Sabtu, 25 April 2009

Rakus


Suatu ketika seorang teman bertandang ke rumah. Di tengah obrolan yang cukup hangat, tiba-tiba ia melihat akuarium yang terletak di bawah televisi, ”Loh, Mas, itu ikan apa?” tanyanya dengan mimik muka keheranan saat melihat seekor ikan yang kelihatan aneh dengan posisi kepala menghadap ke bawah dan perut berada di atas.

”Itu ikan maskoki, mbak,” jawabku sambil tersenyum melihat keheranannya.

”Ikan maskoki seperti itu?” kejarnya menuntut sebuah jawaban yang lengkap.

”Iya, itu betul-betul ikan maskoki, kok. Posisinya bisa seperti itu karena ia terlalu rakus. Setiap kali aku memberi makan, ikan itu yang paling aktif bergerak ke sana ke mari mengambil makanan tanpa menghiraukan ikan-ikan yang lain.” terangku.

Bulan lalu, aku juga pernah dihukum akibat terlalu rakus. Ceritanya begini, malam itu entah kenapa aku terlalu bersemangat dalam hal makan. Segala jenis makanan aku sikat. Habis satu makanan aku segera berpindah pada makanan yang lain. Pagi harinya, tiba-tiba aku terbangun karena merasakan perutku sakit sekali. Rasanya melilit-lilit seperti diikat tali-temali yang begitu kuat. Ah, barangkali ini hanya sesaat saja, ujar batinku. Tapi setelah beberapa menit berlalu, sakitnya tidak kunjung hilang. Aku mencoba ke kamar mandi untuk buang air besar. Tak dinyana yang keluar hanyalah air. Meski begitu, sakit di perut berangsur-angsur menghilang. Namun ternyata ini hanya sesaat. Ketika kembali ke kamar, perutku kembali terasa melilit-lilit. Karena sudah tidak tahan, aku segera membangunkan istriku. Segera kami pergi ke sebuah apotik. Dan benar, setelah minum obat, sakit di perutku mulai menghilang. Namun karena kondisi badan yang tidak fit, hari itu aku memutuskan tidak masuk kerja.

Tentu kita masih ingat dengan kejadian beberapa hari yang lalu. Tanggul Situ Gintung jebol dan ribuan meter kubik air tertumpah dengan dahsyatnya, menerjang rumah-rumah, pepohonan, bahkan membawa hanyut puluhan nyawa yang tidak berdosa. Segera, pihak-pihak yang harusnya bertanggung jawab mulai mencari-cari alasan untuk melakukan pembenaran diri. ”Ini adalah peristiwa alam yang tidak bisa diduga-duga,” kata mereka. Namun ketika kita mau melihat lebih jauh, salah satu yang menjadi penyebab timbulnya peristiwa ini adalah karena kerakusan manusia. Rumah-rumah, hotel, apartemen yang seharusnya tidak boleh didirikan di sekitar area Situ Gintung mulai banyak bermunculan. Perawatan dan upaya perbaikan tanggul situ pun tidak pernah dilakukan. Padahal sudah ada laporan-laporan mengenai kebocoran tanggul.

Di kampung ibu saya, sifat rakus manusia terpapar begitu nyata. Dahulu, lereng bukit di seberang rumah ibu selalu menghijau dengan aneka pepohonan yang tinggi menjulang. Tapi entah mengapa, hampir separo lereng bukit itu kini kelihatan gundul. Pohon-pohon telah ditebangi dan berganti dengan talut-talut yang dibuat sedemikian tinggi. Padahal di wilayah itu beberapa kali pernah terjadi longsor. Entah dengan kuasa apa, proyek itu akhirnya bisa berjalan mulus. Mungkin memang segepok uang berjumlah milyaran telah membius para pemegang kuasa. Entah, bagaimana nanti kalau longsor itu terjadi lagi, meluluhlantakkan rumah-rumah yang ada di bawahnya dan merengut nyawa penghuninya (semoga ini tidak pernah terjadi...). Barangkali seperti yang sudah-sudah, mereka akan buru-buru berlindung di balik seribu alasan.

Tidak ada komentar: