Minggu, 17 Januari 2010

Korban

Bu Muslikah belum juga tertidur. Sudah hampir satu jam ia berusaha memejamkan mata tetapi rasa kantuk itu tidak kunjung datang. Berulangkali pula ia membolak-balik badan di ranjangnya yang sudah agak reyot, namun itu juga tidak menolongnya. Malah kini dadanya dirasakannya begitu sesak. Beban itu seolah-olah tak mau pergi meninggalkannya. Dan saat memikirkannya, tak terasa butir-butir bening di kedua matanya kembali mengalir.

Semua berawal dari peristiwa 2 bulan lalu. Saat itu seperti kebiasaannya di kantor tiap pagi, ia barusan memimpin apel pagi anak buahnya, ketika telepon di ruang kerjanya berdering.

“Halo, selamat pagi. Bisa bicara dengan Ibu Muslikah?” Suara berat seorang laki-laki terdengar di ujung sana.

“Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” jawab Bu Muslikah ramah.

“Begini, saya ingin meminta pertolongan ibu. Hari ini di tempat ibu akan kedatangan seorang tahanan. Mohon ibu bisa memperlakukannya dengan baik,” ujar suara itu.

“Maksud, Bapak?”

“Saya ingin ibu memperlakukannya secara khusus. Tempat yang lebih luas dan fasilitas pendukung yang berbeda dengan tahanan lain,” tegas suara itu.

“Tapi, Pak, bukankah itu menyalahi aturan? Bukankah itu berarti saya sudah bertindak tidak adil?”

“Ayolah… ibu tidak usah membantah. Ini demi kebaikan ibu sendiri. Jadi, saya tunggu realisasi dari ibu!” tiba-tiba suara di seberang sana menghilang berbarengan dengan telepon yang ditutup.

Bu Muslikah tercenung. Siapa orang ini? Pasti… seorang yang punya jabatan dan kekuasaan tinggi, yang bisa melakukan apa saya ketika keinginannya tidak dipenuhi. Apa yang akan dilakukannya? Tiba-tiba, bayangan wajah ketiga anaknya silih berganti memenuhi benaknya. Mereka masih membutuhkan biaya sangat besar untuk pendidikannya, sementara ia harus bekerja sendiri selepas ditinggal mati suaminya setahun yang lalu.

Akhirnya, ia terpaksa meninggalkan nuraninya. Ia menyediakan berbagai hal khusus untuk tahanan itu. Dan sejak saat itu, berbagai perlengkapan mewah memenuhi ruangan tahanan itu. Tahanan yang menurut informasi yang ia dapat, tersangkut kasus korupsi dan penyuapan puluhan trilyun yang melibatkan banyak pejabat tinggi negara.

Hari demi hari berlalu. Sesuatu yang sudah menjadi rutinitas tiba-tiba terkoyak ketika beberapa orang yang berasal dari Tim Khusus yang diserahi wewenang untuk menyelidiki adanya mafia hukum melakukan inspeksi mendadak. Mereka mendapati hal yang tidak wajar. Mereka menemukan sebuah ruang tahanan yang sudah disulap menjadi kamar mewah. Lengkap dengan segala perabotannya. Fasilitas yang sebenarnya tidak berhak didapatkan oleh seorang tahanan.

Bu Muslikah terdiam. Ia tidak mampu berkata-kata karena bukti sudah terpampang di depan mata. Meski hal itu dilakukannya karena suruhan seseorang yang ia yakini salah satu pejabat tinggi, mau tidak mau, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pagi ini, suasana di kantor Bu Muslikah tidak seperti biasanya. Semua pegawai nampak muram. Beberapa, bahkan menangis sesenggukan. Bu Muslikah sendiri tak henti-hentinya menyusut air mata yang deras mengalir. Ya, hari ini ia akan dicopot dari jabatannya karena terbukti telah melakukan kelalaian. Kelalaian yang sebenarnya bukan atas kehendaknya. Ia hanyalah korban.

16 komentar:

Ivan Kavalera mengatakan...

Sebuah potret ketidakadilan. Sebuah cerita yang sangat menggugah. Keren mas. Teknik menulis yang sangat mengagumkan.

SeNjA mengatakan...

sebuah potret sosial yang ada di negara kita,miris ya...

Clara Canceriana mengatakan...

kasihan Bu Muslikah cuma jadi korban, seharusnya dia nolak aja waktu itu ya...

reni mengatakan...

Masih saja orang menggunakan uang dan kekuasaan untuk mendapatkan keinginannya.
Banyak sekali korban-2 spt bu Muslikah itu di negeri kita...

Seiri Hanako mengatakan...

kasiaan banget ya...
gimana cara kita menyikapi ini yah?

Unknown mengatakan...

Begitulah nasib rakyat kecil, serba salah.. tidak membantu, takutnya terjadi apa2 dengan keluarganya (coz uanglah yang berkuasa, ada uang apapun bisa dilakukan termasuk mencelakai orang lain), dilakukan.. malah semakin membawa dirinya dalam ambang kehancuran.. nasib..nasib.. seakan dipermainkan dengan uang..

Fi mengatakan...

geram miris dan jengah selesai membacanya, keterlaluan sekali!!!

Kabasaran Soultan mengatakan...

Itulah potret negeri saat ini
mau bagaimana lagi
negeri oh negeri

nuansa pena mengatakan...

kita ambil pelajaran dari peristiwa ini! kisah penuh makna!

Anonim mengatakan...

Cerita yang menggambarkan, tambah satu lagi keparahan yg amat komplex di negara tercinta ini, lagi-lagi org kecillah yg jd korban...
salam kenal kembali mas cahyadi...

Pohonku Sepi Sendiri mengatakan...

keuren mas.. tulisannya mengajak kita memandang dari sudut yg berbeda.. yg mungkin tdk pernah kita tahu kalo itu ada..

Anggi Zahriyan mengatakan...

jangan menangis Bu Muslikah... Sebenarnya Tuhan mempunyai rencana lain yg lebih baik untuk Bu Muslikah.

Ie mengatakan...

korban? I dont think so..

sekilas memang terlihat seperti itu, dengan berbagai alasan yang melatar belakanginya.. dan juga kesalahan-kesalahan 'sang penguasa'

Tetapi, mari mencoba melihat dari sisi berbeda.

Jika, hal yang sama diperhadapkan kepada kita. Apakah kita juga masuk urutan daftar 'korban' berikutnya?

beranikah kita melawan?
beranikah kita menjadi 'pemberontak'?
beranikah kita???

Jika "Tidak"

Maka saya ucapkan "SELAMAT" karena kita akan menjadi "KORBAN" berikutnya

Jika "IYA"

maka saya ucapkan "SELAMAT" juga karena kesulitan, tantangan, dan juga pujian menyertai langkah kita di episode berikutnya

Siapkah??

tariq mengatakan...

hiks..hiks

-Gek- mengatakan...

bukannya persoalan ini dari dulu ada ya Mas?
hmmmm..

Ninda Rahadi mengatakan...

sindiran lagi akan nasib dan ketidakadilan.... hmm :(