telah berubah menjadi tanaman cabe yang tumbuh dengan subur. Sebentar lagi mereka akan berbunga dan setelah itu, buah-buah cabe yang segar, akan bermunculan di dahan-dahan mereka,” jelas Morbi.

”Benarkah?” tanya Cabi seolah tak percaya.

”Lihatlah ladang yang di sebelah sana itu,” ujar Morbi sambil tangannya menunjuk ke ladang lain yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Mata Cabi hanya bisa membelalak. Ia tertegun. Dilihatnya buah-buah cabe yang bergelantungan di dahan. Hijau dan ranum. Beberapa bahkan sudah memerah. Sedap dipandang.

”Hanya benih yang mati yang akan berubah seperti itu. Tumbuh menjadi tanaman. Berbunga, lalu berbuah. Dan buahnya pasti akan menjadi berkat,” terang Morbi. ”Jika kau masih tetap tidak mau mati, kau tidak akan menjadi apa-apa. Hanya membusuk dan akan dibuang karena sudah tidak berguna lagi.”

Sama seperti benih cabe yang mati. Kita hendaknya juga mematikan segala hal yang buruk, yang jahat dalam hati dan pikiran kita agar kita dapat bertumbuh dengan subur, berbunga lebat, dan akhirnya akan menghasilkan buah-buah kebaikan bagi sesama. Maukah kita seperti itu?

Senin, 21 Maret 2011

Si Kaki Ceria


Itulah julukan Mumble. Seekor pinguin yang tidak bisa menyanyi. Suaranya bahkan terdengar jelek sekali. Melengking tinggi. Sehingga saat ia memperdengarkannya justru akan merusak suasana di sekitarnya. Yang bisa dilakukannya hanyalah menari. Menggerak-gerakkan kedua kaki kecilnya di atas salju yang dingin.

Awalnya ia sedih. Ia merasa terasing dari kelompoknya. Mengapa ia dilahirkan berbeda? Namun perlahan, ia bisa menerima diri apa adanya. Ia kembali bersemangat menjalani hidupnya. Ceria dan tetap bergaul dengan pinguin-pinguin yang lain.

Sayangnya, tetua pinguin sudah kadung mengganggap Mumble sebagai biang masalah. Ia dituduh menyebarkan kelakuan yang tidak pantas. Ia dianggap sebagai sumber bencana yang menyebabkan ikan-ikan berkurang sehingga bangsa pinguin mengalami kelaparan.

Namun, Mumble tidak sependapat. Penyebab bencana bukanlah dirinya tetapi akibat hadirnya makhluk lain. Untuk membuktikan hal itu, Mumble rela diusir dari komunitasnya. Dan dengan bantuan dari para sahabatnya serta melalui perjuangan yang tidak kenal menyerah, Mumble berhasil menggugah kesadaran makhluk lain itu untuk lebih memperhatikan nasib bangsa pinguin.

Itulah ringkasan cerita dari film Happy Feet. Film animasi produksi tahun 2006 yang disutradari oleh George Miller ini memang sangat menarik. Kita serasa dibawa ke dalam kehidupan bangsa pinguin dengan segala kegembiraan dan kegelisahannya.

Dari film ini ada beberapa hal yang bisa kita petik sebagai hikmah. Pertama, tidak ada hal yang salah jika kita berbeda dari yang lain. Toh, apa yang kita miliki adalah karunia Tuhan yang sungguh indah yang harus selalu kita syukuri. Oleh karena itu, janganlah merasa tidak berguna karena perbedaan itu tetapi gunakanlah perbedaan itu untuk kebaikan. Baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Kedua, jangan serakah. Keserakahan hanya akan merugikan orang lain. Keserakahan hanya akan merusak tatanan yang sudah diatur oleh Tuhan. Dan itu berarti: kita sudah mengingkari kehendakNya.

Minggu, 20 Maret 2011

Membangun Komitmen


“Kukuruyuk… kukuruyuk… kukuruyuk… “ Dering alarm hp memecah kesunyian pagi. Aku segera terbangun. Kumatikan bunyi alarm itu. Ah… sudah jam 3 pagi. Aku beringsut dari kamar tidurku. Setelah cuci muka dan berdoa untuk bersyukur atas pemeliharaanNya semalam, bersyukur atas udara segar dan karunia kehidupan yang telah kembali dianugerahkanNya, aku mulai menyalakan laptop dan segera sesudah itu, jari-jemariku menari di atas keyboard.

