Jumat, 25 Maret 2011

Samsudin

Malam bertambah larut. Bunyi mesin kendaraan semakin berkurang dari jalanan. Hanya tersisa satu dua yang masih setia mendekap kegelapan. Sepi memagut. Angin berhembus perlahan. Membawa dingin yang membekukan tulang. Di sebuah emperan toko, Samsudin merapatkan sarung yang membungkus tubuhnya. Ia berusaha menutup mata. Namun entah mengapa, mata tuanya enggan terpejam. Sejenak dipandangnya Lastri, istrinya, yang tertidur tak jauh darinya. Di pelukan Lastri, Ningrum, putri semata wayangnya yang baru berumur 4 tahun juga nampak terlelap.

Samsudin bergerak perlahan mendekati istri dan anaknya. Beberapa detik kemudian, kecupan bibirnya sudah mendarat di dahi mereka. Tiba-tiba, butiran air bening menetes di kedua sudut matanya. ”Maafkan aku Lastri, selama ini aku belum bisa membahagiakanmu. Aku hanya membuat hidupmu sengsara,” gumannya sambil tak henti memandangi wajah istrinya.

Dan, peristiwa beberapa hari lalu, kembali menari-nari di hadapannya. Waktu itu, seperti biasanya, Samsudin sedang membantu istrinya berjualan di warung sederhana milik mereka. Saat sedang melayani pembeli, tiba-tiba terjadi keributan. Belasan orang berseragam coklat tanpa ba bi bu, berusaha merobohkan warung yang sekaligus menjadi tempat tinggal mereka.

Samsudin tercekat. Ia berusaha melawan. Istri dan anaknya pun menjerit-jerit. Namun apa daya, semuanya sia-sia. Segera saja tempat tinggal mereka roboh dan hanya menyisakan puing.

Samsudin hanya bisa termangu memandangi puing-puing di hadapannya. Apa yang ditakutkannya selama ini terjadi juga. Penggusuran yang seolah-olah menjadi hantu menakutkan, kini menimpa keluarganya. Ah, apakah memang harus begini nasib orang kecil yang tidak memiliki apa-apa?

”Jangan-jangan... jangan-jangan,” igauan Ningrum membuyarkan lamunannya.

”Sssst... sssst... sudah, Nak... sudah.” Samsudin berusaha menenangkan Ningrum. Dan tak berapa lama, putri semata wayangnya kembali terlelap.

Dan malam pun semakin larut. Jalanan kini benar-benar telah lengang. Yang tersisa hanyalah suara gelak tawa dari orang-orang yang sedang bercengkerama di sebuah rumah makan siap saji, beberapa meter dari toko itu.

3 komentar:

evy mengatakan...

kalau dibiarkan, ada pihak-pihak yang dirugikan;
kalau digusur, ada orang-orang kecil yang menderita
hua.. butuh kebijaksanaan dan kebijakan yang tepat
(untung aku bukan politikus)

Megi Rahman mengatakan...

gmn kelanjutannya tuh ?
kasian bgt samsudin ma keluargnya T.T

EKA mengatakan...

So sad.
Kadang2 (sering bahkan) kita menghadapi dilema hidup seperti itu ya.
Digusur koq ya kasian
Ndak digusur lha koq ya nggak pada tempatnya.
Musti cari win-win solution ya...