Jumat, 26 Juni 2009

Membalas Kejahatan Dengan Kebaikan

Dalam Injil Matius 5:39-45 tertulis demikian, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam dari padamu. Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar”.

Rangkaian kalimat yang sungguh indah dan menentramkan. Namun, ketika kalimat-kalimat itu coba diterapkan dalam kehidupan ini, betapa sulitnya. Ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Tentu masih segar di ingatan kita cerita tentang Manohara Odelia Pinot. Seorang gadis asal Indonesia yang menikah dengan Tengku Muhammad Fakhry, putera mahkota Kerajaan Kelantan, Malaysia. Pernikahan megah dan mewah yang diharapkan akan membawa kebahagiaan ternyata hanya memberi penderitaan bagi Manohara. Ia merasa dikurung dalam lingkungan istana, tidak bisa bergaul dengan bebas bahkan untuk bertemu dengan ibunya saja, ia tidak bisa. Manohara juga mengalami perlakuan seks menyimpang yang membuatnya banyak mendapat kekerasan fisik. Hingga akhirnya, ketika ia berhasil keluar dari semua penderitaan itu dan kembali berkumpul dengan ibunya, ia segera menyiapkan segala bukti untuk memenjarakan orang-orang yang telah menganiaya dirinya. “Saya tidak akan pernah memberi maaf atas segala perlakuan mereka kepada saya,” ujar Manohara dalam suatu kesempatan.

Kebencian dengan kasus yang berbeda juga tengah dialami Karin. Gadis berumur 22 tahun yang aktif dalam salah satu kegiatan di gereja. Semua berawal dari hasil pertemuan di suatu siang pada hari Minggu. Pertemuan yang awalnya bertujuan untuk persiapan memilih ketua yang baru ternyata telah diset sedemikian rupa menjadi ajang penghakiman bagi Karin dan teman-temannya. Sudah bukan rahasia lagi kalau Karin dan teman-temannya yang sering berkumpul, makan, dolan bareng disebut sebagai genk Nero. Rupanya keberadaan genk ini dianggap sebagai duri dalam daging oleh beberapa ‘sesepuh’ dalam komunitas dimana mereka ikut terlibat. Mereka dianggap telah memberi pengaruh yang tidak baik dan membuat tidak nyaman anggota yang lain. Beberapa orang yang berusaha meluruskan permasalahan dan mencoba menjelaskan bahwa keberadaan genk Nero karena ketidakpuasan atas sikap sang ketua yang ‘suka pilih-pilih’, malah dianggap tidak tahu apa-apa dan ikut dipojokkan. Lebih apes lagi Karin dan teman-temannya juga tidak bisa hadir dalam pertemuan sehingga tidak bisa menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.

Bisa diduga, hasil pertemuan itu akhirnya membuat Karin meradang. Ia segera mengontak teman-teman se’genk’nya untuk membahas masalah tersebut. Dan rupanya berdasarkan hasil keputusan rapat Minggu dimana mereka tidak hadir, pemilihan ketua akan dilanjutkan pada Rabu selanjutnya dengan 3 kandidat utama yang semuanya berasal dari genk Nero. “Katanya membuat tidak nyaman, kenapa mereka masih memilih kita!” kata Karin berapi-api.

Benar saja, suasana pemilihan pada Rabu itu berlangsung tegang. Salah satu ‘sesepuh’ tetap memaksakan kehendaknya bahwa hanya ada 3 nama yang wajib dipilih. Di luar itu tidak ada nama-nama lain juga untuk para ‘sesepuh’ yang kebetulan ikut datang. Sang ketua lama pun mengatakan bahwa dirinya tidak ingin dipilih lagi karena ia akan memberi kesempatan kepada orang-orang yang lebih peduli. Dan karena para ‘sesepuh’ sudah berkata demikian, semua yang hadir, yang kebanyakan masih anggota baru hanya bisa mengangguk dengan terpaksa.

Tentu saja, pemilihan ini semakin membuat Karin dan teman-temannya, yang memutuskan tidak hadir pada pemilihan Rabu itu, semakin marah. Bahkan Karin yang sudah tidak bisa membendung lagi amarahnya berkata dengan kasar, “Apa otak mereka itu ditaruh di dengkul! Sudah jelas kita ndak datang, kok masih dipaksakan untuk dipilih. Uhhhh… aku pingin menampar mulut mereka (para sesepuh) satu per satu. Awas, kalau besuk Minggu aku ketemu mereka…!!!!”

Apa yang dirasakan dan dilakukan oleh Manohara dan Karin kiranya adalah hal yang wajar. Dan kewajaran itulah yang selama ini dianut oleh kebanyakan dari kita. Maka tidak heran, di bumi ini muncul berbagai macam pertikaian, konflik, peperangan, kekerasan, hingga pembunuhan sesama manusia.