Membangun komitmen. Ya, itulah yang akan aku lakukan mulai hari ini. Komitmen untuk membiasakan diri menulis setiap hari. Mengapa harus pagi-pagi sekali? Ah... (mungkin) karena saat itulah yang kurasa cocok bagiku. Selain belum ada aktivitas lain yang aku lakukan, aku berharap kesegaran udara pagi juga akan membantu pikiranku untuk lebih fokus. Menolong jari-jemariku untuk terus bergerak. Menuliskan kata demi kata.

Barangkali ada yang bertanya, bukankah selama ini aku sudah sering menulis? Mengapa aku harus membangun komitmen itu? Jawabannya: karena aku belum bisa konsisten. Hari ini aku memang menulis tapi hari-hari selanjutnya aku blank dan tidak menghasilkan apa-apa.

Lalu, mengapa baru hari ini aku membangun komitmen itu? Jujur, sebenarnya hal ini sudah ingin aku lakukan sejak lama namun belum pernah berhasil. Aku tidak bersungguh-sungguh sehingga selalu kalah oleh berbagai godaan.

Kali ini Aku pasti bisa!” seruku dalam hati. Aku harus terus berjuang untuk mengalahkan segala rintangan yang akan muncul. Berat memang tapi itu harus aku lakukan. Demi hasratku untuk menjadi penulis yang berhasil.

Gambar dari ahsinmuslim.wordpress.com

Jumat, 18 Maret 2011

Perasaan

”Mengapa Tuhan mengaruniakan perasaan kepada manusia?” Pertanyaan itu muncul begitu saja malam ini. Sebuah pertanyaan yang kemudian memicu timbulnya pertanyaan-pertanyaan yang lain. ”Apa maksudNya? Mengapa manusia justru menggunakan perasaan yang sudah dikaruniakan Tuhan untuk hal-hal yang tidak baik? Membenci sesamanya, menumbuhsuburkan dendam, tidak mau mengampuni dan memberi maaf?”

Seorang teman, sebut saja Dina, sekian lama berkawan akrab dengan Rani. Selain karena mereka berkegiatan di tempat dan lingkungan yang sama, rumah mereka juga saling berdekatan. Karena suatu kesalahpahaman, hubungan mereka menjadi retak. Memang mereka masih bertegur sapa ketika bertemu. Tapi rupanya hal itu hanya sebuah kepura-puraan. Di belakang mereka saling membenci. Saling menyalahkan satu sama lain sebagai penyebab keretakan hubungan mereka. Mereka tidak pernah mau ’duduk bersama’ untuk mengurai benang kusut yang hadir dalam hubungan mereka. Mereka tidak mau saling memaafkan. Mereka saling menyimpan dendam.

Kebencian dan dendam yang terus dipelihara pada akhirnya hanya akan menimbulkan hal-hal yang semakin buruk. Caci maki, pertengkaran fisik, hingga semangat untuk saling meniadakan/membunuh.

Lalu, apakah ini benar yang dikehendaki Tuhan saat Ia memutuskan untuk memberi perasaan pada manusia?

Tentu tidak sama sekali. Justru Ia mempunyai tujuan yang amat mulia yaitu agar manusia dapat merasakan kehidupan yang sudah dikaruniakanNya dan terus bersyukur atas anugerah itu. Dengan perasaannya, manusia juga dimampukan untuk menyadari kehadiran orang lain. Sadar untuk kemudian saling memperhatikan, saling tolong-menolong, dan saling mengasihi.

Nah, marilah kita kembali memurnikan perasaan kita masing-masing. Menghapus segala kebencian, dendam, dan segala perasaan buruk yang meracuni kita. Marilah kita kembali menyemaikan kasih. Menyuburkan cinta. Dilandasi ketulusan dan keikhlasan.

Selasa, 15 Maret 2011

Ronny Si Pemungut

Ronny Waluya Jati. Itu nama yang tertera di Kartu Mahasiswanya. Ia berasal dari Pekanbaru dan saat ini sedang menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang. Tubuhnya tinggi namun kurus. Berambut keriting dengan wajah yang tergolong tampan. Setiap hari ia ditemani sepeda motor bututnya yang setia mengantar kemana pun ia pergi.

