Jumat, 08 Mei 2009

Hidden Hand's


Minggu pagi. Angin bertiup perlahan menyebarkan udara yang begitu segar. Di langit, matahari masih tampak malu-malu memancarkan sinarnya. Sementara percik air hujan di dedaunan sisa hujan semalam, berjatuhan ke tanah. Cericit burung di atas pepohonan begitu riang melantunkan nyanyian menyambut pagi.

Lik Karyo duduk di beranda depan rumah. Ia lagi asyik membaca koran baru yang barusan diantar oleh Paijo, loper koran langganannya, ditemani secangkir teh panas dan sepiring pisang goreng buatan Marni, istrinya. Beberapa kali ia menggeleng-gelengkan kepala. Wajahnya tampak begitu serius.

Bejo, tetangga depan rumah yang lagi asyik jogging keheranan melihat lik Karyo. Beberapa detik kemudian, ia melangkahkan kaki menuju ke tempat lik Karyo.

”Selamat pagi, Lik. Wah, lagi baca apa nih, kelihatannya kok serius banget?” sapa Bejo.

”Eh, kamu, Jo. Tumben, pagi-pagi udah maen ke sini?” jawab lik Karyo

”Iya, Lik. Aku penasaran. Dari tadi kulihat lik Karyo serius banget sambil geleng-geleng kepala. Sebenarnya, lagi baca apa sih, Lik?” Bejo mengulang pertanyaannya sambil tangannya mencomot pisang goreng yang terletak di atas meja.

”Ini lho, berita soal Antasari Azhar. Kok bisa-bisanya ya ia jadi tersangka pembunuhan direktur utama PT Putra Rajawali Banjaran, si Nazrudin Zulkarnaen. Apalagi pangkal masalahnya hanya karena soal cewek.” ujar lik Karyo. Kepalanya kembali menggeleng-nggeleng ke kiri ke kanan tanda ketidakmengertian.

”Menurut Lik sendiri, gimana kebenaran berita itu?” tanya Bejo.

Lik Karyo tersentak mendengar pertanyaan Bejo. Sejenak diletakkannya koran yang dipegangnya ke atas meja. Dihelanya napas sebelum menjawab, ”Wah, kayaknya memang benar seperti itu. Apalagi hari-hari ini beritanya begitu santer di televisi dan surat kabar. Dan bukti-buktinya juga sudah ada.”

”Apa enggak terlalu janggal, Lik. Masak hanya karena soal cewek, Pak Antasari sampai rela mengorbankan kedudukannya sebagai ketua KPK untuk merencanakan pembunuhan yang sadis seperti itu, sampai melibatkan oknum polisi segala?” tambah Bejo.

”Maksudmu?” tanya lik Karyo semakin tidak mengerti.

”Kalo menurut aku, kayaknya ini ada ’tangan-tangan tersembunyi’ yang bermain di belakangnya. Ada orang-orang yang sengaja bikin skenario agar Pak Antasari ikut terlibat,” ujar Bejo penuh semangat.

”Apa ada dasar untuk penjelasanmu itu, Jo?”

”Sederhana, Lik. Pak Antasari dengan KPK-nya, selama ini sudah banyak menjebloskan para pejabat tinggi yang terlibat dalam kasus-kasus korupsi. Sementara itu masih ada lagi beberapa kasus besar yang menunggu untuk diperiksa. Nah, tentu hal ini membuat gerah dan tidak senang pihak-pihak tertentu.” terang Bejo. ”Sebenarnya hal seperti ini hanyalah pengulangan dari apa yang sudah pernah terjadi. Memang berbeda peristiwanya tetapi esensinya sama saja. Tentu lik Karyo masih ingat kasus Tanjung Priok dan peristiwa penyerbuan PDI pro Soerjadi pada PDI pro Mega pada masa Orde Baru, lalu peristiwa Trisakti, Semanggi kemudian yang paling menghebohkan, kasus terbunuhnya Munir saat sedang dalam perjalanan ke negeri Belanda. Sampai saat ini, kasus-kasus itu belum terungkap sepenuhnya. Memang sudah ada pihak-pihak yang dijadikan terdakwa tetapi siapa aktor intelektual atau tangan-tangan tersembunyi di belakangnya, sampai saat ini belum diketahui,” paparnya lebih lanjut.

”Kalau yang kamu ceritakan itu memang benar, betapa jahatnya orang-orang itu. Mereka bisa seenaknya saja membuat orang lain dipersalahkan sedangkan diri mereka tidak pernah bisa disentuh,” sambung lik Karyo.

”Benar, Lik, mereka itu memang sungguh-sungguh jahat. Mereka hanyalah orang-orang pengecut yang kebetulan mempunyai kekuasaan dan memiliki banyak uang. Tapi kita jangan pernah kalah oleh mereka. Kita harus tetap menyuarakan kebenaran dan bertindak sesuai hati nurani kita, melalui kata-kata, sikap dan perbuatan. Yang benar adalah benar dan yang salah harus tetap salah. Jangan kita kalah oleh kejahatan tetapi kejahatan harus kita kalahkan dengan kebaikan. Begitu kan, Lik?” sambar Bejo.

”Wah... wah... wah... ternyata kamu ini memang pintar, Jo. Nggak percuma kuliah di fakultas hukum. Aku setuju dengan pendapatmu.” Lik Karyo manggut-manggut. Ia kagum dengan kecerdasan Bejo.

”Satu hal lagi, Lik. Tuhan enggak pernah tidur. Pada saatnya nanti, Ia akan meminta pertanggungjawaban segala hal yang pernah kita lakukan di dunia ini,” tambah Bejo.

Tiba-tiba terdengar bunyi hape berdering. Bejo segera berdiri. ”Aku harus pamit dulu, Lik. Kebetulan tadi istri di rumah minta dibelikan bubur ayam. Kapan-kapan kita sambung lagi ya...,” katanya sambil bergegas meninggalkan lik Karyo.

Lik Karyo hanya mengangguk. Diamatinya Bejo yang perlahan mulai menjauh. Sungguh, ia bersyukur mempunyai tetangga seperti Bejo.

Tidak ada komentar: