“Uhhhh… panas sekali siang ini!” guman Pak Roiz sambil berkali-kali menyeka keringat yang bercucuran di dahinya. Lalu, diambilnya secarik kertas kumal di saku bajunya. “Ehmmm… kamar jenasah Melati…,” diejanya tulisan yang tertera di kertas itu. Segera ia bergegas untuk mencari ruangan tersebut.
Di antara ayunan langkahnya, Pak Roiz teringat kembali pembicaraan melalui telepon beberapa menit yang lalu. Waktu itu ia sedang asyik memberi makan si Manis, kucing belang hitam piaraannya, ketika tiba-tiba suara telepon nyaring terdengar. “Halo selamat siang… bapak mencari siapa?” tanya Pak Roiz.
“Ehmmm… benarkah ini rumah Pak Roiz?” ujar suara di seberang.
“Ya… saya sendiri. Bapak siapa ya?” tanya Pak Roiz, lagi.
“Saya Gunadi putra Ibu Wiryo yang dulu pernah menjadi tetangga bapak. Siang ini saya sangat membutuhkan bantuan bapak. Kebetulan hari ini adik ibu saya meninggal. Saya sudah berusaha mencari romo kemana-mana untuk memimpin pemberkatan jenasah siang ini. Tapi ternyata tidak berhasil. Harapan saya satu-satunya tinggal kepada bapak…” terang suara di seberang panjang lebar.
Pak Roiz terdiam. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang barusan dikatakan oleh lawan bicaranya. Bu Wiryo… rasanya nama itu memang sudah tidak asing lagi baginya. Hampir enam bulan yang lalu, Bu Wiryo adalah tetangganya. Bu Wiryo adalah sosok tetangga yang baik. Meski bergelimang kekayaan ia tidak pernah bersikap sombong dan egois. Malahan ia kerapkali membantu tetangganya yang sedang mengalami masalah. Entah kenapa, tiba-tiba saja Bu Wiryo memutuskan untuk pindah rumah.
KAMAR JENASAH MELATI. Sebuah tulisan besar terpampang di hadapan Pak Roiz. “Ah… ternyata sudah sampai, tapi kok masih sepi…” batinnya.
Tiba-tiba saja seorang wanita gemuk berparas cantik dengan dandanan mewah dan sedikit menor serta rentengan gelang di kedua belah tangannya muncul di hadapan Pak Roiz.
“Ada perlu apa, pak!” kata wanita itu sedikit ketus sambil memandang Pak Roiz penuh selidik mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki.
“Ehmmm… apakah benar di sini disemayamkan jenasah bapak Gani?” tanya Pak Roiz dengan perasaan jengah. Ia merasa risih diperhatikan seperti itu. Maklum saja, pakaian yang dikenakannya memang sudah lusuh dan hampir pudar warnanya.
“Benar. Ada perlu apa bapak menanyakan hal itu!” ujar wanita itu, angkuh.
“Saya tadi disuruh ke sini untuk memimpin pemberkatan jenasah bapak Gani,” jelas Pak Roiz.
“Sebaiknya bapak pergi saja karena jenasah bapak Gani sudah ada yang mengurus!” kata wanita itu pendek sambil melangkah meninggalkan Pak Roiz.
Pak Roiz hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia sangat dongkol mendengar ucapan wanita itu. Namun perasaan itu coba ditekannya. Bukankah apa yang dilakukannya adalah bagian dari pelayanan? Kemudian ia bergegas pergi meninggalkan kamar jenasah itu.
Baru saja Pak Roiz menstarter sepeda motornya, hape di saku bajunya berdering. “Ya… dengan Pak Roiz di sini. Ada yang bisa saya bantu?”
“Ini Bu Wiryo. Pak Roiz sudah sampai di mana? Saya tunggu-tunggu dari tadi kok belum kelihatan?”
“Maaf bu, saya tadi sudah sampai di sana tapi tiba-tiba saja seorang ibu menyuruh saya pergi. Katanya sudah ada yang mengurus…,”
“Sebaiknya bapak segera ke sini karena memang hanya bapaklah yang kami tunggu…”
Akhirnya, Pak Roiz kembali ke kamar jenasah Melati. Dan ia pun memimpin pemberkatan jenasah siang itu sesuai permintaan Bu Wiryo. Ketika tengah melepas jubah yang barusan dipakainya, seorang wanita menghampirinya. Ternyata dia adalah wanita yang tadi menyuruhnya pergi.
“Maafkan saya pak, saya tidak tahu ternyata bapaklah yang ditunggu-tunggu oleh adik saya,”
Pak Roiz hanya bisa mengangguk.
9 komentar:
Wah... udah pernah kirim karyanya ke koran ga? bagus2 lohhhh
Nice post.....Memang yang demikian banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Orang sering melihat kulit daripada isinya.
Cerpen yang bagus mas :)
orang awam kebanyakan memang tak pandai melihat sisi dibalik yang nampak.
Betu banget Mas; don't judge book by its cover...
Masih banyak ya orang yang hanya menilai dari penampilan luarnya..?
Nice post..!!
jangan memandang dan menilai seorang manusia dari penampilan dan tampilan fisiknya,....
NIce post mas :)
siang sobat
wah cerpennya ok banget..
orang biasa kalau melihat cuma dari fisik saja ,,padahal belum tentu yang kelihatan sesuai dengan perilaku atau isi hatinya.
banyak orang sekarang mengejar pangkat serta kedudukan bukan untuk kepentingan rakyat, tapi lebih kepada kepentingan peribadi. semoga perkara ini tidak akan berlaku kepada pemimpinan yang baru demi kemakmuran negara dan peningkatan taraf sosial kehidupan rakyat.
Posting Komentar