Sejak 6 bulan yang lalu, Ronny mendapat julukan baru yaitu si pemungut. Ronny si pemungut. Julukan itu muncul karena di mana pun ia berada, ia tak segan-segan memunguti sampah yang berceceran di sembarang tempat untuk kemudian dibuangnya di tempat yang seharusnya. Awalnya, banyak orang yang merasa heran. Beberapa bahkan ada yang mencibir. ”Ah, sok pahlawan. Kurang kerjaan,” begitu komentar mereka. Namun, Ronny tidak pernah terpengaruh dengan suara-suara itu. Baginya, selama yang dilakukannya tidak mengganggu orang lain, itu sudah lebih dari cukup.

Apa yang menyebabkan Ronny melakukan hal itu? Semua berawal karena peristiwa di hari Minggu, 6 bulan yang lalu. Waktu itu, ibu kosnya minta tolong untuk diantar membeli bahan kue di toko Z yang berada di pasar S. Ketika sedang menunggu, ia menyempatkan diri melihat keadaan sekitar. Betapa terkejutnya ia saat melihat kali yang berada di tengah pasar itu. Memprihatinkan sekali. Air kali tampak kecoklatan, kotor, dan penuh dengan aneka sampah yang mengambang di atasnya. Ketinggiannya hampir menyentuh bibir kali yang berbatasan langsung dengan jalan. Ah... bagaimana jika hujan deras turun? Pasti air kali itu akan meluap ke jalan dan masuk ke tengah pasar.

Mengapa tidak ada orang yang peduli? Mengapa mereka justru terus memanfaatkan kali itu sebagai tempat sampah? Ah... pertanyaan-pertanyaan itu terus saja menggelayut di benak Ronny ketika sampai di rumah. Pertanyaan yang akhirnya membuka kesadarannya. Bukankan selama ini ia juga melakukan hal serupa? Buang sampah sembarangan dan kurang peduli dengan lingkungan?

”Aku harus merubah sikapku!” tegas Ronny mantap. Dan sejak itu, ia mulai peduli dengan sampah. Ia juga rajin melihat keadaan lingkungan di mana ia berada. Kalau ada sampah yang tidak pada tempatnya, ia akan segera bertindak, memungut sampah itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Bagaimana dengan Anda?

Senin, 14 Maret 2011

Litani Syukurku

Aku bersyukur telah dianugerahi kehidupan olehNya, yang memungkinkan aku berada di dunia ini lewat rahim seorang ibu yang amat mengasihiku. Ia telah mengandungku sembilan bulan lebih dan dengan seluruh jiwa raganya berjuang agar aku bisa melihat dunia.

Aku bersyukur dilahirkan ke dunia dengan kondisi yang sehat dan tubuh yang sempurna. Mata yang melihat. Telinga yang mendengar. Hidung yang mampu membaui dan menghirup kesegaran udara. Mulut yang berbicara. Tangan dan kaki yang bebas bergerak. Pikiran dan hati yang terus bertumbuh. Dan jiwa yang selalu dilindungiNya.

Aku bersyukur mempunyai ayah dan ibu yang penuh cinta. Mereka dari hari ke hari terus merawatku, menjagaku, memikirkanku, dan mengharapkan yang terbaik untukku. Kadang memang ayahku bertindak keras bahkan tidak segan-segan memukulku. Aku yakin, ini bukanlah kebencian tetapi semata-mata ungkapan cinta agar aku bisa belajar dari kesalahan dan menjadi anak yang bersikap lebih baik dan menurut pada orangtua.

Aku bersyukur hidup dalam keluarga yang sederhana. Walau pekerjaan ayahku di tempat yang basah, tapi ia tidak pernah tergoda melakukan hal-hal yang di luar kewajaran. Hal-hal yang akan merugikan orang lain. Kadang aku protes dalam hati, mengapa aku tidak punya ini dan itu? Mengapa kehidupan kami biasa saja? Ah... ternyata, ayahku justru mewariskan harta yang jauh lebih berharga yaitu kejujuran.

Aku bersyukur dikaruniai kakak dan adik. Kakak yang mengasihiku dan adik yang aku kasihi. Bersama-sama, kami tumbuh dalam kehangatan cinta.

Aku bersyukur atas pendidikan yang aku terima selama ini. Lewat bangku sekolah maupun lewat perjumpaan dengan sesama di dalam kehidupanku. Pendidikan yang membuat aku semakin sempurna sebagai manusia. Manusia yang mampu membedakan kebaikan dan kejahatan. Mampu merasakan, memberikan pertolongan, dan menghibur, ketika orang lain dalam kesusahan. Pun ikut tertawa gembira ketika mereka mendapat kebahagiaan.