Membalas kejahatan dengan kebaikan. Mendoakan orang-orang yang telah menganiaya kita. Itulah yang ingin Tuhan ajarkan kepada manusia. Tidak mudah memang, bahkan sangat sulit. Tetapi bukan berarti tidak mungkin selama kita mau berusaha dengan sungguh-sungguh. Seperti halnya Tuhan yang selalu mengampuni kita walau sebanyak dan sebesar apapun dosa-dosa kita. Ia tetap menunggu dan menerima kita apa adanya. Ndak kebayang kan, seandainya Tuhan selalu menghukum manusia ketika ia melakukan kejahatan, pasti sudah lama bumi ini tidak dihuni oleh manusia.

Ketika kita bisa memulai semua itu maka hidup ini akan terasa damai. Live is beautiful. Semoga.

14 komentar:

fia al Kurosawa mengatakan...

Barangkali yang dibutuhkan oleh kita adalah 'Kecerdasan Emosi' otak kita cerdas, bergelar doktor dan sebagainya akan tetapi pengendalian diri kita lemah, empati kita rendah, maka kegagalan dan penderitaan belaka yang bakal menimpa, thanks ats sharingnya mas...

none mengatakan...

memang kejahatan nggak boleh dibalas dengan kejahatan juga.
nggak baik..

Anonim mengatakan...

Senang sekali membaca artikel ini. Saya semakin yakin bahwa jika semua orang Kristen atau semua ummat beragama lain menjalankan agamanya dengan baik, dunia akan dipenuhi dengan kedamaian. Tentu saja kita harus menghargai perbedaan-perbedaan di antara kita, sebagaimana kita mencintai agama kita masing-masing. Salam.

reni mengatakan...

Terasa damai membaca tulisannya mas.
Memang kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan... pasti tak akan ada habisnya ya ?

SeNjA mengatakan...

setuju mas....

iwan setiawan mengatakan...

seperti film2 kejahatan akan kalah oleh kebaikan....

yessy mengatakan...

Sebaiknya permasalahan yg ada segera diselesaikan mas, krn ketika karin dan tmn2nya tdk hadir mrk hy menerima cerita yg sepihak dr beberapa org yg dtg dan cr penyampaian psti berbeda...maaf ya mas, q berusaha di pihak netral,bahkan q pun psti jg ikut disalahkan...tp q hy berdoa,semoga Tuhan buka hati qta masing2 untk menerima permasalahan dg bijak......^-^ mba karin dan tmn2,maafkan klo q ada salah.GBU

Anonim mengatakan...

Semua masalah pasti ada jalan keluar yg terbaik...sebelum semua menjadi semakin rumit, mari qta selesaikan dg baik2 :), keputusan pemilihan ketua yg baru tdk py tujuan menyudutkan "geng nero", mari dg kerendahan hati qta sm2 berpikir secara dewasa dan bijaksana...."Membalas kejahatan dengan kabaikan..." yuuuuks qta praktekkan...Mba karin SEMANGAT !!!( Maaf q juga salah ).....Tq mas Gun, lwt rubrik ini q jd paham :)

Fanda mengatakan...

Karena yg bisa mengalahkan kejahatan hanyalah kasih. Meski sulit, kita harus terus berusaha.

eden mengatakan...

hi thanks for the visit. can't post in your chat box for it is accessible. have a nice day

Unknown mengatakan...

Satu Pendapat Mas....

Indonesia Blog Sharing mengatakan...

Menentramkan.....

Keep posting y mas.....

AMDG..!

Anonim mengatakan...

Ada kata-kata bijak seperti ini : "Untuk menangani diri sendiri, gunakanlah kepala anda. Untuk menangani orang lain, gunakanlah hati anda."

Sekiranya jika semua orang melakukan hal itu, pasti akan sedikit sekali permasalahan yang menyangkut dengan "ego" terjadi. Seperti halnya 'berat' mendoakan orang yang menjahati kita, kata-kata bijak diatas pun pasti berat dilakukan jika memang dari diri kita tidak menyadari bahwa ada orang lain yang harus mendapatkan 'tenggang rasa' selain diri kita sendiri.

Kata-kata, perbuatan dan sikap kita terhadap orang lain adalah tolok ukur bagaimana kita menghargai diri kita sendiri. Kadang lebih menyenangkan menjadi orang yg sederhana dengan pikiran yang sederhana tetapi hatinya tulus, daripada yang terlalu banyak bicara, berdalih untuk kepentingan orang banyak padahal ada 'maksud pribadi'.

Kata-kata bijak diatas adalah cerminan kedewasaan. Jika kita menggunakan kepala / rasio untuk menangani diri sendiri, perasaan/ego pribadi tidak akan menginginkan lebih banyak untuk kepentingan diri sendiri. Sebaliknya, gunakanlah hati jika menangani orang lain, karena mereka adalah pribadi lain yg mempunyai perasaan dan harga diri yang harus dihormati.

eha mengatakan...

seperti kata-kata bijak dari seberang 'to err is human, to forgive is divine'