Rabu, 23 Maret 2011

Mati Untuk Berbuah

Cabi sedang gundah. Berkali-kali ia berusaha memejamkan mata tetapi belum juga berhasil. Terngiang kembali ucapan pak petani yang didengarnya beberapa saat lalu. “Ayo, Le… kita segera tidur malam ini. Besok kita harus bangun pagi-pagi untuk menyemai benih cabe yang masih kita simpan.” Menyemai? Ah… tiba-tiba bayangan kematian hadir di hadapan Cabi. “Bukankah itu berarti memasukkan tubuhku ke dalam tanah… lalu… lalu…. Tidak, aku tidak mau mati. Aku tidak mau seperti Loli, Luna, dan banyak sahabatku yang lain. Mereka dulu juga disemai oleh pak petani itu. Bagaimana nasib mereka sekarang? Mengapa tidak ada kabarnya? Bukankah itu berarti bahwa mereka sudah mati? Tidak.. pokoknya aku tidak ingin bernasib sama seperti mereka!” jeritnya dalam hati.

Morbi yang tidur tidak jauh dari Cabi terbangun. Dipandangnya sahabatnya itu beberapa saat. Dan, ia pun segera beringsut mendekati Cabi. “Ada apa Cabi?” tanyanya.

“Oh… Morbi, maaf, aku membuatmu terbangun,” tukas Cabi saat melihat Morbi yang sudah berada di hadapannya. “Pak petani akan menyemai kita besok. Dan itu membuatku takut…,” lanjutnya.

“Mengapa takut? Bukankah itu memang tugas mereka?” jawab Morbi dengan mimik keheranan.

“Aku takut… aku takut... kalo akhirnya aku harus ma... mati…,” jawab Cabi terbata-bata.

Morbi tersenyum. Dipegangnya tangan sahabatnya erat-erat. Bergegas ia melangkahkan kaki, menembus kegelapan malam. Dan tak berapa lama, mereka sudah sampai di ladang kepunyaan pak petani.

“Lihatlah ladang itu,” kata Morbi kepada sahabatnya.

Meski masih bingung, Cabi menuruti apa yang dikatakan Morbi. Dipandangnya ladang yang terhampar di hadapannya. Di sana, berjejer dengan rapi, tanaman cabe yang tumbuh dengan subur. Beberapa di antaranya nampak sedang mengeluarkan bunga. Indah sekali.

”Indah bukan?” tanya Morbi sambil melirik sahabatnya.

Cabi mengangguk perlahan. ”Ya... indah sekali. Tapi terus terang aku belum mengerti apa maksudmu membawaku ke sini,” balasnya.

”Di ladang itu ditanam teman-teman dan sahabat kita. Mereka telah berubah menjadi tanaman cabe yang tumbuh dengan subur. Sebentar lagi mereka akan berbunga dan setelah itu, buah-buah cabe yang segar, akan bermunculan di dahan-dahan mereka,” jelas Morbi.

”Benarkah?” tanya Cabi seolah tak percaya.

”Lihatlah ladang yang di sebelah sana itu,” ujar Morbi sambil tangannya menunjuk ke ladang lain yang berada tak jauh dari tempat mereka berdiri.

Mata Cabi hanya bisa membelalak. Ia tertegun. Dilihatnya buah-buah cabe yang bergelantungan di dahan. Hijau dan ranum. Beberapa bahkan sudah memerah. Sedap dipandang.

”Hanya benih yang mati yang akan berubah seperti itu. Tumbuh menjadi tanaman. Berbunga, lalu berbuah. Dan buahnya pasti akan menjadi berkat,” terang Morbi. ”Jika kau masih tetap tidak mau mati, kau tidak akan menjadi apa-apa. Hanya membusuk dan akan dibuang karena sudah tidak berguna lagi.”

Sama seperti benih cabe yang mati. Kita hendaknya juga mematikan segala hal yang buruk, yang jahat dalam hati dan pikiran kita agar kita dapat bertumbuh dengan subur, berbunga lebat, dan akhirnya akan menghasilkan buah-buah kebaikan bagi sesama. Maukah kita seperti itu?

6 komentar:

eha mengatakan...

mirip lilin yang meleleh demi memberi cahaya ya mas

cahya mengatakan...

wah mulianya si cabe... tapi kita sebagai manusia tidak harus mati dulu untuk berbuat kebaikan dan menjadi berkah bagi sesama. yang perlu kita lakukan adalah berusaha berbuat baik dan menyayangi sesama..betul ga mas..kira-kira nyambung tidak ya mas komen saya dengan isi artikelnya wkwkwk

catatan kecilku mengatakan...

suatu pelajaran berharga tentang makna hidup dari sebuah cabe. bagus banget mas.

the other mengatakan...

jika cabe itu takut mati... malah membusuk dan dibuang percuma ya? jadinya hidupnya sia-2 saja.

Place to Study mengatakan...

shasa suka banget baca ceritanya Om. bagus banget...

jejak langkahku mengatakan...

selamat siang Om, shasa ikutan mampir ya?