Aku bersyukur mendapatkan pasangan hidup yang pengertian. Ia sungguh mengasihiku dan aku pun juga teramat mengasihinya. Sejak semula aku mengenalnya, aku sudah berharap bahwa dialah wanita pertama dan terakhir untukku. Wanita yang akan menemani hari-hariku. Hidup bersama dalam suka dan duka hingga maut memisahkan.

Aku bersyukur meski hampir sepuluh tahun berkeluarga belum dikaruniai momongan, kami tidak pernah menjadikannya sebagai masalah yang serius, yang akan mengganggu keharmonisan hubungan kami. Justru ini menjadi kesempatan bagi kami untuk terus memberikan pelayanan kepada orang lain di dalam kegiatan menggereja.

Aku bersyukur mempunyai keponakan, ’adek-adek’, dan banyak sahabat di sekitarku. Kehadiran mereka sungguh membuat hidupku menjadi lebih berarti.

Aku bersyukur diberi kemampuan menulis. Lewat talenta ini aku bisa mengeluarkan unek-unek, sekedar sharing, atau menuliskan cerita untuk orang lain. Memang, aku baru belajar, baru memulai. Kadang aku merasa jenuh. Sering pula aku dibekap kemalasan sehingga jari-jemariku terasa kaku dan sulit digerakkan di atas keyboard. Tapi syukurlah, Ia senantiasa membangunkanku, memampukanku untuk berusaha kembali.

Aku bersyukur atas kesehatan yang aku terima hingga hari ini. Karenanya, aku mampu melakukan banyak aktivitas.

Aku bersyukur dan terus bersyukur karena Ia begitu mencintai aku. Walau aku sering jatuh di dalam dosa, ia tidak pernah lelah memanggilku kembali. Tangannya yang penuh kasih selalu merengkuhku dan mendekapku di dalam belantara cintaNya yang tiada batas.

NB: Kata `litani' berasal dari bahasa Latin `litania', `letania'. Artinya suatu bentuk doa tanggapan yang meliputi serangkaian seruan atau permohonan, mengenai suatu subyek utama atau suatu tema suci utama. (http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id427.htm)

Sabtu, 12 Maret 2011

Hikmah Di Balik Bencana

Miris. Itulah yang terasa saat melihat rekaman video tsunami di Jepang. Tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi berkekuatan 8,9 pada skala Richter ini begitu menakutkan. Dengan tanpa basa-basi, ia melabrak semua yang ada di hadapannya. Entah pepohonan, bangunan, mobil, hingga nyawa manusia. Dalam hitungan detik, semua menjadi tidak berguna lagi.

Meski Jepang terkenal sebagai negara maju dengan kemampuan teknologi yang mumpuni, mereka tetap tidak berkutik saat bencana itu datang. Yang bisa dilakukan hanyalah meminimalisir jatuhnya korban jiwa dengan memberikan peringatan jauh hari sebelumnya.

Lalu, pelajaran apa yang bisa kita petik dari kejadian ini? Lagi-lagi, kita diingatkan untuk tidak jumawa. Untuk tidak menjadi sombong dengan apa yang sudah kita miliki. Karena kita hanyalah sebutir debu di hadapanNya. Jika Ia berkenan, apa yang ada di genggaman kita dapat lenyap dalam sekejap. Oleh karena itu, kita harus selalu tunduk dan memuliakan namaNya lebih dari apa pun juga.

Kita juga kembali disadarkan untuk lebih peduli dengan alam. Dengan bumi yang kita tinggali ini. Janganlah kita terus-menerus melakukan hal-hal yang membuat bumi ini menangis. Kekayaan alam yang dikeruk tanpa henti, penggundulan hutan tanpa diikuti penanaman kembali, penggunaan bahan-bahan kimia yang berlebihan, membuang sampah sembarangan, dan masih banyak lagi.

Hadirnya bencana juga mengajarkan kepada kita untuk memiliki empati kepada sesama. Tidak hanya memikirkan diri sendiri, tetapi mau memberikan pertolongan ketika ada orang lain yang mengalami kesusahan.

Jumat, 11 Maret 2011

Mengapa Tidak Bersyukur?

