Malam pekat. Gelap. Angin terus saja bergemuruh, menerbangkan daun-daun kering dari satu dahan ke dahan lain, jatuh ke tanah. Di langit, sedikit awan menggantung, menyelimuti rembulan yang tampak malu-malu membiaskan sinarnya. Malam itu begitu dingin. Dinginnya membekukan tulang sampai ke sumsum.
Di sebuah pojokan, tampak seorang lelaki tua. Ia setengah terbaring. Wajahnya menengadah ke langit. Wajah itu kotor, penuh kerut-merut tanda ketuaan. Matanya kuyu dan rambutnya penuh uban, kusut masai. Menandakan sudah tidak terawat sekian lama. Tubuhnya kurus dengan tulang-tulang yang tampak menonjol, menyembul di balik pakaiannya yang compang-camping, penuh tambalan di sana-sini.
Lelaki itu perlahan-lahan mengangkat tubuhnya. Ia mendesah. Ditatapnya rembulan di langit sana. Terbayang kembali peristiwa tiga puluh tahun yang lalu. Peristiwa yang membuat dirinya terlunta-lunta. Sebatang kara.
Waktu itu ia masih muda. Tubuhnya gagah dan wajahnya juga lumayan ganteng. Ia menggabungkan diri dengan Tentara Pelajar. Berjuang untuk mengusir penjajah Jepang yang telah menguasai negerinya. Betapa di hatinya tersimpan dendam membara terhadap tentara Jepang. Mereka dengan sangat biadab telah membantai ayah dan ibunya.
Baru lima bulan ia melangsungkan pernikahan dengan seorang gadis idamannya. Gadis yang sudah lama dikenalnya dan menjadi teman sepermainan semenjak kecil. Sumirah namanya.
Saat ini Mirah tengah mengandung. Tentu saja berita ini membuat hatinya berbunga-bunga karena beberapa bulan lagi, ia akan menjadi seorang ayah. Terbayang di benaknya bayi laki-laki mungil nan ganteng dan lucu. Namun, kegembiraan itu hanya sesaat. Esok pagi ia harus pergi meninggalkan istrinya untuk kembali berjuang.
”Kang....” Mirah terbangun. Ia menggosok matanya yang masih mengantuk. Dilihatnya suaminya yang duduk di pojok ruangan. Nampak asyik membersihkan senjata yang akan dipakainya esok pagi.
”Kang... Apakah kau akan pergi juga esok pagi?” tanya Mirah, setengah berharap dan cemas menunggu jawaban suaminya.
Lelaki itu masih terdiam. Sesaat diletakkannya senjata yang barusan dibersihkannya. Kemudian ia berjalan mendekati istrinya dan duduk di tepi ranjang, di sebelah istrinya. Tangannya bergerak lembut, membelai rambut istrinya dengan penuh kasih.
Sekali ia mendesah. Hatinya galau. Ia tak ingin pergi tapi ini adalah kewajiban. ”Mirah... Aku begitu mencintaimu. Apalagi dengan calon anak kita yang tengah engkau kandung. Rasanya begitu berat... berat untuk meninggalkanmu... apalagi di saat-saat seperti ini... tapi semua ini harus aku lakukan... Aku sudah diberi tanggung jawab untuk memimpin pasukan, melawan penjajah keparat itu!”
”Tapi Kang... Apakah aku juga tidak perlu dikasihani? Lihatlah kandunganku ini, semakin lama semakin membesar. Aku takut... aku takut Kang, jika saat anak kita lahir, Kau tidak ada di sampingku!” Mirah mulai terisak.
”Mirah... percayalah... aku pasti akan kembali. Percayalah bahwa apa yang aku lakukan adalah tugas mulia. Ini adalah jalan yang sudah aku pilih. Hapuslah air matamu. Pandanglah aku, Mirah!” Sebentar lelaki itu menarik nafas panjang, ”Berilah aku restu, Mirah! Berilah aku keyakinan agar aku dapat melaksanakan tugas dengan hati yang lapang. Hanya itu yang kuinginkan saat ini...”
Sumirah terdiam. Ia mencoba memahami apa yang dikatakan suaminya barusan. Terasa air matanya kembali jatuh. ”Kang... sungguh berat hatiku berpisah denganmu. Aku begitu mencintaimu. Engkau adalah lelaki pertama dan terakhir dalam hidupku. Tapi... aku tidak berhak menahanmu di sini.” ucap Sumirah sambil menyusut air matanya. ”Aku bangga padamu... Pergilah... pergilah, Kang... bertempurlah dengan penuh semangat. Jangan risaukan aku... Aku pasti akan merindukan kepulanganmu...” Segera diciumnya suaminya dengan penuh kasih.
Lelaki itu bernafas lega. Ia terharu dengan ketulusan istrinya. Terasa beban yang tadi menghimpit dadanya kini telah sirna. Hilang entah kemana.
Dan malam itu, adalah malam terakhir dimana ia bisa menyaksikan wajah istrinya. Saat ia pulang dari medan pertempuran, hanya ia dapati puing-puing. Rumahnya telah hancur, rata dengan tanah. Ia mencari tubuh istrinya tapi tak jua ditemukannya. Langkahnya tertatih-tatih. Kaki kanannya hilang terkena tembakan tentara Jepang.
Kenyataan yang dihadapinya membuat kakinya kembali terasa begitu nyeri. Ia ingin berteriak memanggil nama istrinya. Namun lidahnya kelu. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Hatinya hancur. Ia tak percaya istrinya sudah mati. Entah darimana kepercayaan itu datang. Ia bertekad akan mencari istri dan anaknya sampai ketemu meski sampai ke ujung dunia sekalipun. Ia tidak peduli.
***
Malam yang semakin dingin membuyarkan lamunan lelaki tua itu. Tak terasa butir-butir bening jatuh menetes membasahi pipinya yang begitu keriput. Kenangan itu ingin segera dihapusnya, tapi ia tak kuasa.
Ia sedih. Teramat sedih. Ia kini putus asa. Telah sekian lama ia berjalan dengan penuh pengharapan, menyusuri lorong, memasuki kota-kota dan perkampungan. Menjadi cemoohan banyak orang. Diusir bagai seonggok sampah tidak berguna. Namun tak jua ditemukannya istri dan anaknya.
Lelaki itu kini sadar. Istri dan anaknya memang sudah lama mati. Dan sudah sekian lama pula ia melupakan Tuhan. Sang Pencipta yang telah memberinya kehidupan dan pengharapan. Kini, ia ingin memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Ia merasa sudah tidak kuat lagi berjalan. Ia teramat lelah. Ia ingin malam ini Tuhan memanggilnya karena esok... ia tak tahu lagi apa yang mesti dilakukannya.
Rembulan di langit beranjak naik. Sinarnya semakin redup. Angin berhembus sepoi-sepoi. Dingin malam terus menggigit. Beberapa menit kemudian, semuanya serasa mati. Hening. Sepi. Perlahan namun pasti, malam bergulir meninggalkan kepekatannya menuju pagi.
5 komentar:
Mas Goen, ceritanya kok perih banget. Jadi sedih bacanya...
bagus tuh, sekali2 backroundnya menengah kebawah
Selamat bertaubat dan kembali pada jalan tuhan wahai Lelaki tua.
nice story bro
Jadi bergidik nih mas!
Wah, ceritanya kok tragis banget ya ? Sedih bacanya...
Posting Komentar