Selasa, 13 Juli 2010

Pak Sabar

Siang teramat terik. Debu-debu jalanan di depan sana terus diterbangkan angin. Membuat udara menjadi kotor. Namun hal itu tidak membuat Pak Sabar berhenti dari aktifitasnya. Ia masih asyik mengais-ngais sampah di container sampah itu. Bau tidak sedap yang amat menyengat tidak dihiraukannya. Tangannya dengan cekatan memilah-milah sampah. Sesekali, ia menyeka keringat yang mengucur di dahinya. Sesaat, ia termenung. Wajah istri dan anak semata wayangnya kembali menari-nari di pelupuk matanya.

”Anak kita makin parah, Pak!” kata Murni, istrinya, sambil meletakkan lipatan kain yang sudah dibasahi air dingin di kening anaknya. ”Panasnya makin tinggi. Aku takut, Pak...,” tambah istrinya.

Pak Sabar menghela napas. Ia bingung. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa. Uang tabungannya yang tidak seberapa, yang dikumpulkan dari hasil memulung sampah, kini sudah lenyap tak berbekas. Untuk biaya berobat anaknya di rumah sakit. Itu pun tidak cukup karena anaknya diharuskan ’mondok’. Dan karena itu pula, anaknya yang baru 2 hari di rumah sakit, terpaksa ’dipulangkan’ karena ketiadaan biaya.

”Pak, bagaimana dengan anak kita?” tanya Murni sekali lagi.

”Sabar, Bu. Hari ini aku akan bekerja lebih giat dan berusaha mencari pinjaman lagi. Semoga saja usahaku bisa berhasil,” jawab Pak Sabar berusaha menenangkan istrinya.

”Tapi Pak, apakah masih ada orang yang mau meminjamkan uangnya untuk kita? Apa mereka mempercayai kita yang miskin ini?” sela istrinya.

”Bu, kita harus tetap percaya akan hal itu. Serahkan saja semua pada kehendak Tuhan. Yang paling penting aku akan berusaha keras mencari uang untuk kesembuhan anak kita,” tegas Pak Sabar. Didekatinya sang istri yang masih duduk di pembaringan, lalu dikecupnya. Mesra.

Panas yang makin menyengat membuyarkan lamunan Pak Sabar. Ahh... lamunan itu membuat kedua matanya sedikit basah. Ya, ia tidak boleh menyerah. Ia harus berusaha keras. Demi anak semata wayang yang amat dikasihinya.

Tak terasa karung yang dibawanya sudah terisi penuh. Segera ia bergegas. Langkah kakinya begitu ringan dan penuh semangat menapaki jalanan.

Tiba-tiba, ketika sampai di pertigaan, sebuah sedan hitam berpelat merah melaju begitu kencang. Duarrrrrr!!! Kecelakaan itu terjadi begitu cepat. Tubuh Pak Sabar melayang di udara kemudian jatuh ke tanah. Darah segera mengucur. Membasahi jalanan yang panas.

Pak Sabar tergeletak tak berdaya menunggu ajal. Namun sedan hitam berpelat merah itu sudah tidak kelihatan lagi.

7 komentar:

Sudinotakim mengatakan...

Cerita yg sangat menyentuh mas..

catatan kecilku mengatakan...

Ya Allah.., merinding aku bacanya..

Yudi Darmawan mengatakan...

wah mas,
gak ada bosan-bosannya bacain artikel-artikelnya,
yang ini ampir netesin air mata..

Winny Widyawati mengatakan...

Kl melihat dg kasat mata, penderitaan "org kecil" selalu beruntun dan mengenaskan ya mas...

Ferdinand mengatakan...

Wah ceritanya Tragis Mas... endingnya malah harus menunggu ajal padaghal lagi bersabar dan berusaha untuk bayar pengobatan anaknya... kasian bu sabar....

kebookyut (DiVe) mengatakan...

wah.. kasian amat... dr kisah nyata ato fiksi mas?

admin mengatakan...

bahasa jawanya wong sabar ra kedumen
ceritanya sungguh tragis pak
oia pak aku dah follow.balik follow dong buat nambahi gambar