“Huh… bener-bener menjengkelkan… bisa-bisanya dari tadi pagi sampe siang ini sial terus?” gerutu Bayu sambil membolak-balikkan badannya di kasurnya yang mulai tampak lusuh. Sudah sedari tadi ia berusaha memejamkan mata tapi belum juga berhasil. Rupanya, kipas angin yang tidak berfungsi gara-gara listrik mati, membuatnya kegerahan.

Tiba-tiba, terbayang kembali berbagai kesialannya hari ini.

Pagi ini ia telat bangun. Gara-garanya karena semalam ia ikutan ’ngobrol ngalor ngidul’ sambil maen gaple dengan teman-teman kampungnya di pos ronda. Padahal ada kuliah pagi yang harus diikutinya. Pas buru-buru mau mandi, Bayu kaget bukan kepalang... air di bak mandi rumahnya tinggal dikit banget. Sialnya, sanyo di rumahnya juga lagi rusak dan baru siang ini akan diperbaiki oleh Pak Mamat, tetangga sebelah rumahnya. Alhasil, ia hanya cuci muka dan gosok gigi.

Sesudah ganti baju plus menyemprotkan parfum andalannya ke seluruh tubuh, Bayu bergegas ke meja makan. Tapi, wajahnya yang mulai sumringah kembali cemberut. Lagi-lagi, si bibi menghidangkan sayur lodeh yang tidak disukainya. ”Aduh, bi... kok sayur ini lagi sih... aku kan udah bilang kalo enggak suka!” protesnya. Akhirnya, dengan hanya berbekal seiris roti, ia berangkat ke kampus.

Di kampus, Bayu kuliah seperti biasanya. Namun ia jengkel dengan Pak Bram. Dosen ekonomi yang tidak disukainya ini tiba-tiba saja mengadakan tes dadakan. Tentu saja ia kelabakan karena selama ini, ia memang tidak pernah belajar.

Dan saat pulang dari kampus, kesialan kembali menimpanya. Ban sepeda motornya bocor karena terkena paku. Terpaksa, ia harus menuntun sepeda motornya puluhan meter untuk mencari tambal ban.

”Krinnngggggg...,” Bunyi telepon yang lumayan keras membuyarkan lamunan Bayu. Dengan berjingkat, ia segera mengangkat gagang telepon. ”Halo, dengan Bayu di sini,” sambarnya.

”Bayu, kamu sudah di rumah? Segera jemput mama di rumah sakit X ya,” ujar suara di seberang sana yang ternyata adalah mamanya.

”Siapa yang sakit, Ma?” tanya Bayu.

”Pakdemu tadi jam 10 masuk ICU. Buruan gih ke sini...,” suara di seberang mulai tidak sabar.

”Ya, Ma,” kata Bayu. Setelah meletakkan gagang telepon ke tempatnya, ia segera mengambil kunci motor yang tergeletak di kasur. Dan beberapa detik kemudian, sepeda motornya sudah melaju kencang di jalanan.

Tiba di rumah sakit, Bayu mencari ruangan yang ditunjukkan mamanya. Enggak begitu sulit karena ia sudah amat familiar dengan rumah sakit X. Dan, ia melihat mamanya sedang duduk terpekur. Wajahnya kelihatan sedih.

”Gimana keadaan Pakde, Ma?” tanya Bayu setelah duduk di samping mamanya.

”Masih kritis,” jawab mamanya tanpa ekspresi.

Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari mamanya, Bayu segera mengenakan baju yang sudah disediakan oleh pihak rumah sakit untuk masuk ke ruang ICU. Bau yang amat khas menguar dan segera terhirup oleh hidungnya. Di tempat tidur paling ujung, ia mendapati pakdenya tergolek tak berdaya. Beberapa jarum tampak menancap di bagian tubuhnya. Sebuah selang juga terpasang di hidung pakde. Selang itu tersambung dengan tabung oksigen besar yang tergeletak tak jauh dari tempat tidur.

Bayu tercekat. Dipegangnya tangan yang ada di depannya. Tangan itu terasa dingin. Tiba-tiba, air matanya jatuh satu demi satu. ”Apa yang sudah aku lakukan Tuhan? Mengapa aku hanya bisa mengeluh saja hari ini? Mengapa aku tidak bersyukur kepadaMu? Untuk kehidupan dan kesehatan yang masih bisa aku rasakan hingga saat ini?” jerit batinnya bertubi-tubi.

