Jumat, 06 Maret 2009

Antara Kejujuran dan Ketidakjujuran

Suatu siang, toko tempatku bekerja begitu ramai oleh pembeli. Saat itu aku tengah menggantikan tugas kasir karena temanku yang biasanya ada di sana sedang beristirahat. Kebetulan hanya ada dua orang yang menemani. Kami cukup kewalahan karena disamping harus melayani, kami juga harus menjawab ketika ada pembeli yang bertanya ini dan itu. Sementara aku sendiri harus memasukkan beberapa nota ke dalam mesin cash register sesuai kode, kemudian memilah nota dan memberikan kembalian untuk pembayaran yang masih sisa. Tiba-tiba ada seorang ibu paruh baya mendekatiku. “Mas, kembaliannya kelebihan,” katanya sambil mengangsurkan lembaran uang duapuluh ribuan kepadaku.

“Ohhh…” Aku terkejut mendengar kata-kata ibu itu. Segera kuterima uang itu sambil memeriksa nota yang disertakannya.

“Tadi uang saya 100ribu dan belanjaan saya habis 20ribu tapi kembalian yang diberikan kepada saya 40ribu, mas… “ terang ibu itu.

Ah, betapa tololnya aku. Karena tergesa-gesa aku jadi salah memberikannya kembalian. “Trimakasih bu…” ucapku tulus pada ibu itu. Entah siapa namanya.

Pada hari yang lain, Antok salah seorang teman di kantor yang baru saja pulang dari istirahat siangnya bercerita, “Wah… aku benar-benar beruntung hari ini.”

Kami yang mendengar perkataannya menjadi bingung. Beruntung karena apa?

Melihat kebingungan kami, Antok lalu bercerita, “Tadi aku beli voucher pulsa 10ribu… eh… barusan waktu aku mau ngisikan pulsa itu ke hp… ternyata voucher yang diberikan bukan 10ribu tetapi 50ribu. Apa itu namanya kalau nggak beruntung?” terangnya sambil menunjukkan voucher itu kepada kami.

“Tapi mas, bukankah seharusnya mas mengembalikan voucher itu dan minta ganti yang sesuai?” kata Andi, temanku yang lain.

“Weleh…weleh… kok dikembalikan… Yang salah kan bukan aku,” jawab Antok, cuek.

****

Kejujuran dan ketidakjujuran hadir sebagai pilihan dalam kehidupan manusia. Dan berdasarkan pengalaman banyak orang, seringkali ‘tidak jujur’ menjadi pilihan yang lebih mudah untuk dilakukan. Sebab pilihan ini lebih enak dan menguntungkan. Sebaliknya untuk bersikap jujur tidak jarang seseorang harus berhadapan dengan berbagai macam resiko. Tidak disukai ‘lingkungan’ karena dianggap sebagai orang yang ‘aneh’. Dikucilkan dari pergaulan. Bahkan ada yang harus berkorban nyawa seperti pada kasus Marsinah dan Munir. Maka benarlah ungkapan ini, ‘jujur itu ajur’.

Nah, untuk kita sendiri, manakah yang akan kita pilih? Apakah kejujuran sudah sedemikian merasuk dan mewujud dalam setiap kata, sikap hidup dan tindakan kita atau justru ketidakjujuranlah yang biasa kita lakukan? Sekali lagi pilihan ada di tangan kita.

Tidak ada komentar: