Jumat, 07 Agustus 2009

Andai...

Malam gelap. Angin berhembus perlahan di sela-sela dedaunan. Di langit, sang bulan begitu mempesona di antara awan putih yang tengah berarak. Sementara di kejauhan, sesekali terdengar lolong anjing saling bersahutan.

Di dalam rumah kayu yang terletak di pinggir kampung, suasana terasa mencekam. Terima Kasih dengan tergesa menata kertas di atas meja kayu yang ada di tengah ruangan. Sedangkan Tolong sedari tadi hilir mudik di depan pintu sambil sesekali matanya melirik jam yang tergantung di dinding rumah. Sesaat kemudian, pintu rumah kayu itu terbuka. Maaf, Peduli dan Hormat, tergopoh-gopoh masuk.

“Maaf, kami terlambat,” ujar Maaf mewakili teman-temannya.

“Tidak mengapa kawan, kami juga sedang bersiap-siap,” jawab Terima Kasih sambil mempersilakan tamu-tamunya duduk. “Mari segera kita mulai saja pertemuan malam ini.” lanjutnya.

Sesaat suasana hening.

“Pertemuan malam ini adalah pertemuan yang sangat penting untuk kelangsungan hidup kita,” kata Terima Kasih membuka pertemuan. “Tentu kalian sepakat, saat ini kita sudah menjadi kelompok minoritas. Kelompok kecil yang sewaktu-waktu bisa disingkirkan begitu saja.”

“Benar, aku juga merasakannya. Orang-orang tidak lagi memiliki kepedulian. Baik dengan lingkungan, sesama bahkan dengan Tuhan. Mereka menguras kekayaan alam tanpa henti, menebangi hutan, membuat polusi udara, seenak hati mengambil kekayaan negara dan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kroninya sementara sesama berkubang dengan kemiskinan, melakukan banyak dosa tanpa memikirkan keberadaan Tuhan. Benar-benar menyedihkan!” sambung Peduli.

“Apalagi dengan aku!” sela Hormat. “Orang saat ini juga sudah kehilangan rasa hormat dengan sesamanya. Maunya membuat segalanya jadi seragam. Kalau ada yang berbeda, segera saja diperangi dengan menggunakan bermacam-macam alasan!”

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berderap-derap.

“Kalian yang di dalam rumah, ayo segera keluar!” teriak sebuah suara.

Segera Terima Kasih membuka pintu diikuti Tolong, Maaf, Peduli dan Hormat yang mengekor di belakangnya.

Di luar rumah banyak orang berdiri dengan muka marah. Beberapa membawa obor. Banyak juga yang membawa pentungan dan senjata tajam. Terlihat di barisan depan Fitnah, Caci-maki, Bunuh dan Bakar.

“Ada apa kalian ke sini?” tanya Terima Kasih berusaha menguasai keadaan.

“Kalian telah melakukan makar. Kalian berusaha menghasut banyak orang untuk mengikuti kehendak kalian. Kalian harus dibinasakan!” tegas Fitnah dan Caci-maki hampir bersamaan.

Dan orang-orang itu pun bergerak. Bunuh memberi komando untuk membunuh semua orang sementara Bakar menyiramkan bensin ke sekitar rumah. Blass! Api segera menyala, membakar rumah kayu itu.

Karena jumlah yang tidak seimbang, Terima Kasih, Maaf, Peduli, Tolong dan Hormat akhirnya mati dengan luka yang sangat mengerikan. Tubuh mereka tercabik-cabik. Darah menetes bagaikan aliran mata air di musim hujan.

Malam beranjak pagi ketika semuanya benar-benar berakhir. Tinggal puing-puing yang masih mengepulkan asap. Bau daging gosong bercampur anyir darah memenuhi udara.

Hening. Sunyi. Dunia berkabung.

4 komentar:

Fanda mengatakan...

Wah..ceritanya seseru adegan penggerebekan Noordin tadi, mas. Jangan sampai nilai2 terpenting dalam hidup kita dibunuh. Hanya kitalah yang sanggup berjuang tuk mempertahankannya!

Yolizz mengatakan...

waduh,, kalo rasa terima kasih, maaf, peduli , hormat dan tolong itu dibunuh apa jadinya manusia...

semoga engga yah mas...

dj martha mengatakan...

Yaaa dunia menangis...


Salam kenal

reni mengatakan...

Andai semua orang mengikuti apa kata hati nurani..
dan andai setiap orang tak mudah terbakar emosi
maka kedamaian akan dapat dengan mudah tercipta...
Andai orang-2 tak lagi mementingkan diri sendiri...
Kapan andai-andai ini kan jadi nyata ?