Lastri tersenyum. Dipandanginya satu per satu anak-anak yang ada di depannya. Tingkah laku mereka selalu membuatnya gemas. Kepolosan dan kelucuan anak-anak itu juga senantiasa membuat hatinya berbunga-bunga.
“Bu Guru, bantuin Sisi menggambar bunga dong!” teriak seorang gadis kecil sambil memberikan kertas gambar dan crayon yang sedang dipegangnya.
Lastri segera beranjak. Ia tidak ingin Sisi, gadis kecil itu, meminta untuk kedua kalinya. Ia hafal benar dengan kebiasaan Sisi jika permintaannya tidak segera dituruti. Gadis kecil itu pasti akan ngambek dan kemudian ganti mengganggu teman-temannya.
Dengan telaten Lastri mengajari dan membantu gadis kecil itu. Disadarinya, ia memiliki cinta yang lebih untuk Sisi bila dibandingkan dengan anak-anak yang lain. Entah apa penyebabnya. Barangkali, wajah Sisi selalu mengingatkannya pada Arini, putri semata wayangnya yang telah tiada satu setengah tahun yang lalu.
Tiba-tiba saja, kenangan akan Arini berkelebatan di pelupuk matanya.
Dua belas tahun ia dan suaminya tak henti-hentinya melakukan segala upaya demi kehadiran seorang anak. Memeriksakan diri ke dokter ahli kandungan, mencoba berbagai pengobatan alternatif hingga lantunan doa yang didaraskannya setiap malam.
Pernah suatu saat, ia merasa putus asa karena permohonannya tak kunjung berhasil. Namun segera ditepisnya perasaan itu karena ia percaya Tuhan pasti akan memberi ketika saatnya tiba. Dan berkat kesabarannya, ia memperoleh anugerah terindah. Ia dinyatakan positif hamil oleh dokter pribadinya, tepat pada saat ulang tahun perkawinannya yang ke-12.
Sejak saat itu, hari-hari dirasakannya berjalan begitu lambat. Ia sudah tidak sabar lagi untuk segera menimang anak.
Ketika akhirnya seorang bayi perempuan yang cantik terlahir ke dunia, ia dan suaminya diliputi kegembiraan yang teramat sangat. Dunia dirasakannya turut bersorak dan bersenandung riang. Kebahagiaan membuncah dan memenuhi seluruh pori-pori di tubuhnya.
Arini, begitu ia dan suaminya memanggil, tumbuh sehat dan cerdas. Segala perhatian, pengorbanan dan kasih diberikannya dengan sepenuh hati. Bahkan puteri kecilnya itu menjadi kesayangan keluarga besarnya karena kecantikan dan tingkah lakunya yang lucu serta menggemaskan.
Namun benar kata orang bijak, di dunia ini tidak ada yang abadi. Sukacita dan kebahagiaan dalam sekejap dapat berubah menjadi dukacita dan kesedihan yang dalam. Begitu pun yang dialami oleh keluarga Lastri.
Peristiwa itu terjadi ketika Arini genap berusia 9 tahun. Untuk merayakan hari jadinya itu, Arini mempunyai sebuah keinginan khusus yaitu pergi ke suatu tempat dimana ia bisa bermain dengan kuda. Maklum, ia memang dikenal sebagai penyayang binatang.
Tentu saja orangtuanya mengabulkan keinginan Arini. Mereka kemudian berlibur ke suatu peternakan kuda di luar kota. Di tempat itu, Arini terlihat bahagia sekali. Tidak bosan-bosannya ia membelai, mengajak bercakap-cakap bahkan menaiki seekor kuda didampingi seorang pengawas.
Begitu bahagianya Arini hingga tanpa sadar ia mengabaikan keselamatannya. Tiba-tiba ia terjatuh. Tanpa ampun, kaki-kaki kuda itu menginjak tubuhnya. Tentu saja kejadian ini membuat Lastri dan suaminya kaget bukan kepalang. Dengan wajah cemas, takut dan ngeri membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi, mereka segera melarikan Arini ke rumah sakit terdekat.
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Baru beberapa menit Arini di rumah sakit, ia sudah menghembuskan napas terakhir. Lastri langsung menangis histeris. Tiba-tiba dunia dirasakannya begitu gelap.
Dan senandung kesedihan itu mulai menemani hari-hari Lastri. Dua bulan setelah kejadian itu adalah masa yang paling berat. Hampir tiap malam ia terbangun kemudian menangis hingga wajahnya sembab. Anehnya, setelah tangisnya tertumpah, tiba-tiba hatinya diselimuti kedamaian dan seakan-akan ada yang menopangnya dengan lembut. Segera setelah itu, ia tertidur kembali dengan seulas senyum di bibir.
Perlahan namun pasti, Lastri mulai dapat melupakan kesedihannya. Ia mencoba lebih tegar dan menerima semua itu sebagai bagian dari rencanaNya.
Pun ketika ketua lingkungan di mana ia tinggal mengajaknya untuk terlibat dalam kegiatan Pendampingan Iman Anak, tanpa berpikir panjang, ia segera mengiyakan.
Mungkin inilah yang terbaik, yang ditawarkanNya untukku, guman Lastri.
Keceriaan anak-anak, keluguan dan berbagai tingkah mereka mengembalikan semangat Lastri. Ia sungguh bersyukur Tuhan sudah memberikan Arini-Arini yang lain. Meski bukan darah dagingnya tapi ia ingin mencurahkan segenap perhatian dan kasih sayang untuk mereka.
“Ibu melamun ya?” tiba-tiba suara Sisi mengagetkannya.
“Oh… maaf. Ada yang perlu Ibu Bantu lagi?” Lastri berusaha menutupi kekagetannya.
“Gambarnya sudah selesai kok, Bu. Terima kasih ya…” Sisi segera berlari setelah memberikan senyumnya yang paling manis.
“Terima kasih Tuhan, rencanaMu sungguh teramat indah.” doa Lastri.