Dulu aku tidak menyukai sepakbola. Namun, sejak menonton siaran pertandingan Liga Inggris di sebuah stasiun televisi swasta nasional beberapa tahun yang lalu, pandangan itu berubah seratus delapan puluh derajat. Aku menjadi suka tetapi suka yang pemilih. Maksudnya? Iya, aku jadi suka menonton pertandingan sepakbola tetapi hanya khusus liga-liga di Eropa. Kalau untuk pertandingan di liga Indonesia aku ogah banget. Bukannya enggak mencintai negara sendiri tetapi kenyataannya pertandingan sepakbola di dalam negeri tidak enak untuk dinikmati dan cenderung menjengkelkan. Mulai dari penonton yang suka tawuran dan gemar merusak fasilitas publik hanya karena klub kesayangannya kalah atau karena enggak dapat tiket nonton, pemain yang lebih suka menendang kaki daripada bola dan adu jotos di lapangan karena tidak bisa menahan emosi, wasit yang lebih sering dimaki-maki dan didorong-dorong daripada dihormati, dan pengurus induk organisasi yang lebih mengutamakan kepentingannya sendiri daripada kepentingan persepakbolaan nasional. Semua dihinggapi masalah yang nggak ada ujung pangkalnya. Bak benang ruwet yang sulit untuk diurai lagi.
Kalau ditanya apa klub favoritku, pasti dengan sigap aku akan menjawab Manchester United (MU). Ya, MU, MU, dan hanya MU. Para pemainnya penuh talenta dengan pola permainan menyerang yang sangat enak untuk ditonton. Ditambah sosok Alex Ferguson, manajer bertangan dingin yang ada dibalik semua itu. Aku masih ingat betapa menyenangkannya saat menyaksikan kelincahan Ryan Giggs dengan dribel lincahnya yang sanggup melewati hadangan pemain lawan atau tendangan bebas akurat nan mematikan milik David Beckam yang sangat memanjakan para penyerang MU.
Satu pertandingan MU yang paling aku kenang hingga saat ini adalah ketika melawan Bayern Munich di Final Liga Champion 1999 yang digelar di Camp Nou. Pertandingan itu sungguh mendebarkan, dramatis, sekaligus menguras emosi. Hampir sepanjang pertandingan, aku terus dipeluk kekhawatiran karena klub kesayanganku sudah tertinggal 0-1 sejak menit-menit awal. Di saat kekhawatiran itu makin membuncah, hanya seucap doa yang terus kupanjatkan: Tuhan, semoga Engkau memberi kemenangan untuk MU... Dan sungguh ajaib, di menit-menit akhir pertandingan yang sudah memasuki injury time, MU sanggup membalikkan keadaan. Mereka akhirnya bisa merebut mahkota Liga Champion setelah menang 2-1.
Lalu, apakah hanya hal-hal itu yang menyebabkan aku menjadi begitu menyukai sepakbola? Tidak. Ternyata dari menonton pertandingan sepakbola, aku bisa menemukan banyak pelajaran positif yang akan semakin mengembangkan kehidupanku. Lebih mengutamakan kepentingan tim (kelompok) daripada kepentingan pribadi. Tidak bersikap egois atau ingin menang sendiri. Berjuang tanpa kenal lelah, tanpa putus asa, hingga tetes keringat terakhir, untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Bersikap jujur, tidak berpura-pura, atau menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tidak terlena dengan keberhasilan yang sudah dicapai tetapi terus berusaha memberikan yang terbaik. Bersikap sportif, mau mengakui dan menerima kekalahan. Berani meminta maaf ketika melakukan kesalahan dan patuh pada peraturan yang berlaku.
10 komentar:
Sayang aku ngga suka bgt sepak bola mas..
bnyk hal bs diambil sbg pelajaran dr sepakbola emang Om...
thx 4 share
have a nice day ^^
kalau aku sich ngga' suka nonton boLa kLo yg maen bukan Perancis, Inggris, PSM, Indonesia, itu aja...
Aku kurang paham sepak bola mas... hehehe
Semoga saja persepakbolaan di Indonesia suatu saat dapat membuat bangga negara dan bangsa kita di mata internasional...
aku pun yg ga suka bola menjadi lebih ga suka lagi dengan melihat suporter yg seperti itu, sangat mengganggu
kerja tim sangat dibutuhkan dalam permainan sepak bola, patut dicontoh itu ^^
kalo Seiri biasanya tertidur kalo harus nonton bola di rumah
tapi pernah jadi cheerleader coz dipaksa sama residen...
Banyak yang bisa dipelajari dari sepakbola...
wah, ternyata banyak sekali hal yang positif yang dapat idapat dari sepak bola.
saya juga suka sepakbola, cman saya sukanya club AC Milan.
siiip, siiip mas. :D
Posting Komentar