Kamis, 10 Maret 2011

Tak Berguna

Utomo Rekso Nugroho. Itulah nama lengkapnya. Tapi kami lebih sering memanggilnya dengan Pak Tomo. Orangnya tinggi besar, berkulit sawo matang, agak botak, dan memiliki kumis yang lumayan lebat. Ia adalah orang paling kaya di kampung Gabahan. Rumahnya besar, bertingkat tiga dengan halaman yang luas. Di garasi rumahnya, tersimpan puluhan mobil mewah keluaran terbaru.

Meski kekayaannya berlimpah, Pak Tomo terkenal dengan sifatnya yang sangat pelit. Ia sulit sekali mengeluarkan uang untuk membantu orang lain yang sedang kesusahan. Baginya, uang yang dimilikinya adalah hasil usahanya sendiri, kerja kerasnya selama ini. Jadi, ia sangat tidak rela jika digunakan untuk membantu orang lain.

Satu lagi sifat yang dimiliki oleh Pak Tomo, ia tidak pernah merasa cukup. Kekayaan yang begitu banyak, tidak pernah membuatnya merasa puas. Ia masih ingin lagi dan lagi. Ia tidak peduli jika karena hal itu, ia melakukan pekerjaan yang merugikan orang lain. ”Yang penting hartaku bertambah,” begitu pikirnya.

Namun, takdir Tuhan berkata lain. Suatu pagi, saat Pak Tomo sedang bersantai di teras rumah, tiba-tiba ia merasakan dadanya begitu sakit. Beberapa kali ia mencoba berteriak untuk meminta pertolongan tapi suaranya hilang ditelan angin. Akhirnya, karena sudah tidak kuat lagi, Pak Tomo ambruk. Mati.

Rabu, 09 Maret 2011

Disiplin

Mungkin sudah ribuan kali aku mendengar kata yang satu ini. Pun sudah ratusan kali aku mencoba melakukannya. Ada yang berhasil tapi lebih banyak yang gagal. Gagal karena aku kurang konsisten. Aku terlalu mudah tergoda oleh bujuk rayu dan kesenangan yang sifatnya hanya sesaat.

Aku masih ingat, dulu, pas masa-masanya duduk di bangku sekolah, aku cukup berhasil dengan disiplin yang aku terapkan. Waktu itu aku bikin jadwal, kapan harus belajar, kapan harus maen, kapan harus bantu orang tua, dan lain sebagainya. Dan karena aku punya target tertentu biar dapet rangking dan bisa lulus ujian dengan nilai yang baik, aku selalu berusaha memenuhi jadwal-jadwal tersebut. Walau kadang memang terasa sulit.

Target yang jelas. Aneka kesulitan. Kurang konsisten dan begitu mudahnya tenggelam dalam godaan. Ah... aku harus mengatasi semua itu. Aku harus menajamkan niatku untuk sungguh mendisiplinkan diri. Disiplin dalam banyak hal. Untuk kebaikanku. Juga untuk orang lain. Semoga.

Selasa, 08 Maret 2011

Sedulur

Dalam bahasa Indonesia kata sedulur artinya sama dengan saudara. Ketika kata ini diberi tambahan satu kata lagi, maka muncullah dwikata: saudara kandung, saudara sepupu, saudara jauh. Semuanya merujuk adanya suatu hubungan. Suatu keterikatan yang terjadi karena sebab-sebab tertentu. Pertanyaan yang kemudian muncul: bagaimana dengan orang lain yang tidak memiliki ikatan tertentu dengan kita, masihkah mereka itu kita sebut sebagai sedulur?

Sejatinya, kita semua adalah sedulur. Tanpa memandang apakah kita memiliki ikatan atau tidak. Mengapa? Karena kita berasal dari zat yang sama dan diciptakan oleh Tuhan yang sama. Lalu, mengapa kenyataan yang terpapar di hadapan kita justru sebaliknya? Perselisihan, pertentangan, pertengkaran, hingga saling bunuh, seolah menjadi menu wajib yang terjadi setiap hari. Semua ini ada karena kita tidak lagi saling menghargai. Kita cenderung mengganggap orang lain sebagai saingan. Sebagai pihak yang harus selalu dikalahkan.

Maka, marilah kita kembali kepada hakikat kita. Sebagai sedulur yang diciptakan Tuhan dengan sama baiknya. Tidak lagi saling bermusuhan. Tidak ada lagi keinginan untuk saling menciderai dan mencelakakan satu sama lain. Karena kita adalah sedulur.