Seorang gadis kecil berpakaian kumal menenteng sebuah lukisan bergambar bunga. Ia berjalan ke sana ke mari menawarkan lukisan itu kepada orang-orang yang kebetulan lewat. Harga lukisannya (hanya) Rp. 20.000,-. Namun hingga sore menjelang, lukisan itu belum juga laku terjual. Kebanyakan orang yang ditawari lukisan itu hanya menggeleng sambil berusaha cepat-cepat menghindar. Padahal ayahnya yang lumpuh, yang berada di pojok jalan tengah menanti uang hasil penjualan lukisan itu. Uang yang akan dipergunakan untuk mencari sesuap nasi bersama sang anak.
Ketika malam hendak datang, dengan sisa-sisa kegigihannya yang hampir lenyap, gadis itu menemui seorang ibu penjual gorengan di pinggir jalan. Kembali ia menawarkan lukisannya. Segera ibu itu merasa terenyuh. Tanpa berpikir panjang, ibu itu segera mengulurkan uang untuk membeli lukisan tersebut. Sesaat setelah gadis kecil itu pergi, datanglah gadis lain yang hendak membeli gorengan. Setelah gorengan diterima, gadis itu mengambil segepok uang lalu memberikan uang tersebut kepada si ibu. Dan gadis itu pun pergi. Si Ibu yang tidak menyangka akan menerima uang dalam jumlah yang besar hanya bisa melongo keheranan… uang apa ini? Lalu, ibu itu pun menangis sesenggukan sambil bersujud penuh syukur.
Cerita di atas hanyalah sepenggal episode reality show yang tayang di sebuah stasiun televisi swasta. Nama reality show itu MINTA TOLONG. Gadis kecil dan kakek yang lumpuh adalah ‘umpan’ yang sengaja dipasang untuk mengetahui reaksi orang-orang ketika melihat mereka minta tolong. Apakah orang-orang terbuka hatinya dan memberi pertolongan kepada mereka?
Kiranya reaksi orang-orang yang terjadi dalam reality show tersebut adalah wajah keseharian kita. Kita sering tanpa sadar (dengan sadar?) menolak memberikan bantuan ketika ada orang lain yang datang kepada kita untuk meminta tolong. Dalam pikiran kita sering dibayangi hal-hal yang cenderung negatif. Apakah orang ini memang benar membutuhkan pertolongan? Apakah dia tidak hanya berpura-pura saja? Atau jika kita bersedia memberi pertolongan, kadang kita suka pilih-pilih. Yang berpakaian bagus dan secara fisik bagus, cepat kita tolong tetapi yang berpakaian kumal dan lusuh seperti dalam cerita di atas cenderung kita jauhi dan kita anggap sebagai pengganggu. Semestinya kita merasa malu dengan ibu penjual gorengan itu. Meski hidupnya serba kekurangan hingga untuk membeli susu buat anaknya saja ia harus menjual HP, namun ketika ada orang yang datang minta tolong, nuraninya terusik. Sementara orang-orang yang lebih berada daripada dirinya hanya berpangku tangan dan memilih menolak memberi pertolongan.
Nah, masihkah kita akan terus bersikap demikian? Masihkah kita menolak orang-orang yang datang untuk minta tolong kepada kita? Bukankah hal itu adalah kesempatan bagi kita untuk melakukan kebaikan? Percayalah, pada saatnya nanti setiap kebaikan yang sudah kita tanam, pasti akan kita tuai hasilnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar